• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

C. Komentar Penulis

Terlepas dari pembahasan di atas, ada beberapa hal yang penulis anggap perlu dikomentari yaitu:

1. Hakim dalam mempertimbangkan putusannya, tidak terlepas dari apa yang ada dalam surat dakwaan saja, dimana dalam pertimbangannya pada dakwaan pertama adanya izin dari Kepala Desa sehingga Hakim beranggapan bahwa izin tersebut diberikan kepada pihak yang berwenang sehingga dinyatakan tidak memenuhi unsur-unsurnya, sedangkan pada dakwaan kedua izin yang diberikan oleh Kepala Desa dinyatakan tidak sah dikarenakan pihak yang tidak berwenang dalam memberikan izin mengenai penebangan pohon. Bukankah izin dari Kepala Desa tersebut tidak ada atau memerlukan pengklarifikasian tertentu. Disini Hakim senantiasa terbelengguh dengan penafsiran yang terbatas dengan mengacu semata-mata pada Undang-Undang. 2. Hakim tidak mempertimbangkan bahwa Terdakwa adalah penduduk lokal yang menetap di sekitar lokasi penebangan hutan tersebut yang juga memiliki hak untuk mengelola hasil hutan.

3. Dalam pemberian izin yang diberikan oleh Kepala Desa, dimana Kepala Desa juga wajib dipanggil sebagai saksi maupun diperiksa terkait pemberian izin yang diberikan kepada Terdakwa. Karena Kepala Desa juga berperan dalam kasus ini sebagai pemberi izin.

4. Berdasarkan keterangan Terdakwa bahwa alat yang dipakai dalam menebang pohon dalam kawasan hutan tersebut adalah Chainsow (gergaji mesin) milik

temannya, dalam barang bukti yang diajukan di persidangan tidak terdapat alat chainshow tersebut. berdasarkan hasil wawancara terhadap Hakim Ketua yang menangani perkara ini menyatakan semua barang bukti dalam perkara tindak pidana illegal logging diserahkan untuk negara5. Seharusnya pihak penyidik menyita alat tersebut karena bisa saja alat tersebut dipakai lagi untuk merusak hutan.

5. Ketidak jelasan mengenai Undang-undang menyangkut apa yang dimaksud dengan “Illegal Logging”. Ironisnya ketika masyarakat lokal yang mengambil kayu dari hutan untuk bertahan hidup , disamakan dengan orang atau badan hukum swasta yang melakukan pencurian dan pengerusakan hutan secara besar-besaran. Selain itu banyak tindak pidana yang ada di bagian kehutanan seperti penambangan dalam hutan, pembakaran, penebangan dan sebagainya.

5Djulita Tandi Massora, Kepala Pengadilan Negeri Malili, Wawancara, Malili, 4 Februari 2016.

95 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil pembahasan sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan, bahwa :

1. Penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana illegal logging yang didakwakan Terdakwa terjadi kekeliruan atau kesalahan penafsiran antara melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini menurut Hakim pejabat tersebut adalah Kepala Desa, dengan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah, dimana yang dimaksud pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Penerbit Izin Pemanfaatan Kayu Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.26/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Area Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industry dan Hutan Produksi yakni Pejabat Penerbit Izin Pemanfaatan Kayu dengan rekomendasi Gubernur dengan didasarkan pada pertimbangan Bupati/Walikota yang didasarkan pada pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan Kab/Kota dan keputusan Menteri Kehutanan, dengan beberapa tembusan Direktur Jenderal, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kepala Dinas Kab/Kota dan Kepala Balai. Dalam dakwaan Penuntut Umum yang menjadi

Pertimbangan Hakim pada putusan Pengadilan Negeri Malili nomor 65/Pid.B/2015/PN.MLL.

2. Adapun pertimbangan hukum Hakim sudah tepat, baik itu dari segi Motif dan tujuan melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana, sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan tindak pidana, pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

B. Saran

1. Diharapkan agar Majelis Hakim lebih cermat dalam menganalisis dakwaan yang diberikan kepada Terdakwa, sehingga dalam penerapan hukumnya dapat memberikan kepastian hukum kepada Terdakwanya dan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat.

2. Diharapkan agar kiranya Pemerintah lebih bijak memberantas illegal logging dengan cara memaksimalkan pengawasan di kawasan hutan agar pemeliharaan dan pemanfaatan hutan dapat terjaga, bukan hanya menerka dan mencurigai bahwa semua kayu berasal dari hutan.

3. Diharapkan agar Pemerintah dapat lebih mensosialisasikan kepada masyarakat tentang proses perizinan, jenis hutan, dan bagaimana cara pengelolaan hutan dengan benar dan bijak sehingga tidak merusak ekosistem hutan.

4. Diharapkan agar Pemerintah dapat lebih memperketat proses perizinan pengolahan kayu hutan agar kerusakan hutan dapat dicegah untuk menjaga kelestarian hutan di masa yang akan datang.

5. Diharapkan bagi penegak hukum agar kiranya dapat lebih bijak menghadapi kasus-kasus ringan dan lebih mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat. Penulis berharap penegak hukum tidak tebang pilih dalam mengusut perkara di bidang kehutanan.

97 DAFTAR PUSTAKA

Chazawi,Adami. Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Marwam dan Jimmy, Kamus Hukum; Dictionary of Law Complite Edition. Surabaya: Reality Publisher, 2009.

Hamzah, Andi. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Hariri,Wawan Muhwan. Pengantar Ilmu Hukum.Bandung: CV Pustaka Setia. 2012. IGM. Nurdjana dkk. Korupsi dan Illegal Logging dalam Desentralisasi Indonesia.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar,2005.

Iskanda. Hukum Kehutanan. Bandung: Mandar Maju, 2015. Lamintang, Hukum Penitersier Indonesia. Bandung. 1984.

Lamintang, Franciscus Theojoniur Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Marpaung,Leden, Asas teori praktik hukum pidana. Jakarta: Sinar Grafika 2008. Mulyadi, Lilika. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta. PT. Citra

Aditya Bakti 2007.

Moeljatno, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: TP Bumi Aksara 2008.

Ono,Soeroso dkk, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXX No. 358. Jakarta Pusat: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2015.

Richard Stewart and james E. Krier, Environmental law and policy. New York: The hobbs Merril Co.Inc., Indianapolis, 1978.

Salim, H. S. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta. Sinar Grafika, 2006.

Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya

Supriadi.Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta. Sinar grafika, 2010.

Rahmadi Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada, 2012.

Waluyo,Bambang, Pidana dan Pemidanaan. Jakarta. Sinar Grafika 2008. Wartiningsih. Pidana Kehutanan, Malang: Setara Press, 2014.

Widodo, Wiwik Utami. Hukum Pidana & Pinologi. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014.

Zein,Alam Setia. Kamus Kahutanan. Jakarta. PT. Rineka Cipta,2003. Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.26/Menhut-II/2012 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara

Pemberian dan Perluasan Area Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industry dan Hutan Produksi.

Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.

Undang-Undag Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukum Tutupan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Pengerusakan Hutan.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Sumber lainnya :

Tuty Budi Utami, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging, Jurnal di akses ejournal.undip.ac.id /index.php /lawreform /article /download/312/209 (15 Februari 2015).

Pemerintah Kabupaten Luwu timur. “Geografis”. Website Kabupaten Luwu Timur,

www.luwutimurkab.go.id (15 Februari 2016).

“LuwuTimur”. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. https: //id. wikipedia.org/ wiki/

Kabupaten_Luwu_Timur (15 Februari 2016)

Pemerintah Kabupaten Luwu timur. “Kehutanan”. Website Kabupaten Luwu Timur, www.luwutimurkab.go.id (15 Februari 2016).

https://imankuncoro.wordpress.com/2008/08/diakses-pada-hari-Rabu-tanggal-26-Oktober-2015

99

A.MIFTAHUDDIN merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasangan Drs.A.Hasyim dan Muhajirah, lahir di Rappang, 11 September 1994 . Tumbuh dan berkembang dalam masa kanak-kanaknya di Kota Rappang Kabupaten Sidenreng Rappang. Dalam jenjang pendidkannya mulai dari Sekolah Dasar Negeri 6 Rappang tamat pada tahun 2006, selanjutnya di sekolah Madrasah Tsanawiyah YMPI (Yayasan Madrasah Pendidikan Islam) Rappang tamat pada tahun 2009, selanjutnya meneruskan ke jenjang berikutnya pada Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Panca Rijang tamat pada tahun 2012.

Setelah menempuh pendidikan di kampung kemudian hijrah ke Makassar pada tahun 2012 untuk melanjutkan pendidikan pada studi Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Selama mengabdi pada almamater aktif pada organisasi kemahasiswaan, baik intra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum maupun organisasi di luar kampus seperti Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Cabang Sidrap, Independent Low Student, Forum Alumni SMANSA Panca Rijang dan juga Study Club Rumah Ilmu.

Dokumen terkait