• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS ....................................................................... 17-38

2. Keyakinan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana menurut Teori

Sistem pembuktian conviction-in time, menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.

Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa

semata-8

mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim.

Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.

b.Conviction-Raisonee

Sistem ini pun dapat dikatakan, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada system conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”.

Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu in terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif.

Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hat itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie). Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana tehadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Di dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara pidana, menurut Lilik Mulyadi KUHP di Indonesia menganut sitem pembuktian menurut undang secara negatif. Di dalam sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ( negatief wettelijke bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap. Jadi dalam menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam KUHAP pasal 183 “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurng-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yangbersalah melakukannya”. c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif(Positief Wettelijke Stelsel)

Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Terpenuhinya syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan

kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.

Menurut D. Simons, pada hakikatnya, sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie) iniberusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.Pemeriksaan perkara oleh hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai

pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.Sistem ini, disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).

Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Stelsel) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan

sistempembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.24 Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.s Sistem ini, memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut, misalnya, ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.

Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, akan tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti inipun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus “saling mendukung”.

Wirjono Projodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun

keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.9

Dokumen terkait