• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kevakuman Mekanisme Nasional

Kevakuman Mekanisme Nasional

Sistem ketatanegaraan Indonesia telah menciptakan mekanisme pencegahan dan pembatalan kebijakan daerah yang bertentangan dengan hukum nasional untuk menjamin integritas sistem hukum nasional. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan mandat pencegahan diusung oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selaku pembina pelaksanaan otonomi daerah, tugas uji materi oleh Mahkamah Agung dan kewenangan pembatalan peratur-an daerah ada pada Presiden RI.

UU No. 32 tahun 2004, dan juga UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan telah menegaskan spektrum persoalan yang boleh menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Demikian juga batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui. Inilah yang menjadi acuan pelaksanaan mandat pencegahan dan pembatalan peraturan daerah. Disebutkan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 136, peraturan daerah ada-lah (1) ditetapkan oleh Kepala Daerah seteada-lah mendapat persetujuan dari DPRD, (2) dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pemban-tuan dan (3) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, dan (4) dilarang bertentangan de-ngan kepentide-ngan umum dan/atau peraturan perundang-undade-ngan yang lebih tinggi. Meskipun dalam pasal 136 (3) dibolehkan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, pasal yang sama poin 4 tetap menegaskan bahwa materi muatan perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembentukan perda, yang merupakan bagian dari kewenangannya dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, mem-buka kesempatan bagi daerah untuk menciptakan berbagai terobosan dalam rangka pening-katan kesejahteraan rakyat, pelayanan umum dan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, sebagai mandat utama otonomi daerah. Dalam UU ini dinyatakan pula urus-an yurus-ang bukurus-an merupakurus-an kewenurus-angurus-an pemerintahurus-an daerah durus-an asas yurus-ang harus dipatuhi dalam perumusan perda, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 12 berikut:

94 | Atas Nama Otonomi Daerah

Tabel 12

Pengecualian dan Asas Peraturan Daerah menurut UU No. 32 tahun 2004

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pengecualian Kewenangan Pemerintah Daerah (Pasal 10(3)) Asas Pembentukan Perda (Pasal 137) Asas

Materi Muatan Perda (Pasal 138 (1)) 1. politik luar negeri;

2. pertahanan; 3. keamanan; 4. yustisi;

5. moneter dan fiskal nasional; 6. agama.

1. kejelasan tujuan; 2. kelembagaan atau organ

pembentuk yang tepat; 3. kesesuaian antara jenis dan

materi muatan; 4. dapat dilaksanakan; 5. kedayagunaan dan

kehasilgunaan;

6. kejelasan rumusan; dan 7. keterbukaan. 1. pengayoman; 2. kemanusiaan; 3. kebangsaan; 4. kekeluargaan; 5. kenusantaraan; 6. Bhinneka Tunggal Ika; 7. keadilan;

8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 9. ketertiban dan kepastian

hukum; dan/atau

10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Pasal 136 (4): Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

Berpedoman pada UU Pemerintahan Daerah, seluruh perda yang dipantau oleh Komnas Pe-rempuan cacat hukum, baik dari segi perumusan maupun muatan, dan dikuatkan dengan dam-pak yang ditimbulkan akibat pelaksanaannya. Perda tentang aturan busana maupun perda lain tentang agama melangkahi kewenangan pemerintah daerah, sekalipun perda itu disusun untuk kalangan terbatas, seperti pegawai negeri sipil, pelajar dan karyawan. Kebijakan daerah tentang busana yang dikeluarkan dalam bentuk surat keputusan, surat edaran maupun peraturan kepala daerah juga tidak memiliki kewenangan untuk pengaturan ini karena telah memasuki cakupan isu yang menjadi kewenangan pemerintah (pusat). Bahkan, berdasarkan pasal 28 UU Pemerin-tahan Daerah, Kepala Daerah juga dilarang mengeluarkan kebijakan yang hanya menguntung-kan satu kelompok maupun mendiskriminasimenguntung-kan warga negara. Lebih lanjut, proses perumus-an kebijakperumus-an daerah tentperumus-ang agama yperumus-ang menjadi alat politik pencitraperumus-an dengperumus-an menggunakperumus-an politisasi identitas menyebabkan warga negara yang berbeda pendapat dan identitasnya tidak memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Mereka tidak dapat me-ngemukakan pendapatnya secara leluasa dan pengaturan yang mengedepankan politisasi

iden-titas menyebabkan pengucilan dan pembedaan terhadap kelompok minoritas. Konsekuensi-nya, kebijakan daerah serupa ini tidak memberikan pengayoman, mengancam kebangsaan dan kebinekaan Indonesia.

Persoalan serupa terjadi dalam perumusan perda tentang prostitusi. Perluasan persoalan pros-titusi menjadi isu moralitas menyebabkan kebijakan ini tidak dapat memberikan pengayoman melainkan melakukan kriminalisasi terhadap perempuan. Perluasan ini tampak dalam rumusan larangan yang multitafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan menciptakan ke-tidakadilan bagi perempuan korban salah tangkap.

Dalam kasus kebijakan daerah terkait buruh migran, kecuali kebijakan daerah Lombok Timur, peraturan daerah menunjukkan ketidaksesuaian antara jenis dan materi muatan akibat peng-abaian perlindungan terhadap buruh migran. Dalam kasus Perda Cianjur dan Sukabumi ten-tang buruh migran, perda membuka ruang terjadinya eksploitasi dan kriminalisasi terhadap bu-ruh migran dan reviktimisasi terhadap perempuan bubu-ruh migran yang mengalami kekerasan sek-sual. Terlebih lagi Perda Cianjur yang mengakomodasi politisasi identitas berbasis agama; per-aturan tersebut menyebabkan perempuan buruh migran mengalami pembedaan dalam kedu-dukannya di mata hukum.

Peraturan Daerah (Qanun) No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat, meskipun kehadirannya dilegiti-masi oleh UU No. 44 tahun 1999, juga mengandung persoalan serupa dengan perda-perda yang telah disebutkan sebelumnya. Selain tidak memberikan perlindungan kepada perempuan, rumus-an yrumus-ang multitafsir menyebabkrumus-an ketidakpastirumus-an hukum drumus-an telah menciptakrumus-an ketidakadilrumus-an bagi korban salah tangkap, khususnya perempuan. Tambahan lagi, peraturan daerah itu telah menciptakan preseden hukum baru, karena baik larangan khalwat maupun hukuman cambuk sebagai sanksi pidana tidak dikenal dalam sistem hukum nasional.

Fakta pelembagaan diskriminasi melalui kebijakan daerah menunjukkan bahwa pemerintahan daerah, atas nama otonomi daerah, telah melanggar semua batasan yang telah ditetapkan da-lam kedua acuan hukum tersebut, yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 10 tahun 2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Atas nama otonomi daerah, sebagaimana tercermin dalam pendapat di bawah ini, pihak pemerintah daerah melegitimasi kebijakan daerah yang mereka terbitkan sekalipun kebijakan itu melem-bagakan diskriminasi dan cacat konstitusional. Persoalan ini terutama disepakati oleh narasum-ber dari pihak legislatif dan eksekutif di tingkat provinsi. Salah satunya, seorang perempuan anggota DPRD tingkat provinsi, mengemukakan:

“Masalah otonomi daerah ini sudah ada ego dari masing-masing kabupaten, sehingga kita tidak bisa menegur perda kabupaten yang tidak implementatif karena secara struktur kita tidak punya kewenangan untuk memberikan teguran atau melarang membuat suatu perda... Repotnya, banyak masyarakat yang complaint [mengeluh] tentang peraturan di kabupaten. Ka-rena tidak ada tanggapan dari kabupaten, [masyarakat] larinya ke provinsi. Padahal, kita tidak punya kewenangan untuk menjangkau itu. Jadi, otonomi daerah ini malah bikin ribet [rumit].”

96 | Atas Nama Otonomi Daerah

Temuan pemantauan telah menunjukkan bahwa kehadiran kebijakan-kebijakan daerah yang cacat hukum, bahkan cacat konstitusional ini, dimungkinkan karena belum efektif dan sem-purna mekanisme nasional yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan daerah, terma-suk dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan daerah. Bab berikut ini akan mengelaborasi persoalan yang dihadapi oleh mekanisme-mekanisme nasional itu. Pertama, kegagalan Depar-temen Dalam Negeri selaku pembina pelaksanaan otonomi daerah dalam mencegah pener-bitan kebijakan daerah yang cacat hukum. Kedua, kelumpuhan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam menjalankan fungsinya sebagai ujung tombak promosi penegakan hak asasi manusia dalam perumusan kebijakan daerah. Ketiga, kebelummampuan Kementerian Pem-berdayaan Perempuan dalam memastikan prinsip pengarusutamaan Gender ke dalam penyu-sunan kebijakan daerah. Keempat, kelalaian Mahkamah Agung dalam menjalankan tugas men-jaga integritas hukum nasional. Kelima, ketidakberdayaan Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak memiliki kewenangan pengujian materi produk hukum di bawah undang-undang.

7.1. Kelalaian Departemen Dalam Negeri

“Menyangkut koordinasi… [kami] konsultasi dengan Biro Hukum dan Biro Pemerintahan. Model kita DPRD Provinsi ke Depdagri, kalau kata Depdagri tidak boleh ya tidak boleh. Secara aturan dimungkinkan, tetapi Depdagri tidak boleh, ya tidak boleh... Kalau dianggap mengganggu integritas nasional saya kira Depdagri sebagai pembina politik [dan] sebagai pembina pemerintahan daerah akan membatalkan itu. Tapi kan [jumlah perda diskrimi-natif] tidak berkurang juga... Justru oleh daerah lain di Indonesia dijadikan obyek studi ban-ding, untuk diterapkan di masing-masing daerahnya.” [Pimpinan Komisi DPRD Provinsi]

Berdasarkan pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Menteri Dalam negeri (Mendagri) memiliki tugas koordinasi pembinaan dan pengawasan pelaksanaan otonomi daerah. Bentuk kewenangan itu antara lain menelaah dan mengevaluasi serta membatalkan keberlakuan sebuah perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 145, perda yang telah disahkan oleh gubernur atau bupati/walikota, dalam waktu tujuh hari harus disampaikan kepada pemerintah. Dengan peraturan presiden, pemerintah dapat membatalkan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terkait Anggaran Pen-dapatan dan Belanja Daerah (APBD), menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 185 dan 186, se-belum disahkan perda harus dievaluasi oleh menteri dalam negeri untuk perda provinsi dan oleh gubernur untuk perda kabupaten/kota, dan hasil evaluasi ini bersifat mengikat. Selain perda terkait APBD, menurut pasal 222 (1b) pengawasan Depdagri atas penyelenggaraan pemerin-tahan daerah juga meliputi pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah secara umum.

Di tingkat nasional, menteri dalam negeri menjalankan kewenangannya menguji kelayakan ran-cangan perda secara selektif, yaitu terkait kebijakan daerah tentang keuangan dan retribusi dan

nyaris sama sekali tidak menjalankan tanggung jawabnya terkait rancangan perda diskriminatif yang bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Sejauh ini, dalam menjalankan tugas pengawasannya, Depdagri telah mendorong pembatalan lebih dari 2.300 perda17 yang terkait pajak dan retribusi. Juga, satu pasal dalam Qanun Aceh No. 7/200618 tentang Perubahan Kedua atas Qanun No. 3/2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi NAD, yang dibatalkan dengan Peraturan Pre-siden No. 87/2006.Baru pada 2007, Depdagri untuk pertama kali menggunakan kewenangan-nya untuk mekewenangan-nyatakan ketidaksetujuankewenangan-nya atas sebuah rancangan perda (Ranperda) tentang bu-sana Muslim dan kegiatan di bulan Ramadhan oleh Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Pembatalan ini didasarkan pada prinsip bahwa urusan agama bukanlah kewenangan daerah. Pemerintah provinsi, dalam hal ini Biro Hukum Provinsi, sebagai kepanjangan pemerintah pusat, memainkan peranan penting dalam pengawasan Ranperda APBD, retribusi, pajak, tata ruang, dan juga terhadap perda-perda yang berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan. Hanya saja, keterbatasan landasan hukum terkait kewenangan Biro Hukum Provinsi dan di te-ngah dinamika politik yang kurang produktif akibat euforia otonomi daerah, aparat Biro Hukum Pemerintah Provinsi merasa tidak mampu berbuat apa-apa, seperti dikemukakan oleh salah satu Kepala Biro Hukum Provinsi:

“Yang berwenang membatalkan kan [pemerintah] pusat. Jadi, kita memberikan rekomendasi [ke pemda kabupaten]. Sepanjang rekomendasi itu tidak diindahkan, ya kita tentunya memberikan teguran, peringatanlah untuk segera menyesuaikan...karena perda yang dibuat oleh kabupaten harus diubah sendiri oleh kabupaten... Kita [juga] mengklarifikasi [kalau] ada beberapa perda yang disinyalir melanggar HAM...[tapi hasil klarifikasi] hanya sekadar anjuran... himbauan... untuk dilakukan revisi... Akan dilakukan atau tidak, itu tergantung dari daerahnya.”

Ketiadaan landasan hukum yang tegas tentang kewenangan pengawasan dari Biro Hukum Pemda Provinsi mencerminkan belum tertata baik relasi antarinstitusi secara vertikal dan juga horizontal di dalam praktik otonomi saat ini. Karena tidak ada kejelasan ini, sering kali pihak provinsi menjadi ragu untuk mengambil sikap terhadap persoalan yang ada di tingkat kabupa-ten. Hal ini antara lain tergambar dari pernyataan anggota DPRD provinsi:

“...Saya di tingkat provinsi, [dan] ini persoalan otonomi daerah... Saya tidak bisa berkomen-tar... [meskipun] saya memang tahu bahwa perda [bermasalah] itu ada.”

17 http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=47640, diakses, Kamis, 12 Maret 2009, 22:56 WIB

18 Pasal 33 ayat (2) huruf n dan Pasal 34 ayat (8) Qanun Aceh No. 7 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 2 tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mengatur “suami/isteri tidak sedang dalam menduduki jabatan publik dan politik di daerah yang bersangkutan" dan "Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota tidak dapat menjadi calon yang dipilih secara langsung dan tidak boleh mengundurkan diri dari Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota yang bertujuan untuk menjadi calon" bertentangan dengan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

98 | Atas Nama Otonomi Daerah

Ragu dalam mengambil sikap terhadap persoalan yang dimunculkan oleh kehadiran kebijakan daerah yang diskriminatif juga dirasakan aparat Biro Hukum Pemda Kabupaten. Kondisi ini muncul karena mereka merasa berada di dalam dilema antara kebutuhan mengelola asipirasi masyarakat dan mengawal konsistensi dengan peraturan yang lebih tinggi. Kondisi ini disam-paikan oleh aparat Biro Hukum salah satu kabupaten pemantauan sebagai berikut:

”Kita pahami juga ada beberapa hal yang tidak boleh dikelola di daerah, tidak boleh men-jadi urusan otonomi daerah. Salah satu di antaranya itu di bidang keagamaan. Itu tidak diserahkan ke daerah, tidak menjadi urusan otonomi daerah...tidak pernah diserahkan ke daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya…[tapi] wajib kita sebagai pemerintah meng-akomodir keinginan dari masyarakat. Padahal, itu pertentangan dengan UU Otonomi Daerah. Tapi, karena itu keinginan masyarakat, maka kita lakukan. Pemerintah hanya sebagai fasili-tator atau pelayan saja.”

Sikap ragu-ragu ini sebetulnya tidak perlu ada. Temuan pemantauan, sebagaimana telah diela-borasi pada bagian-bagian sebelumnya dari laporan ini menunjukkan bahwa selain bertentang-an dengbertentang-an perundbertentang-ang-undbertentang-angbertentang-an ybertentang-ang lebih tinggi, ada keberagambertentang-an pendapat di tubuh masya-rakat mengenai perlu-tidaknya aturan tentang agama. Keberagaman itu hidup bahkan di tengah komunitas-komunitas mayoritas itu sendiri, yang identitasnya dijadikan legitimasi oleh elit poli-tik untuk menerbitkan kebijakan daerah atas nama identitas masyarakat tersebut. Sesungguhnya kebijakan daerah serupa itu mengancam landasan negara-bangsa. Dengan dukungan proaktif dari Presiden, Departemen Dalam Negeri bersama dengan biro hukum pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten perlu mengambil kepemimpinan yang lebih tegas sebagai ujung tom-bak menjaga integritas hukum nasional dalam era otonomi daerah.

7.2. Kelumpuhan Departemen Hukum dan HAM

Dalam struktur organisasi dan kewenangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dep-hukham) memiliki fungsi pembinaan hukum nasional yang di dalamnya termasuk pembinaan kebijakan daerah. Dephukham menjalankan fungsi preventif lahirnya perdan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya dalam konteks penegakan HAM. Bagian khusus menjalankan fungsi tersebut adalah Direktorat Fasilitasi Penyusunan Per-aturan Daerah. Meskipun tidak memiliki kewenangan mengikat, peran Dephukham sangat di-butuhkan khususnya dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan daerah dalam menyu-sun sebuah kebijakan dan harmonisasi perundang-undangan dalam kerangka penegakan HAM. Seorang kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM di salah satu provinsi pemantauan menge-mukakan:

“Khusus harmonisasi HAM, memang belum dilakukan secara intensif dalam kaitannya Dephukham berupaya berkoordinasi dengan dinas, kabupaten/kota untuk menyelaraskan materi-materi perda tersebut dengan materi-materi HAM sehingga perda-perda tersebut diharapkan tidak mengurangi hak-hak perempuan... Mestinya himbauan atau surat edaran dari Mendagri itu sudah bisa dilakukan dan sifatnya koordinatif.

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 188.34/1586/SJ/2006 tentang Tertib Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah menyebutkan, agar pembentukan peraturan daerah sebelum disahkan dapat dikonsultasikan ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (Kanwil Hukham) Provinsi jika perda kabupaten, dan kepada Dephukham (pusat) untuk perda provinsi. Demikian juga Keputusan Presiden (Keppres) No. 49 tahun 2004 tentang Rancangan Aksi Na-sional Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang di dalamnya mengagendakan harmonisasi perun-dang-undangan dengan instrumen HAM. Keppres ini menegaskan pentingnya konsultasi da-lam pembentukan peraturan daerah dan kebijakan daerah lain.

Pemantauan Komnas Perempuan mencatat bahwa sebagai titik koordinasi harmonisasi HAM di daerah, Kanwil Hukham tidak mempunyai akses ataupun pengaruh yang berarti dalam pro-ses perumusan kebijakan daerah di tingkat kabupaten/kota. Penyebabnya antara lain adalah lan-dasan hukum yang ada hanya memberikan kewenangan yang bersifat konsultatif dan itu pun tidak wajib dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai prasyarat perumusan perda. Akibatnya, Kanwil Hukham sulit untuk memainkan peran yang lebih kuat dalam memastikan agenda penegakan HAM. Tak berbeda dengan publik, praktik demokrasi prosedural juga menyebabkan keterlibatan Kanwil Hukham dalam proses perumusan perda menjadi sebatas simbolik. Salah seorang ke-pala Subbidang Pengembangan Hukum Kanwil Hukham di tingkat provinsi berkomentar:

“Berbeda dengan di pusat yang punya Peraturan Presiden No. 61 tahun 2005 [tentang Tata cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional], di daerah tidak punya cantolan [landasan] hukum untuk memastikan kerja sama badan hukum dan kanwil... Dari awal, kami bisa memberikan masukan, jika diundang oleh DPRD, untuk masuk dalam pembahasan naskah akademis. Tapi, sering kali undangannya mendadak... Padahal, dalam kondisi kapa-sitas legal drafting yang terbatas, DPRD bisa gunakan kami. Saat ini sudah ada delapan orang di Kanwil Yogyakarta yang telah mengikuti pelatihan Suncang, susun rancang legislasi, atau

legal drafter. Tidak perlu bayar, karena memang sudah tugasnya kami... Jika sudah jadi perda

dan bermasalah, biasanya akan ada undangan dari Biro Hukum Pemda untuk mendiskusi-kan poin-poin klarifikasi. Sayangnya, keberlanjutannya sulit karena tim yang membahasnya sering berganti orang.”

Pernyataan senada, tentang hambatan harmonisasi HAM, dikemukakan oleh semua narasum-ber yang mewakili Kanwil Hukham yang ditemui dalam pemantauan ini. Panitia RANHAM yang ada di daerah, yang diproyeksikan mampu menjadi kekuatan preventif penerbitan kebi-jakan daerah yang diskriminatif, juga belum dapat memainkan peran yang lebih aktif. Anggota dari panitia RANHAM berasal dari unsur pimpinan daerah, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat perlu menyosialisasikan dengan lebih luas pemahaman HAM dan dapat menanggapi dengan cepat bila di daerah tersebut muncul persoalan-persoalan terkait HAM, ter-masuk dalam program legislasi daerah. Keberadaan panitia RANHAM dapat menjadi peluang untuk menguatkan posisi Kanwil Hukham dalam memainkan peran kunci harmonisasi HAM. Menurut Kepala Kanwil Hukham di salah satu provinsi pemantauan, potensi panitia RANHAM belum tergali, bahkan cenderung “berjalan sendiri-sendiri”. Menurutnya:

100 | Atas Nama Otonomi Daerah

“Itulah, kita tidak ada landasan hukum untuk bisa menuntut hak kita untuk dilibatkan. Jadi, kita berjalan sendiri-sendiri saja. Kita sekarang ini berkoordinasi lewat level bawah. Tidak pakai aturan biasa, tergantung pada pendekatan kita dengan biro hukum. Dalam sosialisasi masalah HAM itu, kita berusaha bagaimana tidak tumpang tindih dalam hal sosialisasi ke-pada masyarakat. Juga dalam diseminasi dan pendidikan HAM, karena juga ada peraturan itu di pemerintah daerah.”

Wacana adanya kebijakan-kebijakan daerah yang melanggar HAM dan juga mandat untuk melakukan harmonisasi HAM mendorong Kanwil Hukham untuk mengambil langkah yang lebih proaktif. Seluruh narasumber dari Kanwil Hukham di semua daerah pemantauan mengung-kapkan bahwa saat ini mereka sedang mengumpulkan perda yang telah diterbitkan oleh ma-sing-masing kabupaten di dalam provinsi tersebut untuk kemudian dikaji dan dikoordinasikan bersama dalam skala nasional. Inisiatif ini dapat mengantarkan Kanwil Hukham pada peran yang lebih mantap untuk memastikan terpenuhinya jaminan konstitusional atas hak asasi ma-nusia melalui kebijakan-kebijakan daerah. Kepala Bidang Hukum Kanwil Hukham di salah satu provinsi pemantauan menceritakan sekilas temuan yang mereka dapatkan dari inisiatif tersebut:

“Tahun 2008 [kami] mengumpulkan perda-perda berkaitan dengan HAM... Dari 26 kabu-paten/kota, tidak semuanya mempunyai perda berkaitan dengan masalah wanita... Pokoknya mungkin yang rawan-rawan... Kayaknya [sepertinya] perda itu harus dikaji lagi ya apakah me-mang bertentangan dengan produk perundangan di atasnya, atau yang sekarang lagi kita pantau itu bertentangan dengan HAM... Ternyata setelah kita kumpul-kumpul, banyak sekali perda-perda yang bertentangan [dengan HAM, padahal] kemarin baru satu kali mengadakan analisis perda. Ada satu perda di kabupaten yang [seperti perda di] Acehlah...karena sosi-alisasinya kurang di masyarakat, jadi adem ayem aja. Padahal itu perda kalau dibaca oleh non-Islam pasti ngamuk. Masa’ semua diarahkan ke yang non-Islam saja. Padahal di kabupaten itu ada yang non-Islam juga.”

7.3. Kebelummampuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional hakikatnya adalah memerintahkan seluruh menteri, kepala lembaga pemerintahan nondepartemen, pimpinan kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi negara, kepala kepolisian RI, jaksa agung, gubernur, bupati/walikota untuk memastikan perspektif keadilan Gender terinte-grasi dalam pembangunan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing. Instruksi ini mengandung perintah perlunya upaya sistematis dalam memastikan akomodasi perspektif dan analisis Gender, termasuk dan yang utama adalah jaminan hak-hak konstitusional perempuan dalam pembentukan kebijakan

Dokumen terkait