• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

C. Parasetamol

2. Kimia

HO N H

COCH3

Gambar 4. Struktur parasetamol (Anonim, 1995)

Asetaminofen atau parasetamol ( C6H8O9 ) memiliki struktur seperti pada gambar 4. Nama kimia dari Parasetamol N-asetil-p-aminofenol atau 4-hidroksiasetanilid atau 4-asetamidofenol. Parasetamol adalah senyawa sintetik berupa serbuk kristal warna putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

Karakteristik fisikokimia dari parasetamol: Berat molekul : 151,2

Titik lebur : 168oC - 172oC Tetapan disosiasi (pKa) : 9,5 (25oC)

Kelarutan : 1 g dalam 7 ml etanol; 1 g dalam 70 ml air;

1 g dalam 20 ml air panas;1 g dalam 50 ml kloroform

3. Farmakokinetika

Absorpsi. Parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna pada saluran cerna pada pemberian secara oral. Kadarnya di dalam plasma mencapai puncaknya (Cpmaks) dalam waktu 30 sampai 120 menit (Lacy, Armstrong, Goldman & Lance, 2003). Mekanisme absorpsi parasetamol berlangsung secara transpor pasif pada seluruh bagian saluran cerna terutama usus halus (Bagnall, Kelleher, Walker & Losowaky, 1979). Pada manusia dewasa sehat, kira-kira 80% dosis dapat ditemukan kembali dalam urin dalam 24 jam (Clements, Chritchley & Prescott., 1974). Karena absorpsinya di usus halus maka segala hal yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung dapat pula mempengaruhi keefektifan absorpsi dari parasetamol (Whitehouse, 1981).

Pemberian parasetamol bersama dengan N-asetil-sistein atau bersama propanthelin dimana keduanya menghambat pengosongan lambung, menyebabkan penurunan pada kadar puncak parasetamol (Gibaldi, 1984; Notari, 1980; Stockley, 1994; Whitehouse, 1981). Makanan dapat pula mengurangi laju absorpsi parasetamol namun tidak berpengaruh terhadap jumlahnya (Gibaldi, 1984). Hal tersebut dibuktikan dengan laporan bahwa pemberian 1 g parasetamol setelah makan makanan berkarbohidrat tinggi pada subyek (manusia), absorpsinya lima kali lebih lambat dibanding pada subyek yang puasa terlebih dahulu, sedangkan untuk jumlahnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan (Mc.Gilveray & Mattock, 1972). Faktor lain seperti

usia, dosis dan keasaman lambung nampaknya tidak mempengaruhi keefektifan absorpsi. Terbukti dengan harga f dari 500 mg parasetamol pada manula (±76th) tidak berbeda bermakna dibandingkan subyek dewasa (± 24th) (Fulton, James & Rawlins, 1979), juga harga fa pada manusia sehat dengan dosis 5 dan 20 mg/kgBB (Clements, 1982). Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan pengosongan lambung, keaktifan serta daya tampung enzim saluran cerna (glukoronil transferase atau sulfotransferase) merupakan faktor fisiologi penting bagi keefektifan absorpsi parasetamol. Faktor keasaman lambung maupun usus juga tidak berperan dalam mengubah keefektifan absorpsi seperti halnya ditemukan pada penderita aklorhidria (Pottage, Nimmo & Prescott, 1974), hal ini dapat dijelaskan dengan melihat bahwa parasetamol merupakan senyawa asam yang sangat lemah dengan pKa 9,5 sehingga berapapun besarnya harga pH medium tidak terlalu mempengaruhi fraksi tak terion dari parasetamol (dihitung dengan persamaan Handerson-Hasselbach). Jadi dapat diartikan bahwa tahap pembatas laju absorpsi parasetamol bukan keasaman lambung atau usus melainkan kecepatan pengosongan lambung, gerakan usus dan daya tampung dan keaktifan enzim.

a. Distribusi. Volume distribusi parasetamol kurang lebih 0,9 l/kg (AMA, 1994; Katzung, 2001) hal ini mengambarkan luasnya daerah distribusi dari parasetamol. Selain luas distribusinya juga berlangsung relatif cepat. Pada menit ke-30 dan menit ke-120 setelah pemberian pada hamster, kadar parasetamol dalam bebas dalam darah, limpa, otot, dan otak lebih rendah dibandingkan pada ginjal dan hati (Wong, Solmonary & Thomas cit Donatus

1994). Hal tersebut disebabkan lemahnya ikatannya dengan parasetamol-protein plasma ditunjukkan dengan jumlahnya yang tidak signifikan, kurang lebih hanya 0-15% saja sehingga dapat diperkirakan parasetamol tidak rentan terhadap interaksi pendesakan. Kelipofilan dan lemahnya keasaman parasetamol juga memudahkannya melintasi sawar lipid (Donatus, 1994; Dollery, 1991; Katzung, 2001).

b. Eliminasi. Parasetamol mengalami metabolisme menjadi bentuk metabolit yang tidak aktif, sebelum diekskresikan melalui urin. Kurang lebih hanya 3% parasetamol yang diekskresi dalam bentuk parasetmol utuh (Gibson&Skett, 1991; Katzung, 2001). Metabolisme parasetamol terjadi di hati, ginjal dan lambung. Perubahan hayati intensif dalam hati (>80 %) dalam bentuk parasetamol-glukoronida (PS), parasetamol-sulfat (PS) (Hardam

et al., 1996), enzim sitokrom P450 juga berperan dalam memetabolisme sebagian lain parasetamol menjadi metabolit yang toksik untuk sel hati (Anonim, 2004). Sifat toksik ini hilang ketika glutation di dalam tubuh berikatan dengan metabolit ini. Namun bila dosis parasetamol yang terdapat dalam tubuh terlalu tinggi sifat toksik ini tidak dapat dihindari karena terbatasnya jumlah glutation dalam tubuh (Stringer, 2001). Metabolisme berlangsung dengan cepat dengan t ½ eliminasi pada manusia sehat berkisar 1-4 jam (Anonim, 2005), sedang pada tikus sekitar 0,5-2 jam (Donatus, 1984; Jung, 1985).

HO N H COCH3 Parasetamol (aktif) O NCOCH3

Konjugasi Metabolit antara(bersifat toksik)

sulfat Metabolisme glukoronidasi

& konjugasi glutation

Sistein dan konjugasi asam merkapturat (tidak aktif)

O N H COCH3 S HO O O O N H COCH3 O OH HO HO HOOC

(tidak aktif) (tidak aktif)

urin urin urin

Gambar 5. Metabolisme parasetamol (Gibson&Skett,1991)

Ginjal dan lambung juga merupakan tempat terjadinya metabolisme parasetamol, metabolisme yang terjadi pada di lambung menunjukkan adanya suatau efek lintas pertama (first pass effect/ first pass metabolism) yang diartikan sebagai fenomena biotrasformasi/metabolisme obat yang terjadi di antara tempat absorpsi dengan sirkulasi sitemik (Ritschel, 1980). Seperti yang dilaporkan oleh Cohen et al,. (1974) bahwa pada tikus fenomena first-pass effect ini nyata. Buktinya ditunjukkan dengan fraksi parasetamol yang diabsorpsi pada sirkulasi sistemik setelah pemberian secara intraperitoneal hanya 34% bila dibandingkan dengan pemberian secara intravena. Penelitian tersebut juga menegasan kembali penelitian Heading et al., (cit Cohen, 1974) yang menyatakan bahwa kecepatan

pengosongan lambung selain mempengaruhi laju absorpsi dan kadar puncak parasetamol dalam plasma. Selanjutnya Cohen et al., (1974) menegaskan bahwa hal tersebut juga mempengaruhi jumlah obat yang mengalami first-pass effect

dalam hati. Penjelasannya adalah kecepatan pengosongan lambung (dinyatakan dengan kadar obat pada medium perfusi) yang cepat menghasilkan kadar obat yang tinggi pada vena porta dan menurunkan rasio ekstraksi hepatik (menyatakan jumlah fraksi parasetamol yang mengalami first-pass effect) pada percobaan menggunakan isolated perfusea liver, dengan demikian ketersediaan (availability) dari obat dalam saluran sistemik juga lebih tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada kecepatan pengosongan lambung yang lambat.

Tabel VI. Pembersihan parasetamol yang diperoleh isolated perfusea liver (n = 3)

Prasetamol dalam

medium perfusi E.R.*

Parasetamol dalam vena porta (µg/ml) Jumlah metabolit dalam effluent** (µg/ml) (µg/ml) 3 0,52 ± 0,01 10,4 2,72 ± 0,38 5 0,47 ± 0,05 47 10,7 ± 0,4 10 0,36 ± 0,08 72 15,8 ± 6,1 50 0,27 ± 0,09 270 66,1 ± 15,1

*E.R. Extraction Ratio =CinCinCout

** Jumlah dari metabolit yang dijumlahkan dari parasetamol radioaktif pada effluent perfusi dan dinyatakan sebagai persamaan parasetamol

Dokumen terkait