• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Keragaman Morfometrik Anura

4.3.1. Koefisien Keragaman Morfometrik Anura

Dari hasil pengukuran morfometri 135 ekor Anura yang ditemukan di Kecamatan Sibolangit didapatkan perbedaan ukuran morfologi atau parameter yang diukur (Lampiran 1.). Berdasarkan rataan didapatkan kisaran koefisien keragaman dan rata-rata koefisien keragaman yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kisaran Koefisien Keragaman dan Rata-rata Koefisien Keragaman

No. Spesies Kisaran KK Rata-rata KK (%)

1. Duttaphrynys melanostictus 12 ± 56,4 23,5 2. Ingerophrynus divergens 7,9 ± 47,4 22,0 3. Leptophryne barbonica 9,2 ± 62,1 23,2 4. Phrynoidis aspera 9,5 ± 54,7 34,9 5. Phrynoidis juxtaspera 26,8 ± 69,4 42,0 6. Fejervarya cancrivora 2,5 ± 33,6 13,2 7. Fejervarya limnocharis 0,9 ± 38,5 10,3 8. Limnonectes blythi 0,7 ± 21,4 4,6 9. Limnonectes kuhlii 1,9 ± 66,2 17,7 10. Occidozyga sumatrana 2,5 ± 31,9 10,4 11. Leptobrachium hendricksoni 13,6 ± 62,3 32,8 12. Megophrys nasuta 1,5 ± 29,2 7,7 13. Kaloula pulchra 1,5 ± 44,0 3,0 14. Microhyla berdmorei 3,7 ± 47,7 18,3 15. Microhyla heymonsi 9,1 ± 73,0 30,5 16. Huia sumatrana 4,1 ± 33,5 16,6 17. Hylarana chalconota 6,3 ± 75,2 28,2 18. Hylarana erythraea 11,6 ± 64,5 38,6 19. Hylarana kampeni 12,1 ± 77,3 39,9 20. Hylarana nicobariensis 1,8 ± 46,7 13,9 21. Hylarana debussyi 2,3 ± 31,9 15,9 22. Odorrana hosii 6,2 ± 59,2 24,7 23. Nyctixalus pictus 7,0 ±71,7 23,0 24. Polypedates leucomystax 2,9 ± 70,1 23,1 25. Rhachoporus dulitensis 4,4 ± 27,2 11,9 26. Theloderma asperum 3,4 ± 82,5 21,4 27. Theloderma leporosum 1,0 ± 47,4 11,0

Koefisien Keragaman (%) dengan rata-rata paling besar (>20%) yang didapatkan pada spesies Phrynoidis juxtasfera sebesar 42,0%, kemudian disusul secara berurutan, dimulai dari Hylarana kampeni 39,9%, Hylarana erythraea rata- rata sebesar 38,6%, Phrynoidis aspera 34,9%, Leptobrachium hendricksoni

32,8%, Microhyla heymonsi 30,5%, Hylarana chalchonota 28,2%, Odorrana

hosii 24,7%, Duttaphrynus melanostictus 23,5%, Leptophryne borbonica 23,2%,

Polypedates leucomystax 23,1%, Nictyxalus pictus 23,0%, Ingerophrynus

divergens 22,0%, Theloderma asperum 21,4%. Syahid (2009) menjelaskan bahwa

koefisien keragaman yang mencapai lebih dari 20% merupakan koefisien keragaman yang tinggi. Koefisien keragaman yang tinggi mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki keragaman genetik yang cukup tinggi pula. Koefisien keragaman juga dapat mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki status konservasi yang masih dapat dipertahankan maupun yang terancam. Status konservasi menurut IUCN (International Union Conservation Nations) Redlist of

Threatened Species dari14 spesies tersebut merupakan Least Concern (Lampiran

4).

Least Concern adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk kategori manapun, atau dengan kata lain spesies tersebut memiliki resiko rendah untuk punah karena melimpahnya jumlah populasi di alam (IUCN, 2015). Oleh karena itu, koefisien keragaman yang cukup tinggi pada semua spesies menunjukkan bahwa kemungkinan punah masih kecil. Hal tersebut sesuai dengan Kamariah (2011) yang menyatakan bahwa semakin besar ukuran populasi suatu spesies, maka semakin besar keragaman genetik, sehingga semakin kecil kemungkinan populasi tersebut mengalami kepunahan.

Keragaman fenotipik pada setiap individu ditentukan faktor genetik dan lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan (Kamariah, 2011). Hal ini juga didukung adaptasi beberapa spesies yang mampu berasosiasi dengan berbagai tipe lingkungan, bahkan lingkungan manusia. Misalnya, Hylarana

erythraea, H. chalchonota, Phrynoidis aspera, Leptobrachium hendricksoni,

Microhyla heymonsi, Odorrana hosii, Duttaphrynus melanostictus, Polypedates

leucomystax adalah contoh-contoh spesies yang mampu hidup di lingkungan

manusia (Mistar, 2003; Iskandar, 1998). Kemungkinan hal ini disebabkan karena spesies-spesies ini bersifat kosmopolitan. Menurut Rositasari (1997) spesies yang bersifat kosmopolitan biasanya memiliki variasi morfologi yang tinggi sebagai bentuk adaptasi dan respon terhadap luasnya bentangan lingkungan hidupnya.

56

merupakan spesies yang secara nyata berasosiasi langsung dengan kehidupan manusia (Mistar, 2003). Spesies ini mampu mendiami dan berkembang di perairan yang berdekatan langsung dengan kehidupan manusia, seperti parit, kolam-kolam maupun genangan-genangan lain. Kemampuan yang mampu beradaptasi seperti itu akan menimbulkan keragaman morfometrik di setiap lingkungan.

Meskipun kurang mampu berasosiasi dengan kehidupan manusia, spesies lain, seperti Leptophryne borbonica, Ingerophrynus divergens, Nictyxalus pictus,

dan Theloderma asperum juga memiliki keragaman tinggi karena memiliki

penyebaran wilayah yang cukup luas. Penyebaran spesies-spesies ini merata di setiap hutan di berbagai lingkungan. Spesies ini tidak akan berkurang sebab tidak mudah terancam karena tidak langsung mempengaruhi populasi apabila terjadi deforestasi maupun ancaman lainnya. Di samping itu, spesies Nyctixalus pictus, menurut IUCN, merupakan jenis yang berstatus Near Threatened, namun didapatkan memiliki KK yang melebihi 20 %, hal ini diasumsikan karena spesies ini masih memiliki populasi yang cukup banyak di Sibolangit.

Koefisien keragaman yang tergolong sedikit didapatkan pada spesies

Microhyla berdmorei 18,3%, Limnonectes kuhlii 17,7%, Huia sumatrana 16,6%,

Hylarana debussyi 15,9% H. nicobariensis 13,9%, Fejervarya cancrivora 13,2%,

Kaloula pulchra 3,0%, Rhachoporus dulitensis 11,9%, Theloderma leporosum

11,0%, Occidozyga sumatrana 10,4%, Fejervarya limnocharis 10,3%, serta nilai KK paling rendah, yaitu Megophrys nasuta sebesar 7,7% dan Limnonectes blythi 4,6 %. Syahid (2009) menyatakan bahwa apabila koefisien keragaman yang lebih rendah dari 20% dan merupakan koefisien keragaman yang rendah. Koefisien keragaman yang rendah mengindikasikan bahwa spesies tersebut memiliki keragaman genetik yang cukup rendah dan dapat terancam di masa yang akan datang.

Salamena et al. (2007) menjelaskan bahwa keragaman dalam suatu populasi dapat menurun karena adanya seleksi alam, perubahan lingkungan dan kematian. Hal tersebut dapat mengurangi jumlah populasi, sehingga keragaman genetik rendah dan menunjukkan semakin besar kemungkinan spesies tersebut punah. Selain itu Kurniati (2007) menjelaskan kawasan hutan Sumatera,

khususnya Sumatera bagian utara, termasuk kawasan Sibolangit tengah mengalami ancaman seperti penurunan habitat alami, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian, ekowisata dan perkebunan, menjadikan Anura terancam keberadaannya.

Spesies yang terancam seperti Microhyla berdmorei. Dibandingkan dengan M. heymonsi, spesies ini jauh lebih terancam karena secara populasi spesies ini jauh lebih sedikit di Sibolangit. Menurut IUCN (2015), perambahan

(logging) hutan tidak memberikan pengaruh serius bagi spesies ini, namun

populasi di Kecamatan Sibolangit dapat menjadi ancaman, sebab deforestasi dapat mengancam populasi yang sedikit. Pada umumnya berkurangnya populasi akan mempengaruhi ukuran populasi dan merujuk kepada ancaman kepunahan, yang akan menyebabkan jenis-jenis di dalamnya akan mulai punah (Pounds & Crumps, 1994; Pounds et al., 1999). Ancaman terhadap populasi yang kecil juga mengancam spesies-spesies lain, seperti keberadaan Fejervarya limnocharis,

Kaloula pulchra, dan Hylarana nicobariensis.

Selain karena populasi yang kecil yang mendiami suatu wilayah, ancaman lain terhadap Anura karena adanya spesies-spesies endemik yang wilayah penyebarannya terbatas pada suatu wilayah, seperti Huia sumatrana, Hylarana

debussyi, dan Occidozyga sumatrana. Meskipun secara keseluruhan spesies ini

tersebar luas di Sumatera, namun tidak sepenuhnya wilayah Sumatera bisa ditemukan spesies-spesies ini. Spesies endemik biasanya memiliki karakteristik- karakteristik tertentu dalam memilih tipe habitatnya (Fiesta-Bianchet & Appolonio, 2003). Kondisi lingkungan yang spesifik dan tertentu menentukan hidup jenis endemik. Spesies endemik umumnya terbentuk dari fragmentasi habitat yang menyebabkan populasi terisolasi. Hal ini juga dipengaruhi variasi cuaca dan iklim yang dimiliki lingkungan secara spesifik (Kruckeberg & Rabinowitz, 1985; Gentry, 1986, dan Major, 1988)

Meskipun bukan hewan endemik karena dapat ditemukan wilayah tertentu lainnya, spesies Theloderma leporosum, Megophrys nasuta, dan Rhachoporus

dulitensis juga memiliki keragaman morfometrik yang rendah. Hal ini disebabkan

karena spesies ini termasuk jenis yang bergantung pada musim. Kondisi lingkungan dan musim tertentu menentukan kehadiran spesies-spesies ini,

58

misalnya Megophrys nasuta. Katak bertanduk ini merupakan spesies yang dapat berkembang di lingkungan perairan yang mengandung mineral tertentu. Berudu spesies ini sangat sensitif dengan kondisi mineral lingkungannya. Apabila ada kekurangan mineral tertentu pada tahap perkembangannya, berudu akan gagal metamorfosis dan menjadi berudu selama hidupnya (Iskandar, 1998; Mistar, 2003). Menurut IUCN (2015), populasi spesies Theloderma leporosum dan

Rhachoporus dulitensis semakin lama, semakin berkurang. Ancaman terbesar bagi

spesies ini, yaitu kegiatan logging di hutan primer.

Ancaman spesies-spesies Anura yang menyebabkan keragaman rendah dapat disebabkan oleh beberapa gangguan. Gangguan yang ada di lokasi penelitian antara lain pencemaran air. Anura memerlukan air untuk siklus hidupnya, karena memiliki kulit yang permiabel dan lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dibandingkan reptil, burung, mamalia (Darmawan, 2008). Gangguan-gangguan tersebut dapat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas telur dan perkembangan telur amfibi (Carey et al. 2003), diantaranya terjadinya malformasi (kecacatan). Kecacatan ditemukan pada 1 jenis. Jenis Limnonectes

kuhlii merupakan jenis yang memiliki kecacatan. Kecacatan yang di temukan

yaitu jenis Hemimelia (bagian ujung kakinya/jarinya tidak ada) (Gambar 38.)

Gambar 38. Kecacatan yang ditemukan pada Anura; (A) Jenis Limnonectes kuhlii yang mengalami kecacatan; (B) Hemimelia pada jenis Limnonectes kuhlii

Lokasi ditemukannya jenis yang cacat yaitu lokasi Bumi Perkemahan Sibolangit. Lokasi ini memang sedikit tercemar dengan adanya limbah-limbah produk makanan, shampoo, sabun dan bahan kimia aktif lainnya yang bersentuhan

B

langsung dengan sungai. Pencemaran air seperti ini dapat menyebabkan kecacatan (malformasi) pada perkembangan telur Anura yang rentan terhadap polusi lingkungan. Selain itu, penduduk menggunakan pestisida untuk tanaman di sekitar sungai dan sisa-sisa sampah wisatawan juga mengambil peran dalam pencemaran di lingkungan tersebut.

Tingkat kecacatan masih dianggap normal jika persentase masih kurang dari 5% (Johnson et al. 2003). Persentase di lokasi kurang dari 5% karena kecacatan yang ditemukan hanya terjadi pada 1 individu saja, sehingga masih wajar. Namun ini bisa menjadi ancaman dan tingkat kecacatan menjadi meningkat di masa akan datang apabila pencemaran tidak diperhatikan. Apabila keadaan ini akan terus meningkat, tentu saja akan menimbulkan kegagalan reproduksi Anura. Stewart (1995) mengatakan bahwa kegagalan reproduksi terjadi dalam setahun dapat menyebabkan populasi menurun untuk spesies-spesies yang memiliki siklus hidup singkat, seperti Anura. Apabila populasi menurun akan sangat mudah terancam apabila terjadi deforestasi hutan di masa yang akan datang.

Sementara ancaman lain juga menyerang spesies Anura, seperti

Limnonectes kuhlii, Fejervarya cancrivora, dan Limnonectes blythi. Penurunan

keragaman morfometrik spesies ini disebabkan karena turunnya populasi di alam bebas. Spesies-spesies ini merupakan spesies yang sering dikonsumsi oleh masyarakat (Iskandar, 1998; Nurmainis, 2000). Pemanfaatan berlebihan juga dapat mengurangi populasi spesies di lingkungan (Cadman, 2007). Biasanya daging katak yang sering dimanfaatkan yaitu katak berukuran besar. Pemilihan individu-individu yang berukuran besar dalam penggunaannya sebagai makanan secara komersil akan meninggalkan populasi yang berukuran kecil. Selain itu pengambilan individu yang berukuran besar dikhawatirkan secara keseluruhan merupakan individu betina yang matang akan reproduksi (siap untuk bertelur). Ini akan sangat mempengaruhi kelangsungan populasi spesies itu sendiri nantinya.

Koefisien keragaman yang rendah sangat sesuai dengan spesies

Limnonectes blythi yang menurut IUCN berstatus Near Threatened. Near

Threatened adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi dan spesies tersebut mendekati persyaratan kategori terancam (kritis, genting dan rentan) dalam waktu dekat (IUCN, 2015). Oleh karena itu, koefisien

60

keragaman yang kecil pada spesies ini menunjukkan bahwa kemungkinan spesies ini akan terancam punah. Kamariah (2011) yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran populasi suatu spesies, maka semakin kecil keragaman genetik, sehingga semakin besar kemungkinan populasi tersebut mengalami kepunahan.

Dokumen terkait