• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL

D. Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua

F. Matriks Tridiagonal

A. Penurunan Persamaan Gerak Lapisan Fluida Satu Dimensi B. Masalah Pergerakan Lapisan Fluida

C. Solusi Analitis Masalah Pergerakan Lapisan Fluida D. Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs

E. Metode Beda Hingga

BAB IV ANALISIS HASIL SIMULASI

A. Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs B. Metode Beda Hingga

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran

9

BAB II

PERSAMAAN DIFERENSIAL

Dalam bab ini akan dibahas mengenai dasar teori dari skripsi ini. Dasar teori dari skripsi ini meliputi integral, klasifikasi persamaan diferensial, nilai eigen dan vektor eigen, matriks tridiagonal, klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua, dan penurunan numeris.

A. Integral

Pada bagian ini akan dibahas mengenai integral yang meliputi definisi dan contoh dari integral tentu dan teorema fundamental kalkulus.

Definisi 2.1

Suatu fungsi 𝐹 disebut anti turunan dari 𝑓 pada interval 𝐼, jika 𝐹′(π‘₯) = 𝑓(π‘₯) untuk setiap π‘₯ dalam interval 𝐼.

Contoh 2.1

Carilah suatu anti turunan dari 𝑓(π‘₯) = π‘₯2. Penyelesaian:

Fungsi 𝐹(π‘₯) = π‘₯3 bukanlah anti turunannya, karena turunan dari π‘₯3 adalah 3π‘₯2. Akan tetapi hal ini menyarankan 𝐹(π‘₯) =13π‘₯3, yang memenuhi 𝐹′(π‘₯) =133π‘₯2 = π‘₯2. Dengan demikian, suatu anti turunan dari 𝑓 adalah 13π‘₯3.

Anti turunan dinotasikan dengan ∫ … 𝑑π‘₯. Notasi tersebut menunjukkan anti turunan terhadap π‘₯. Anti turunan biasanya disebut integral tak tentu.

1. Integral Tentu

Perhatikan Gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1. Ilustrasi fungsi satu variabel.

π‘Ž 𝑏 π‘₯

𝑦

Untuk menghitung luas di bawah kurva 𝑦 = 𝑓(π‘₯), dapat dilakukan dengan aproksimasi, yaitu dengan membagi interval [π‘Ž, 𝑏] oleh partisi 𝑝 = {π‘₯0, π‘₯1, … , π‘₯𝑛} ke dalam n subinterval yaitu [π‘₯0, π‘₯1], [π‘₯1, π‘₯2], …[π‘₯π‘›βˆ’1, π‘₯𝑛]. Panjang subinterval ke-𝑖 ditulis dengan βˆ†π‘₯𝑖 = π‘₯𝑖 βˆ’ π‘₯π‘–βˆ’1. Selanjutnya dipilih sebarang π‘₯π‘–βˆ— dari [π‘₯0, π‘₯1], [π‘₯1, π‘₯2], …[π‘₯π‘›βˆ’1, π‘₯𝑛] dengan 𝑖 = 1, 2, … , 𝑛. Total luas di bawah kurva dapat dihitung dengan 𝑓(π‘₯1βˆ—)βˆ†π‘₯1+ 𝑓(π‘₯2βˆ—)βˆ†π‘₯2+ β‹― + 𝑓(π‘₯π‘›βˆ—)βˆ†π‘₯𝑛 = βˆ‘π‘› 𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖

𝑖=1 yang disebut jumlahan Riemann fungsi 𝑓 pada interval [π‘Ž, 𝑏], sebagai pendekatan luas daerah di bawah kurva 𝑦 = 𝑓(π‘₯) dan diatas sumbu π‘₯.

Semakin banyak subinterval seragam yang digunakan artinya βˆ†π‘₯𝑖 β†’ 0, maka semakin baik pula aproksimasi luasan tersebut dan semakin dekat dengan luasan yang sebenarnya. Dengan demikian, luas daerah = lim

βˆ†π‘₯𝑖→0βˆ‘π‘› 𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖

𝑖=1 .

Definisi 2.2

Misalkan𝑓 suatu fungsi yang didefinisikan pada selang tertutup [π‘Ž, 𝑏]. Jika

lim

βˆ†π‘₯𝑖→0βˆ‘ 𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖 𝑛

𝑖=1

ada, maka nilai limit tersebut dinamakan integral tentu 𝑓 dari π‘Ž ke 𝑏 dan ditulis sebagai ∫ 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯ = lim

βˆ†π‘₯𝑖→0βˆ‘π‘›π‘–=1𝑓(π‘₯π‘–βˆ—)βˆ†π‘₯𝑖 𝑏

2. Teorema Fundamental Kalkulus

Pada bagian ini hanya akan diberikan teorema fundamental kalkulus, tidak dibahas mengenai pembuktiannya.

Teorema 2.1 (Teorema Nilai Rata-Rata)

Jika 𝑓 fungsi kontinu pada [π‘Ž, 𝑏], maka terdapat 𝑐 ∈ [π‘Ž, 𝑏], sehingga berlaku 𝑓(𝑐) = 1 𝑏 βˆ’ π‘Žβˆ« 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯ 𝑏 π‘Ž .

Teorema 2.2 (Teorema Fundamental Kalkulus I)

Jika 𝑓 fungsi kontinu pada [π‘Ž, 𝑏], maka 𝐹(π‘₯) = ∫ 𝑓(𝑑)π‘‘π‘‘π‘Žπ‘₯ kontinu pada [π‘Ž, 𝑏] dan terdiferensial pada (π‘Ž, 𝑏) dan berlaku

𝐹′(π‘₯) =𝑑π‘₯𝑑 ∫ 𝑓(𝑑)π‘‘π‘‘π‘Žπ‘₯ = 𝑓(π‘₯).

Teorema 2.3 (Teorema Fundamental Kalkulus II)

Jika 𝑓 fungsi kontinu pada setiap titik dalam [π‘Ž, 𝑏] dan 𝐹 adalah antiturunan dari 𝑓 pada [π‘Ž, 𝑏], maka

Bukti dari ketiga teorema yang disebut di atas dapat dilihat pada buku karangan Thomas (2010).

B. Klasifikasi Persamaan Diferensial

Berikut ini akan dibahas mengenai klasifikasi persamaan diferensial. Klasifikasi tersebut meliputi definisi dan contoh persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa, persamaan diferensial parsial, dan orde persamaan diferensial.

Definisi 2.3

Persamaan diferensial adalah persamaan yang melibatkan variabel tak bebas dari fungsi yang tidak diketahui dan turunan terhadap variabel-variabel bebas dari fungsi tersebut.

Contoh 2.3

Persamaan-persamaan di bawah ini merupakan contoh persamaan diferensial: 𝑑𝑦 𝑑𝑑 = βˆ’π‘¦2, (2.1) 𝑑𝑦 𝑑π‘₯+ 2 𝑑2𝑦 𝑑π‘₯2 = 0, (2.2) πœ•π‘’ πœ•π‘‘ = πœ•2𝑒 πœ•π‘₯2 +πœ•2𝑒 πœ•π‘¦2 , (2.3) πœ•2𝑒 πœ•π‘₯2 +πœ•2𝑒 πœ•π‘¦2+πœ•2𝑒 πœ•π‘§2 = 0. (2.4)

Definisi 2.4

Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan biasa atas satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Contoh 2.4

Persamaan (2.1) dan (2.2) adalah contoh persamaan diferensial biasa. Pada persamaan (2.1) variabel 𝑦 adalah variabel terikat atau tak bebas dan variabel 𝑑 adalah variabel bebas. Pada persamaan (2.2) variabel 𝑦 adalah varabel tak bebas dan variabel π‘₯ adalah variabel bebas.

Definisi 2.5

Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan parsial atas satu atau lebih variabel tak bebas terhadapvariabel bebas, dengan catatan bahwa banyaknya variabel bebas dalam persamaan tersebut adalah lebih dari satu.

Contoh 2.5

Persamaan (2.3) dan (2.4) merupakan contoh persamaan diferensial parsial. Pada persamaan (2.3) variabel π‘₯, 𝑦, dan 𝑑 merupakan variabel bebas dan variabel 𝑒 merupakan variabel tak bebas. Pada persamaan (2.4) variabel π‘₯, 𝑦, dan 𝑧 merupakan variabel bebas dan variabel 𝑒 merupakan variabel tak bebas.

Definisi 2.6

Orde persamaan diferensial adalah tingkat tertinggi dari turunan yang muncul dalam persamaan diferensial tersebut.

Contoh 2.6

Persamaan (2.1) adalah persamaan diferensial biasa orde pertama karena tingkat tertinggi yang muncul adalah tingkat satu. Persamaan (2.2) adalah contoh persamaan diferensial biasa orde dua karena tingkat turunan yang muncul adalah tingkat dua. Persamaan (2.3) dan (2.4) adalah persamaan diferensial parsial orde dua karena tingkat tertinggi dari turunanparsial yang muncul adalah tingkat dua.

C. Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Berikut akan dibahas mengenai nilai eigen dan vektor eigen beserta dengan contohnya.

Definisi 2.8

Misalkan 𝑨 adalah suatu matriks 𝑛 Γ— 𝑛. Skalar πœ† disebut sebagai suatu nilai eigen atau nilai karakteristik dari 𝑨 jika terdapat suatu vektor taknol π‘₯Μ…, sehingga 𝑨π‘₯Μ… = πœ†π‘₯Μ…. Vektor π‘₯Μ… disebut vektor eigen atau vektor karakteristik yang bersesuaian dengan nilai eigen Ξ» dari 𝑨.

Contoh 2.8

𝑨π‘₯Μ… = (4 βˆ’2

1 1 ) (21) = (63) = 3 (21) = 3π‘₯Μ…

maka dari persamaan ini dapat dilihat bahwa πœ† = 3 adalah nilai eigen dari 𝐴 dan π‘₯Μ… = (21) merupakan vektor eigen yang bersesuaian denganπœ† = 3 tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Leon (2001).

Secara geometris, perkalian matriks 𝑨 dengan vektor π‘₯Μ… memiliki kelipatan 3 terhadap vektor π‘₯Μ…. Ilustrasi secara geometris ditunjukkan dalam Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Ilustrasi geometri vektor eigen.

D. Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua

Pada bagian ini akan dibahas tentang menentukan jenis suatu persamaan diferensial parsial orde dua.

2 1 6 3 π‘₯ 𝑦 π‘₯Μ… 3π‘₯Μ…

Persamaan diferensial parsial orde dua, yang linear homogen, dan memiliki koefisien konstan berbentuk

π‘Žπ‘’π‘₯π‘₯+ 2𝑏𝑒π‘₯𝑦+ 𝑐𝑒𝑦𝑦+ 𝑑𝑒π‘₯+ 𝑒𝑒𝑦 + 𝑓𝑒 = 0

dengan𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑦) dan π‘Ž, 𝑏, 𝑐, 𝑑, 𝑒, 𝑓 adalah konstanta. Tiga suku pertama bentuk persamaan diferensial parsial linear homogen orde dua di atas disebut bagian utama persamaan diferensial parsial dan digunakan untuk menentukan jenis persamaan diferensial parsial.

Dipandang bagian utama persamaan diferensial parsial:

π‘Žπ‘’π‘₯π‘₯+ 2𝑏𝑒π‘₯𝑦+ 𝑐𝑒𝑦𝑦 = π‘Žπœ• 2𝑒 πœ•π‘₯2+ 2𝑏 πœ• 2𝑒 πœ•π‘₯πœ•π‘¦+ 𝑐 πœ•2𝑒 πœ•π‘¦2 = (πœ• πœ•π‘₯ πœ• πœ•π‘¦) (π‘Ž 𝑏𝑏 𝑐) ( πœ• πœ•π‘₯ πœ• πœ•π‘¦) .

Matriks koefisien (π‘Ž 𝑏𝑏 𝑐) merupakan matriks simetri yang mempunyai nilai eigen berupa bilangan real,

det ((π‘Ž 𝑏𝑏 𝑐) βˆ’ πœ† (1 00 1)) = det (π‘Ž βˆ’ πœ†π‘ 𝑐 βˆ’ πœ†π‘ ) = (π‘Ž βˆ’ πœ†)(𝑐 βˆ’ πœ†)βˆ’π‘2

= πœ†2βˆ’ (π‘Ž + 𝑐)πœ† + π‘Žπ‘ βˆ’ 𝑏2

(2.9)

Jika πœ†1 dan πœ†2 adalah nilai eigen dari matriks 𝑨 = (π‘Ž 𝑏𝑏 𝑐) maka persamaan karakteristiknya adalah

↔ πœ†2βˆ’ (πœ†1+ πœ†2)πœ† + πœ†1πœ†2 = 0 dari (2.9) dan (2.10) didapat:

a. πœ†1+ πœ†2 = π‘Ž + 𝑐 = trace(𝐴)

b. πœ†1πœ†2 = π‘Žπ‘ βˆ’ 𝑏2 = det (𝐴)

Persamaan diferensial parsial disebut parabolik jika π‘Žπ‘ βˆ’ 𝑏2 = 0,yang artinyaπœ†1πœ†2 = 0; dengan kata lain, salah satu nilai eigennya bernilai 0. Persamaan diferensial parsial disebut eliptik apabila π‘Žπ‘ βˆ’ 𝑏2 > 0,yang artinyaπœ†1πœ†2 > 0; dengan kata lain, kedua nilai eigennya positif atau kedua nilai eigennya negatif. Persamaan diferensial parsial disebut hiperbolik jika π‘Žπ‘ βˆ’ 𝑏2 < 0,yang artinyaπœ†1πœ†2 < 0; dengan kata lain, salah satu nilai eigennya positif dan salah satu nilai eigennya negatif.

Dokumen terkait