• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keutamaan Ilmu: dari Muktasabah ke Mukashafah

BAB III PEMIKIRAN TASAWUF KIAI IHSAN

A. Tasawuf dan Seluk-Beluknya 1 Makna dan Urgensi ber-Tasawuf

8. Keutamaan Ilmu: dari Muktasabah ke Mukashafah

Posisi ilmu dalam laku tasawuf cukup strategis sebab menjadi penuntun bagi pelakunya agar senantiasa tetap dalam batas-batas yang diharapkan, bahkan diharuskan, dalam setiap praktik-praktik sui stiknya. Bagaimana mungkin, pelaku tasawuf itu akan mencapai puncak penjalanan tasawufnya

(al-sulu>k al-s}u>fi>), tanpa kemudian didasari oleh ilmu pengetahuan. Karenanya, penggapaian ilmu dipandang berliku-liku (al-‘aqabah), tepatnya dibutuhkan kesabaran dan istiqamah dalam mencarinya.

Sementara posisi orang yang berilmu (al-‘a>lim), menurut Kiai Ih- san, layaknya lampu. Artinya, orang yang berilmu akan memberikan semacam pencerahan atau cahaya kepada orang lain dalam mencari kebenaran –lebih-lebih pada dirinya sendiri— serta menghilangkan kebodohan dan bid’ah, layaknya lampu juga memberikan cahaya di rumah penghuninya.79

Secara normatif, beberapa sumber digunakan Kiai Ihsan da- lam memperkuat pandangannya tentang ilmu, termasuk dalam menafsirkan pandangan al-Ghazali. Misalnya, i rman Allah dalam

surat Ali ‘Imra>n [3]; 18, yang berbunyi berikut:

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah), melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga mengatakan demikian). Tidak ada tuhan (yang wajib disembah) melainkan Dia, yang maha perkasa lagi Maha bijaksana.80

Firman Allah di atas, menurut Kiai Ihsan, adalah gambaran tentang kedudukan orang yang berilmu (ulu> al-‘ilm). Penyebutannya pada posisi ketiga, setelah Allah dan malaikat menunjukkan orang yang ber- ilmu itu cukup penting dalam kehidupan. Selanjutnya, juga ditemukan hadith Nabi Muhammad Saw. yang menjelaskan kedudukan orang-

orang’a>lim (ulama’) sebagai pewarisnya,81 yang menunjukkan bahwa

tidak ada kenabian yang akan diperoleh setelah Nabi Muhammad, dan ulama sebagai penerima warisan ini berkewajiban melanjutkan misi kenabian dalam rangka memberikan pencerahan bagi umat.82 Dari

sini, kedudukan ulama cukup mulia menggantikan kedudukan Nabi, sekalipun tidak sama persis. Itu sebabnya bila visi kenabian itu tidak dilakukan oleh salah satu ulama,83 maka kualitas keulamaannya perlu

dipertanyakan, untuk tidak mengatakan sebagai pewaris Nabi.

80 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,,52.

81 Kedudukan ini tergambarkan dari hadith yang berbunyi: (ulama adalah perawis

para Nabi). Hadith ini diriwayatkan oleh Abu Darda>’.

82 Ih}sa>n Jampe>s, Sira>j al-T}a>libi>n, Juz I, 71.

83 Terminologi ulama dalam konteks ini, menukil Amin Syukur, tidak mesti kiai sebab kiai adalah produk

lokal. Maka ulama lebih bersifat umum, mencakup pada semua cendekiawan, bukan terkhusus pada ahli agama sebagaimana dipahami dari terminologi kiai. Hasil diskusi dengan Amin Syukur di rumahnya. Tanggal 6 September 2014.

Dua argumentasi normatif ini dipandang cukup dalam menegaskan pentingnya ilmu dan ulama dalam kehidupan manusia, khususnya dalam rangka meneguhkan dirinya sebagai hamba (al-‘ubu>di>yyah), sekaligus peneguhan sifat ketuhanan (rubu>bi>yyah). Namun, keistime- waan ilmu dan pemiliknya harus diwujudkan dalam amal perbuatan. Pasalnya, apa maknanya kemudian ilmu (teori) itu dimiliki, tanpa diamalkan. Kiai Ihsan menambahkan sebagai berikut:

84

Puncak dari ilmu adalah amal. Karenanya, amal layaknya sebagai buahnya, keuntungan umur sekaligus bekal untuk akhi- rat. Barang siapa yang memperolehnya, maka akan bahagia. Sebaliknya, yang tidak memperolehnya, maka akan dipastikan dalam kerugian.

Selanjutnya, dilihat dari karakter dan asal usul ilmu, Kiai Ihsan membaginya dalam dua kategori, yakni ilmu z}a>hir dan ilmu ba>t}

in. Ilmu z}a>hir dimaksudkan sebagai ilmu Shar’i, yakni ilmu yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban bagi mukallaf (orang yang terbeban hukum), yakni kewajiban dalam urusan agamanya baik ibadah maupun mu’amalah seperti ilmu tafsir, i qih, dan hadith.85 Berdasarkan pengertian ini, ilmu z}a>hir berkaitan erat

dengan aktivis luar, tidak ada kaitannya dengan dimensi terdalam

84 Ibid. Kaitan dengan ini, Imam al-Ghazali juga memaparkan bahwa orang yang memiliki ilmu sama halnya

dengan orang yang membawa pisau (sebagai ilmu), ketika berhadapan dengan harimau. Maka pisau akan bermanfaat bila digunakan. Jika tidak, maka akan diterkam oleh harimau. Baca, Ima>m al-Ghazali, Ayyuha> al-Walad (Indonesia: al-Haramain, Tth), khususnya bab tentang “kapan ilmu itu bermanfaat”? (mata> yanfa’ al-‘Ilm).

85 Termasuk dalam kategori ilmu ini adalah belajar ilmu Nahwu, menghafalkan kata-kata asing dalam

al-Qur’an dan hadith, dan usul Fiqih. Ilmu-ilmu tersebut, dengan mengutip ‘Izzu al-Di>n ibn ‘Abd al- Sala>m, merupakan salah satu dari bid’ah wa>jibah. Baca, Ibid., 70.

dari ajaran-ajaran agama. Misalnya, i qih mengungkap persoalan peribadatan dari sholat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Tapi, yang dibahas berkaitan dengan persoalan rukun, syarat dan batalnya, tidak membahas secara detail makna di balik perintah ibadah tersebut. Padahal, ibadah puasa, misalnya, benar-benar berdampak positif bagi pelakunya, tidak bisa cukup hanya sekedar memper- hatikan dimensi i qih-formalistik, tapi perlu puasa menggerakkan pelakunya tidak melakukan penyakit-penyakit hati yang merugikan orang lain, misalnya ghi>bah, mengadu domba dan sejenisnya, yang dipandang mampu mengurangi pahala puasa. Hal ini yang menjadi bagian intens ilmu-ilmu ba>t}in.86

Sementara, ilmu ba>t}in di bagi menjadi dua macam, yakni ilmu

mu’a>malah dan ilmu al-muka>shafah. Pertama, ilmu mu’a>malah diartikan sebagai ilmu yang secara fungsional bertujuan dalam rangka melihat proses pembersihan hati dan pendidikan jiwa melalui upaya menjaganya dari akhlak-akhlak tercela yang dilarang oleh al-sha>ri’ (Allah dan Rasul-Nya). Karenanya, model ilmu ini mengkaji tentang riya>’, ‘ujub, ghashshun, zuhud, taqwa, qana>’ah, dan lain-lain. Ilmu ini cukup penting, tegas Kiai Ihsan, setidaknya dalam rangka mengawal proses mengamalkan ilmu agar senantiasa berada dalam koledor yang benar-benar bersih, sehingga mampu mewariskan ilmu yang tidak diketahui. Dengan bahasa yang agak tegas disampaikan sebagai berikut:

87

86 Hal ini dapat dilihat peringatan keras Nabi bahwa “Banyak sekali mereka yang berpuasa hanya

memperoleh haus dan lapar” (rubba s}a>imin laysa lahu> min s}iya>mihi> illa al-ju>’a wa al-at}sh).

…Maka ilmu tanpa amal berarti media tanpa tujuan, seba- liknya adalah jinayah (pelanggaran). Sementara memantap- kan ilmu dan amal tanpa didasari sikap wara’ sama halnya perbuatan sulit, yang tidak ada upahnya. Karenanya, hal yang terbaik adalah zuhud agar dengannya ilmu dan amal itu benar-benar manfaat.

Dari kutipan ini, dipahami bahwa mengamalkan sebuah ilmu, jika tidak didasari dengan hati yang bersih dari sifat-sifat pamer (riya>’), maka amal tersebut kurang memberikan dampak makna apapun, untuk tidak mengatakan tidak bermanfaat. Penegasan ini, setidaknya memberikan gambaran akan pentingnya ilmu ba>t}in dalam setiap amal perbuatan agar kiranya mampu memberikan bekas pada pelakunya, bukan saja dalam rangka peneguhan kedekatan diri semata, tapi sekaligus penegu- han kepedulian kepada sesama sebab dengan sikap menghindar dari sikap riya>’, sangat dimungkinkan tercipta sikap ikhlas —atau berbuat tanpa pamrih— dalam amal dan kebiasaan. Dengan makna yang lebih konkrit, dalam beramal seseorang tidak melulu mencari popuralitas dan ketenaran materi, tapi lebih dari itu meneguhkan ketulusan mengabdi dan meraih keridhaan Allah.

Sementara itu, kedua adalah ilmu muka>shafah, semacam pengetahuan khusus yang diberikan kepada orang yang khusus pula. Kiai Ihsan menjelaskan bahwa ilmu muka>shafah adalah semacam cahaya (pengetahuan) yang nampak dalam hati, ketika hati itu benar-benar bersih. Dari cahaya pengetahuan itu, maka pemiliknya akan mencapai tahapan mengenal Allah (nama dan sifat-sifat-Nya), kitab-kitab-Nya hingga rasul-rasul-Nya. Bukan itu saja, dalam dirinya akan tersingkap seluruh batas-batas pengeta- huan, sehingga semua rahasia akan nampak. Dengan begitu, tegas

Kiai Ihsan, pengetahuan model ini tidak seperti biasanya, yang mengandalkan dimensi akal (al-‘aqli>yyah), melainkan berpangku pada dimensi rasa atau intuisi (al-dhawqi>yyah).88

Dengan begitu, cukup tepat bila kemudian pengetahuan ini dikat- egorikan ilmu ba>t}in(esoteric), yang muncul dari orang-orang tertentu melalui proses pembersihan hati di satu pihak dan selalu menempat- kan dirinya dalam rangka menghampiri jalan-jalan Allah. (al-sulu>k

ila> Alla>h) dipihak yang berbeda.89 Ciri-ciri ini yang kemudian, ilmu muka>shafah tidak bergantung pada kekuatan rasionalitas, tapi lebih pada kekuatan ba>t}in dengan kebersihan pelakunya dari segala bentuk dosa, baik dosa z}a>hir maupun dosa ba>t}in.

Dengan menggunakan bahasa dialektik, dalam rangka men- egaskan perbandingan ilmu z}a>hir dan ba>t}in, Kiai Ihsan menjelas- kan sebagaimana berikut:

90

…Maka ilmu dhahir sejatinya adalah ilmu rasional dan bisa diterima (semua kalangan), misalnya ilmu-ilmu yang bermanfaat serta amal kebajikan. Sementara, ilmu batin adalah semacam pengetahuan ketuhanan, yang merupakan ruh dari ilmu rasional dan ilmu yang diterima.

Dengan begitu, kaitannya dengan ilmu muka>shafah, tidak sedikit ilmuwan rasional melakukan penolakan atas keberadaannya sebab kemunculan ilmu ini tidak seperti biasanya dengan pendekatan tekstual-

88 Ibid. 89 Ibid. Juz II., 426. 90 Ibid.

rasional, misalnya. Namun, itulah gambaran model pengetahuan –yang diyakini kemunculannya hanya terbatas pada orang-orang yang bersih sebagaimana juga diberikan kepada Nabi dengan istilah mu’jizat.

Amatan penulis, posisi Kiai Ihsan dengan membahas ilmu

muka>shafah dengan detail dan rinci sebenarnya menggambarkan sosok dirinya, sebagai penganut dan pengamal pemikiran al-Ghazali. Pasalnya, Kiai Ihsan dikenal bukan saja sebagai pelaku jalan tasawuf

(su>fi>), sekalipun tidak mengikuti aliran dan keorganisasian tarekat tertentu, tapi dalam dirinya memancarkan ilmu ba>t}in sehingga tidak salah ada anggapan yang mengatakan kemunculan kitab

Sira>j al-T}a>libi>n, setidaknya menggambarkan kuatnya intuisi Kiai Ihsan sebagai manifestasi dari penguasaannya atas ilmu ba>t}in (ilmu

muka>shafah), apalagi karya 2 jilid ini dirancang hanya dalam waktu sekitar 8 bulan dengan menggunakan bahasa Arab fus}h}a.

Di samping model pembagian ilmu, orang yang berilmu, tegas Kiai Ihsan, harus senantiasa melakukan koreksi atas dirinya sendiri secara kontinyu agar ilmu yang dimiliki memberikan dampak positif, sehingga mengantarkan dirinya lepas dari jebakan sebagai kelompok orang yang tertipu (al-maghru>ri>n). Dengan menafsirkan perkataan al-Ghazali,91 Kiai Ihsan memastikan bahwa kelompok pecinta ilmu

yang tertipu adalah mereka yang menguasai serta sibuk dengan ilmu-ilmu shari’at dan rasional, tapi mereka lupa diri, sehingga tidak menjaga semua anggota tubuhnya untuk bergerak dalam rangka mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Bukan itu saja, termasuk kelompok ini adalah mereka yang meng-claim dirinya telah mencapai tahapan tertentu di sisi Allah, yang tidak mungkin

disiksa bahkan mengaku telah diberi kemampuan memberikan syafa’at kepada yang lain.

Oleh karenanya, menjaga sinergi ilmu, amal, dan olah hati men- jadi penting agar seseorang yang berilmu benar-benar memperoleh kemanfaatan, baik di dunia maupun di akhirat. Hanya saja, Kiai Ihsan sekali lagi, menegaskan posisinya agar pencari ilmu tidak terjebak pada ilmu-ilmu z}a>hir semata, perlu juga penguasaan atas ilmu-ilmu ba>t}in. Hanya dengan ilmu ba>t}in, tata kelola hati itu akan mampu bersinergi dengan kuasa pengetahuan ketuhanan di satu pihak, sekaligus di pihak yang berbeda mampu mengantarkan pemiliknya menuai keselamatan

(la yanju> illa> man ata> Alla>h bi qalb salim>).

Oleh karenanya, menurut penulis, sikap klaimkebenaran itulah yang setidaknya mampu mengantarkan pengetahuan seorang itu tidak bermakna (al-mah}ju>b), apalagi ketika menegasikan beberapa model pengetahuan dalam beberapa jenis; dari z}a>hir hingga ba>t}in. Klaimkebenaran berdampak buruk, jika berlebi- han, bagi pengakunya dari sikap sombong hingga memudahkan menyalahkan yang lain, misalnya mudah menyesatkan hingga mudah mengkai rkan.

Pasalnya, keragaman ilmu tidak dalam rangka menegasikan satu di antara yang lain, melainkan dalam rangka saling menguatkan dan mengisi pengetahuan lainnya. Misalnya, orang yang ahli i qih tidak akan berdampak apapun pada dirinya, alih-alih mengantarkan keselamatan, jika hanya terjebak dalam perdebatan wacana (tidak diamalkan). Termasuk juga pengamalan yang tidak dibarengi dengan sikap ketulusan (ikhlas) akan mengantarkan amal itu kosong, tanpa bermakna, alih-alih dapat menciptakan perubahan perilaku menuju yang terbaik.