4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.6 Klasifikasi Obyek Minyak dan Non Minyak
Gambar 19 dan 20 di atas menunjukkan grafik nilai hambur balik obyek
yang diasumsikan sebagai minyak ringan pada citra dengan analisis tekstur.
Berdasarkan perbandingan pola grafik nilai hambur balik pada Gambar 19 dan 20,
dapat dilihat bahwa nilai hambur balik yang ditampilkan pada analisis tekstur
mean memiliki pola nilai hambur balik serupa dengan pola nilai hambur balik
hasil penyaringan data citra gamma 7x7. Pola serupa pada grafik GLCM mean
menunjukkan bahwa nilai hambur balik yang dianalisis tidak mengalami
perubahan informasi obyek. Sedangkan grafik yang dihasilkan oleh correlation
GLCM memiliki tampilan statistik dan pola yang berbeda dengan hasil
penyaringan gamma 7x7. Berdasarkan hasil visualisasi dan grafik analisis tekstur,
diputuskan data citra yang akan dijadikan acuan dalam ekstraksi nilai hambur
balik untuk dijadikan nilai selang klasifikasi adalah citra dengan hasil pengolahan
analisis tekstur GLCM mean.
4.6 Klasifikasi Obyek Minyak dan Non Minyak
Pada citra radar ALOS PALSAR dapat dilihat bahwa perairan memiliki
gradasi warna yang berbeda yaitu rona gelap (hitam), rona abu-abu dan rona abu-
abu yang terlihat samar- samar. Selain warna keabuan, tampak pula warna putih
terang pada citra ALOS PALSAR, apabila dilakukan pembesaran obyek dengan
pewarnaan yang terang merepresentasikan nilai hambur balik yang tinggi dari
anjungan minyak Montara. Pewarnaan citra radar berupa grayscale, hal ini
membatasi peneliti dalam mengasumsikan luasan penyebaran tumpahan minyak
di perairan Laut Timor. Oleh karena itu dilakukan tahap klasifikasi yang dapat
HV
spektral yang dimiliki tiap obyek. Tahap klasifikasi dapat dilakukan setelah nilaidigital pada citra dikonversi menjadi nilai hambur balik kemudian tersaring
dengan metode penyaringan dan metode analisis tekstur yang telah ditentukan
berdasarkan percobaan yang telah dilakukan pada penelitian ini.
Pada penelitian ini nilai hambur balik obyek pada citra ALOS PALSAR
yang dijadikan acuan dalam penentuan nilai selang kelas berasal dari citra hasil
penyaringan gamma 7x7 yang kemudian di analisis dengan analisis tekstur GLCM
mean. Penentuan nilai selang hambur balik dari tiap obyek yang diamati diperoleh
melalui tampilan grafik yang dihasilkan dari pembuatan garis training area pada
tiap obyek yang diamati. Nilai selang diperoleh melalui pengamatan ekstraksi
nilai hambur balik yang dihasilkan oleh mode polarisasi HH, karena nilai hambur
balik yang dihasilkan citra pada polarisasi HH lebih besar dibandingkan dengan
polarisasi HV sehingga tampilan citra akan semakin jelas.
Jenis klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini berupa klasifikasi
unsupervised dikarenakan data acuan primer tidak dilengkapi dengan data
pengamatan secara in situ atau ground check. Tahapan yang perlu dilakukan
analis sebelum menentukan nilai selang yaitu membuat jumlah kelas yang akan
dibuat dari data yang diamati berjumlah lima buah yaitu obyek minyak berat,
minyak sedang, minyak ringan serta obyek non minyak berupa perairan dan
anjungan. Nilai selang kelas yang diperoleh kemudian akan diaplikasikan ke
dalam formula klasifikasi. Penentuan kelas diamati pada penelitian kali ini
Gambar 21. Pola Garis Transek untuk Penentuan Nilai Intensitas Obyek
Pengamatan
Keterangan Garis: Kuning : Minyak sedang; Pink : Perairan; Cyan : Minyak Ringan; Putih : Minyak berat; dan Merah : Anjungan
Pada tahapan penyaringan gamma nilai hambur balik pada citra berkisar
antara -35,0 dB sampai dengan 15,0 dB dimana nilai hambur balik obyek berupa
minyak memiliki kisaran dari -35,0 s/d -21,0 dB, perairan memiliki nilai yang
lebih besar yaitu -20,0 s/d -10,0 dB sedangkan obyek berupa anjungan memiliki
nilai hambur balik sebesar -10,0 s/d 15,0 dB. Pembuatan asumsi yang didasarkan
pada nilai selang hambur balik menunjukkan bahwa obyek perairan yang tertutupi
lapisan minyak akan memiliki nilai hambur balik yang lebih rendah dibandingkan
lingkungan sekitar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brekke dan Solberg (2005)
riak air berupa gelombang maupun arus akibat tekanan yang dimiliki oleh lapisan
tersebut lebih besar dibandingkan tekanan air dan juga menyebabkan sinyal
gelombang mikro yang dihambur balikkan menjadi lebih rendah akibat
teredamnya sinyal tersebut. Namun untuk obyek yang tidak mengalami
peredaman akibat lapisan minyak yang menutupi suatu permukaan perairan akan
memiliki nilai hambur balik yang lebih besar.
Nilai hambur balik yang diperoleh dari tahap penyaringan gamma 7x7
tidak dapat dijadikan acuan penentuan selang kelas dalam pewarnaan klasifikasi
dari tiap obyek pada citra radar ini, karena nilai hambur balik pada tahap
penyaringan ini memiliki selang nilai cukup besar sehingga mempersulit
pengamat dalam menentukan nilai selang kelas yang dapat menghasilkan peta
tematik tumpahan minyak yang sesuai. Hal ini dikarenakan satu piksel pada citra
memiliki 16 bit data penyimpanan atau sama dengan 65.536 tingkat keabuan,
maka diasumsikan semakin besar nilai selang kelas suatu obyek akan mempersulit
piranti untuk mengelompokkan seluruh piksel menjadi beberapa kelas. Oleh
karena itu citra hasil penyaringan gamma 7x7 diolah kembali dengan analisis
tekstur GLCM mean 7x7.
Analisis tekstural GLCM Mean dengan ukuran jendela pengamatan
sebesar 7x7 dilakukan untuk mempermudah penentuan nilai selang kelas obyek
berupa minyak dan non minyak. Nilai hambur balik pada tahapan ini bernilai
positif dengan informasi tambahan mengenai tipe kekasararan dari obyek yang
diamati. Jumlah kelas klasifikasi pada tahapan GLCM mean kali ini sebanyak
tujuh kelas dimana kelas satu menyatakan selang kelas untuk tampilan citra
empat merupakan selang kelas minyak sedang, kelas lima merupakan selang kelas
minyak ringan, kelas enam merupakan selang kelas perairan dan kelas ketujuh
merupakan selang kelas anjungan minyak. Pembuatan dua kelas untuk obyek
minyak berat karena selang nilai hambur balik minyak berat cukup besar, yaitu
1,5 – 9,0 dB, sehingga mempersulit tahapan klasifikasi yang dilakukan. Oleh
karena itu pemecahan kelas untuk obyek minyak berat dilakukan sehingga
menghasilkan tampilan yang lebih teratur dan sesuai. Pada citra hasil penyaringan
tekstur GLCM ditemukan nilai hambur balik obyek sebesar 21,0 – 35,0 dB belum
terklasifikasi dengan baik, oleh karena itu dilakukan pengamatan posisi nilai
hambur balik pada piksel citra. Nilai selang hambur balik ini ditemukan
disekililing lokasi anjungan, sehingga diasumsikan bahwa nilai hambur balik
tersebut berupa minyak berat. Perbedaan nilai hambur balik obyek minyak berat
di sekitar anjugan dapat terjadi akibat pengaruh nilai hambur balik anjungan
sumur Montara. Oleh karena itu dalam pengaplikasian nilai selang hambur balik
obyek pada formula klasifikasi, nilai ini diklasifikasikan sebagai obyek minyak
berat. Nilai selang hambur balik tiap kelas obyek pengamatan dapat dilihat pada
Tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Kisaran Nilai Hambur Balik Klasifikasi Obyek Kelas Obyek Nilai Selang Hambur Balik (dB) Kelas 1 Scene citra 0 s.d. 1,5
Kelas 2 dan 3 Minyak berat 1,5 s.d. 4,5 ; 6,0 s.d. 9,0 dan 21,0 s.d. 35,0
Kelas 4 Minyak sedang 9,0 s.d. 10,5 Kelas 5 Minyak ringan 10,5 s.d. 13,0 Kelas 6 Perairan 13,0 s.d. 21,0 Kelas 7 Anjungan 35,0 s.d. 50,5
Nilai selang hambur balik yang diperoleh pada penelitian ini tidak dapat
dengan pernyataan Samad dan Mansor (2011) bahwa nilai hambur balik radar dari
obyek berupa tumpahan minyak ataupun bukan minyak yang telah diidentifikasi
oleh pengamat sebelumnya tidak dapat dijadikan acuan oleh peneliti selanjutnya,
karena nilai hambur balik dari obyek minyak tidak selalu sama. Faktor – faktor
yang mempengaruhi koefisien nilai hambur balik minyak tidak konstan
diantaranya tipe tumpahan minyak, ketebalan dari tumpahan minyak, metode
pengolahan yang digunakan, jenis data penginderaan jauh yang digunakan berasal
dari jenis satelit dan sensor dengan mode polarisasi dan cakupan satelit tertentu
yang digunakan.
Penentuan nilai selang hambur balik juga dilakukan pada citra hasil
analisis tekstur agar memperkuat alasan pengambilan nilai selang hambur balik
obyek dari satu metode analisis yang akan diaplikasikan ke dalam formula
klasifikasi. Tabel 9 di bawah ini menunjukkan perbedaan nilai selang hambur
balik obyek yang diperoleh dari pengamatan nilai hambur balik puncak grafik
hasil ekstrak citra pada garis training area yang telah dibuat.
Tabel 9. Perbandingan Nilai Intensitas Hambur Balik Obyek dengan Metode Analisis Tekstur Mean dan Correlation
Nilai selang hambur balik yang ditunjukkan pada analisis correlation
menunjukkan nilai yang berbanding terbalik dengan teori Brekke dan Solberg
(2005). Nilai hambur balik pada analisis tekstur correlation menunjukkan bahwa Obyek Pengamatan Nilai selang hambur balik
(dB) pada analisisMean
Nilai selang hambur balik (dB) pada analisis Correlation Minyak Berat 1,5 s.d. 4,5 ; 6,0 s.d. 9,0
dan 21,0 s.d. 35,0
12,5 s.d. 23,5; 23,5 s.d. 40,0; dan 40,0 s.d. 74,6
Minyak Sedang 9,0 s.d. 10,5 4,5 s.d. 8,5 dan 8,5 s.d. 12,5 Minyak Ringan 10,5 s.d. 13,0 2,5 s.d. 4,5
Perairan 13,0 s.d. 21,0 -4,5 s.d. 2,5
Anjungan 35,0 s.d. 50,5 -33,0 s.d. -18,0 dan -18,0 s.d. - 4,0
obyek dengan tingkat kekasaran permukaan yang tinggi menghambur balikkan
gelombang mikro yang rendah dan sedikit sedangkan obyek dengan tingkat
kekasaran yang rendah, akibat adanya lapisan minyak, menghambur balikkan
gelombang mikro yang tinggi. Nilai hambur balik yang dihasilkan analisis
correlation akan mempengaruhi visualisasi pewarnaan pada citra sehingga akan
mempersulit peneliti dalam menentukan obyek yang teramati. Hasil perbandingan
nilai ekstraksi hambur balik obyek ini akan memperkuat alasan bahwa nilai selang
hambur balik analisis tekstur mean merupakan nilai hambur balik yang sesuai
dengan teori untuk diaplikasikan ke dalam formula klasifikasi unsupervised.
Gambar 22 di bawah menampilkan visualisasi pewarnaan klasifikasi obyek
berdasarkan analisis tekstur mean pada citra.
Gambar 22 di atas menunjukkan bahwa obyek berupa minyak ringan
dengan warna pink tergolong cukup sedikit penyebarannya, sedangkan obyek
berupa minyak berat dengan warna hijau dan minyak sedang dengan warna
kuning lebih mendominasi penyebaran tumpahan minyak yang terekam pada
tanggal 2 September 2009. Menurut Xiaojing L et.al., (2012) citra Radar ALOS
PALSAR memiliki resolusi spasial yang tinggi sehingga untuk pemantauan
tumpahan minyak di Laut Timor dibutuhkan tujuh buah path citra untuk
melingkup daerah tersebut . Kesulitan dari penggunaan citra ini untuk kegiatan
pemantauan yaitu waktu pemindaian dari masing-masing citra yang tidak
dilakukan secara bersamaan. Fakta ini menyebabkan citra hanya dapat
menampilkan keberadaan tumpahan minyak pada hari tertentu daripada
memberikan informasi mengenai visualisasi tumpahan minyak tersebut untuk
seluruh area yang tercemar. Oleh karena itu luasan tumpahan minyak dari tiap
obyek yang terekam oleh satelit hanya memberikan informasi luasan penyebaran
tumpahan minyak secara horizontal pada permukaan perairan dengan cakupan
wilayah sesuai dengan titik koordinat citra pengamatan. Nilai kisaran luas
peyebaran tumpahan minyak yang diperoleh pada citra pengamatan dapat dilihat
pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Kisaran Hamburan Balik (db), Luas Tumpahan Minyak Berdasarkan Citra ALOS PALSAR
Wilayah km 2 Kisaran Hambur Balik (dB)
Minyak Berat 3.122 1,5 s.d. 9,0 dB dan 21,0 s.d. 35,0 db Minyak Sedang 3.431 9,0 s.d. 10,5 dB Minyak Ringan 259 10,5 s.d. 13,0 dB
Perairan 1.257 13,0 s.d. 21,0 dB
Luasan dari obyek yang diamati dapat dilihat pada Tabel 10 di atas, satuan
pengukuran luasan dari obyek yaitu km2. Tabel di atas memberikan informasi
bahwa obyek berupa minyak sedang mendominasi wilayah penyebaran tumpahan
minyak pada saat satelit merekam Laut Timor tanggal 2 September 2009
dibandingkan dengan obyek minyak berat yaitu seluas 3.431 km2. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor angin yang menyebabkan adanya pergerakan permukaan
laut sehingga menyebabkan minyak yang tumpah terdistribusikan secara luas.
Informasi luas obyek non minyak berupa platform merupakan gabungan nilai
kisaran luas obyek untuk dua buah platform, namun nilai kisaran luas obyek yang
dihasilkan terlalu besar. Hal ini dapat terjadi karena selang nilai intensitas hambur
balik terlalu besar akibat tercampurnya nilai hambur balik obyek minyak yang
berada di sekitar platform dengan nilai hambur balik dari anjungan itu sendiri.
Sedangkan luas obyek pengamatan non minyak berupa perairan tergolong rendah
dikarenakan luas obyek perairan yang tidak tercemar minyak yang terekam oleh
satelit tergolong sempit atau sedikit.
Informasi kisaran luasan penyebaran minyak yang diperoleh dari
pengolahan citra tidak dapat dijadikan acuan peneliti untuk menangani tumpahan
minyak Montara di Laut Timor karena cakupan luasan wilayah pengamatan satelit
ALOS PALSAR lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang terkontaminasi.
Namun informasi luasan tumpahan minyak secara horisontal ini dapat dijadikan
acuan arah penyebaran tumpahan minyak untuk wilayah pengamatan yang sesuai
dengan titik koordinat citra. Asumsi besaran tumpahan minyak Montara yang
mencemari wilayah pengamatan citra di Laut Timor dapat bertambah atau
minyak ringan yang teramati merupakan informasi secara horizontal permukaan
perairan, sehingga kemungkinan adanya luasan lapisan minyak dengan massa
jenis berat, sedang ataupun ringan secara vertikal tidak dapat terdeteksi. Sehingga
asumsi luasan secara horizontal tumpahan minyak berupa minyak sedang yang
terhitung pada program sebesar 3.431 km2 memiliki kemungkinan pada data
lapangan memiliki luas sebesar 6.553 km2. Asumsi nilai luasan ini diperoleh
melalui perhitungan luasan tumpahan minyak sedang yang terekam ditambah
dengan luasan tumpahan minyak berat karena massa jenis minyak sedang lebih
rendah dibandingkan minyak berat sehingga adanya kemungkinan minyak sedang
tertutupi oleh lapisan minyak berat. Asumsi luasan untuk obyek minyak ringan
juga memiliki kemungkinan lebih besar dibandingkan nilai luasan penyebaran
tumpahan minyak yang terekam oleh citra yaitu sebesar 6.812 km2..
Nilai akurasi suatu citra pengamatan diperoleh melalui data pengamatan
secara in situ dan klasifikasi terbimbing (Prayudha, 2010). Menurut Prayudha
(2010) nilai akurasi umum (Overall Accuracy) untuk hasil penafsiran visual pada
citra ALOS PALSAR resolusi 50 m tahun 2009 adalah sebesar 62,75%. Nilai
akurasi dipengaruhi oleh resolusi spasial suatu sensor, semakin tinggi resolusi
spasial yang diamati maka nilai akurasi semakin tinggi begitu juga sebaliknya
(Ristiana, 2011). Oleh karena itu dapat dikatakan nilai akurasi ALOS PALSAR
dengan resolusi spasial 12,5 meter memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan
dengan nilai akurasi untuk resolusi 50 m namun persentase nilai ini tidak
4.7 Pola Pergerakan Angin di Laut Timor
Tampilan warna gelap pada perairan tidak dapat dijadikan sebagai landasan
pernyataan bahwa obyek yang berada pada wilayah tersebut adalah tumpahan
minyak tanpa adanya pengamatan lebih lanjut mengenai keadaan lingkungan
sekitar. Hal ini dikarenakan obyek lain yang menyerupai lapisan minyak seperti
sperma organisme laut (ikan paus) serta keadaan perairan yang tenang akibat
kecepatan angin yang rendah dapat menyebabkan tampilan pada citra berwarna
lebih gelap dibandingkan lingkungan sekitar.
Kriteria untuk mengetahui obyek yang teramati tergolong ke dalam
tumpahan minyak apabila obyek yang teramati tampak berwarna lebih gelap
dibandingkan sekitarnya pada saat lingkungan memiliki kecepatan angin yang
tergolong ideal dan tetap. Lapisan minyak tersebut pada umumnya berada di
sekitar kapal, daerah pemboran atau lokasi bongkar muat dan lalu lintas kapal.
Sedangkan kriteria untuk obyek yang menyerupai (misal sperma organisme,
kumpulan rumput laut) dapat terdeteksi pada daerah dengan kecepatan angin yang
rendah, berada di zona pesisir hingga daerah yang terlindung dari angin, daerah
gelap yang panjang dan diikuti dengan perubahan bentuk spiral, lapisan yang
alami membentuk gabungan dengan arus atau daerah pemusatan, menyerupai
kelompok titik hujan dimana bagian pusat memiliki hambur balik yang sangat
rendah dan dikelilingi oleh obyek yang memiliki hambur balik yang sangat tinggi
(Susantoro TM et.al , 2010).
Tipe angin musim yang terjadi di Laut Timor pada saat satelit merekam
lokasi penelitian ini adalah tipe angin musim peralihan dua karena perekaman data