• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinetika adsorpsi berhubungan dengan laju reaksi. Hanya saja, kinetika adsorpsi lebih khusus, yang hanya membahas sifat penting dari permukaan zat.[4]. Kinetika adsorpsi yaitu laju penyerapan suatu fluida oleh adsorben dalam suatu jangka waktu tertentu. Kinetika adsorpsi suatu zat dapat diketahui dengan mengukur perubahan konsentrasi zat teradsorpsi tersebut. Kinetika adsorpsi dipengaruhi oleh kecepatan adsorpsi. Kecepatan adsorpsi dapat didefinisikan sebagai banyaknya zat yang teradsorpsi per satuan waktu. Kecepatan atau besar kecilnya adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya :

 Macam adsorben

 Macam zat yang diadsorpsi (adsorbate)  Luas permukaan adsorben

47

 Konsentrasi zat yang diadsorpsi (adsorbate)  Temperatur

Kesetimbangan Adsorpsi

Fasa kesetimbangan antara cairan dan fasa yang diserap oleh satu atau lebih komponen dalam proses adsorpsi merupakan faktor yang menentukan di dalam kinerja proses adsorpsi tersebut. Dalam hampir semua proses, faktor ini jauh lebih penting daripada laju perpindahan. Peningkatan kapasitas stoikiometrik adsorben memiliki pengaruh yang lebih besar daripada peningkatan laju perpindahan.

Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi adalah hubungan yang menunjukkan distribusi adsorben antara fasa teradsorpsi pada permukaan adsorben dengan fasa ruah saat kesetimbangan pada temperatur tertentu. Ada tiga jenis hubungan matematik yang umumnya digunakan untuk menjelaskan isoterm adsorpsi.

Isoterm Brunauer, Emmet, and Teller (BET)

Isoterm ini berdasar asumsi bahwa adsorben mempunyai permukaan yang homogen. Perbedaan isoterm ini dengan Langmuir adalah BET berasumsi bahwa molekul-molekul adsorbat bisa membentuk lebih dari satu lapisan adsorbat di permukaannya.

Isoterm Freundlich

Untuk rentang konsentrasi yang kecil dan campuran yang cair, isoterm adsorpsi dapat digambarkan dengan persamaan empirik yang dikemukakan oleh Freundlich. Isoterm ini berdasarkan asumsi bahwa adsorben mempunyai permukaan yang heterogen dan tiap molekul mempunyai potensi penyerapan yang berbeda-beda. Persamaan ini merupakan persamaan yang paling banyak digunakan saat ini. Persamaannya adalah:

48 𝑥 𝑚 = 𝑘𝐶 1 2 Dengan :

x = banyaknya zat terlarut yang teradsorpsi (mg) m = massa dari adsorben (mg)

C = konsentrasi dari adsorbat yang tersisa dalam kesetimbangan k = konstanta adsorben

Dari persamaan tersebut, jika konstentrasi larutan dalam kesetimbangan diplot sebagai ordinat dan konsentrasi adsorbat dalam adsorben sebagai absis pada koordinat logaritmik, akan diperoleh gradien n dan intersep k. Dari isoterm ini, akan diketahui kapasitas adsorben dalam menyerap air. Isoterm ini akan digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan, karena dengan isoterm ini dapat ditentukan efisiensi dari suatu adsorben.

Prinsip Kerja Siklus Adsorpsi

Siklus adsorpsi menggunakan dua jenis zat yang umumnya berbeda, zat pertama disebut penyerap sedangkan yang kedua disebut refrigeran. Proses adsorpsi dipengaruhi tingkat tekanan yang bekerja pada sistem, yaitu tekanan rendah yang meliputi proses penguapan di evaporator dan penyerapan di adsorben dan tekanan tinggi yang meliputi proses pembentukan uap di generator dan pengembunan di kondensor.

Efek pendinginan yang terjadi merupakan akibat dari kombinasi proses pengembunan dan penguapan kedua zat pada kedua tingkat tekanan tersebut. Proses yang terjadi di evaporator dan kondensor sama dengan yang terjadi pada siklus kompresi uap. Siklus adsorpsi dioperasikan oleh kalor karena hampir sebagian besar operasi berkaitan dengan pemberian kalor untuk melepaskan uap refrigeran.

Generator menerima kalor dan membuat uap dan membuat uap refrigeran terpisah dari adsorben menuju ke kondensor, pada kondensor terjadi pelepasan kalor ke lingkungan sehingga fasa refrigeran berubah dari uap menjadi cair, ketika

49

memasuki evaporator temperaturnya akan berada di bawah temperatur lingkungan. Pada komponen evaporator inilah terjadi proses pendinginan suatu produk dimana kalornya diserap oleh refrigeran untuk selanjutnya menuju adsorben.

2.4.2. Refrigeran

Untuk terjadinya suatu proses pendinginan diperlukan suatu bahan yang mudah dirubah bentuknya dari gas menjadi cair atau sebaliknya untuk mengambil panas dari evaporator dan membuangnya di kondensor. Karakteristik termodinamika refrigerant antara lain meliputi temperature penguapan, tekanan penguapan, temperatur pengembunan. Untuk keperluan suatu jenis pendinginan (misal untuk pendinginan udara atau pengawet beku) diperlukan refrigeran dengan karakteristik termodinamika yang tepat. Adapun syarat-syarat untuk refrigerant adalah :

1. Tidak dapat terbakar atau meledak bila tercampur dengan udara, pelumas dan sebagainya.

2. Tidak menyebabkan korosi terhadap bahan logam yang dipakai pada sistem mesin pendingin.

3. Mempunyai titik didih dan kondensasi yang rendah.

4. Perbedaan antara tekanan penguapan dan tekanan penguapan (kondensasi) harus sekecil mungkin.

5. Mempunyai panas laten penguapan yang besar, agar panas yang diserap evaporator yang sebesar-besarnya.

6. Konduktivitas thermal yang tinggi.

Dalam pembuatan mesin pendingin ini bahan refrigeran yang digunakan adalah metanol. Metanol dipilih karena memiliki kelebihan sebagai berikut :

1. Pada tekanan atmosfir metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap dibandingkan dengan air meskipun pada tekanan 1 atm.

50 3. Tidak korosif terhadap besi atau baja.

4. Dapat dgunakan sistem absorpsi dan kompresi.

Secara fisik Metanol merupakan cairan bening, berbau seperti alkohol, dapat bercampur dengan air, etanol, chloroform dalam perbandingan berapapun, hygroskopis, mudah menguap dan mudah terbakar dengan api. Contoh metanol dapat kita lihat pada gambar 2.13

Gambar 2.13 Metanol

Spesikasi metanol yang di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Rumus molekul : CH3OH

Produksi : Merck KGaA Jerman Index No. : 603-001-00-X

Kemurnian : 99.9 % Keasaman : 0,0002 meq/g Massa molar : 32.04 g/mol Density (ρ) : 0,791- 0793 g/cm3 Titik didih : 64-65 0C

Titik leleh : -97,8 0C Kelarutan dalam air : Sangat larut

51

Viskositas : 0.59 Mpa pada suhu 20 0C

Kalor (Q)

Kalor adalah salah satu bentuk energi yang dapat mengakibatkan perubahan suhu. Pada abad ke 19 berkembang teori bahwa kalor merupakan fluida ringan, yang dapat mengalir dari suhu tinggi ke suhu rendah, jika suatu benda mengandung banyak kalor, maka suhu benda itu tinggi (panas). Sebaliknya, jika benda itu mengandung sedikit kalor, maka dikatakan benda itu bersuhu rendah (dingin).Kuantitas energi kalor (Q) dihitung dalam satuan joules (J). Laju aliran kalor dihitung dalam satuan joule per detik (J/s) atau watt (W). Laju aliran energi ini juga disebut daya, yaitu laju dalam melakukan usaha.

Kalor Laten

Suatu bahan biasanya mengalami perubahan temperatur bila terjadi perpindahan kalor antara bahan dengan lingkungannya. Pada suatu situasi tertentu, aliran kalor ini tidak merubah temperaturnya. Hal ini terjadi bila bahan mengalami perubahan fasa. Misalnya padat menjadi cair (mencair), cair menjadi uap (mendidih) dan perubahan struktur kristal (zat padat). Energi yang diperlukan disebut kalor transformasi.Kalor yang diperlukan untuk merubah fasa dari bahan bermassa m adalah:

𝑄𝐿=𝐿𝑒𝑚 Dimana :

QL = Kalor laten zat (J)

Le = Kapasitas kalor spesifik laten (J/kg) m = Massa zat (kg)

Kalor sensibel

Tingkat panas atau intensitas panas dapat diukur ketika panas tersebut merubah temperatur dari suatu subtansi. Perubahan intensitas panas dapat diukur dengan termometer. Ketika perubahan temperatur didapatkan, maka dapat

52

diketahui bahwa intensitas panas telah berubah dan disebut sebagai panas sensible. Dengan kata lain, kalor sensibel adalah kalor yang diberikan atau yang dilepaskan oleh suatu jenis fluida sehingga temperaturnya naik atau turun tanpa menyebabkan perubahan fasa fluida tersebut.

Qs= m.Cp.∆T Dimana :

Qs = Kalor sensibel zat (J)

Cp = Kapasitas kalor spesifik sensibel (J/kg. K) .T = Beda temperatur (K)

Perpindahan Kalor

Bila dua benda atau lebih terjadi kontak termal maka akan terjadi aliran kalor dari benda yang bertemperatur lebih tinggi ke benda yang bertemperatur lebih rendah, hingga tercapainya kesetimbangan termal.

Proses perpindahan panas ini berlangsung dalam 3 mekanisme, yaitu : 1. konduksi,

2. konveksi 3. radiasi.

1. Konduksi

Proses perpindahan kalor secara konduksi bila dilihat secara atomik merupakan pertukaran energi kinetik antar molekul (atom), dimana partikel yang energinya rendah dapat meningkat dengan menumbuk partikel dengan energi yang lebih tinggi. Sebelum dipanaskan atom dan elektron dari logam bergetar pada posisi setimbang. Pada ujung logam mulai dipanaskan, pada bagian ini atom dan elektron bergetar dengan amplitudo yang makin membesar.

Selanjutnya bertumbukan dengan atom dan elektron disekitarnya dan memindahkan sebagian energinya. Kejadian ini berlanjut hingga pada atom dan elektron di ujung logam yang satunya. Konduksi terjadi melalui getaran dan

53

gerakan elektron bebas. Fourier telah memberikan sebuah model matematika untuk proses ini. Dalam hal satu dimensi, model matematikanya yaitu:

Q= −𝑘𝐴∆𝑡𝐿

Dimana :

Q = laju aliran energi (W) A = luas penampang (m2) .t = beda suhu (K)

L = panjang (m)

k = daya hantar (konduktivitas) termal (W/mK)

Persamaan untuk laju perpindahan kalor konduksi secara umum dinyatakan dengan bentuk persamaan diferensial di bawah ini :

Qx=- kA𝑑𝑇

𝑑𝑥

Dimana : dT/dx = Laju perubahan suhu T terhadap jarak dalam arah aliran panas x

2. Konveksi

Apabila kalor berpindah dengan cara gerakan partikel yang telah dipanaskan dikatakan perpindahan kalor secara konveksi. Bila perpindahannya dikarenakan perbedaan kerapatan disebut konveksi alami (natural convection) danbila didorong, misal dengan fan atau pompa disebut konveksi paksa (forced convection). Besarnya konveksi tergantung pada :

Luas permukaan benda yang bersinggungan dengan fluida (A). Perbedaan suhu antara permukaan benda dengan fluida (.T). koefisien konveksi (h)

Persamaan laju perpindahan kalor secara konveksi telah diajukan oleh Newton pada tahun 1701 yang berasal dari pengamatan fisika.

54 Qc = hcA ( ts– tf) Dimana : hc = koefisien konveksi (W/m2oC) ts = suhu permukaan (°C) tf = suhu fluida (°C)

Beberapa parameter yang telah diuji dan mengenal bentuk korelasi yang banyak digunakan untuk menentukan koefisien konveksi (hc) yaitu :

Bilangan Reynold (Re)

Bilangan Reynold digunakan sebagai kriteria untuk menunjukkan aliran fluida itu laminer dan turbulen. Untuk bilangan Re < 2300 dikatakan aliran laminar; Re > 2300 dikatakan aliran turbulen:

Re= 𝜌.𝑣.𝐷

𝜇

Dimana :

ρ = rapat massa (kg/m3)

v = kecepatan aliran fluida (m/s) D = diameter aliran fluida (m) µ = viskositas fluida (Pa.det)

Bilangan Prandtl (Pr)

Bilangan Prandtl adalah bilangan tanpa dimensi yang merupakan fungsi dari sifat-sifat fluida. Bilangan Prandtl didefinisikan sebagai perbandingan viskositas kinematik terhadap difusitas thermal fluida yaitu:

Pr =𝐶𝑝.𝜇

𝑘

Dimana :

Cp = panas spesifik fluida (J/kg.K) µ = viskositas fluida (Pa.det)

55 Bilangan Nusselt (Nu)

Nu=𝑐.𝐷

𝑘

Dimana :

hc = koefisien konveksi (W/m2K) D = diameter efektif aliran fluida (m) k = konduktifitas thermal fluida (W/mK)

Banyak rumusan yang telah dikembangkan untuk susunan aliran tertentu sehingga hubungan antara bilangan Nusselt, Reynolds dan Prandtl dapat dirumuskan :

Nu = C (Ren) (Prm)

3. Radiasi

Perpindahan energi secara radiasi berlangsung akibat foton-foton dipancarkan dengan arah, fase dan frekuensi yang serampangan dari suatu permukaan ke permukaan lain. Pada saat mencapai permukaan lain, foton yang diradiasikan juga diserap, dipantulkan atau diteruskan (ditransmisikan) melalui permukaan tersebut. Untuk benda hitam, radiasi termal yang dipancarkan per satuan waktu per satuan luas pada temperatur T kelvin adalah :

E = e.σ T4

Dimana =

σ : konstanta Boltzmann : 5,67 x 10-8 W/ m2 K4. e : emitansi (0 ≤ e ≤ 1)

Dokumen terkait