• Tidak ada hasil yang ditemukan

NO BUKTI JENIS BUKTI

1.1 Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi bukan ”keranjang sampah” demikian pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 07 Januari 2014 lalu, sehingga terdapat batasaan-batasan yang ditentukan peraturan perundang-undangan untuk menggelar persidangan Perselisihan Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah: 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678);

2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, menurut Pihak Terkait Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara Perselisihan Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Keerom Provinsi Papua tahun 2015 yang diajukan oleh Pemohon dengan alasan:

1) Bahwa perkara yang diajukan oleh Pemohon tidak termasuk perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) jo. Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678), lihat pula Pengakuan/Keterangan Pemohon dalam Permohonan angka 4.1 huruf c dan d, serta angka 4.2 huruf a.

Mohon Pengakuan/Keterangan Pemohon dalam Permohonan dicatat sebagai hukum yang menguatkan pembuktian Pihak Terkait dan Termohon.

2) Bahwa perkara yang diajukan oleh Pemohon termasuk perkara proses penyelenggaraan pemilihan oleh penyelenggara pemilihan yang tidak terkait dengan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati sebagaimana dikehendaki Undang-undang, sehingga Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara ini, karena masuk dalam yurisdiksi kewenangan lembaga lain, dalam hal ini adalah Lembaga DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum), terhadap Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Yurisdiksi kewenangan Lembaga KPU terhadap Pelanggaran

Administrasi, Yurisdiksi kewenangan Lembaga Bawaslu & Panwaslu Kab. Keerom untuk Laporan Penyelesaian Sengketa, Yurisdiksi kewenangan Lembaga Polri untuk Tindak Pidana Pemilihan, dan Yurisdiksi kewenangan Lembaga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk Sengketa Tata Usaha Negara ; vide Bab XX Pasal 136-155 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678), dan Pengakuan/Keterangan Pemohon dalam Permohonan angka 4.1 huruf e dan angka 4.2 huruf c).

Mohon Pengakuan/Keterangan Pemohon dalam Permohonan dicatat sebagai hukum yang menguatkan pembuktian Pihak Terkait dan Termohon.

3) Bahwa perkara yang diajukan oleh Pemohon tidak memenuhi persyaratan Pasal 156 ayat (2) jo. Pasal 158 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678), yang menyebutkan, “Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta

Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan

suara oleh KPU Kabupaten/Kota.” (vide Pasal 6 ayat (2) huruf a,

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota).

Dalam Pengakuan/Keterangan Pemohon dalam Permohonan angka 4.1 huruf c dan d, disebutkan bahwa selisih antara Pemohon dengan Pihak Terkait adalah lebih dari 2% (dua persen), lihat pula Tabel 1 dalam Permohonan angka 4.2 huruf a, Pemohon hanya memperoleh suara 11.128 (sebelas ribu seratus dua puluh delapan) suara sah, sedangkan Pihak Terkait memperoleh 13.248 (tiga belas ribu dua ratus empat puluh delapan) suara sah, sehingga terdapat selisih 2.120 (dua ribu seratus dua puluh) suara sah atau terdapat selisih 16% (enam belas persen). Sangat jauh dan/atau melebihi dari ketentuan 2% (dua persen).

Bahwa dengan memperhatikan syarat prosentase perolehan suara pasangan calon, jumlah perolehan suara Pihak Terkait adalah 13.248 suara, sedangkan Pemohon adalah 11.128 suara, dengan demikian syarat batas maksimal Pemohon untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi adalah : 2% x 13.248 suara = 264,96 (dibulatkan menjadi 265 suara), sementara selisih perolehan suara antara pihak Pemohon dan Pihak Terkait adalah : 13.248 – 11.124 = 2.120 suara,

dengan demikian selisih perolehan suara antara Pemohon dengan Pihak Terkait adalah sebesar 2.120 (dua ribu seratus dua puluh) suara atau setara dengan 16% (enam belas persen), sehingga permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat maksimal selisih suara sebagaimana ditentukan dalam PMK Nomor 5 Tahun 2015 pasal 6 ayat (3) yaitu untuk dapat memenuhi syarat mengajukan permohonan seharusnya selisih suara sebesar 265 suara atau sama dengan (2%) untuk bisa mengajukan permohonan.

Bahwa dengan demikian, meskipun Pemohon adalah Pasangan Calon No Urut 2 dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Keerom Tahun 2015, namun permohonan Pemohon tersebut tidak memenuhi ambang batas syarat selisih perolehan suara antara Pemohon dengan Pihak Terkait, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan perselisihan perolehan suara hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Keerom. Sehingga kosekwensi yuridisnya keberatan permohonan pemohon haruslah ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima.

4) Bahwa objek permohonan Pemohon, tidak memenuhi kualifikasi Objek sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang menyatakan bahwa objek permohonan pemohon harus mempengaruhi terpilihnya Pemohon, sebagai pasangan yang memperoleh suara terbanyak.

Bahwa berdasarkan pengakuan Pemohoan dalam posita permohonan dengan tegas Pemohon menyatakan ada selisih 2.120 (dua ribu seratus dua puluh) suara atau terdapat selisih 16% (enambelas persen) antara Pemohon dengan Pihak Terkait, yang jika dikaitkan dengan daftar bukti dan penghitungan-penghitungan yang diajukan Pemohon dalam permohonannya, selisih suara tersebut tidak

mempengaruhi terpilihnya Pihak Terkait sebagai pasangan yang memperoleh suara terbanyak, sehingga Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.

5) Berdasarkan uraian di atas, mengutip pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Konstitusi bukan “keranjang sampah”, dengan ini, mohon Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini dalam putusan sela.

Dokumen terkait