• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Model Pembelajaran ARIAS

Dalam dokumen 45189877 Model Model Pembelajaran. docx (Halaman 38-45)

Model Pembelajaran ARIAS

2. Kajian Teori dan Pembahasan 1 Model Pembelajaran ARIAS

2.2 Komponen Model Pembelajaran ARIAS

Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.

Komponen pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang

berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka bertingkah laku untuk mencapai

keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi kinerja aktual seseorang,

sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:

- Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video tapes atau potret seseorang yang telah berhasil (sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin dan Briggs (1986: 427-433) penggunaan model seseorang yang berhasil dapat mengubah sikap dan tingkah laku individu

mendapat dukungan luas dari para ahli. Menggunakan seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri menurut Bandura seperti dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88) sudah dilakukan secara luas di sekolah-sekolah.

- Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat

mencapai keberhasilan (misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).

- Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan kemampuan siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.

- Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.

Komponen kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan baru itu

sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).

Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:

- Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan

mempengaruhi hasil belajar mereka.

- Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.

- Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru.

Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.

Komponen ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh Callahan (1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya harus dibangkitkan

melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan berbagai bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan pembelajaran. Herndon (1987:11-14)

menunjukkan bahwa adanya minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong siswa melanjutkan tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang menarik sesuai dengan minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan memelihara minat/perhatian merupakan usaha

menumbuhkan keingintahuan siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.

Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha

mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara lain adalah:

- Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh yang berbeda dari biasa dalam pembelajaran.

- Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran, misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik yang akan dibicarakan, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan.

- Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti dikutip Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke humor, dari

cepat ke lambat, dari suara keras ke suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.

- Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi dan simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk menarik minat/perhatian siswa.

Komponen keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu bagian pokok dalam pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru dan murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa, evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai. Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs,

1979:157). Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri mereka sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan oleh siswa terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap teman mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik lagi dari

sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta membantu siswa meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14) bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip Beard dan Senior (1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:

 Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.  Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera

menginformasikan hasil evaluasi kepada siswa.

 Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.

 Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman. Komponen kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa yang telah berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu menjadi penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70).

Reinforcement atau penguatan yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa adalah penting dan perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561). Menurut Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari dalam diri individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana

individu merasa puas dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward) menurut Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979:

Model-modelevaluasi hasil belajar PIPS (membahas pengertian validitas kurikulum (curriculum validity) serta perannya terhadap evaluasi hasil belajar; pendekatan dan alat dalam evaluasi hasil belajar PIPS)

TIU:Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa S-1 Pendidikan Sejarah memiliki pengetahuan, wawasan, pengalaman dan ketrampilan dalam:

a. pengertian IPS, Ilmu Sosial, social studies b. landasan filosofis, akademik dan edukatif PIPS c. tradisi social studies dan PIPS

d. teori dan pengembangan tujuan PIPS

e. teori, prosedur, dan model pengembangan materi kurikulum PIPS f. teori, pendekatan, dan model pengembangan proses belajar PIPS g. teori tentang hasil belajar PIPS

h. model-modelevaluasi PIPS

TIK:- Alokasi:16 kali pertemuan Sumber:Andersen,C., P.G. Avery, P.V. Pederson, E.S. Smith, J.L. Sullivan (1997). Divergent perspectives on citizenship education: A Q-method study and survey of social studies teachers. American Educational

Research Journal, 34, 2.

Brophy,J. dan J. Alleman (1996). Powerful social studies for elementary students. Forth Worth: Harcourt Brace College Publisher

Gregg,S.M. dan G. Leinhardt,. (1994). Mapping out geography: an example of epistemology and education. Review of Educational Research, 62, 2.

Hasan,S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hess, F.M. (1999). Bringing the Social Sciences Alive: 10 Simulations for History, Economics, Government, and Geography. Boston: Allyn and Bacon.

Hursh,D.W. dan E.W. Ross (2000). Democratic Social Education: Social Studies for Social Change. New York: Palmer Press.

Lindquist,T. (1995). Seeing the whole through social studies. London: Heinemann NCSS (1994). Curriculum standards for social studies: expectations of excellence. Washington,D.C.: NCSS

Nebraska, Stateboard of Education (1998). Nebraska Social Studies/History Standards: Grades K-12. [Online]. Tersedia:

National Center for History in the Schools (1996). National standards for history. Los Angeles, CA: National Center for History in the Schools

Savage,T.V. dan D.G. Armstrong (1996). Effective teaching in elementary social studies. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Shaver, J.P. (1991). Handbook of research on social studies teaching and learning. A project of the National Council for the Social Studies. New York: Macmillan

Publishing Company.

Semb,G.B. dan J.A. Ellis (1994). Knowledge taught in school: what is remembered? Review of Educational Research, 64, 2.

Stahl,R.J. (ed)(1994). Cooperative learning in social studies: a handbook for teachers. Menlo Park, California: Addison-Wesley Publishing Company.

Thornton,S.J. (1994). The social studies near century’s end: reconsidering patterns of curriculum and instruction, dalam Review of Research in Education, 20.

Wilson,S.M. dan Wineburg,S.S. (1993). Wrinkles in time and place: using

performance assessments to understand the knowledge of history teachers. American Educational Research Journal, 30, 4.

Jurnal

Social Studies

Review of Educational Research Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial Historia Internet http://dir.yahoo.com/Education http://www.stemnet.nf.ca/Curriculum/Validate http://www.ed.uiuc.edu/circe SPIRAL MODEL

Proses model yang lain, yang cukup populer adalah Spiral Model. Model ini juga cukup baru ditemukan, yaitu pada sekitar tahun 1988 oleh Barry Boehm pada artikel

A Spiral Model of Software Development and Enhancement. Spiral model adalah salah satu bentuk evolusi yang menggunakan metode iterasi natural yang dimiliki oleh model prototyping dan digabungkan dengan aspek sistimatis yang dikembangkan dengan model waterfall. Tahap desain umumnya digunakan pada model Waterfall, sedangkan tahap prototyping adalah suatu model dimana software dibuat prototype (incomplete model), “blue-print”-nya, atau contohnya dan ditunjukkan ke user / customer untuk mendapatkan feedback-nya. Jika prototype-nya sudah sesuai dengan

keinginan user / customer, maka proses SE dilanjutkan dengan membuat produk sesungguhnya dengan menambah dan memperbaiki kekurangan dari prototype tadi. Model ini juga mengkombinasikan top-down design dengan bottom-up design, dimana top-down design menetapkan sistem global terlebih dahulu, baru diteruskan dengan detail sistemnya, sedangkan bottom-up design berlaku sebaliknya. Top-down design biasanya diaplikasikan pada model waterfall dengan sequential-nya, sedangkan bottom-up design biasanya diaplikasikan pada model prototyping dengan feedback yang diperoleh. Dari 2 kombinasi tersebut, yaitu kombinasi antara desain dan prototyping, serta top-down dan bottom-up, yang juga diaplikasikan pada model waterfall dan prototype, maka spiral model ini dapat dikatakan sebagai model proses hasil kombinasi dari kedua model tersebut. Oleh karena itu, model ini biasanya dipakai untuk pembuatan software dengan skala besar dan kompleks.

Spiral model dibagi menjadi beberapa framework aktivitas, yang disebut dengan task regions. Kebanyakan aktivitas2 tersebut dibagi antara 3 sampai 6 aktivitas. Berikut adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam spiral model:

Customer communication. Aktivitas yang dibutuhkan untuk membangun komunikasi yang efektif antara developer dengan user / customer terutama mengenai kebutuhan dari customer.

Planning. Aktivitas perencanaan ini dibutuhkan untuk menentukan sumberdaya, perkiraan waktu pengerjaan, dan informasi lainnya yang dibutuhkan untuk pengembangan software.

Analysis risk. Aktivitas analisis resiko ini dijalankan untuk menganalisis baik resiko secara teknikal maupun secara manajerial. Tahap inilah yang mungkin tidak ada pada model proses yang juga menggunakan metode iterasi, tetapi hanya dilakukan pada spiral model.

Engineering. Aktivitas yang dibutuhkan untuk membangun 1 atau lebih representasi dari aplikasi secara teknikal.

Construction & Release. Aktivitas yang dibutuhkan untuk develop software, testing, instalasi dan penyediaan user / costumer support seperti training penggunaan software serta dokumentasi seperti buku manual penggunaan software.

Customer evaluation. Aktivitas yang dibutuhkan untuk mendapatkan feedback dari user / customer berdasarkan evaluasi mereka selama representasi

software pada tahap engineering maupun pada implementasi selama instalasi software pada tahap construction and release.

Berikut adalah gambar dari spiral model secara umum :

Satu lingkaran dari bentuk spiral pada spiral model dibagi menjadi beberapa daerah yang disebut dengan region. Region tersebut dibagi sesuai dengan jumlah aktivitas yang dilakukan dalam spiral model. Tentunya lingkup tugas untuk project yang kecil dan besar berbeda. Untuk project yang besar, setiap region berisi sejumlah tugas-tugas

yang tentunya lebih banyak dan kompleks daripada untuk project yang kecil. SE berjalan dari inti spiral berjalan mengitari sirkuit per sirkuit. Sebagai contoh untuk sirkuit pertama dilakukan untuk pembangunan dari spesifikasi dari software dengan mencari kebutuhan dari customer. Untuk sirkuit pertama harus menjalani semua aktivitas yang didefinisikan. Setelah 1 sirkuit terlewati lanjut ke tugas selanjutnya misalnya membangun prototype. Tugas ini juga harus mengitari 1 sirkuit dan begitu terus selanjutnya sampai project selesai.

Tidak seperti model-model konvesional dimana setelah SE selesai, maka model tersebut juga dianggap selesai. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk spiral model, dimana model ini dapat digunakan kembali sepanjang umur dari software tersebut. Pada umumnya, spiral model digunakan untuk beberapa project seperti Concept Development Project (proyek pengembangan konsep), New Product Development Project (proyek pengembangan produk baru), Product Enhancement Project (proyek peningkatan produk), dan Product Maintenance Project (proyek pemeliharaan proyek). Keempat project tersebut berjalan berurutan mengitari sirkuit dari spiral. Sebagai contoh setelah suatu konsep dikembangkan dengan melalui aktivitas2 dari spiral model, maka dilanjutkan dengan proyek selanjutnya yaitu pengembangan produk baru, peningkatan produk, sampai pemeliharaan proyek. Semuanya melalui sirkuit2 dari spiral model.

Mengapa spiral model begitu populer? Pendekatan dengan model ini sangat baik digunakan untuk pengembangan sistem software dengan skala besar. Karena progres perkembangan dari SE dapat dipantau oleh kedua belah pihak baik developer maupun user / customer, sehingga mereka dapat mengerti dengan baik mengenai software ini begitu juga dengan resiko yang mungkin didapat pada setiap aktivitas yang dilakukan. Selain dari kombinasi 2 buah model yaitu waterfall dan prototyping, kelebihan dari software ini ada pada analisis resiko yang dilakukan, sehingga resiko tersebut dapat direduksi sebelum menjadi suatu masalah besar yang dapat menghambat SE. Model ini membutuhkan konsiderasi langsung terhadap resiko teknis, sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya resiko yang lebih besar. Sebenarnya dengan

menggunakan prototype juga bisa menghindari terjadinya resiko yang muncul, tetapi kelebihan dari model ini yaitu dilakukannya proses prototyping untuk setiap tahap dari evolusi produk secara kontinu. Model ini melakukan tahap2 yang sudah sangat baik didefinisikan pada model waterfall dan ditambah dengan iterasi yang

menyebabkan model ini lebih realistis untuk merefleksikan dunia nyata. Hal-hal itulah yang menjadi kelebihan menggunakan spiral model.

Meskipun banyak kelebihan tetapi tentu masih ada kekurangannya. Kekurangannya ada pada masalah pemikiran user / customer dimana mereka pada umumnya tidak November 11, 2007 Posted by nguk2 | Model Software Development | | No Comments

Dalam dokumen 45189877 Model Model Pembelajaran. docx (Halaman 38-45)

Dokumen terkait