PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA
B. Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan Undang Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi
Legislatif mencerminkan suatu fungsi, yaitu legislate, atau membuat
Undang-Undang.37
Pengaturan dalam UUD 1945 sebelum amademen menegaskan bahwa
kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan Presiden. Hal ini diatur pada Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, yang menentukan sebagai berikut: “ Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Tetapi dalam pasal 21 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amademen, juga menentukan bahwa “Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dari ketentuan dua pasal ini, jelas terlihat bahwa kekuasaan membentuk undang-undang jelas berada di tangan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat hanya pada batas memberikan persetujuan. Namun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan undang-undang pada Presiden.
Badan tersebut mengutamakan unsur “berkumpul” untuk membicarakan masalah-masalah publik dan merundingkan, mengutamakan keterwakilan anggota-anggotanya. Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan tersebut, baik yang bersifat kebijakan maupun Undang-Undang yang mengikat seluruh masyarakat
38
Perubahan pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI
yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai tanggal 19 Oktober 1999.
37
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2009, hlm 315. 38
22
Pengesahan naskah Perubahan Pertama tepatnya dilakukan pada tanggal 19
Oktober 1999. Pasca amandemen yang pertama, UUD 1945 terjadi perubahan
pada fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum amandemen pada UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi yang lemah dalam proses pembentukan Undang-Undang.
Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat terkait dengan fungsi legislasi
tercantum dalam Pasal 20 Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) UUD 1945 yaitu: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang; (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pada Pasal 20A Ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan
membentuk undang-undang.39
Pasca Amandemen ketiga lahirlah lembaga baru yang bernama DPD.
Kewenangan DPD dimuat dalam Pasal 22D UUD 1945 dimana DPD mempunyai fungsi, tugas dan kewenangan dalam bidang legislasi, namun cakupan bidang legislasi dari DPD sebatas hanya yang berkaitan dengan daerah. Membaca dari
39
23
Pasal 22D UUD 1945, lembaga Perwakilan Rakyat pasca amandemen bukan merupakan lembaga perwakilan bikameral.40
Melihat kewenangan dalam Pasal 22D UUD 1945 ditambah dengan
sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian bahwa menurut peneliti dari Australian National University bahwa DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi tinggi.41
Dengan kehadiran DPD dalam sistem perwakilan Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat dapat dukungan dan diperkuat oleh DPD. DPD ini merupakan lembaga perwakilan penyalur aspirasi rakyat berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumner daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.42
DPD juga sebagai kekuatan politik penyeimbang Dewan Perwakilan
Rakyat di bidang legislatif. Keberadaan DPD di bidang legislatif sendiri sudah mempunyai arti penting. Walaupun perannya sebagai kekuatan politik penyeimbang, peran ini tetap bisa dilakukan secara politik. Misalnya saja dengan mengeluarkan keputusan-keputusan politik yang merespon kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat yang terkait dengan isu DPD.
40
Sardi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi. Jakarta. Rajawali Pers, 2013, Hlm. 254. 41
Ibid, 42
24
Kenyataannya DPD sama sekali tidak diberi kewenangan di bidang legislasi, dapat dikatakan DPD sebagai pemberi saran atau pertimbangan43. Fungsi legislasi DPD sangat lemah dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. DPD hanya diberikan kewenangan dalam bidang legislasi terkait dengan hal-hal yang bersifat kedaerahan, dan hanya sebatas bisa mengajukan dan ikut membahas namun tidak ikut pada saat pengambilan keputusan akhir dalam pembicaraan tingkat II. Kehadiran DPD tidak lain adalah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah. Posisi DPD dalam proses legislasi Rancangan Undang- Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai sebatas berpartisipasi dalam tahapan pengajuan rancangan undang-undang dan memberikan masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak ada unsur keharusan dalam partisipasi atau pemberian masukan dan pengajuan sebuah Rancangan Undang-Undang oleh DPD kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setiap rancangan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan DPD terlebih dahulu harus dimasukkan dalam program negislasi Nasional. Sebab pembentukan program legislasi nasional merupakan perintah Pasal 16 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, dimana perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.44
Hubungan Dewan Perakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah di
bidang legislasi dalam sistem ketatanegaraan di Republik Indonesia dari sisi
43
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press. Jakarta. 2005. Hlm 150.
44
Adika Akbarrudin, 2013, “Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR RI dan DPD RI Pasca Amandemen UUD 1945”, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Volume 8 Nomor 1. Hlm 55.
25
yuridis dapat kita lihat dalam pengaturan UUD 1945. Seiring dengan perjalanan perubahan UUD 1945 eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat semakin kuat dalam sistem katatanegaraan Republik Indonesia dan dalam bidang legislasi, ini dapat dilihat dari perubahan Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang ketentuan Dewan Perwakilan Rakyat.45
UUD Negara RI Tahun 1945 pasca amandemen menyebutkan bahwa
kekuasaan membentuk Undang-Undang sudah berada ditangan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden hanya diberikan hak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengaturan semacam ini dapat dilhat dalam Pasal 20 Ayat (1) seperti ditegaskan seagai berikut : “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang “. Sedangkan pasal 5 Ayat (1) juga dijelaskan “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang- Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan pada ketentuan Pasal ini, jelas tergambar bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang- undang yang semula berada ditangan Presiden beralih kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian amademen UUD Negara RI Tahun 1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.46
Perubahan ini berakibat terhadap penguatan dominasi Dewan Perwakilan
Rakyat dalam proses legislasi setelah amademen Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, seperti ditegaskan Pasal 20 Ayat (1) Namun, kekuasaan Presiden
45
Ibid, 46
26
dalam pembentukan undang- undang dibatasi. Presiden hanya diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 Ayat (1)) Disamping itu penguatan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan undang-undang, juga terlihat dengan adanya pasal tersendiri mengenai fungsi Dewan Perwakilan Rakyat dalam UUD 1945 Pasca
Amandemen.47
Dalam hal Pengundangan Undang-Undang yang tidak disahkan oleh
Presiden. Jika Rancangan Undang-Undang tidak disahkan oleh Presiden, dalam tenggang waktu 30 hari setelah mendapat persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi suatu Undang-Undang dan wajib diundangkan.48 Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20 Ayat (5) dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama, apabila tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak Rancangan Undang-Undang disetujui maka Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang- Undang.49
Pengaturan kewengan legislasi daerah pada UUD 1945 diatur lebih lanjut
pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dimana Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang pertama yang mengatur kedudukan DPD, karena Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur tentang kedudukan Majelis
47
Ibid,.
48
Sardi Isra, Op. Cit., Hal. 230. 49
27
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999.
Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 memiliki
beberapa kelemahan dalam aturan mengenai kedudukan fungsi legislasi DPD, yaitu pasal 41 huruf a yang berbunyi “pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu”. Frasa “pengajuan usul” dalam pasal 41 huruf a Undang-Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 menjadikan implikasi hukum yang berbeda dalam kedudukan fungsi legislasi DPD. Kata usul bisa diartikan bahwa usul Rancangan Undang-Undang dari DPD masih perlu dilakukan serangkaian proses atau mekanisme dalam internal lembaga Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadikannya sebagai Rancangan Undang-Undang. Selain itu dalam Pasal 43 ayat (2) yang berbunyi “DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR”. Menjelaskan bahwa DPD hanya ikut pembahasan hanya sampai tingkat I.50
Menurut Saldi Isra bahwa sejumlah kalangan berpendapat Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2003 telah membonsai peran DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang. Dan ini pelemahan-pelemahan yang ada pada
50
28
DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dimuat dalam tabel berikut, yakni51 :
Tabel 1. pelemahan-pelemahan yang ada pada DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003.
Nomor Aturan Kelemahan
1 Pasal 41
DPD mempunyai fungsi:
a. mengajukan Usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengna bidang legislasi tertentu;
b. Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.
Dewan Perwakilan Daerah dianggap hanya “ikut” dalam pembahasan dan tidak ikut memutuskan
2 Pasal 42 Ayat (1)
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
Kata “dapat” membuat Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif, Dewan Perwakilan Daerah tidak menjadi salah satu institusi yang mengajukan Rancangan Undang-Undang. Ayat selanjutnya dalam pasal ini membuat wewenang Dewan Perwakilan Daerah semakin kecil
51
29
3 Pasal 42 Ayat (2)
Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksuda pada Ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Dewan Perwakilan Daerah untuk membahas sesuai tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Ketentuan ini memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan kapan Dewan Perwakilan Daerah bisa diundang dan menentukan lebih jauh relasi antara Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah di dalam peraturan internah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
4 Pasal 42 Ayat (3)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan sebelum Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang dimaksud pada Ayat (1) dengan Pemerintah
Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah karena Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat diundang sebelum pembahasan Rancangan Undang-Undang
yang sesungguhnya dimulai.
5 Pasal 43 Ayat (1)
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya
Kata ikut memebahas Rancangan Undang-Undang membuat Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif
30
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dilakukan baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat maupun oleh Pemerintah
6 Pasal 43 Ayat (2)
Dewan Perwakilan Daerah diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan pada Ayat (1) bersama dengan Pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah karena Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat diundang sebelum pembahasan Rancangan Undang-Undang
yang sesungguhnya dimulai. Ketentuan ini juga memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan lebih jauh relasi antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah dengan memuatnya di dalam peraturan internal Dewan Perwakilan Rakyat.
7 Pasal 43 Ayat (3)
Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah, dan
Ketentuan ini merupakan elaborasi jauh dari ayat sebelumnya (di atas) sehingga semakin
31
Pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat Dewan Perwakilan Daerah atas Rancangan Undang-Undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga
mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah
8 Pasal 43 Ayat (4)
Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksudkan pada Ayat (3) dijadikan sebgai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah
Ketentuan ini merupakan elaborasi lebih jauh dari ayat sebelumnya sehingga semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah Sumber : Buku Pergeseran Fungsi Legislasi Oleh Saldi Isra
Dalam rezim yang sama dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003,
yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak terlalu membahas mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan menyangkut DPD secara terperinci. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 masih tidak memberi kejelasan terhadap peran dari DPD, karena banyak celah-celah kosong yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengatakan bahwa Prolegnas hanya disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat bidang legislasi. Pasal tersebut jelas tidak ada kata “Dewan Perwakilan Daerah” dalam pembuatan
32
Prolegnas. Artinya walaupun prolegnas yang berhubungan dengan kewenangan DPD, lembaga ini tetap tidak dapat menyusun prolegnas.52
Menjawab berbagai persoalan tersebut, maka lahirlah Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sekaligus menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan lahir juga Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (P3) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 . Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, isi dalam Undang-Undang ini memuat tentang partisipasi DPD dalam proses legislasi, yaitu seperti pada pasal 146 ayat (1) menyatakan bahwa: “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/ atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.53
Menurut Saldi Isra, seharusnya untuk fungsi legislasi yang terkait dengan kewenangan DPD, pengaturannya bersifat Inter-chamber dan merupakan muatan peraturan di tingkat Undang-Undang. artinya seharusnya bahwa tata tertib yang terkait dengan fungsi kedua kamar tersebut dibuat bersama-sama oleh kedua lembaga legislatif tersebut. sehingga memungkinkan untuk menutup celah kewenangan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang organiknya serta memaksimalkan koordinasi kedua lembaga tersebut.54
52
Akhmad Haris Supriyanto, “Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Menuju Sistem Ketatanegaraan Demokratis” Artikel Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2014, Hal.6. 53
Ibid, 54
1
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi
arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut. Pengertian terhadap konstitusi dapat kita bagi dalam dua pengertian, yaitu pengertian yang lama ancien regime (masa pemerintahan - pemerintahan kuno) dan pengertian yang baru yaitu konstitusi menurut tafsiran modern.2
Menurut pengertian lama, konstitusi diartikan sebagai nama bagi
ketentuan-ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari orang-orang tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, ataupun badan- badan tertentu seperti masa-masa pemerintahan kerajaan absolut (monarki). Sedangkan pengertian yang baru dimulai pada tahun 1776 dengan lahirnya Virginia Bill of Rights, dan tahun 1776 tersebut merupakan tahun penting dalam sejarah negara-negara dan ketatanegaraan dunia, karena tahun itulah merupakan pangkal lahirnya pengertian konstitusi menurut bentuk dan jiwanya yang baru Virginia Bill of Rights dan kemudian disusul oleh konstitusi Amerika Serikat pada tanggal 17 September 1787.
3
Dalam perkembangan ilmu tentang konstitusi, lahir teori-teori tentang
konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman tentang pengertian paham “konstitualisme” yang memiliki arti “pembatas terhadap
2
Solly Lubis, Hukum Tata Negara : Mandar Maju, Bandung, 2008. hal 29. 3
2
kekuasaan penguasa oleh aturan hukum agar pemerintah tidak sewenang- wenang”. Lalu lahirlah istilah pembatasan kekuasaan yang dimaknai bahwa kekuasaan negara sebagai masyarakat politik berada di bawah supremasi hukum dan konstitusi memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.4
Teori Klasik mengenal pemisahan kekuasaan (separation of power)
dikenal dengan nama “Trias Politika” dari Montesquieu yang merupakan seorang filsuf Perancis. Nama atau Istilah “Trias Politika” itu diberikan oleh Imanuel Kant yang merupakan filsuf Jerman. Inti dari teori “Trias Politika” adalah menjelaskan bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga komponen kekuasaan, yaitu: Kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif, dan kekuasaan Yudisial.
5
Pemisahan kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya negara absolut dan untuk melindungi hak-hak warga negara, karena menurut Montesquieu apabila ketiga kekuasaan tersebut berada di satu tangan maka kebebasan akan berakhir.6
Dalam konstitusi Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 19457
4
I dewa Gede Atmadja. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum. Setara Press. Malang. 2015. Hal 1.
dapat dikatakan bahwa teori pembagian kekuasaan di dalam UUD 1945 tidak menganut teori “Trias Politika”. Hal ini terlihat dari pembagian kekuasaan yang ada pada UUD 1945, yakni adanya “check and balances” antara lembaga negara yang mendapat mandat langsung
5
Jimlly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. 2006. Hlm 7.
6
Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 95. 7
Penulisan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seterusnya dalam skripsi ini menjadi UUD 1945.
3
melalui pemilihan umum, yaitu Badan Legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan ditambah juga dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang masing-masing menjalankan kekuasaan kehakiman sesuai dengan kewenangannya, dimana kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A dan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.8
Lembaga Negara menurut UUD 1945 hasil amandemen juga dilengkapi
dengan lembaga negara yang mendukung terwujudnya negara hukum yang demokratis, seperti Komsi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Keuangan dan Bank Indonesia (Bank Sentral) dan Komisi mandiri lainnya. Dengan terwujudnya negara hukum maka kekuasaan negara akan terikat pada
hukum9 dan dengan asas negara hukum maka setiap aktivitas negara harus
berdasarkan norma hukum yang berlaku termasuk dalam pembentukan suatu
Lembaga Negara.10
Pada Badan Legislatif, penataan kelembagaan negara melalui amandemen
konstitusi ketiga yang kemudian akhirnya melahirkan Dewan Perwakilan Daerah11
8
Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 96.
, hal ini tidak serta merta muncul jatuh dari langit atau lahir sendirinya. Hal ini merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UUD 1945 merupakan produk sosiologi politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari
9
Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi, Jakarta. Permata Aksara. 2013. Hlm 128.
10
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Malang. Setara Press. 2012. Hlm 168. 11
4
tuntutan reformasi 1998. DPD memiliki fungsi yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat, DPD diatur dalam Bab VII A UUD 1945. Tentang pemilihan DPD diatur pada Pasal 22C UUD 1945 dan kewenangan DPD diatur pada pasal
22D UUD 1945.12
Wewenang dalam hukum tata negara dapat dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum13 dan wewenang untuk mengatur dan membuat aturan pada
dasarnya domain kewenangan lembaga legislatif.14
Pasal 22D Ayat (1)
Dalam UUD 1945, kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan terkait urusan daerah dimiliki oleh DPD dan diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, yaitu:
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal 22D Ayat (2)
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
12
Ginandjar Kartasasmita. DPD Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia. 2009. Hal 71.
13
Victor Imanuel W. Nalle, Konsep Uji Materil, Malang, Setara Press. 2013. Hlm 21.
14
5 Pasal 22D Ayat (3)
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Tugas-tugas dan wewenang konstitusional DPD sebagai perwakilan rakyat
berorientasi kepada kepentingan-kepentingan di wilayah atau daerah. Hal ini