• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat

4.2.4 Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal

Koefisien difusivitas eddy vertikal didapatkan dengan menggunakan parameterisasi dari bilangan Richardson, dimana koefisien difusivitas eddy berbanding terbalik dengan bilangan Richardson. Nilai dari koefisien difusivitas eddy menggambarkan besarnya proses pencampuran akibat turbulensi, semakin besar nilainya maka proses pencampuran akan semakin besar pula.

Berdasarkan perhitungan (persamaan (6) dan (7)) diperoleh hasil sebaran melintang seperti pada Gambar 11.

Gambar 11. Distribusi melintang koefisien difusivitas eddy (m2/s) perairan Raja Ampat

Sebaran melintang dari koefisien difusivitas eddy dari seluruh stasiun menunjukkan pada lapisan permukaan yaitu kedalaman 0 m – 40 m koefisien difusivitas eddy memiliki nilai yang besar hal ini dapat diartikan terjadi

pencampuran yang besar karena pengaruh angin yang dominan mencampur lapisan permukaan, kemudian pada lapisan piknoklin nilai koefisien difusivitas eddy mengecil terutama pada stasiun 6 di kedalaman 150 m – 200 m dan kembali membesar pada lapisan di bawah piknoklin, kemudian pada kedalaman dibawah 570 m nilai koefisien eddy kembali mengecil dimana keadaan perairan sudah lebih stabil dari aktivitas pencampuran.

Kisaran nilai koefisien difusivitas eddy pada masing-masing stasiun yaitu pada stasiun 3 memiliki kisaran nilai koefisien difusivitas eddy antara 3,234 x 10-3 m2/s dan 5,143 x 10-3 m2/s, pada stasiun 4 nilai koefisien dfusivitas eddy berkisar 2,967 x 10-3 m2/s sampai 0,007201 m2/s sedangkan kisaran nilai koefisien

difusivitas eddy pada stasiun 5 yaitu 5,1 x 10-3 m/s2– 2 x 10-3 m2/s sedangkan pada stasiun 6 memiliki nilai koefisien terendah yaitu 3,1 x 10-5 m2/s dan koefisien tertinggi sebesar 5,122 x 10-3 m2/s. Profil menegak Koefisien difusivitas eddy pada setiap stasiun dapat dilihat di Lampiran 8.

4.2.5 Alih Bahang Vertikal (

Q

z)

Dari hasil perhitungan estimasi alih bahang di perairan Raja Ampat pada kedalaman 3 m - 640 m didapatkan hasil seperti pada Gambar 12, secara keseluruhan nilai alih bahang yang dialihkan secara vertikal antara kolom air berkisar antara -35,4722 W/m2 sampai 239,8686 W/m2.

Berdasarkan Gambar 12 pengalihan bahang terbesar terjadi pada kedalaman 100 m - 200 m yang merupakan lapisan termoklin terutama pada batas-batas antara lapisan termoklin atas dan termoklin bawah dimana terdapat gradien suhu yang besar pada kedalaman tersebut. Pada kedalaman 200 m - 300 m walaupun memiliki nilai koefisien difusivitas eddy yang besar namun nilai alih bahang pada lapisan ini lebih kecil nilainya dikarenakan perbedaan suhu

yang kecil pula pada lapisan tersebut dan sebaran suhunya secara horizontal pun cukup seragam.

Gambar 12. Distribusi melintang alih bahang (W/m2) perairan Raja Ampat.

Pada lapisan dalam ( > 400 m) dimana suhu perairan sudah lebih stabil memberikan nilai alih bahang yang kecil. Pada lapisan teraduk yang memiliki aktivitas pencampuran yang cukup besar memberikan nilai alih bahang yang kecil akibat dari gradien suhu yang kecil pula dimana pada lapisan teraduk suhu perairan sudah lebih seragam.

Nilai alih bahang di perairan Raja Ampat memiliki sebaran vertikal yang bervariasi pada tiap-tiap stasiun. Namun, secara garis besar memiliki pola yang sama yaitu bernilai kecil di lapisan permukaan kemudian membesar pada lapisan termoklin dan kembali mengecil pada lapisan dalam. Pada stasiun 3 nilai alih bahang mencapai 237,6586 W/m2 dengan pengalihan tertinggi berada pada kedalaman 142 m, pada stasiun 4 kisaran alih bahangnya adalah -29,0512 W/m2

– 149,755 W/m2 merupakan kisaran terkecil dibandingkan stasiun yang lain. Stasiun 5 memiliki kisaran alih bahang yang tertinggi yaitu -31,1431 W/m2 sampai 239,8686 W/m2 dengan pengalihan bahang pada kedalaman 92 m

sedangkan pada stasiun 6 pengalihan bahang tertinggi yaitu 188,8957 W/m2 pada kedalaman 240 m dan terendah -35,4722 W/m2.

Berikut ini merupakan tabulasi dari hasil perhitungan rata-rata pengalihan bahang melalui proses turbulensi. Pengalihan bahang rata-rata terbesar

ditunjukkan tabel 2 yaitu pada stasiun 4 dan yang terendah yaitu pada stasiun 5. Selain itu dari tabel 2 juga dapat dilihat hubungan antara alih bahang dengan beberapa parameter turbulensi yang dilakukan. Dalam perhitungannya

pengalihan bahang dipengaruhi oleh koefisien pencampuran, kapasitas bahang dan gradien suhu, dimana gradien suhu memberikan pengaruh yang langsung terhadap pengalihan bahang yaitu semakin besar perbedaan suhu terhadap kedalaman maka semakin besar pula bahang yang dialihkan.

Tabel 2. Perhitungan rata-rata beberapa parameter alih bahang di perairan Raja Ampat pada masing-masing stasiun

Stasiun Shear (s-1) Frekuensi Apung (s-1) Bilangan Richardson Koef.Difusi Eddy (m2/s) Alih Bahang (W/m2) ∆ T (oC) 3 1,009508 0,007253 0,000795 0,005056 20,10975 0,036707 4 1,265929 0,007626 0,000941 0,005048 20,55893 0,038764 5 1,47804 0,007256 0,000723 0,005063 18,686 0,037498 6 0,914968 0,007301 0,006072 0,004993 18,77652 0,037765 Simp.baku 0,254857 0,000179 0,002628 3,21E-05 0,944252 0,000849

Berikut ini merupakan perbandingan alih bahang pada perairan Raja Ampat, Laut Flores dan Selat Ombai (Tabel 3). Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di perairan selat Ombai dan Laut Flores oleh Siregar tahun 2007, pengalihan bahang melalui turbulensi di perairan Raja Ampat memiliki nilai yang lebih besar, hal ini dikarenakan Perairan Raja Ampat adalah salah satu jalur masuk massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang melalui perairan Indonesia sehingga pencampuran dan pengalihan

bahangnya masih lebih besar dibandingkan pada perairan selat Ombai maupun Laut Flores yang merupakan jalur keluar massa air dari perairan Indonesia ke Samudera Hindia dimana asupan bahangnya telah tercampur sebelum memasuki selat Ombai maupun Laut Flores di perairan selat Malaka dan sekitarnya.

Tabel 3. Pencampuran vertikal dan alih bahang pada kedalaman 194 m hingga 241 m di Perairan Raja Ampat (November 2007), Laut Flores dan Selat Ombai (Mei 2005) Lokasi Stasiun Kv (m2/s) Alih Bahang (W/m2) ∆T/∆z (oC/m) Perairan Raja Ampat 3 5,08 x 10-3 20,09 4,04 x 10-2

4 5,1 x 10-3 32,34 6,6 x 10-2 5 5,08 x 10-3 34,20 6,7 x 10-2 6 5,07 x 10-3 43,50 8,72 x 10-2 Laut Flores 1 1,13 x 10-5 2,70 5,83 x 10-2 2 1,05 x 10-5 2,46 5,71 x 10-2 3 1,09 x 10-5 2,43 5,45 x 10-2 4 1,02 x 10-5 2,08 4,98 x 10-2 5 1,05 x 10-5 2,31 5,40 x 10-2 Selat Ombai 1,12 x 10-5 1,42 3,39 x 10-3

Perbandingan dilakukan pada kedalaman 194 m hingga 241 m dengan waktu pengambilan data yang berbeda. Pengambilan data di Perairan raja Ampat dilakukan pada November 2007 sedangkan pengambilan data di Laut Flores dan Selat Ombai dilakukan pada Mei 2005. Perbedaan waktu pengambilan data juga berpengaruh terhadap hasil pengalihan bahangnya yang berkaitan dengan musim, bulan Mei termasuk dalam musim peralihan 1 menuju musim timur dan bulan November merupakan musim peralihan 2 menuju musim barat dimana asupan panas dari matahari lebih banyak.

Selain itu daerah pengamatan berupa selat sempit pada perairan Raja Ampat dibandingkan dengan Laut Flores yang lebih luas memberikan pola arus

pada perairan Raja Ampat lebih kompleks sehingga memberikan shear vertikal yang lebih besar dibandingkan dengan perairan selat Ombai maupun Laut Flores yang memicu proses pencampuran dan pengalihan bahang.

4.3 Difusi Ganda

Difusi ganda memliki peranan yang penting dalam menyebabkan pencampuran air laut (mixing), merubah distribusi suhu dan salinitas secara regional dan membentuk formasi finestructure yang berskala kecil dari variasi vertikal pada suhu dan salinitas (Ffield, 2004). Penelitian ini untuk melihat bagaimana aktivitas difusi ganda di perairan Raja Ampat serta pengaruhnya terhadap pertukaran bahang dalam perairan. Salah satu cara untuk mengetahui aktivitas difusi ganda adalah dengan sudut Turner.

Dokumen terkait