• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Analisis Data

1. Komposisi Jenis

B. Riap Diameter dan Riap Volume... 37 VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 46 B. Saran... 46 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1 Pengaturan tebangan menurut TPI tahun 1972... 8

2 Pengaturan tebangan menurut Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) tahun 1980………... 9

3 Jenis tanah di kawasan sekitar DAS Rokan... 14

4 Sebaran PSP yang digunakan pada penelitian... 17

5 Jumlah jenis dan famili pada masing-masing areal penebangan dan hutan primer... 22

6 Kerapatan jenis pada areal bekas tebangan dan hutan primer... 24

7 Nama jenis yang memiliki rata-rata Indeks Nilai Penting tertinggi pada masing-masing areal pengamatan……... 29

8 Nilai Indeks Keanekaragaman jenis (H’) pada masing-masing areal pengamatan…………... 31

9 Potensi tegakan pada areal bekas tebangan... 38

10 Riap diameter berdasarkan kelas diameter... 39

11 Riap volume per ha berdasarkan kelas diameter... 41

12 Jumlah pohon dan volume per hektar yang mati/ditebang pada saat penebangan... 44

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1 Disain Permanent Sample Plot (PSP) di lapangan... 18 2 Disain sub petak contoh di dalam PSP... 18 3 Bagan jumlah individu pada masing-masing areal

pengamatan... 24 4 Komposisi jenis pada areal RKL I, RKL II dan RKL III ……… 26 5 Komposisi jenis pada areal RKL IV, RKL V

dan hutan primer... 27 6 Struktur tegakan hutan untuk keseluruhan jenis pada areal

bekas tebangan RKL I, RKL II, dan RKL III... 33 7 Struktur tegakan hutan untuk keseluruhan jenis pada areal

bekas tebangan RKL IV, RKL V, dan hutan primer... 34 8 Sebaran individu seluruh jenis, jenis komersial dan jenis non

komersial... 36 9 Komposisi volume per hektar pada areal bekas tebangan dan

hutan primer... 37 10 Riap diameter jenis-jenis komersial... 40 11 Riap volume jenis-jenis komersial... 42

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1 Peta kawasan IUPHHK PT. Diamond Raya

Timber, Propinsi Riau... 50 2 Peta sebaran PSP di lapangan... 51 3 Nama jenis pohon yang ditemukan pada areal pengamatan

hutan rawa gambut PT. Diamond Raya Timber, Propinsi

Riau... 52 4 Jenis dan famili pada masing-masing areal pengamatan... 54 5 Jumlah individu per jenis pada masing-masing areal

Pengamatan... 56 6 Data hasil perhitungan komposisi pada areal pengamatan... 58 7 Sebaran jumlah individu per kelas diameter pada masing-masing

areal pengamatan……… 82

8 Riap diameter jenis-jenis komersial pada masing-masing petak

pengamatan………. 83

9 Riap volume per hektar jenis-jenis komersial pada

masing-masing petak pengamatan……….. 86 10 Kondisi potensi tegakan……… 89

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki lahan gambut terbesar ke-empat di dunia yaitu sekitar 17-27 juta hektar (Immirzi dan Maltby, 1992 dalam Istomo, 2002). Hutan rawa gambut Indonesia memiliki manfaat sebagai lahan produksi kayu, penyimpan dan penyedia air, pengendali banjir dan sebagai perlindungan dan penyangga keanekaragaman hayati khas dari lahan gambut.

Berbagai kegiatan pengelolaan hutan rawa gambut telah dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan hasil hutan dan ekosistemnya. Namun, seiring dengan perkembangan pengelolaan hutan tersebut, intensitas pemanfaatan hasil hutan semakin meningkat dan telah menyebabkan produktivitas hutan dan ekosistemnya semakin menurun. Penyediaan kayu untuk bahan baku industri yang semakin tidak terjamin dan menurunnya keanekaragaman jenis pohon dan hasil hutan, menjadi indikator terjadinya penurunan produktivitas dan ekosistem hutan tersebut.

Ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.) merupakan salah satu jenis kayu yang bernilai ekonomi tinggi dan hanya ditemukan pada hutan rawa gambut. Namun keberadaan jenis ramin ini terancam karena populasinya terus menurun. Hal ini ditunjukkan dengan masuknya jenis ramin ini ke dalam Appendix II CITES sejak tahun 2004, dimana jenis ini merupakan jenis yang belum terancam punah, tetapi akan terancam punah jika perdagangannya tidak diatur dengan ketat.

Sehubungan dengan hal di atas, diperlukan berbagai upaya secara efektif dalam hal pembinaan dan pelestarian. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi penurunan produktivitas hutan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Keseimbangan antara pemanfaatan hutan dan usaha pelestarian sumber daya alam hayati hutan, akan menjaga keberadaan hutan dan komponen pendukungnya, sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimal bagi kehidupan mahluk hidup.

Dalam era pasar bebas tahun 2000 dan era penerapan ekolabel perdagangan kayu dunia, telah berdampak positif pada tuntutan pengelolaan hutan di Indonesia menuju sistem pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian. Dengan diterapkannya sistem ekolabeling yang mempersyaratkan bahwa kayu yang diperdagangkan di seluruh dunia harus berasal dari hutan yang dikelola secara lestari (Sustainable Forest Management), maka konsep Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (SFM) saat ini menjadi acuan dan tujuan dalam pengelolaan hutan di masa-masa mendatang.

PT. Diamond Raya Timber, yang menggunakan sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia), pada saat ini telah dan akan membuat PSP (Permanent

Sample Plot) pada setiap plot penebangan. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan

pemantauan terhadap riap/hasil dan intensitas tebangan yang optimal di areal pengelolaan, sehingga dengan demikian dapat memberikan informasi yang tepat mengenai dinamika dari tegakan hutan yang dikelola.

Kajian yang bersangkutan dengan pengumpulan data pertumbuhan sangat diperlukan untuk memperoleh informasi dasar guna menunjang kegiatan pelestarian, baik dalam hal kelestarian jenis pada tegakan hutan yang dikelola, maupun kelestarian hasil dalam suatu pembinaan hutan. Salah satu aspek pertumbuhan yang dapat diteliti adalah kajian mengenai komposisi dan pertumbuhan jenis dalam suatu habitat tertentu.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji:

¾ Komposisi dan struktur hutan rawa gambut PT. Diamond Raya Timber, Propinsi Riau.

¾ Pertumbuhan dari jenis komersial, khususnya jenis ramin (Gonystylus

bancanus (Miq.) Kurz.) hutan rawa gambut PT. Diamond Raya Timber,

C. Manfaat Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah kajian mengenai komposisi dan pertumbuhan dari jenis komersial, terutama jenis ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) pada hutan alam rawa gambut PT. Diamond Raya Timber, Propinsi Riau berdasarkan perolehan data pada PSP yang telah dibuat, agar nantinya dapat dijadikan dasar untuk menentukan tindakan silvikultur atau dapat pula digunakan untuk mengetahui besarnya riap pertumbuhan dari tegakan apakah dapat menjamin kelestarian hasil dari hutan yang dikelola.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Komposisi Hutan Rawa Gambut

Hutan rawa gambut (peat-swamp forest) merupakan salah satu bagian dari formasi hutan iklim basah yang dapat dijumpai di Kepulauan Indonesia dan wilayah sekitarnya (Van Steenis, 1957 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2002). Menurut Driessen (1977) dalam Poerwowidodo (1991), rawa gambut adalah suatu tipe tanah yang dibentuk dari sisa-sisa tumbuhan (batang, akar, daun dan lain-lain), karena itu kandungan bahan organiknya tinggi. Radjagukguk (1990)

dalam Chotimah (2002) menerangkan bahwa gambut terbentuk dari serasah

organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan serasah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari serasah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi.

Ciri umum hutan rawa gambut adalah memiliki perbedaan tinggi tajuk, bersifat campuran tetapi tetap lebih miskin akan jenis bila dibandingkan dengan hutan hujan dan didominasi oleh pohon-pohon anggota dikotiledon. Tinggi pohon dapat mencapai 30 m, terutama di daerah tepinya, sebab makin ke tengah, pohon makin pendek karena sifat habitatnya lebih ekstrim. Vegetasi yang terdapat di pusat gambut, dimana lapisan gambut dapat mencapai dua meter lebih, seringkali berbentuk hutan tiang (Samingan, 1975 dalam Suyono, 1998).

Menurut Direktorat Jendral Kehutanan (1976) dalam Suhendang (2002), hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar, tidak terpengaruh oleh iklim serta tersebar hampir di seluruh Indonesia terutama di Sumatera bagian Timur, Kalimantan Bagian Barat dan Tengah dan bagian Selatan Irian. Van Steenis (1971) dalam Resosoedarmo (1989),

menyebutkan bahwa hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang unik di daerah tropika dan berkembang dengan baik di Kalimantan dan Sumatera.

Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada hutan rawa gambut adalah

Alstonia sp, Tristania sp, Eugenia sp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Dactylocladus stenostacys, Dyospyros sp, dan Myristica sp. Khusus di

Kalimantan Selatan dan beberapa daerah di Sumatera, pada hutan rawa gambut ini banyak terdapat Gonystylus bancanus.

B. Jenis Komersial IUPHHK PT. Diamond Raya Timber

Tsoumis (1976) menyatakan bahwa nilai komersil dari berbagai jenis

sehubungan dengan produksi kayu, tergantung dari beberapa faktor seperti ukuran pohon, kualita kayu, assesibilitas, serta jumlah yang tersedia. Besar pohon merupakan faktor utama. Bersama kualita menentukan baik tidaknya kayu tersebut digunakan untuk berbagai industri. Kondisi pertumbuhan, mempengaruhi ukuran pohon. Sebagai contoh, kebanyakan kayu-kayu daun lebar (oak, beech dan lain-lain) telah berubah menjadi semak-semak sebagai akibat pemotongan yang berulang-ulang, kebakaran dan akibat penggembalaan di beberapa tempat dan menghasilkan kayu-kayu yang berukuran relatif kecil yang menyebabkan nilai komersilnya menurun. Pada waktu ini assesibilitas mempengaruhi nilai komersil terutama pada negara-negara tropik dimana kebanyakan hutan-hutannya terisolir dari pusat populasi manusia. Jumlah yang tersedia pada lokasi-lokasi tertentu juga mempengaruhi nilai komersilnya, walaupun hal ini mungkin dapat diatasi dengan kualitas kayunya. Jadi oak yang besar, walnut, jenis-jenis tropika seperti mahagoni dan lain-lainnya sangat berharga karena mempunyai struktur serta sifat-sifat yang sangat disukai (serat, warna dan lain-lain) di dalam pembuatan perabot-perabot rumah. Selain kayu, non kayu pun apabila sangat bernilai dapat digolongkan pada kayu komersial.

Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003 tanggal 26 Mei 2003, pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu :

1. Kelompok Jenis Meranti/ Kelompok Komersial Satu

2. Kelompok Jenis Kayu Rimba Campuran/ Kelompok Komersial Dua 3. Kelompok Jenis Kayu Eboni/ Kelompok Indah Satu

4. Kelompok Jenis Kayu Indah/ Kelompok Indah Dua

Jenis-jenis yang ditetapkan ke dalam jenis komersial di IUPHHK PT. Diamond Raya Timber adalah (PT. Diamond Raya Timber, 2004):

a. Kelompok Jenis Meranti

Durian Burung (Durio carinatus) Meranti Bunga (Shorea uliginosa)

Meranti Batu (Shorea teysmanniana) Suntai (Palaquium pierre)

Balam (Palaquium obovatum) Jangkang (Xylocarpus malayana) Pulai (Alstonia pneumathopora)

b. Kelompok Jenis Kayu Rimba Campuran (kelompok komersial dua) Bintangur (Calophyllum soulattri)

Geronggang (Cratoxylum arborescens) Pasak Linggo (Aglaia rubiginosa) Pisang-pisang (Mezzetia parviflora) Punak (Tetramerista glabra)

Terentang (Camnosperma macrophylla) Serapat (Calophyllum macrocarpum)

c. Kelompok Jenis Kayu Indah (Kelompok Indah dua) Ramin (Gonystylus bancanus)

C. Komposisi Jenis dan Struktur Hutan

Soerianegara dan Indrawan (2002) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan bahwa komposisi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologis yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan.

Istilah komposisi digunakan untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa salah satu ciri hutan hujan tropika adalah mayoritas penutupnya terdiri dari tumbuhan berkayu berbentuk pohon (Richards, 1964 dalam Wahyu, 2002). Groombridge (1992) dalam Kongse (1996) mengemukakan bahwa komposisi dan kelimpahan jenis dapat berbeda berdasarkan perbedaan tempat dan waktu.

Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) dalam Herayuana (2005), memakai istilah komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis campuran walaupun tidak selalu demikian.

Definisi mengenai struktur hutan dikemukakan oleh Suhendang (1985), yang menyatakan bahwa struktur tegakan hutan merupakan hubungan fungsionil antara kerapatan pohon dengan diameternya. Oleh karenanya maka struktur tegakan akan dapat dipakai untuk menduga kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya, apabila dugaan parameter struktur tegakan dan jumlah pohon secara total diketahui.

Struktur tegakan juga dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosumarto, 1981 dalam Istomo, 1994). Berdasarkan struktur tegakan dapat dapat diduga tingkat mortalitas dan dengan mengetahui riap diameter pada tiap kelas diameter dapat diduga volume produksi pada rotasi tebang berikutnya berdasarkan asas kelestarian.

Suatu jenis tumbuhan dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan dari suatu ekosistem akan membentuk suatu sistem fungsi tertentu. Setiap individu jenis tersebut mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan dan masing-masing individu tersebut mempunyai kondisi lingkungan tertentu dimana ia dapat tumbuh secara optimal. Oleh karena itu pada umumnya penyebaran jenis tumbuhan akan berbeda terutama dalam hal kehadiran dan kelimpahannya (Poole dalam Istomo, 1994).

Sebenarnya informasi yang telah didapatkan dari kerapatan populasi saja belum cukup untuk memberikan suatu gambaran yang lengkap mengenai keadaan suatu populasi yang ditemukan dalam suatu habitat. Dua populasi mungkin dapat mempunyai kerapatan yang sama, tetapi mempunyai perbedaan yang nyata dalam pola penyebaran tempatnya (Soegianto, 1994 dalam Pradiastoro, 2004).

D. Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia

Ketentuan-ketentuan yang pernah ada dan digunakan dalam mengelola hutan rawa gambut adalah:

1. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tentang pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman Pengawasannya.

2. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) tahun 1980 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia. Penentuan Sistem Silvikultur, Pelaksanaan dan Pengawasan.

3. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor: 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia.

4. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor: 24/Kpts-set/96 tentang Perubahan Batas Diameter Tebangan, Rotasi Tebang, Jumlah dan Diameter Pohon Inti untuk Hutan Rawa Gambut.

Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 merupakan sistem silvikultur yang berlaku umum terutama untuk hutan hujan Dipterocarpaceae. Dalam ketentuan tersebut terdapat tiga alternatif penentuan batas diameter tebangan, rotasi tebang, jumlah pohon inti dan diameter pohon yaitu:

Tabel 1. Pengaturan tebangan menurut TPI tahun 1972 Batas Diameter Tebangan

(cm)

Rotasi Tebang (tahun)

Jumlah Pohon Inti (batang)

Diameter Pohon Inti (cm)

50 35 25 35

40 45 25 35

Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) tahun 1980 mencoba melakukan penyempurnaan pedoman TPI (1972) dengan melakukan perubahan-perubahan antara lain:

Tabel 2. Pengaturan tebangan menurut Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL) tahun 1980.

Batas Diameter (cm) Siklus Tebangan pohon inti (tahun) Minimum Jumlah Pohon Inti Diameter Minimum Pohon Inti (cm)

50 (Hutan alam campuran) 35 25 20

50 (Hutan Eboni campuran) 45 16* 20 35 (Hutan Ramin campuran) 35 15** 20

Keterangan : *) Khusus untuk jenis Eboni, sisanya 9 pohon dari jenis pohon komersial lainnya **) Khusus untuk jenis Ramin, sisanya 10 pohon inti dari jenis pohon komersial

lainnya.

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor: 564/Kpts/IV-BPHH/1989, penebangan hutan ramin campuran menggunakan batas diameter pohon yang ditebang untuk jenis ramin 35 cm ke atas, sedangkan untuk jenis non ramin 50 cm ke atas, batas diameter pohon inti ramin 15-34 cm dan non ramin 20-49 cm, jumlah pohon inti per ha minimal 25 pohon dan rotasi tebang 35 tahun.

Ketentuan yang berkaitan dengan hutan rawa gambut adalah bahwa pada hutan rawa gambut dengan komposisi hutan terdiri dari jenis komersial khusus misalnya jenis ramin, perupuk dan jenis komersial lainnya dan pemegang HPH tidak sanggup atau sulit melaksanakan kegiatan penanaman/pengayaan, maka hanya diijinkan menebang 2/3 dari jumlah pohon yang dapat ditebang sesuai dengan komposisi jenisnya.

Ketentuan batas diameter penebangan dan pohon inti serta rotasi penebangan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor: 24/Kpts-set/96 diubah yaitu batas pada diameter setinggi dada atau 20 cm di atas banir dengan ketentuan:

1. Rotasi tebang ditetapkan dalam jangka waktu 40 tahun

2. Pohon inti yang harus ditunjukkan dan dipelihara selama jangka waktu rotasi tebang berjumlah sedikitnya 25 pohon per hektar yang berdiameter antara 20-39 cm.

E. Pertumbuhan dan Riap

Pertumbuhan dan riap memiliki pengertian yang berbeda. Pertumbuhan menerangkan ukuran yang dihasilkan melalui pemeriksaan dimensi pohon (diameter, tinggi dan volume) sampai suatu periode waktu yang telah ditentukan, sedangkan riap adalah pertambahan ukuran dari dimensi pohon dalam interval waktu tertentu. Pengertian pertumbuhan dan riap dapat diaplikasikan untuk populasi misalnya tegakan hutan (Prodan, 1968).

Menurut Reukema (1966) dalam Rismayanti (2001), hasil suatu tegakan akan meningkat dengan meningkatnya kerapatan tegakan. Beberapa indikator untuk menyatakan atau mengukur kerapatan tegakan adalah bidang dasar tegakan, volume tegakan, jumlah pohon dalam tegakan dan jarak tumbuh antar pohon dalam tegakan.

Menurut Loetsch dan Haller (1993), terdapat tiga macam riap yang memiliki hubungan matematis yang erat dengan fungsi pertumbuhan, yaitu:

1. Riap tahunan berjalan (Current Annual Increment, CAI), yaitu riap yang diukur setiap satuan waktu pengukuran terkecil, biasanya 1 tahun. Fungsi riap ini merupakan turunan pertama dari fungsi pertumbuhan.

2. Riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, MAI), yaitu besarnya riap rata-rata sampai pada umur tertentu. Fungsi riap ini merupakan hasil bagi antara pertumbuhan sampai umur tertentu dengan umurnya.

3. Riap periodik tahunan (Periodic Annual Increment, PAI), yaitu besarnya riap rata-rata yang terjadi selama periode waktu tertentu diantara dua kali pengukuran. Fungsi riap ini merupakan hasil bagi antara selisih total pertumbuhan dengan lamanya periode waktu diantara dua kali pengukuran tersebut.

Pada hutan primer (klimaks) riap pohonnya sangat rendah. Riap pohon di hutan bekas tebangan pada umumnya lebih besar karena persaingan dalam hal ruang, cahaya, air dan hara mineral antara pohon-pohon menjadi berkurang (Kasim, 1987 dalam Rismayanti, 2001).

Disebutkan pula bahwa ada tidaknya kegiatan pemeliharaan tegakan tinggal, memberikan pengaruh terhadap pertambahan diameter pohon. Demikian hasil penelitian Weidelt (1982) dalam Rismayanti (2001) mengenai pertumbuhan

diameter antara tegakan yang tidak dilaksanakan kegiatan (kontrol) dan tegakan yang dilakukan TSI (Timber Stand Improvement) di salah satu areal di daerah Mindanao, Filipina. Besarnya riap diameter pohon pada tegakan kontrol sebesar 0,6 cm/tahun dan 1,0 cm/tahun untuk tegakan yang dilakukan TSI.

Nicholson (1979) dalam Malik (1996) menyebutkan bahwa laju pertambahan diameter pada hutan Dipterocarpaceae adalah sebesar 1 cm/tahun. Dalam rangka pengusahaan hutan dengan jangka waktu siklus tebang 35 tahun, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1972) menetapkan riap diameter sebesar 1 cm/tahun untuk riap pohon komersial muda dan hal ini dijadikan dasar penetapan riap diameter pohon inti.

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas

Secara geografis wilayah hutan yang menjadi konsesi IUPHHK PT Diamond Raya Timber (DRT) terletak pada koordinat sebagai berikut:

Garis Bujur Timur (BT) : 100o 50’-101o 13’ Garis Lintang Utara (LU) : 001o 45’-002o 18’

Berdasarkan pembagian administratif pemerintahan termasuk kedalam : ƒ Propinsi : Riau

ƒ Kabupaten : Rokan Hilir dan Kota Dumai

ƒ Kecamatan : Sinaboi, Bangko, Batu Hampar dan Rimba Melintang. Berdasarkan pembagian administratif kehutanan termasuk kedalam : ƒ Kantor Dinas Kehutanan Riau di Pekanbaru

ƒ Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hilir ƒ Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Dumai

Batas-batas fisik areal kerja IUPHHK PT Diamond Raya Timber adalah : ƒ Sebelah Utara : Tanah milik dan Selat Malaka

ƒ Sebelah Selatan : PT Riau Tanah Putih

ƒ Sebelah Timur : Selat Malaka dan PT. Silva Saki

ƒ Sebelah Barat : Areal konversi/perkebunan dan tanah milik

Luas wilayah Kerja IUPHHK PT. Diamond Raya Timber berdasarkan SK perpanjangan IUPHHK (SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 443/Kpts-II/1998 tanggal 8 Mei tahun 1998) adalah 90.956 ha. Berdasarkan Rencana Pengelolaan KPHP (1998) dengan menggunakan data pemeriksaan lapangan dengan GPS dan analisis citra spot yang dipadukan dengan peta topografi, peta peruntukan lahan dan peta tipe hutan rincian penutupan lahan sebagai berikut :

ƒ Luas hutan produktif : 87.578 ha ƒ Luas bekas tebangan : 31.481 ha ƒ Luas hutan primer : 56.097 ha ƒ Luas areal tak berhutan : 1.052 ha ƒ Hutan mangrove : 1.611 ha

B. Kondisi Fisik

1. Topografi

Areal kerja IUPHHK PT. Diamond Raya Timber (DRT) terdiri dari dataran rendah pantai dan dataran dengan ketinggian 2 -8 meter di atas permukaan laut dengan kelerengan antara 0-8%, yang pada umumnya merupakan daerah lahan basah tergenang air (rawa). Tinggi genangan air bervariasi tergantung musim, tinggi pasang air laut dan curah hujan yang berkisar antara pergelangan kaki sampai pinggang orang dewasa.

2. Hidrologi

Areal kerja IUPHHK PT. DRT terletak di bagian timur DAS Sungai Rokan dengan beberapa sungai yang mengalir ke bagian Barat dan Selatan, Utara dan Timur (Selat Malaka). Sungai-sungai yang mengalir ke bagian Barat-Selatan yang bermuara ke Sungai Rokan adalah: Pasir Besar, Agar, Labuhan Tangga Besar, Labuhan Tangga Kecil dan Bantaian. Sungai-sungai yang ke Utara dan ke arah Timur bermuara ke Selat Malaka adalah: Serusa, Pematang Nibung, Nyamuk, Sinaboi, Teluk Dalam, Sinepis Besar dan Sinepis Kecil. Sedangkan sungai yang mengalir dari bagian Selatan ke arah Utara adalah Sungai Sekusut.

Air pada genangan rawa berwarna coklat tua yang keluar dari tanah gambut. Pelumpuran yang terjadi sangat sedikit, kecuali yang dekat aliran ke Sungai Rokan dimana lumpur terbentuk pada saat pasang sangat tinggi dan masa-masa banjir Sungai Rokan. Hal ini disebabkan karena sebelumnya telah terjadi konversi wilayah hutan dalam jumlah besar di bagian hulu dan praktek pembuatan jalan yang tidak baik. Dengan demikian strategi untuk mempertahankan hutan alam di bagian hulu Sungai Rokan menjadi sangat penting.

Kondisi Sungai Rokan memungkinkan untuk membuat log pond pada bagian yang cukup dalam sepanjang sisi bagian timur. Kedalaman Sungai Rokan dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut.

3. Tanah

Fisiografi di areal IUPHHK PT Diamond Raya Timber berdasarkan Buku Satuan Lahan dan Tanah Lembar Dumai, dikelompokkan ke dalam 3 grup, yaitu Grup Kubah Gambut, Grup Aluvial dan Grup Marin. Grup Kubah Gambut

mendominasi areal ini, yang berkembang dari endapan organik permukaan muda (Ph) dan tua (Qp). Secara umum ketebalan gambut makin tebal jika makin jauh dari sungai. Ketebalan gambut bisa melebihi 3 m di bagian pinggir dan dapat mencapai maksimum 8 m di bagian tengah-selatan. Terdapat pula sedikit tanah gley, aluvial dan podzolik.

Dokumen terkait