• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kodein

Dalam dokumen Intoksikasi Kodein.doc (Halaman 28-34)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kodein

Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu atas dasar dari tujuan pemeriksaan itu sendiri. Yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, yang kedua untuk mengetahui suatu peristiwa.18

Biasanya racun bisa digunakan untuk membunuh tapi keracunan bisa terjadi secara tidak sengaja. 20

Pasal 133 (1) KUHP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.18

2.2.2. Definisi kodein

Kodeina atau kodein (bahasa Inggris: codeine, methylmorphine) ialah asam opiat alkaloid yang dijumpai di dalam candu dalam konsentrasi antara 0,7% dan 2,5%. Kebanyakan kodein yang digunakan di Amerika Serikat diproses dari morfin melalui proses metilasi.19

Kodein yang terkonsumsi akan teraktivasi oleh enzim CYP2D6 di dalam hati menjadi morfin, sebelum mengalami proses glusuronidasi, sebuah mekanisme detoksifikasi bagi xenobiotik.19

Walau bagaimanapun, morfin tersebut tidak dapat digunakan, mengingat 90% kodein yang diambil akan dimusnahkan dalam usus halus (rembesan dari hati) sebelum berhasil memasuki peredaran darah. Oleh itu, kodein seolah-olah tidak berpengaruh atas penggunanya, namun efek samping seperti analgesia, sedasi, dan kemurungan pernapasan masih terasa.19

Kodein adalah sejenis obat batuk yang digunakan oleh dokter, namun dapat menyebabkan ketergantungan/efek adiksi sehingga peredarannya dibatasi dan diawasi secara ketat. Kodein adalah alkaloid alamiah yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,3-3,0%. Kodein merupakan opioida alamiah yang paling banyak digunakan dalam pengobatan. Kodein bisa diekstrak dari opium tetapi kadar kodein dalam opium sangat kecil sehingga kodein tidak langsung diperoleh dari opium dengan cara ekstraksi. Sebagian besar kodein yang ada disintesa dari morfin melalui proses O-methylation karena kadar morfin dalam opium jauh lebih besar daripada kadar kodein dalam opium.8,9

Kodein memiliki efek analgesik yang lemah, sekitar ½ dari keuatan analgesik morfin. Oleh karena itu, kodein tidak dipakai untuk menghilangakan rasa nyeri. Kodein adalah

antitusif (antibatuk) yang kuat. Kodein dijumpai dalam air seni sampai dua hari sesudah penggunaan terakhir.9

2.2.3. Struktur kimia dan sifat kodein

Gambar 1. Struktur Kimia Kodein10

Struktur kimia kodein identik dengan struktur kimia morfin, hanya atom hidrogen pada radikal hidroksil fenolik diganti dengan radikal metil. Oleh karena itu, kodein disebut metil morfin atau morfin monometiler atau 7,8 Didehidro- 4,5α-epoksi-3metoksi-17-metilmorfinan 6 α-ol monohidrat. Kristal kodein berbentuk monohidrat, rasanya pahit dan mencair pada 154-155ºC. Kodein hampir tidak larut dalam larutan alkali, sedikit larut salam air, tetapi mudah larut dalam amil alkohol, metanol, dan beberapa asam encer. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein sulfate dan codein phosphate.11

2.2.4. Farmakodinamik kodein12 A. Susunan Saraf Pusat

Efek codein atau morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narcosis. Analgesia oleh morfin dan oploid lain sudah timbul sejak sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan eforia pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah.12

B. Analgesik

Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor, reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan

analgesia terutama pada tingkat spinal. Sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain seperti rasa raba, rasa getar, (vibrasi), penglihatan, dan pendengaran. Pengaruh morfin dan opioid terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin terhadap nyeri tajam dan intermiten. Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 faktor : morfin meninggikan ambang rangsang nyeri, morfin dapat mempengaruhi emosi artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri dari talamus, morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.12

Antara nyeri dan efek analgesic morfin dan opioid lain terdapat antagonism artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgesic dan efek depresi napas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin,maka efek analgesiknya tidak begitu besar. Tetapi bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgesic morfin mencapai maksimum.12

C. Eksitasi

Morfin dan opoid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah efek eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex (reflex excitatory level) SSP. Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya pada kucing morfin menimbulkan mania dan hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang dapat berakhir dengan kematian. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi.12

D. Miosis

Penetesan larutan morfin langsung pada mata tidak menimbulkan miosis, tetapi pemberian secara sistemik menimbulkan miosis dengan mekanisme yang belum jelas. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada penderita glaucoma.12

E. Depresi napas

Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dam bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Morfin dan analgesic opioid lain berguna untuk menghambat refleks batuk. Depresi refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan depresi napas.12

F. Mual dan muntah

Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic

chemoreceptor trigger zone, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri. Apomorfin

menstimulasi CTZ paling kuat. Beberapa derivate fenotiazin yang merupakan penyekat dopamine yang kuat dapat mengadakan antagonisme terhadap efek mual dan muntah morfin. Dengan dosis terapi (15mg morfin subkutan) pada penderita yang berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi pada penderita berobat jalan mual dan muntah terjadi masing-masing 40% dan 15% penderita. Efek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibuler, sebaliknya analgesik opoid sintetik meningkatkan sensitivitas vestibuler.12

G. Saluran cerna

Penyelidikan manusia telah membuktikan bahwa morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.12

H. Lambung

Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah dan dapat ditiadakan oleh rangsang kimia atau psikik. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi.12

Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus kecil. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic usus kecil.12

J. Usus besar

Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih kering. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga penderita tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi.12

K. Duktus koledokus

Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metidihidromorfinon menimbulkan peninggian tekanan dalan duktus koledokus. Keadaan ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat.12

L. Sistem Cardiovaskular

Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Penderita mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pembuluh darah kecil.12

Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah. Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaab hipovolemia karena mudah timbul hipotensi. Pengunaan opioid bersama derivate fenotiazin menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitude serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropine subkutan. Morfin dosis terapi menyebabkan pelebaran pembuluh darah

kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area. Seringkali kulit berkeringat, mungkin karena bertambahnya peredaran darah di kulit. Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat akitivitas oto yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin.12

2.2.5. Farmakokinetik Kodein

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgesic setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesic yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian jenis morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. morfin yang terkonjugasi ditemukan di empedu. Sebagian yang kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.12

Pada proses resorpsinya dari usus jauh lebih baik dari pada morfin, begitu pula FPE-nya lebih ringan hingga lebih kurang 70 % , mencapai sirkulasi besar PP-nya hanya 7%, plasma t ½-nya 3-4 jam. Dalam hati zat diuraikan menjadi norkodein dan 10% menjadi morfin yang mungkin memegang peranan atas efek analgesiknya. Metabolitnya dieksresikan sebagai glukuronida melalui kemih, bersama 5-15% dalam keadaan utuh.12

Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk konjugasi dari kodein, norkodein, dan morfin.12

Dalam dokumen Intoksikasi Kodein.doc (Halaman 28-34)

Dokumen terkait