• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP KEADILAN SOSIAL MENURUT SAYYID QUTHB

E. Keutamaan dari Perilaku Berkeadilan 1 Diangkatnya Martabat Perempuan



























































Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang

162

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama -Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (An- Niŝ/4:1)330

Dari fitrah tersebut dirintislah sebuah keluarga, yang mana dari diri yang satu diciptakan “perempuan” sebagai pendamping laki-laki untuk pada akhirnya membentuk sebuah masyarakat.331

Pengangkatan martabat perempuan oleh Islam membawa dampak yang penting dalam pembentukan masyarakat. Menurut Quthb tidaklah mungkin sebuah keluarga dibangun dengan bangunan yang kokoh kalau kaum wanita dicampakkan secara aniaya dan dipandang dengan pandangan yang hina sebagaimana yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliah, apa pun macam jahiliahnya. Oleh karena itu, Islam sangat menaruh perhatian untuk menolak perlakuan yang aniaya dan pandangan yang hina itu.332

Dari fitrah yang kuat, hakikat-hakikat fitriah yang lapang, dan dari landasan asasi yang besar, dibangunlah prinsip-prinsip yang menjadi tegaknya sistem masyarakat dan kehidupannya, kesetiakawanan dalam keluarga dan jamaah, menjaga hak-hak orang yang lemah, memelihara hak- hak wanita dan harga dirinya, memelihara harta jamaah secara umum, dan mendistribusikan harta warisan kepada para ahli waris yang menjamin keadilan bagi individu dan kemaslahatan bagi masyarakat.333

330 Departemen Agama, al-Qur’an dan..., h. 114. 331 Sayyid Quthb, F̂ Zhil̂l..., Jilid II, h. 271-272. 332 Ibid, h. 272.

163

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta

mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-

tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (An-

Niŝ/4:2)

Hal ini dimulai dengan memerintahkan para pemegang wasiat bagi anak-anak yatim supaya menyerahkan harta anak-anak yatim itu secara utuh apabila mereka sudah dewasa, dan jangan menikahi anak-anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya itu dengan niat hendak mendapatkan hartanya. Adapun anak-anak atau orang yang bodoh atau kurang sehat pikirannya yang dikhawatirkan hartanya akan dihambur-hamburkan bila diserahkan kepada mereka, maka janganlah hartanya itu diserahkan kepada mereka. Karena, pada hakikatnya itu adalah harta jamaah yang harus dipelihara dengan baik. Maka, tidak boleh diserahkan kepada orang yang akan merusaknya. Hendaklah mereka memelihara keadilan dan kebajikan di dalam bergaul dengan perempuan secara umum.334

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisâ/4:3)

334 Ibid,.

164

Ayat 3 dari surat An-Nisa ini berisikan tentang lanjutan ayat ke 1 dan 2 yang menerangkan tentang harta anak yatim perempuan yang berada dalam pemeliharaan walinya. Yang harta tersebut bercampur dengan walinya, kemudian ketika beranjak dewasa si wali tertarik kepada harta dan kecantikannya. Kemudian si wali hendak menikahinya dengan memberikan mas kawin yang berbeda dengan kebiasaan. Maka turun ayat ini untuk berlaku adil terhadap perempuan yatim yang hendak dinikahi dengan pemberian mahar sesuai dengan yang berlaku, serta diperintahkanlah mereka untuk menikahi wanita-wanita lain, dua, tiga atau empat.335

Menurut Quthb ayat ini bersifat mutlak, tidak membatasi tempat-tempat keadilan. Maka, yang dituntut olehnya adalah keadilan dalam semua bentuknya dengan segala pengertiannya dalam hal ini, baik yang khusus berkenaan dengan masalah maskawin maupun yang berhubungan dengan urusan lain, seperti kalau menikahinya karena menginginkan hartanya, bukan karena cinta kepadanya, dan bukan karena hendak mempergaulinya. Juga kalau menikahinya dengan adanya perbedaan usia yang jauh di antara mereka, yang sekiranya tidak dapat dijalankan kehidupan berumahtangga secara konsisten, dengan tidak memelihara keinginannya di dalam melaksanakan pernikahan ini. Yakni, suatu keinginan yang kadang-kadang tidak dikemukakan secara terus terang karena malu atau khawatir hartanya

335 Ibid, h. 275.

165

lenyap bila si wanita itu tidak mengikuti kehendaknya, dan lain-lain persoalan yang dikhawatirkan akan menghalangi terwujudnya keadilan.336

Ketika para wali merasa tidak dapat berlaku adil terhadap wanita- wanita yatim yang ada dalam pemeliharaannya, kalau mereka menikahinya, maka di sana terdapat wanita-wanita lain. Dalam hal ini mereka bebas dari kesamaran dan anggapan-anggapan yang bukan-bukan dari orang lain.

“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil...” (An-Niŝ/4:3) Menurut Quthb diberikannya rukhshah ‘kemurahan’ untuk melakukan poligami disertai dengan sikap kehati-hatian seperti itu bila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, dan dicukupkannya dengan monogami (beristri seorang wanita) dalam kondisi seperti itu, atau dengan budak belian yang dimilikinya. Maka menurut Quthb dibolehkannya poligami karena ada keringanan di masa nabi terhadap para sahabat yang memiliki banyak istri.

Menurutnya, kondisi riil dimana banyak perempuan yang sudah layak nikah berbanding terbalik dengan jumlah laki-laki. Sehingga menurut Quthb alangkah lebih baik perempuan walaupun merasa sudah cukup untuk tidak perlu menikah maka akan melanggar fitrah terhadap kebutuhan jiwa manusia. Maka menurutnya bahwa perintah laki-laki yang sudah layak menikah, dan menikahi perempuan lebih dari seorang, di mana wanita lain dapat mengenal (nikah dengan) lelaki itu dengan pernikahan yang terhormat (sesuai hukum syara’), secara transparan maka hal inilah yang dibolehkan dalam Islam.337

336 Ibid,.

166

Ketentuan diperbolehkannya menikah sampai empat kali menurut Quthb adalah sebuah keringanan yang sesuai dengan realitas fitrah dan kehidupan, dan menjaga masyarakat dari kecenderungan untuk lepas kendali. Menurutnya ikatan atau syarat ini akan melindungi kehidupan suami-istri dari kehancuran dan kerusakan, melindungi istri dari penganiayaan dan kezaliman, melindungi kehormatan dan harga diri perempuan dari kehinaan karena tiadanya perlindungan dan kehati-hatian, dan menjamin keadilan di dalam menghadapi tuntutan kebutuhan yang vital.338

Menurutnya, keadilan yang dituntut dalam ayat ini ialah keadilan dalam muamalah, nafkah, pergaulan, dan berhubungan. Adapun keadilan dalam perasaan hati dan jiwa, tidak seorang pun anak manusia yang dituntut untuk melakukannya, karena hal itu sudah di luar kehendak manusia. Keadilan inilah yang disinyalir Allah dalam ayat lain dalam surah ini.339

“kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-

isteri(mu)....” (An-Niŝ/4:129)

Ayat ini menurut Quthb oleh sebagian orang dicoba untuk dijadikan dalil mengharamkan poligami. Padahal masalahnya tidak demikian. Syariat Allah itu bukan permainan, yang mensyariatkan suatu urusan dalam suatu ayat dan mengharamkannya dalam ayat lain. Seperti memberi sesuatu dengan tangan kanan dan menariknya kembali dengan tangan kiri.

338 Ibid,.

167

Menurutnya keadilan yang dituntut dalam ayat pertama yang menyatakan terlarangnya poligami bila dikhawatirkan keadilan itu tidak terealisasikan, adalah keadilan dalam muamalah, pemberian nafkah, pergaulan, dan seluruh urusan lahiriah, di mana tidak seorang istri pun dikurangi hak nya dalam urusan ini, dan tidak seorang pun dari mereka yang lebih diutamakan daripada yang lain, sebagaimana yang dilakukan Nabi saw., sebagai manusia yang paling tinggi kedudukannya, yang tidak ada seorang pun disekitar beliau dan istri-istri beliau yang tidak mengetahui bahwa hati beliau sangat mencintai Aisyah melebihi yang lain. Karena, hati itu bukan di bawah kekuasaan pemiliknya, tetapi berada di antara dua jari-jari diantara jari-jemari Allah yang membolak-baliknya sesuai kehendak-Nya.340

Berbeda dalam pandangan Fazlur Rahman, bahwa pandangan yang memperbolehkan poligami ini dalam pandangan Rahman mereduksi keinginan al-Qur’an itu sendiri. Yang diinginkan dari al-Qur’an sesungguhnya bukan praktik beristri banyak. Praktik ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan al-Qur’an. Dan sikap diperbolehkannya poligami hanya akan memperkuat subordinasi perempuan sebagai manusia kedua.341

Pernyataan al-Qur’an bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan sama menurut Rahman, maka pernyataan tentang laki-laki boleh memiliki istri sampai empat orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Karena ada syarat yang diajukan al-Qur’an, yaitu

340 Ibid, h. 280.

168

menyangkut keadilan dalam rumah tangga. Syarat ini dalam asumsi Rahman merupakan indikasi kiasan untuk menggambarkan bahwa laki-laki tidak sanggup memperlakukan istri-istrinya secara sama dihadapan suami.342

Kemudian beralih kepada pandangan Quthb yang dinashkan oleh ayat itu ketika dikhawatirkan tidak dapat mewujudkan keadilan,

“...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki...” (An- Niŝ/4:3)

Quthb memberikan penekanan pada seorang budak yang dinikahi oleh majikan yang nantinya akan membawa kemerdekaan terhadap budak itu sendiri, dan tidak memberi penegasan akan ketersambungan ayat sebelumnya tentang pernikahan antara dua, tiga, atau empat perempuan. Sehingga seolah- olah penegasan memilih satu akhirnya hilang dengan penekanan bahwa Quthb memperbolehkan adanya poligami.

2. Kepedulian Terhadap Anak Yatim

Disamping perempuan yang perlu mendapat keadilan, ada kelompok anak yatim yang menjadi perhatian Islam pada saat itu, karena mereka adalah individu yang lemah dalam jamaah, karena ia kehilangan orang tuanya yang menjaga dan mendidiknya. Sehingga kelemahannya itu menjadi tanggung jawab masyarakat muslim –berdasarkan solidaritas sosial yang dijadikan oleh Islam sebagai fondasi sistem sosialnya. Sementara anak yatim adalah individu yang tak terurus dan tersia-siakan dalam masyarakat Arab jahiliah.

342 Ibid, h. 75.

169

Banyaknya arahan dalam al-Qur’an, juga keragaman dan kadang-kadang ketegasannya, menyiratkan kondisi yang terjadi pada masyarakat itu, berupa disia-siakannya anak yatim, sehingga Allah swt., mengutus seorang anak yatim yang mulia sebagai utusan-Nya dalam masyarakat itu, kemudian Dia memberinya tugas yang paling mulia di dunia ini. Yaitu ketika Dia memberinya tugas menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia, dan menjadikan salah satu ajaran agama ini, yang dibawa olehnya itu, adalah memelihara anak yatim dan menjaminnya dalam bentuk yang dapat kita lihat dalam arahan ini,343

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara

yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa...” (Al-An’̂m/6:152)

Maka orang yang mengurus anak yatim, hendaknya tidak mendekati harta anak yatim itu kecuali dengan cara yang terbaik bagi anak yatim itu. Juga hendaknya ia menjaga dan mengembangkannya, sehingga pada saatnya kelak, ia dapat menyerahkan harta itu kepadanya secara penuh dan setelah berkembang banyak. Yaitu ketika anak tersebut telah mencapai kematangannya, baik dalam kekuatan fisiknya maupun akalnya. Sehingga ia dapat menjaga hartanya dan memegangnya dengan baik. Dengan itu, jamaah telah menambah satu anggota baru yang dapat memberi manfaat dan memberikan haknya dengan lengkap.344

343 Sayyid Quthb, F̂ Zhil̂l..., Jilid IV h. 245. 344 Ibid,.

170

“...Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami

tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar

kesanggupannya...” (Al-An’̂m/6:152)

Maka inilah Islam yang menjaga dan melindungi hak para yatim piatu hingga mereka nantinya tumbuh dewasa dengan jaminan akan kelangsungan hidup dari peninggalan harta kedua orang tuanya. Dan dalam sikap adil ini pun tidak diperbolehkan adanya kecurangan.

“...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil

kendati pun dia adalah kerabat(mu)...” (al-An’̂m/6:152)

Menurut Quthb kelemahan manusia akan kedekatan terhadap kerabatnya bisa menimbulkan ketidak-adilan, oleh karenanya Islam menarik hati nurani manusia, agar dia mengucapkan perkataan yang benar dan adil, berdasarkan petunjuk dan berpegang kepada Allah semata, introspeksi terhadap Allah semata, merasa cukup dengan-Nya tanpa butuh bantuan kepada kerabat, dan memperkuat dirinya agar tidak memilih untuk memenuhi hak kerabat dengan mengalahkan hak Allah. Dan Allah swt., lebih dekat kepada seseorang dibandingkan urat lehernya.345

“...dan penuhilah janji Allah...” (al-An’̂m/6:152)

Di antara janji Allah adalah mengatakan yang benar dan adil, meskipun terhadap kaum kerabat. Juga menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil. Tidak mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik. Tidak membunuh jiwa manusia kecuali dengan haknya. Dan sebelum

345 Ibid, h. 246.

171

itu semua, diantara bentuk janji Allah adalah agar tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Ini adalah perjanjian terbesar yang diambil atas fitrah manusia, sesuai dengan penciptaannya yang bersambung dengan Penciptanya, dan merasakan keberadaan-Nya dalam aturan-aturan yang menguasainya dari dalam dirinya, sebagaimana aturan itu menguasai semesta di sekelilingnya.346

3. Melindungi Kaum Lemah dari Ketidakadilan

Kemudian setelah penegakan hak perempuan, hak yatim piatu, Islam juga mengutamakan kondisi kaum lemah, yang dicontohkan orang dalam kondisi lemah itu adalah orang yang dalam keadaan berhutang, karena dalam keadaan ini situasi kecurangan dan ketidakadilan sangat besar bisa terjadi.

Ketentuan syarat dari Islam agar orang yang ingin berhutang itu ialah dihadirkan orang ketiga diantara pemberi hutang dan orang yang berhutang, sehingga apabila orang berhutang dalam posisi lemah yang tidak berani menyatakan ketidaksetujuannya karena ingin mendapatkan harta yang diperlukan, sehingga ia dicurangi. Maka inilah guna adanya orang ketiga sebagai saksi antara keduanya.

Ketentuan akan saksi pun dijelaskan dalam al-Qur’an,

“...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang

lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya

jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (al-Baqarah/2:282)

346 Ibid,.

172

Menurut Quthb harus ada dua orang saksi terhadap akad (transaksi) itu

“dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. “Ridĥ” disini mengandung dua

makna. Pertama, kedua orang saksi itu adil dan diridhai di kalangan jamaah (masyarakat). Kedua, kedua belah pihak ridha terhadap kesaksiannya. Akan tetapi, ada kondisi-kondisi tertentu yang tidak mudah mendapatkan dua orang saksi laki-laki. Maka, dalam kondisi seperti syariat memberikan kemudahan dengan menjadikan perempuan sebagai saksi. Sebenarnya, syariat mengutamakan laki-laki karena biasanya merekalah yang melakukan tugas- tugas besar di kalangan masyarakat Islam. Sedangkan, wanita tidak perlu turut serta karena akan dapat menghilangkan keibuannya, kewanitaannya, dan kewajibannya dalam menjalankan tugas kemanusiaan yang lebih berharga, yaitu memelihara pertumbuhan anak-anak yang akan menjadi generasi masa depan. Padahal, dengan bekerja dia hanya mendapatkan beberapa suap makanan atau sedikit uang, sebagaimana kondisi masyarakat sekarang ini yang sudah rendah kehidupannya. Adapun jika tidak didapati dua orang laki-laki, bolehlah saksi itu seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Akan tetapi, mengapa dua orang perempuan?347

“Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (al-

Baqarah/2:282)

Quthb melanjutkan, kelupaan atau kekeliruan itu banyak sebabnya. Kadang-kadang karena minimnya pengetahuan wanita itu terhadap pokok masalah dalam transaksi itu, yang menjadikannya tidak dapat meliputi segala

173

persoalan yang halus-halus dan lembut. Sehingga, ia tidak dapat memberikan kesaksian dengan jelas dan rinci ketika diperlukan. Karena itu, diperlukanlah orang lain untuk saling membantu dengannya guna mengingatkan hal-hal yang rumit itu. Kadang-kadang juga disebabkan oleh tabiat perempuan yang lebih emosional karena tugas keibuan secara biologis itu tentu memerlukan rasa kejiwaan. Dalam hal ini seorang perempuan memang harus sensitif dan emosional, supaya dapat memenuhi kebutuhan anaknya dengan cepat dan penuh semangat, tidak menunggu pemikiran yang berproses dulu. Ini termasuk karunia Allah atas kaum wanita dan anak-anak. Sedangkan, kesaksian dalam transaksi seperti dalam masalah utang-piutang ini memerlukan orang yang lepas dari emosional, dan memfokuskan perhatiannya pada masalah yang sedang dihadapi dengan tidak terpengaruh oleh apapun. Dengan adanya dua orang perempuan diharapkan akan dapat memberikan jaminan dengan saling mengingatkan apabila salah satunya lupa karena pengaruh emosinya. Dengan demikian, akan dapat kembali kepada persoalan sebenarnya secara objektif.348 Allah mewajibkan supaya para saksi itu memberikan keterangan dengan rela hati dan penuh kesadaran, tanpa merasa terpaksa, dengan tidak mengutamakan yang satu atas lainnya dari kedua pihak yang bertransaksi itu, bila mereka dipanggil oleh keduanya atau salah satunya.349 Maka inilah menurut Quthb tugas saksi terhadap orang yang berhutang untuk menolong dan bersikap adil.

348 Ibid, h. 393.

174

Sayyid Husein Nasr memberi kriteria khusus dengan adanya saksi, bahwa mengenai kesaksian dua wanita yang disejajarkan dengan kesaksian satu orang laki-laki dalam masalah hukum, hal ini berkenaan dengan kasus kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran dan tidak untuk semua bentuk kesaksian. Pertimbangan ini ada dalam al-Qur’an sebagai bentuk sifat perempuan yang lebih pengasih, pemaaf, lembut, dan penyayang dibanding laki-laki.350

Berbeda dalam pandangan Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa surat al-Baqarah/2:282, bukanlah peraturan pengakuan tentang jumlah saksi, tetapi untuk mewujudkan keadilan. Karenanya, ayat itu juga menyatakan bahwa perjanjian dua orang perempuan dan seorang laki-laki mesti dituliskan; perjanjiannya harus terbuka; kesadaran ketuhanan harus menjadi elemen dari transaksi; dan orang yang lemah (lemah ingatan) harus memiliki wali yang akan melakukan transaksi atas nama mereka. Ini menurut Rahman merupakan suatu skenario, yakni ketiadaan laki-laki yang dikenal, bahwa dua orang perempuan diperlukan untuk bersaksi. Penjelasan kontekstual terhadap keharusan dua orang perempuan untuk menggantikan tempat ketiadaan laki- laki adalah bahwa perempuan tidak terbiasa dengan transaksi bisnis di dalam masyarakat Arab ketika masa Nabi. Karena itu, untuk memenuhi kriteria keadilan dan menghindari kecurangan, dua orang perempuan diperlukan untuk bersaksi, dengan demikian mereka dapat mencocokkan isi dari

175

perjanjian itu.351 Pemahaman Rahman terhadap ayat ini tidak bersifat tekstualis seperti Sayyid Quthb, tetapi melakukan interpretasi tekstualis dalam memahami ayat tersebut.

176

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, menurut filosof Barat garis besar wacana keadilan sosial lahir karena timbulnya konflik dalam masyarakat, sehingga bentuk keadilannya tergantung dari perubahan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, baik dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Sedangkan filosof Muslim berpendapat bahwa wacana keadilan sosial sudah ada sejak diturunkannya risalah agama Islam, karena bentuk keadilan tertinggi adalah milik Tuhan. Oleh karenanya sikap keadilan akan berhubungan erat dengan sikap ketakwaan kepada Tuhan.

Kedua, secara umum wacana keadilan sosial mulai populer di abad ke-20 pasca perang dunia kedua, yaitu sebagai dampak meluasnya negara-negara yang mencari kemerdekaan dari kegiatan imperialisme Eropa. Pasca perang dunia kedua inilah, mulai bermunculan wacana keadilan sosial yang digagas oleh para ilmuwan Barat dan ilmuwan Muslim kontemporer.

Ketiga, Salah satu pemikir Muslim yang memiliki gagasan wacana keadilan sosial adalah Sayyid Quthb (Mesir, 1906-1966 M). Sayyid Quthb (selanjutnya: Quthb) adalah salah satu pemikir Muslim yang aktif dalam penulisan karya dan juga kegiatan sosial dan politik. Quthb adalah tokoh penting dalam organisasi Ikhwanul Muslimin (selanjutnya: Ikhwan) setelah wafatnya

177

Hasan al-Banna, karena Quthb didaulat sebagai perumus ideologi Ikhwan tahun 1952.

Keempat, sejak organisasi Ikhwan aktif kembali, kerjasama antara pemerintah dengan Ikhwan sangatlah baik. Hingga terjadi revolusi Mesir atas kemerdekaan dari tentara Inggris, Quthb menjadi salah satu kepercayaan Gamal Abdul Nasser. Tetapi setelah ditolaknya rencana Quthb untuk membentuk negara Islam setelah terjadinya revolusi di Mesir, keadaan menjadi berubah. Quthb bersama Ikhwan melakukan subversif terhadap pemerintah karena kecewa dan beranggapan sistem jahiliyyah yang ada harus dilawan melalui jihad, yang akhirnya berdampak pada penangkapan dan eksekusi terhadap pengikut organisasi Ikhwan.

Kelima, sikap keras, sensitif dan penyiksaan yang dialami Quthb setelah dipenjara, memberikan dampak emosional pada aktifitas bersama Ikhwan. Utamanya pada sisi penyampaian gagasan-gagasannya tentang masyarakat jahiliyyah, jihad, dan keadilan sosial. Bagi Quthb keadilan sosial bukanlah tercipta dari hukum positif manusia, tetapi sudah ada dalam teks al-Qur’an dan sunnah. Menurut Quthb keadilan sosial akan terwujud apabila sistem Islam ditegakkan di setiap negara. Sikap ini mendapat kritikan dari ilmuwan muslim yang lain, karena dalam al-Qur’an tidak dijelaskan adanya perintah untuk membentuk negara Islam, tetapi negara yang aman dan sejahtera.

Keenam, Quthb berpendapat bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidup manusia, oleh karenanya Quthb melandaskan konsep keadilan sosial melalui penafsiran al-Qur’an dalam tafsir F̂ Zhil̂l al-Qur’̂n, walaupun peneliti

178

menyimpulkan sikap normatifitas dan tekstualitas Quthb dalam menafsirkan teks al-Qur’an mengindikasikan bahwa Quthb tidak beranjak dari kemapanan tafsir abad pertengahan dan menolak interpretasi baru terhadap teks al-Qur’an. Sehingga penafsiran al-Qur’an terasa kaku dan menunjukkan sikap emosional