IV.3 Interaksi Antardomain dan Stabilitas Termal Enzim
IV.3.1 Klenow-like DNA Pol I ITB-1
Temperatur optimum aktivitas polimerase enzim DNA Pol I ITB-1 WT dilaporkan sebesar 650C (338 K) (Ambarsari dkk., 2006). Untuk itu telah dilakukan simulasi unfolding termal di atas temperatur optimal yaitu 350, 400 dan 500 K. Simulasi pada temperatur tinggi bertujuan untuk mempercepat proses denaturasi enzim sehingga pengamatan terhadap bagian labil, fleksibel maupun stabil selama proses denaturasi enzim dapat berlangsung dalam rentang waktu yang lebih singkat. Sebagaimana dilakukan oleh Li and Dagget (1994) yang menggunakan SDM pada temperatur tinggi untuk mempercepat kinetika unfolding
kimotripsin inhibitor 2 (CI2). Day dkk. (2002) melaporkan bahwa proses unfolding protein CI2 tersebut dapat dipercepat dengan menaikkan temperatur tanpa terjadi perubahan pada jalur unfolding-nya.
Pada temperatur 500 K, proses unfolding Klenow-like DNA Pol I ITB-1 berlangsung secara spontan dalam rentang waktu yang sangat cepat (Gambar IV.12). Hal ini menyulitkan penentuan daerah-daerah labil maupun stabil dari protein. Hal ini ditunjukkan oleh kurva RMSD, terlihat bahwa sejak awal simulasi di 500 K telah terjadi lonjakan nilai RMSD yang mencapai nilai 80 Å. Demikian juga simulasi pada 400 K, nilai RMSD sistem secara berkesinambungan naik menuju 60 Å. Secara kualitatif, melalui snapshot trajektori terlihat bahwa enzim sudah mengalami proses unfolding dan kerusakan struktur tersier serta sebagian struktur sekundernya (Gambar IV.13a dan 13b).
Gambar IV.12 Kurva RMSD Klenow-like DNA Pol I ITB-1 terhadap waktu simulasi pada temperatur 350 (hitam), 400 (merah) dan 500 K (hijau).
Profil RMSD pada 350 K menunjukkan pola yang berbeda dengan kedua temperatur di atas. Pada temperatur ini, nilai RMSD cukup konstan pada kisaran nilai 9 Å sampai periode waktu 500 ps. Kemudian terjadi peningkatan nilai RMSD yang cukup tajam mencapai ~29 Å pada 900 ps dan setelah 1200 ps nilai RMSD secara berkesinambungan naik hingga mencapai ~60 Å. Adanya kenaikan nilai RMSD yang cukup signifikan pada rentang 500-900 ps mengindikasikan terjadinya proses unfolding secara kooperatif. Beberapa perubahan konformasi penting selama simulasi pada 350 K ditampilkan dalam bentuk snapshot trajektori (Gambar IV.13c). Pada rentang waktu terjadinya kenaikan RMSD yang cukup tajam (500-900 ps), daerah antarmuka kedua domain mulai terpisah. Namun demikian, masing-masing domain masih berada dalam folded yang sesuai. Pada saat yang sama secara kuantitatif terlihat bahwa komponen struktur sekunder enzim belum banyak mengalami perubahan (Gambar IV.15b).
Untuk mendapatkan gambaran secara kuantitatif terhadap proses simulasi pada temperatur tinggi dilakukan perhitungan nilai SASA dan komposisi struktur sekunder. Pada 400 dan 500 K terjadi peningkatan signifikan nilai SASA total dan SASA non-polar (Gambar IV.14a), secara bersamaan terjadi penurunan secara signifikan komponen struktur sekunder utama, yaitu α-helix dan β-sheet (Gambar IV.14b). Meningkatnya nilai luas permukaan protein yang dapat di akses pelarut mengindikasikan bahwa enzim sudah mengalami kerusakan struktur tersier yang cukup besar sebagaimana yang terlihat dari snapshot trajektori (Gambar IV.13a dan 13b).
(a)
(b)
(c)
Gambar IV.13 Perubahan konformasi Klenow-like DNA Pol I ITB-1 yang teramati pada simulasi (a) 500 K; (b) 400 K dan (c) 350 K. Terpisahnya antarmuka kedua domain ditandai dengan lingkaran hitam.
(a)
(b)
Gambar IV.14 (a) Evaluasi perubahan konformasi global yang ditandai dengan kenaikan nilai SASA total dan SASA non-polar selama berlangsungnya simulasi di 400 dan 500 K; SASA total ditandai dengan garis hitam (400 K) dan hijau (500 K), sedangkan nilai SASA non-polar ditandai dengan garis merah (400 K) dan kuning (500 K) (b) Persentase perubahan komposisi struktur sekunder selama simulasi di 400 dan 500 K; α-helix pada 400 K (hitam), α -helix pada 500 K (hijau), β-sheet pada 400 K (merah), β-sheet pada 500 K (kuning).
Sedangkan hasil perhitungan terhadap komposisi struktur sekunder pada simulasi 350 K (Gambar IV.15a) memperlihatkan bahwa komposisi α-helix dan β-sheet relatif tidak mengalami perubahan hingga ~1000 ps meskipun setelah itu komponen β-sheet cenderung turun. Hal ini kembali bersesuaian dengan fenomena yang terlihat pada snapshot trajektori. Namun hasil perhitungan SASA total (Gambar IV.15b) dan SASA non-polar (Gambar IV.15c) sebagai fungsi waktu memperlihatkan adanya transisi pada rentang waktu yang sama (500-900 ps) dengan profil RMSD. Hal ini mengindikasikan bahwa pada rentang waktu tersebut, residu-residu non-polar khususnya, yang terdapat di dalam interior protein terbuka ke permukaan sehingga area yang dapat diakses oleh pelarut menjadi lebih tinggi. Simulasi di 350 K lebih mempengaruhi perubahan konformasi struktur tersier Klenow-like DNA Pol I ITB-1 dibanding perubahan pada struktur sekundernya. Adanya transisi secara bertahap menyebabkan analisis proses unfolding dapat diamati dengan lebih seksama. Karenanya untuk menganalisis stabilitas termal Klenow-like DNA Pol I ITB-1 selanjutnya digunakan data simulasi pada 350 K. Namun demikian simulasi di 3 temperatur yaitu 350, 400 dan 500 K memperlihatkan adanya kesamaan fenomena pada salah satu jalur unfolding yang teramati yaitu terpisahnya kedua domain antara domain eksonuklease 3’5’ dengan polimerase 5’3’.
(a)
(b)
(c)
Gambar IV.15 Analisis perubahan struktur sekunder dan tersier Klenow-like DNA Pol I ITB-1 selama proses simulasi di 350 K. (a) Persentase komposisi struktur α-helix (hitam) dan β-sheet (merah); (b) Perubahan nilai SASA total (hitam) dan (c) Perubahan nilai SASA non-polar (merah) sebagai fungsi dari waktu simulasi
(Å2 ) (Å2 )
Pengamatan lebih mendalam terhadap proses unfolding dilakukan menggunakan hasil simulasi pada 350 K dengan tujuan mendapatkan informasi residu-residu yang berkontribusi terhadap stabilitas kedua domain. Pada temperatur ini profil nilai RMSD dan SASA (baik total maupun non-polar) memiliki pola yang sama yaitu meningkat secara tajam pada selang waktu 500-900 ps. Pengamatan terhadap snapshot enzim (Gambar IV.13c) pada selang waktu tersebut menunjukkan bahwa terjadi pemisahan daerah antarmuka domain polimerase 5’3’ dan domain eksonuklease 3’5’. Hal ini mungkin yang menyebabkan kenaikan tajam nilai RMSD dan SASA. Analisis lebih lanjut menyarankan bahwa proses pemisahan antarmuka kedua domain dipicu oleh putusnya interaksi elektrostatik antardomain antara Lys381-Glu487 dan Lys374-Glu489. Jarak kedua interaksi selama proses simulasi menunjukkan bahwa kedua interaksi antardomain stabil hingga mencapai 600 ps (Gambar IV.16), kemudian terjadi kenaikan jarak secara tajam pada rentang waktu yang sama dengan kenaikan nilai RMSD (Gambar IV.13) dan SASA (Gambar IV.15b dan 15c). Keseluruhan data-data tersebut menyarankan bahwa interaksi antardomain antara Lys381-Glu487 dan Lys374-Glu489 berperan penting dalam mempertahankan kontak antarmuka kedua domain.
Gambar IV.16 Jarak ikatan interaksi elektrostatik antara Lys381-Glu487 (merah) dan Lys374-Glu489 (hitam) selama proses simulasi pada 350 K.
(Å)
Untuk mempelajari pengaruh interaksi elektrostatik antardomain terhadap stabilitas termal enzim, dilakukan mutasi pada model enzim Klenow-like DNA Pol I ITB-1 WT secara in silico sehingga diperoleh beberapa varian model enzim mutan. Mutasi dilakukan terhadap residu-residu asam amino yang diduga berperan dalam interaksi elektrostatik dan menggantinya dengan residu asam amino yang lain atas dasar kemiripan struktur. Hasilnya diperoleh empat mutan in silico yaitu Glu487Gln, Glu489Gln, Glu487Asp dan Glu489Asp. Kedua mutan pertama (Glu487Gln dan Glu489Gln) akan mengubah interaksi elektrostatik menjadi ikatan hidrogen. Sedangkan kedua mutan terakhir, Glu487Asp dan Glu489Asp, dirancang untuk tetap mempertahankan interaksi elektrostatik. Untuk menganalisis efek mutasi terhadap stabilitas termal enzim secara kuantitatif, dilakukan perhitungan nilai perubahan energi bebas (∆∆Gsolv) (Gambar IV.17) melalui pendekatan free energy perturbation (FEP) (Kollman, 1993; Ghoufi dkk., 2004).
Mutan Glu487Gln menunjukkan nilai ∆∆Gsolv positif, mengindikasikan bahwa mutan lebih tidak stabil dibandingkan WT-nya. Hasil ini menyarankan bahwa interaksi elektrostatik tersebut memiliki peran signifikan, karena menggantinya dengan ikatan hidrogen menyebabkan destabilisasi enzim. Nilai ∆∆Gsolv untuk mutan Glu489Gln tidak berhasil didapatkan, karena sistem menjadi tidak stabil ketika disimulasikan. Sedangkan kelompok mutan kedua yaitu Glu478Asp dan Glu489Asp menghasilkan nilai ∆∆Gsolv negatif yaitu sebesar -21.5 kkal/mol dan -14.1 kkal/mol (Gambar IV.17). Hal ini lebih menguatkan hipotesis bahwa interaksi elektrostatik antardomain berperan penting dalam proses awal unfolding dari Klenow-like DNA Pol I ITB-1. Interaksi tersebut harus tetap dipertahankan untuk menjaga integritas kedua domain, bahkan mutasi Glu menjadi Asp pada posisi 478 atau 489 dapat meningkatkan kestabilan model enzim. Hasil simulasi ini memberikan informasi bahwa interaksi elektrostatik yang terdapat pada daerah antarmuka domain polimerase dan eksonuklease 3’5’ berperan penting dalam mempertahankan stabilitas termal Klenow-like DNA Pol I ITB-1 terutama untuk mempertahankan integritas kedua domain.
Glu dan Asp memiliki nilai indeks hidropati yang sama sebesar -3.5 (Kyte and Doolittle, 1982). Indeks hidropati didefinisikan sebagai koefisien partisi residu asam amino ketika diletakkan dalam 2 sistem pelarut yang berbeda yaitu air dan pelarut organik. Nilai indeks hidropati positif menyarankan bahwa asam amino tersebut lebih suka berada pada pelarut organik karena efek hirofobik menstabilkan residu tersebut. Asam amino non-polar pada umumnya akan memiliki nilai indeks hidropati positif, sedangkan asam amino polar dan bermuatan akan memiliki nilai indeks hidropati yang negatif. Karena samanya nilai indeks hidropati Glu dan Asp, maka parameter ini tidak dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh stabilitas Asp yang lebih tinggi daripada Glu.
Kemungkinan besar Asp lebih menstabilkan enzim karena rantai samping Asp (R = -CH2-COOH) lebih pendek daripada Glu (R = -CH2-CH2-COOH) sehingga dapat mengurangi kontak yang tidak sesuai (unfavorable) dengan pelarut (Vieille Gambar IV.17 Kurva ∆∆Gsolv sebagai fungsi dari parameter kopling (λ) ketiga mutan in silico yaitu Glu487Gln (merah), Glu478Asp (hitam);
Glu489Asp (hijau)
dan Zeikus, 2001). Nilai pKa gugus karboksil-α dan gugus amino-α antara Asp dan Glu tidak terlalu jauh berbeda, secara berurutan memiliki nilai sebesar 2.1;
2.2; 9.8 dan 9.7. Perbedaan cukup signifikan terjadi pada rantai samping kedua asam amino tersebut dengan nilai pKa rantai samping Asp (3.9) lebih asam dibandingkan pKa rantai samping Glu (4.2) menyebabkan Asp lebih mudah mempertahankan muatan negatifnya daripada Glu (Mathews dan van Holde, 1996). Hal ini menyebabkan interaksi elektrostatik yang terbentuk antara Asp dengan Lys menjadi lebih kuat sebagai konsekuensi Asp akan lebih menstabilkan konformasi enzim.