• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. Dalam Eksepsi

1. Kewenangan Mahkamah Konsitusi

Bahwa menurut Termohon, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil penghitungan perolehan suara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua Tahun 2020 yang diajukan oleh Pemohon. Adapun hal tersebut dapat Termohon uraikan dengan alasan sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mendalilkan pasal-pasal sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 C Ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Dasar 1945; Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang Menjadi Undang-Undang; Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang kesemuanya menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

b. Bahwa kemudian dalam permohonannya, Pemohon tidak membahas tentang perselisihan hasil pemilihan umum, akan tetapi keberatan atas Surat yang ditandatangani Konsul Jendral Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tanggal 1 Februari 2021, sehingga dalil-dalil permohonan Pemohon tersebut diatas tidak berkesinambungan dengan dalil berikutnya pada bagian I tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi huruf l yang menyatakan sebagai berikut:

“... Mahkamah Konstitusi dipandang perlu dalam fungsinya sebagai the positive legislator untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk memecahkan kebuntuan hukum dan untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan substantive (materiil) bagi Pemohon dan bagi tegaknya

konstitusi, hukum dan moral, sekaligus untuk memberikan solusi bagi kelanjutan sistem dan roda pemerintahan di Kabupaten Sabu Raijua.”

c. Bahwa dalil Pemohon tersebut adalah dalil yang tidak berdasar dan perlu dikesampingkan, sebagaimana dijelaskan Termohon dalam keseluruhan Jawaban Permohonan ini, yang menguraikan proses tahapan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilihan dengan asas kehati-hatian dan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga adanya Surat yang ditandatangani Konsul Jendral Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tanggal 1 Februari 2021 merupakan surat yang perlu diperbandingkan keabsahannya dengan Surat Klarifikasi serta surat-surat yang diterbitkan dari Instansi pemerintah yang berwenang lainnya.

d. Bahwa Pasal 57 Ayat (1), (2), dan (2a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagai berikut:

“(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/m,atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(2a) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:

a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);

b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan

c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

e. Bahwa dalil Pemohon yang memohon Mahkamah Konstitusi untuk menjadi the positive legislator adalah tidak tepat dan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun jika quad non Mahkamah dibutuhkan

kehadirannya untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvinding), maka isu hukum yang menjadi dasar haruslah dapat dibuktikan secara sah dan benar.

f. Bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang telah dikualifikasikan bentuk pelanggaran, sengketa dan perselisihan beserta dengan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya, yaitu:

Bentuk Pelanggaran Kompetensi Lembaga Pelanggaran Administrasi Pemilihan yang

Bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif

1. Bawaslu

2. Mahkamah Agung

Pelanggaran Kode Etik 1. DKPP

Pelanggaran Administrasi 1. KPU 2. Bawaslu

Sengketa Pemilihan 1. Bawaslu

Pelanggaran Pidana Perselisihan Hasil Pemilihan 1. Mahkamah Konstitusi

g. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada tahun 2017 Nomor 45/PHP.GUB-XV/2017, sudah sangat jelas dan nyata kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak boleh bertentangan atau mengambil alih kewenangan dari lembaga/institusi yang memiliki kewenangan dalam pelanggaran atau sengketa administrasi;

h. Bahwa Pemohon mendalilkan pada huruf j yakni persoalan cacat formil ini sudah tidak bisa diselesaikan oleh Bawaslu karena telah lewat waktunya (daluarsa), maka tentunya Pemohon juga mengetahui jika permohonannya kepada Mahkamah Konstitusi juga telah lewat waktu dan tidak ada alasan Pemohon dalam permohonannya yang dapat membenarkan keterlambatannya untuk dapat ditoleransi oleh Mahkamah Konstitusi.

Sehingga dalil-dalil permohonan yang disampaikan Pemohon pada

pokoknya bukan menjadi ranah serta kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

i. Bahwa dalam permohonan Pemohon beserta perbaikannya tidak ada satupun dalil keberatan ataupun uraian yang jelas dan tegas mengenai perselisihan hasil pemilihan yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih yang ditetapkan oleh Termohon. Oleh karenanya objek dalam permohonan Pemohon tidak memenuhi objek dalam perkara perselisihan hasil pemilihan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon.

Bahwa berdasarkan fakta hukum diatas, Termohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil penghitungan perolehan suara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2020 dalam perkara Nomor: 135/PHP.BUP-XIX/2021.