BAB II WAQF AL-MU’ÂNAQAH
A. Definisi Waqf
3. Klasifikasi Waqf
Menurut Syeikh Muhammad Makki Nashr al-Jirisi dalam kitab Nihâyatu al-Qawli al-Mufîd bahwa waqf terklasifikasi menjadi 4 (empat) bagian yaitu ikhtibâri (menguji atau mencoba), idhthirâri (darurat), intizhâri (menunggu) dan ikhtiyâri (pilihan).20 Para ulama berbeda pandangan tentang pembagian waqf ikhtiyâri. Ada ulama yang membatasi waqf menjadi 2 (dua) bagian yaitu tâmm (sempurna) dan qabîh (buruk). Imam al-Suyȗthi membagi waqf menjadi 3 (tiga) yaitu tâmm (sempurna), hasan (baik) dan qabîh (buruk).21 Sedangkan
17 Athiyah Qabil Nashr, Ghâyatu al-Murîd fî „Ilmi al-Tajwîd, h. 221
18 Athiyah Qabil Nashr, Ghâyatu al-Murîd fî „Ilmi al-Tajwîd, h. 222
19 Jalâluddîn al-Suyȗthi, al-Itqân fi „Ulȗmi al-Qur‟ân, h. 762
20 Waqf ikhtibâri yaitu berhenti pada ayat yang belum sempurna dalam proses ujian hafalan atau pengajaran Al-Qur‘an. Adapun waqf idhthirâri yaitu berhenti pada ayat yang belum sempurna yang dilakukan dalam kondisi darurat atau terpaksa seperti kehabisan nafas, batuk, dan lainnya. Adapuan waqf intizhâri yaitu berhenti pada ayat yang belum sempurna yang dilakukan dalam proses belajar mengajar Al-Qur‘an. Sedangkan waqf ikhtiyâri yaitu berhenti berdasarkan pilihan sendiri sesuai dengan penguasaan kaedah bahasa Arab. Muhammad Makky Nashr Jarîsi, Nihâyatu Qawli Mufîd fî „ilmi tajwîdi al-Qur‟ân al-Majîd, Cairo: Maktabatu al-Adâb, 2011, hal. 203
21 Jalâluddîn Suyȗthi, Itqân fi „Ulȗmi Qur‟an, Libanon: Mu`assasatu al-Risâlah, 2008, hal. 178
Syeikh Ali bin Muhammad al-Nȗri mengklasifikasikan waqf menjadi 4 kategori yaitu tâmm (sempurna), kâfi (cukup), hasan (baik), dan qabîh (buruk).22
Dari beberapa pandangan tersebut, Syeikh Muhammad Makki Nashr al-Jirisi menarik benang merah dengan membagi waqf ikhtiyâri menjadi 4 (empat) kategori yaitu tâmm (sempurna), kâfi (cukup), hasan (baik), dan qabîh (buruk), dengan penjelasan sebagai berikut:23 a. Waqf Tâmm
Yaitu menghentikan bacaan pada kalimat yang sempurna makna dan lafazh, serta tidak memiliki keterkaitan lafazh maupun makna dengan kalimat sesudahnya. Lokasi waqf tâmm terdapat di akhir surat, akhir ayat, pertengahan ayat, atau akhir sebuah tema atau kisah. Waqf ini tidak memiliki simbol khusus dalam penulisan di mushaf, karena waqf ini lebih mengarah kepada substansi ayat atau kalimat.
Contoh surat al-Baqarah/2:5 sebagai berikut:
َهِ ىٌُّٰۤٚا َْ ُْٛسٍِْفٌُّْا ُُُ٘ َهِ ىٌُّٰۤٚاَٚ ۙ ُِِّْٙثَّس ِِّْٓ ًٜذُ٘ ٍَّٰٝػ
٘
Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.Waqf sempurna pada kata ―al-muflihȗn‖karena mengakhiri penjelasakan tentang tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa.
b. Waqf Kâfi
Yaitu menghentikan suatu bacaan pada kalimat yang telah sempurna makna, dan hanya memiliki keterkaitan makna dengan kalimat sesudahnya tanpa adanya keterkaitan i‟râb dengan kalimat sesudahnya. Oleh karena itu, setiap perkataan yang dapat dipahami dan tidak memiliki keterkaitan lafazh dengan kalimat setelahnya, maka waqf padanya disebut waqf kâfi. Waqf kâfi biasanya disimbolkan dalam mushaf dengan huruf صٍٝ atau لٍٝ .
Contoh waqf pada kalimat ―thayyibât‖ dan memulai dari kalimat sesudahnya dalam surat al-Mâ`idah/5:5 sebagai berikut,
ۖ ٌَُُّْٙ ًٌِّز ُُْىُِبَؼَغَٚۖ ُُْىٌَّ ًٌِّز َتّٰزِىٌْا اُٛر ُْٚا َْٓ٠ِزٌَّا َُبَؼَغَٚ ُۗذّٰجِّ١َّطٌا ُُُىٌَ ًَِّزُا َََْٛ١ٌَْا Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.
c. Waqf Hasan
22 al-Sajawindi, „Ilalu al-Wuqȗf, h. 61
23 Al-Makky, Nihâyatu al-Qawli al-Mufîd…, h. 204 - 222.
Yaitu menghentikan bacaan pada suatu kalimat yang memiliki keterkatian dengan kalimat sesudahnya secara lafazh dengan syarat sempurna makna kalimat tersebut. Disebut waqf hasan karena amat baik untuk menghentikan bacaan guna mengambil faedah, namun jika waqf ini terdapat di tengah ayat maka dianjurkan untuk diwashalkan. Dalam mushaf, waqf ini biasanya disimbolkan dengan huruf shâd lâm (lebih baik washal).
Contoh waqf pada kalimat ―‟alayhim‖ dan memulai dari kalimat sesudahnya dalam surat al-Fatihah/1:7 sebagai berikut,
ُِْْٙ١ٍََػ َذَّْؼَْٔا َْٓ٠ِزٌَّا َغاَشِص َْٓ١ٌِّۤبَّعٌا َلَْٚ ُِْْٙ١ٍََػ ِةُْٛعْغٌَّْا ِشْ١َغ ۙە
ࣖ ٧
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
d. Waqf Qabîh
Yaitu berhenti pada kalimat yang tidak bisa dipahami secara makna karena masih terkait kuat dengan kalimat setelahnya baik secara makna maupun lafazh, kecuali dalam kondisi darurat seperti kehabisan nafas, batuk, bersin dan lain sebagainya. Disebut waqf buruk disebabkan buruknya lokasi waqf yang menyebabkan terputusnya makna atau melahirkan makna yang tidak sesuai dengan Dzat Allah SWT, sehingga ketika memulai bacaan harus diawali dengan kalimat sebelumnya. Contoh waqf pada lafazh ―lâ yastahyî‖ dalam surat al-Baqarah/2:26 sebagai berikut:
ۗ بََٙل َْٛف بََّف ًخَظُْٛؼَث بَِّ ًلاَثَِ َةِشْعَّ٠ َْْا ٓ ْٟسَزْغَ٠ َلْ َ ّّٰاللّ َِّْا Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu.
Salah satu ulama Al-Qur‘an yang berperan penting dalam perumusan tanda waqf dan simbol-simbol lainnya adalah Imam Muhammad bin Thaifur al-Sajawindi (wafat 560 H), beliau adalah ulama Al-Qur‘an yang membuat rumusan kaidah waqf dan membaginya menjadi 5 (lima) jenis waqf yaitu:24
a. Waqf Lâzim (wajib berhenti), adalah berhenti pada kalimat yang jika diteruskan akan merusak makna. Seperti contoh berhenti pada kalimat ―fatawalla „anhum‖ pada surat al-Qamar/54:6 sebagai berikut,
ٍۙشُىُّٔ ٍءَْٟش ٌِّٰٝا ِعاَّذٌا ُعْذَ٠ َََْٛ٠ ۘ َُُْْٕٙػ َّيََٛزَف
ٙ
Maka berpalinglah engkau (Muhammad) dari mereka, pada hari (ketika) penyeru (malaikat) mengajak (mereka) kepada sesuatu yang tidak menyenangkan (hari pembalasan).
24 al-Sajawindi, „Ilalu al-Wuqȗf, h. 60
Jika ―fatawalla „anhum‖ diwashalkan dengan kalimat ―yawma yad‟u‖ niscaya makna menjadi berpalinglah engkau dari mereka pada hari ditiupkan sangkakala, dan ini mustahil.
b. Waqf muthlaq (berhenti), adalah berhenti pada kalimat yang kalimat sesudahnya amat baik ibtida` seperti mubtada`.
c. Waqf jâ`iz (boleh berhenti), berhenti pada kalimat yang dibolehkan washal dan waqf berdasarkan keterhubungan dua sisi makna yang berbeda. Seperti pada surat al-Baqarah/2:4 sebagai berikut,
ٓبََِٚ َهْ١ٌَِا َيِضُْٔا ٓبَِّث َُِِْْْٕٛإُ٠ َْٓ٠ِزٌَّاَٚ
َْۗ ُِْٕٛلُْٛ٠ ُُْ٘ ِحَشِخّٰ ْلْبِثَٚ ۚ َهٍِْجَل ِِْٓ َيِضُْٔا
ٗ
Dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.
Dibolehkan washal pada kalimat ―min qablika‖ karna huruf wawu „athaf pada kata ―wa bi al-âkhirati‖ menghendaki washal atau dibaca terus.
d. Waqf mujawwaz li wujȗhin, yaitu dibolehkan berhenti karena alasan tertentu. Contoh Surat al-Baqarah/2:86 sebagai berikut,
َهِ ىٌُّٰۤٚا ُُْ٘ َلَْٚ ُةاَزَؼٌْا َُُُْٕٙػ ُفَّفَخُ٠ َلاَف ۖ ِحَشِخّٰ ْلْبِث بَ١ُّْٔذٌا َحّٰٛ١َسٌْا اَُٚشَزْشا َْٓ٠ِزٌَّا
َْ ُْٚشَصُْٕ٠
ࣖ ٨ٙ
Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka tidak akan diringankan azabnya dan mereka tidak akan ditolong.
e. Waqf murakhkhash li dharurah, yaitu dibolehkan berhenti karena darurat seperti napas tidak cukup karena ayat yang amat panjang.
Seperti berhenti pada kata ―wa samâ`a bina`an‖ dalam surat al-Baqarah/2:22;
ُُُىٌَ ًََؼَخ ِْٞزٌَّا َِِٓ ِٗث َجَشْخَبَف ًءۤبَِ ِءۤبََّّغٌا َِِٓ َيَضَْٔاَّٚۖ ًءۤبَِٕث َءۤبََّّغٌاَّٚ بًشاَشِف َضْسَ ْلْا
َْ ٍَُّْْٛؼَر ُُْزَْٔاَّٚ اًداَذَْٔا ِ ِّّٰلِلّ اٍَُْٛؼ ْدَر َلاَف ۚ ُُْىٌَّ بًلْصِس ِد ّٰشََّّثٌا
ٕٕ
(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Seluruh hukum waqf ini dirumuskan dalam bentuk huruf hijaiyah yaitu huruf mîm untuk waqf lâzim, huruf thâ` untuk waqf muthlaq, huruf jîm untuk waqf jâ`iz, huruf zai untuk waqf mujawwaz, dan huruf shad untuk waqf murakhkhash.25
B. Definisi al-Mu’ânaqah dan Urgensinya
25 Hâdi Ma‘rifat, Sejarah Al-Qur‟an, diterjemahkan dari buku Târîkh Al-Qur‘an oleh Thoha Musawa, Penerbit al-Huda, Jakarta: 2007, Cet. II, hal. 186