• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi tanah sawah yang telah disebutkan pada berbagai uraian tulisan ini terlihat tidak sistematis, karena sebagian besar hanya didasarkan pada proses pembentukannya, yaitu pengaruh manusia dan pengaruh air genangan di permukaan tanah, dan bukan atas dasar sifat-sifat tanah yang telah dihasilkan secara permanen, sebagai akibat penyawahan. Dari pengamatan di lapangan dan penelitian lain di berbagai daerah di Indonesia, terlihat bahwa meskipun tanah sawah semuanya terjadi karena pengaruh perbuatan manusia, dan selalu mendapat genangan air di permukaan, tetapi sifat-sifat morfologi dan sifat-sifat lain yang dihasilkan berbeda-beda tergantung dari sifat tanah asalnya.

Tanah sawah mempunyai beberapa nama dalam sistem klasifikasi tanah secara umum yaitu: “Rice soils”, “Paddy soils”, “Lowland paddy soils”, “Artificial hydromorphic soils”, dan “Aquorizem”.

Dalam klasisifikasi tanah FAO (World Reference Base for Soil Resources) tanah sawah termasuk grup tanah “Anthrosols” (FAO, 1998). Tanah sawah dicirikan oleh horizon “anthraquic”, yaitu adanya lapisan olah dan lapisan tapak bajak.

Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1996; 1999; 2003), tidak terdapat klasifikasi (nama) untuk tanah sawah, pada tiga kategori tertinggi yaitu pada tingkat ordo, subordo, maupun great group. Sifat-sifat khas tanah sawah baru muncul pada Taksonomi Tanah tahun 1992 (Soil Survey Staff, 1992), berdasarkan rekomendasi dari ICOMAQ (International committee on aquic soil moisture rezime) yang mengusulkan adanya “saturasi anthrik”, dan “kondisi anthrakuik”, untuk mewadahi sifat-sifat khas tanah sawah, akibat pelumpuran dan penggenangan terus-menerus selama pertumbuhan tanaman padi sawah.

Dalam dua edisi Taksonomi Tanah yang terakhir (Soil Survey Staff, 1999; 2003), klasifikasi (nama) tanah sawah ditempatkan pada tingkat subgrup, dengan menggunakan awalan “anthraquic”, untuk mencerminkan adanya “kondisi anthrakuik” pada tanah sawah. Terdapat sebelas subgrup “anthraquic”, yaitu masing-masing dua subgrup pada ordo Alfisol, Andisol, Entisol, Inceptisol, dan Ultisol, serta satu subgrup pada ordo Mollisol.

Masing-masing subgrup tersebut adalah pada Alfisol (Anthraquic Hapludalf dan Anthraquic Paleudalf), Andisol (Anthraquic Hapludand dan Anthraquic Melanudand); Entisol (Anthraquic Ustifluvent dan Anthraquic Ustorthent); Inceptisol (Anthraquic Eutrudept dan Anthraquic Haplustept), Ultisol (Anthraquic Kanhaplohumult dan Anthraquic Paleudult), dan Mollisol (Anthraquic Haplustoll);

Klasifikasi tanah sawah Indonesia

Klasifikasi tanah sawah sangat ditentukan oleh klasifikasi tanah asalnya, sebelum tanah disawahkan. Karena tanah sawah dapat berasal dari berbagai macam jenis tanah, maka menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999; 2003) pada kategori yang paling kasarpun, yaitu kategori ordo, tanah sawah sudah mempunyai nama yang berbeda-beda. Banyak tanah sawah di Indonesia yang klasifikasi tanahnya tidak mengalami perubahan, meskipun tanahnya telah digunakan untuk bertanam padi selama puluhan tahun. Hal ini terjadi karena penyawahan, tidak menghasilkan horizon penciri atau sifat penciri baru, yang dapat merubah klasifikasi tanah lama ke klasifikasi tanah yang baru. Keadaan seperti ini umumnya ditemukan pada tanah dengan air tanah yang sangat dangkal atau tergenang, yang disawahkan.

Pada tanah sawah yang berasal dari lahan kering, perubahan klasifikasi tanah pada kategori tertentu, lebih mungkin dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena penggenangan tanah kering di permukaan, dan metode pengelolaan tanah sawah lain yang dilakukan bertahun-tahun, mampu menghasilkan perubahan sifat morfologi dan sifat-sifat lain secara permanen, meskipun sebagian terbatas di bagian permukaan profil tanah. Perubahan yang menghasilkan sifat morfologi dan sifat-sifat lain yang permanen dalam suatu pedon, menghasilkan horizon penciri atau sifat penciri baru, yang pada kategori klasifikasi tertentu, dapat merubah klasifikasi tanah asal ke dalam klasifikasi tanah baru.

Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978), diperkirakan bahwa sekitar 70% tanah sawah di dataran rendah di Indonesia termasuk dalam ordo Inceptisol, Entisol, dan Vertisol (sepadan dengan: Aluvial, tanah Glei, Regosol, dan Grumusol). Sekitar 22% merupakan pesawahan “uplands” di daerah volkan, yang termasuk dalam ordo Ultisol, Inceptisol, Andisol, dan Alfisol (Latosol, Regosol, Andosol, dan Mediteran). Sedangkan sekitar 6% merupakan pesawahan pada tanah-tanah masam, yang termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning).

Tanah sawah di dataran rendah, di dominasi (55%) oleh subordo Aquept dan Aquent (Aluvial dan Tanah Glei), sedangkan tanah sawah di daerah “uplands” didominasi (17%) oleh subordo Udept (Latosol dan Regosol). Tanah-tanah sawah yang termasuk ke dalam subordo Aquept dan Aquent, umumnya berasal dari tanah dengan air tanah yang sangat dangkal atau selalu tergenang air, khususnya di daerah pelembahan atau lahan rawa. Sedangkan yang termasuk Udept, umumnya berasal dari tanah kering yang disawahkan.

Ordo tanah sawah lain yang cukup luas, adalah Vertisol (Grumusol), sekitar 7%, yang terutama mencakup subordo Aquert, Udert, dan Ustert; Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning), sekitar 6%, dengan subordo utama Aquult dan Paleudult, serta Aquox dan Kandiudox; Alfisol (Mediteran Merah Kuning),

sekitar 4%, terutama subordo Aqualfs, Udalf, dan Ustalf; Andisol (Andosol), sekitar 1%, yang utamanya masuk subordo Udand, Ustand, dan Aquand. Beberapa tanah sawah bukaan baru di daerah “uplands” di luar Jawa, umumnya termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning, Lateritik, Latosol). Tanah sawah yang termasuk Oxisol jumlahnya masih sangat sedikit, diperkirakan <1% dari seluruh tanah sawah yang ada.

Perubahan sifat morfologi tanah yang mempengaruhi klasifikasi tanah

Penggunaan tanah untuk padi sawah dapat menyebabkan perubahan permanen sifat morfologi dan sifat fisiko-kimia tanah asal, yang selanjutnya dapat menyebabkan perubahan klasifikasi tanah. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh cara budi daya padi sawah, seperti pelumpuran lapisan olah dan penggenangan selama pertumbuhan padi, atau akibat cara pembuatan sawah, seperti pembuatan teras, pembuatan saluran drainase pada tanah rawa, dan sebagainya. Namun demikian, kadang-kadang perubahan tersebut hanya sedikit terlihat dan umumnya hanya terbatas pada horizon permukaan. Perubahan tersebut kadang-kadang juga hanya bersifat sementara, dalam arti, terbatas hanya pada waktu sedang disawahkan.

Sementara bila digunakan lagi untuk pertanian lahan kering (palawija), sifat tanah berubah kembali mendekati ke sifat tanah asalnya. Pada Vertisol, perubahan kembali ke sifat tanah asal lebih jelas terlihat. Setelah satu siklus pergiliran tanaman, padi-palawija-padi, terjadi proses pedoturbasi, yaitu proses perubahan kembali ke sifat tanah asal karena sifat-sifat tanahnya sendiri, yang dalam hal ini sifat mengembang-mengkerut.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut, maka perubahan sifat morfologi tanah akibat penyawahan, secara taksonomi sering dianggap tidak terlalu penting dan tidak dapat dicerminkan dalam klasifikasi tanah (Dudal and Moormann, 1964;

Wada, 1966). Walaupun demikian, perubahan yang permanen yang penting untuk klasifikasi tanah dapat juga terjadi, sebagai akibat efek kumulatif dari perubahan-perubahan musiman atau berbagai praktek pengelolaan tanah sawah. Perubahan sifat-sifat morfologi tanah yang berpengaruh terhadap klasifikasi tanah meliputi: (1) perubahan rejim kelembapan tanah; (2) perubahan karena pembuatan teras; (3) perubahan karena terbentuknya horizon tambahan; dan (4) perubahan karena terbentuknya horizon albik.

(1) Perubahan rejim kelembapan tanah

Karena tanah sawah terus-menerus digenangi air selama pertumbuhan tanaman padi, maka secara umum telah terjadi perubahan rejim kelembapan tanah, dari rejim ustik menjadi udik, atau dari udik menjadi rejim akuik. Selain itu, pada tanah sawah, akibat pelumpuran lapisan olah dan penggenangan secara terus-menerus, tercipta kondisi akuik yang secara khusus disebut “kondisi anthrakuik” (anthraquic condition). Kondisi anthrakuik adalah kondisi akuik yang khusus, yang terjadi karena tanah ditanami dan digenangi (irigasi) secara sengaja oleh manusia.

Tanah dengan “kondisi anthrakuik” harus memenuhi syarat kondisi akuik, dan juga memenuhi kedua persyaratan berikut (Soil Survey Staff, 1996):

a. Di bawah lapisan atas yang diolah, langsung ditemukan lapisan dengan permeabilitas lambat, yang selama tiga bulan atau lebih pertahun, harus:

(1) Jenuh air dan tereduksi; dan

(2) Kroma pada matriks harus, 2 atau kurang; dan b. Horizon bawah memiliki satu atau lebih, hal-hal berikut:

(1) Deplesi redoks dengan warna value (lembap) empat atau lebih, dan kroma 2 atau kurang; atau

(3) Mengandung Fe (ekstraksi sitrat ditionit) dua kali lebih banyak atau lebih, dibandingkan dengan lapisan olah.

Dalam edisi terakhir Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999; 2003), kondisi anthrakuik termasuk sebagai sifat penciri untuk tanah mineral dan tanah organik, dan didefinisikan secara lengkap sebagai “saturasi anthrik”, yaitu salah satu dari tiga tipe penjenuhan/saturasi, selain “endosaturasi”, dan “episaturasi”. Sedangkan “kondisi anthrakuik” dianggap merupakan “variant” dari episaturasi, yang berkaitan dengan penggenangan terus-menerus pada budi daya padi sawah.

Pada edisi Taksonomi Tanah terdahulu, kondisi anthrakuik mencerminkan kandungan P yang tinggi, tetapi pada edisi-edisi terakhir, kandungan P tinggi bukan merupakan persyaratan lagi. Perlu juga dicatat bahwa kondisi akuik yang diperhitungkan dalam Taksonomi Tanah, adalah kondisi akuik yang telah dapat menghasilkan warna tanah dengan kroma rendah (kroma <2, dan value >4), baik pada seluruh tanah, atau berupa becak-becak, maupun ditemukannya besi-fero aktif, yang bereaksi positif dengan larutan alfa, alfa-dipiridil.

Berdasarkan besarnya perubahan rejim kelembapan tanah tersebut, maka tanah sawah dapat diklasifikasikan ke dalam subordo atau subgrup baru seperti contoh berikut:

Pada tingkat subordo

- Subordo Udept atau Udert, dapat berubah menjadi subordo Aquept (great group Epiaquept) atau Aquert (Epiaquert), bila akibat penyawahan telah menghasilkan kroma rendah, atau mengandung besi-fero aktif pada kedalaman < 50 cm;

- Subordo Udand atau Orthent berubah menjadi Aquand (Epiaquand) atau Aquent (Epiaquent), bila pada kedalaman 40–50 cm ditemukan karatan dengan kroma rendah, atau ditemukan besi-fero aktif akibat penyawahan; - Subordo Udult atau Udalf berubah menjadi Aquult (Epiaquult) atau Aqualf

(Epiaqualf), bila karatan dengan kroma rendah, atau besi-fero aktif ditemukan pada kedalaman 12,5 cm teratas horizon argilik, kandik atau natrik;

Catatan:

Hingga publikasi Taksonomi Tanah terakhir (Soil Survey Staff, 1999; 2003) tidak ditemukan great group dengan awalan “anthra(quic)”, seperti

Anthraqualf, Anthraquent, Anthraquept, Anthraquult, dan sebagainya.

“Kondisi anthrakuik” hanya digunakan pada tingkat subgrup khusus untuk tanah-tanah yang disawahkan, dan hanya terdapat sebelas subgrup “anthraquic”, yaitu masing-masing dua subgrup pada ordo Alfisol, Andisol, Entisol, Inceptisol, dan Ultisol, serta satu subgrup pada ordo Mollisol.

Pada tingkat subgrup

- Typic Dystrudept berubah menjadi Aquic Dystrudept, bila ditemukan kroma rendah, atau besi-fero aktif pada kedalaman <100 cm; atau menjadi Oxyaquic Dystrudept, bila satu lapisan tanah atau lebih, pada kedalaman <100 cm, mengalami jenuh air selama >1 bulan kumulatif, atau >20 hari berturut-turut dalam setahun.

- Beberapa subgrup “typic” juga dapat berubah menjadi subgrup “anthraquic”, pada ordo Alfisol, Andisol, Entisol, Inceptisol, Ultisol, dan Mollisol. Hingga publikasi terakhir (Soil Survey Staff, 2003), hanya ditemukan sebelas subgrup “anthraquic” seperti telah diuraikan terdahulu.

- Subgrup “oxyaquic”, misalnya Oxyaquic Paleudalf, Oxyaquic Udifluvent, dan Oxyaquic Dystrudept, merupakan subgrup tanah sawah yang paling mudah/banyak digunakan, karena ditentukan bukan berdasar pada sifat tanah yang telah terbentuk akibat penyawahan, tetapi hanya didasarkan pada kenyataan adanya satu lapisan tanah atau lebih pada kedalaman <100 cm, yang mengalami jenuh air selama 20 hari atau lebih berturut-turut, atau selama 30 hari atau lebih kumulatif, setiap tahun (Soil Survey Staff, 1999).

(2) Perubahan karena pembuatan teras

Dalam pembuatan teras, bagian atas lereng digali, sedangkan pada bagian bawah lereng, dilakukan penimbunan bahan tanah. Semakin curam lereng, penggalian tanah semakin dalam. Di bagian yang digali, horizon atas penciri (epipedon) dapat hilang, sementara horizon bawah penciri tertinggal sebagian atau hilang sama sekali. Dalam hal ini, dapat terjadi perubahan klasifikasi tanah dari Inceptisol menjadi Entisol (subgrup Lithic). Ultisol atau Alfisol dapat berubah menjadi Inceptisol, karena sebagian bahkan seluruh horizon argilik hilang tergali pada saat pembuatan teras. Kecuali itu, penggalian dapat menyebabkan lapisan plintit menjadi lebih dangkal, sehingga klasifikasi tanah dapat berubah pada tingkat subgrup, misalnya dari Typic Hapludult menjadi Plinthic Hapludult, atau

bahkan pada tingkat great group, misalnya Hapludult berubah menjadi Plinthudult. Pada bagian bawah lereng, yang tertimbun waktu pembuatan teras, terjadi juga perubahan klasifikasi tanah. Di tempat ini, profil tanah asal tertimbun bahan baru, sehingga terbentuk tanah Entisol buatan (artificial), atau terbentuk epipedon antropik yang tebal. Akibat penterasan menyebabkan sifat tanah yang kompleks, sehingga dalam satu teras petak sawah baru dapat ditemukan 2–3 polipedon yang sangat berbeda.

(3) Perubahan karena terbentuknya horizon tambahan

Terbentuknya lapisan tapak bajak tidak mempengaruhi klasifikasi tanah sampai tingkat famili, tetapi dapat digunakan sebagai pembeda pada tingkat seri tanah. Terbentuknya lapisan yang banyak mengandung Fe (Bir) dan Mn (Bmn), mungkin dapat juga merubah klasifikasi tanah.

Hal ini terjadi bila Bir yang tipis (1–2 mm) mengeras, sehingga memenuhi syarat sebagai horizon plakik (placic horizon). Dalam Taksonomi Tanah, jika horizon ini terbentuk maka dapat dikelompokkan dalam great group plakik, misalnya Placaquept dan Placaquand, atau subgrup plakik, misalnya Placic Haplaquept dan Placic Haplaquand.

Adanya akumulasi Fe/Mn yang tidak membentuk horizon plakik, bukan penciri Taksonomi Tanah sampai kategori famili. Perlu diusulkan penggunaannya sebagi penciri dalam Taksonomi Tanah, sesuai dengan sifat tanah sawah yang disebut Aquorizem (Kyuma and Kawaguchi, 1966).

(4) Perubahan karena terbentuknya horizon albik

Penggenangan dan pengeringan yang bergantian menyebabkan proses reduksi dan oksidasi yang bergantian di lapisan permukaan tanah, sehingga suatu proses yang disebut ferolisis dapat terjadi di lapisan tersebut, yang dapat membentuk horizon albik. Proses ferolisis umumnya terjadi pada tanah masam yang mengalami penggenangan dan pengeringan silih berganti.

Terjadinya warna pucat, pada dasarnya disebabkan oleh pencucian Fe yang kuat dari lapisan atas, karena pada saat tergenang besi-feri (Fe-III) tereduksi

menjadi besi-fero (Fe-II) yang mudah larut. Suatu proses yang cukup kompleks telah terjadi dalam proses ferolisis, sehingga dapat terjadi penghancuran liat, dan apabila tanah mengandung mineral liat 2:1, maka dapat terbentuk mineral liat 2:1 interlayer, yang disebut “hydroxy interlayered vermiculite (HIV) (Brinkman, 1970). Apabila akibat penyawahan dapat menghasilkan horizon albik, maka klasifikasi tanah dalam tingkat great group dapat berubah, misalnya dari Haplaqualf menjadi Albaqualf.