• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV METODOLOGI

5.1 Struktur dan Komposisi Jenis

5.1.2 Komposisi Jenis

Komposisi jenis merupakan salah satu nilai yang digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang

42 29 12 5 4 62 32 14 3 4 73 45 24 5 8 0 10 20 30 40 50 60 70 80 20-29 30-39 40-49 50-59 60 Up J u m la h Po h o n ( N/Ha ) Kelas Diameter (cm)

Struktur Tegakan pada LOA TPTJ 1 Tahun

0-15 % 15-25 % 25-45 %

telah terganggu. Sehingga jika komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan bahwa komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya. Komposisi jenis pada tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4 Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ umur 1 tahun

Kondisi hutan Kelerengan (%)

Jumlah jenis

Semai Pancang Tiang Pohon Hutan Primer 0-15 39 44 46 67 15-25 38 46 51 59 25-45 41 43 44 58 Total Jenis 55 63 62 77 LOA TPTJ 1 Tahun 0-15 32 35 36 41 15-25 40 35 43 48 25-45 47 39 40 48 Total Jenis 60 54 61 65

Berdasarkan pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kondisi hutan primer pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 67 jenis, sedangkan pada kelerengan 15-25% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 59 jenis dan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 58 jenis.

Pada kondisi LOA TPTJ 1 tahun mengalami penurunan jumlah jenis yang hampir merata pada setiap tingkat vegetasi di setiap tingkat kelerengan. Dapat dilihat dari total jenis untuk tingkat pancang, tiang, pohon jumlah jenisnya masih berada dibawah jumlah jenis kondisi hutan primer, sedangkan total jenis semai mengalami kenaikan. Penurunan jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pohon di kelerengan 0-15% yaitu sebanyak 26 jenis. Penurunan jenis tersebut diakibatkan adanya kegiatan pemanenan, penyaradan, pembersihan lahan sebelum penebangan dan penjaluran. Pada tingkat semai dengan kelerengan 15-25% dan 25-45% terdapat kenaikan jenis yaitu 2 jenis pada kelerangan 15-25% dan 6 jenis pada kelerengan 25-45%, sedangkan dari total jenis terlihat terdapat kenaikan sebanyak 5 jenis. Kenaikan jenis tersebut diakibatkan karena pengukuran dilakukan pada plot bekas tebangan tahun 2008 yang telah dilakukan penjaluran, yang mana telah terjadi pembukaan tajuk, perbedaan tempat tumbuh dan masuknya cahaya matahari yang optimal sampai ke lantai hutan sehingga memacu

pertumbuhan semai di dalam hutan. Meskipun demikian total jumlah jenis tingkat permudaan tiang dan pohon lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah jenis dari tingkat semai dan pancang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan total jumlah jenis tertinggi masih berada pada tingkatan pohon, dan total jumlah jenis terendah adalah tingkat pancang.

Jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae merupakan jenis kayu perdagangan yang cukup penting di Indonesia dan merupakan salah satu dari sekian famili yang mendominasi kawasan hutan tropika basah di Indonesia. Perubahan komposisi dan struktur tegakan hutan primer dan hutan setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 tahun) pada pohon diameter ≥ 20 cm karena kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran berdasarkan kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Perubahan komposisi dan struktur tegakan hutan karena kegiatan

pemanenan kayu dan penjaluran (Pohon Diameter ≥ 20 cm) Perubahan Struktur dan

Komposisi Kelerengan 0-15% Kelerengan 15-25% Kelerengan 25-45% A B A B A B Jumlah Jenis: a. Dipterocarpaceae 15 11 17 16 15 8 b. Non Dipterocarpaceae 52 30 42 32 43 40 Jumlah Famili 33 23 28 23 26 25 Jumlah Pohon/Ha: a. Dipterocarpaceae 56 26 81 28 75 29 b. Non Dipterocarpaceae 215 66 217 87 134 126 LBDS (m2/Ha): a. Dipterocarpaceae 27,34 10,31 41,92 7,78 23,33 10,40 b. Non Dipterocarpaceae 62,39 22,46 59,95 23,67 55,47 39,34 Keterangan : A : Hutan Primer

B : Hutan Setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 tahun)

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa famili Dipterocarpaceae mengalami perubahan pada hutan setelah penebangan umur 1 tahun. Jumlah jenis pada semua kelerengan tercatat menurun sebanyak 4 jenis di kelerengan datar (0-15%), 1 jenis di kelerengan sedang (15-25%), dan 7 jenis di kelerengan curam (25-45%). Untuk jumlah famili yang ditemukan, pada kelerengan datar (0-15%) terjadi penurunan sebanyak 10 famili, kelerengan sedang (15-25%) sebanyak 5 famili, dan pada kelerengan curam (25-45%) menurun sebanyak 1 famili. Jumlah pohon per hektar

dari famili dipterocarpaceae pada kelerengan datar (0-15%) mengalami penurunan sebanyak 30 pohon, pada kelerengan sedang (15-25%) menurun sebanyak 53 pohon dan pada kelerengan curam (25-45%) menurun sebanyak 46 pohon. Sedangkan untuk nilai luas bidang dasar pada kelerengan datar (0-15%) menurun sebanyak 17,03 m2/ha, pada kelerengan sedang (15-25%) menurun sebanyak 34,14 m2/ha dan pada kelerengan curam (25-45%) menurun sebanyak 12,93 m2/ha. Nilai ini lebih rendah dari kondisi hutan primer karena akibat kegiatan penebangan dan pembuatan jalur tanam yang menumbangkan sebagian besar pohon-pohon pada areal tersebut. Sehingga dapat dilihat bahwa dalam waktu satu tahun setelah kegiatan penebangan belum mampu mengembalikan nilainya menjadi sebesar semula.

5.1.2.1 Kerapatan dan Frekuensi Kelompok Jenis

Kerapatan tegakan pohon per hektar dapat digunakan untuk menganalisis apakah tegakan pada hutan tersebut sudah pulih terutama untuk jenis komersial yang akan ditebang pada daur berikutnya. Kerapatan suatu individu dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah suatu jenis individu per luasan. Nilai kerapatan dan frekuensi kelompok jenis pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan

dilihat dari Kerapatan (N/Ha) serta Frekuensi Kondisi

Hutan

Kelerengan (%)

Semai Pancang Tiang Pohon

K F K F K F K F Primer 0-15 17708,33 0,83 2733,33 0,76 1210,00 0,80 217,33 0,80 15-25 18583,33 0,89 2853,33 0,80 1096,67 0,84 257,33 0,84 25-45 20250,00 0,82 2620,00 0,72 475,00 0,75 165,33 0,76 LOA TPTJ 1 Tahun 0-15 10666,67 0,88 1353,33 0,79 311,67 0,82 76,33 0,82 15-25 9958,33 0,88 1320,00 0,86 418,33 0,91 98,33 0,84 25-45 11166,67 0,76 1393,33 0,81 501,67 0,78 133,00 0,82 Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai kerapatan antara kondisi hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) secara umum mengalami penurunan untuk masing-masing tingkatan vegetasi di setiap kelerengan. Hal ini dikarenakan adanya dampak dari kegiatan pemanenan yaitu penebangan dan penyaradan maupun pembuatan jalur tanam.

Permudaan jenis komersial di areal LOA TPTJ 1 tahun umumnya memiliki kerapatan yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer kecuali pada vegetasi tingkat tiang kelerengan 25-45%, dimana kerapatan pada hutan primer 475,00 N/Ha sedangkan di areal LOA TPTJ 1 tahun 501,67 N/Ha. Penurunan kerapatan terbesar untuk LOA TPTJ 1 tahun pada tingkat semai terjadi di kelerengan 25-45% sebesar 9083,33, pada tingkat pancang terjadi di kelerengan 15-25% sebesar 1536,33, pada tingkat tiang terjadi di kelerengan 0-15% sebesar 898,33 dan pada tingkat pohon terjadi di kelerengan 15-25% sebesar 159,00. Penurunan jumlah individu dapat dikarenakan oleh dampak dari kegiatan penebangan yaitu karena rebahnya pohon-pohon dan dampak tersebut tergantung dari topografi kawasan serta kondisi lanskap. Semakin tinggi tingkat kelerengan dan semakin tinggi kerapatan suatu kawasan maka dampak penebangan akan semakin tinggi.

Berdasarkan nilai frekuensi untuk permudaan jenis komersial pada tingkat semai, pancang dan tiang secara umum memiliki nilai diatas 75%. Frekuensi pohon komersial baik pada hutan primer maupun areal LOA TPTJ 1 tahun sebagian besar menunjukkan nilai >75% tetapi kurang dari 100%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6 berikut ini.

Gambar 5. Kerapatan jenis komersial ditebang pada areal pengamatan

0,00 5000,00 10000,00 15000,00 20000,00 25000,00 0-15 15-25 25-45 0-15 15-25 25-45

Primer LOA TPTJ 1 Tahun

K er a pa ta n (N/H a ) Kondisi Hutan

Kerapatan Jenis Komersial DiTebang

Semai Pancang Tiang Pohon

Gambar 6. Frekuensi jenis komersial ditebang pada areal pengamatan

Menurut Wyatt-Smith (1963) dalam Budiansyah (2006) permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan tingkat semai (1000 petak ukur milliacre per hektar), 60% tingkat pancang (240 petak ukur milliacre per hektar) dan 75% tingkat tiang (75 petak ukur milliacre per hektar) dari jenis komersial.

Sedangkan pada pedoman Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) disebutkan bahwa permudaan alam dianggap cukup apabila tersedia minimal 400 batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang, 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 batang/hektar untuk tingkat pohon jenis komersial dan sehat yang tersebar merata (Departemen Kehutanan, 1993). Sehingga kondisi hutan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) telah memenuhi syarat.

Berdasarkan kriteria tersebut vegetasi tingkat semai, pancang dan tiang memenuhi kriteria Wyatt-Smith dan pedoman TPTI. Hal ini berarti pada areal hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) memiliki permudaan yang cukup dan tersebar merata. Untuk vegetasi tingkat pohon kerapatan pohon komersial pada seluruh petak pengamatan >25 batang/hektar berarti memenuhi kriteria pedoman TPTI. Sedangkan untuk nilai frekuensi menunjukkan nilai diatas 75% tetapi kurang dari 100%. Hal ini berarti

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 0-15 % 15-25 % 25-45 % 0-15 % 15-25 % 25-45 %

Primer LOA TPTJ 1 Tahun

Fre k u ens i (%) Kondisi Hutan

Frekuensi Jenis Komersial DiTebang

Semai Pancang Tiang Pohon

frekuensi pohon komersial pada petak pengamatan mendekati kriteria Wyatt-Smith.

Adapun mengenai perbandingan kerapatan pohon antara seluruh jenis dengan jenis komersial ditebang pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Perbandingan kerapatan pohon seluruh jenis dengan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa kerapatan pohon seluruh jenis dengan jenis komersial ditebang pada LOA TPTJ 1 tahun lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer. Dimana kerapatan terbesar pada hutan primer untuk seluruh jenis pohon sebesar 297,67 (N/Ha) dan kerapatan terbesar untuk jenis pohon komersial ditebang sebesar 257,33 (N/Ha). Sedangkan pada LOA TPTJ 1 tahun kerapatan terbesar untuk seluruh jenis pohon sebesar 155,33 (N/Ha) dan kerapatan terbesar untuk jenis pohon komersial ditebang sebesar 133,00 (N/Ha).

Penurunan disebabkan karena kegiatan penebangan yaitu robohnya pohon serta kegiatan pembuatan jalur tanam. Dapat dilihat juga pada grafik Gambar 7 diatas, kerapatan seluruh jenis masih tinggi daripada kerapatan jenis komersial ditebang. Karena dalam penebangan jenis yang ditebang adalah jenis komersial dan tidak dilindungi dengan diameter 50 cm up.

271,00297,67 208,00 91,67 115,33 155,33 217,33 257,33 165,33 76,33 98,33 133,00 0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00 300,00 350,00 0-15 15-25 25-45 0-15 15-25 25-45

Primer LOA TPTJ 1 Tahun

K era p a ta n ( N/Ha ) Kondisi Hutan

Perbandingan Kerapatan Pohon

Seluruh Jenis Komersial Ditebang

5.1.2.2 Dominansi Jenis

Untuk mengetahui tingkat dominansi dan komposisi jenis di lapangan dilakukan kegiatan analisa vegetasi baik itu untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Dalam mengetahui jenis-jenis yang paling berperan dalam suatu komunitas di suatu areal hutan dapat dilihat dari dominansi suatu jenis. Jenis yang mendominasi pada suatu komunitas dapat diketahui melalui besarnya Indeks Nilai Penting (INP), di mana jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh jenis yang terdapat di hutan alam sudah sesuai dengan lingkungannya.

Nilai indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas, nilai indeks dominansi yang rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya di pusatkan pada banyak jenis (beberapa jenis), sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya di pusatkan pada sedikit jenis. Nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu) yang menunjukkan bahwa komunitas itu dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis (Indrawan, 2000).

Untuk mengetahui jenis-jenis yang mendominasi berikut daftar lima jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk setiap tingkat vegetasi dari seluruh jenis yang ditemukan pada plot pengamatan yang merupakan perubahan dari kondisi hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) disajikan pada Tabel 7.

Berdasarkan data pada Tabel 7 terlihat bahwa pada hutan primer jenis yang mendominasi dari famili Dipterocarpaceae adalah lempung (Shorea leprosula) dan jenis yang mendominasi dari famili non Dipterocarpaceae adalah medang (Litsea spp.), kayu arang (Diospyros malam), jambu-jambu (Eugenia sp.) dan benitan (Polyalthia laterifolia), sedangkan banyaknya jenis yang mendominasi pada setiap tingkatan jenis untuk masing-masing kelerengan bervariasi.

a) Pada kondisi hutan primer di tingkat semai kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 28,53%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar

27,42%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 66,31% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 25,87%.

b) Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 27,79%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 26,19%, untuk tingkat tiang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 39,73% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 31,77%.

c) Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 26,69%, untuk tingkat pancang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 26,96%, untuk tingkat tiang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 29,43% dan untuk tingkat pohon adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) sebesar 31,32%.

Untuk kondisi hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun), jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkat vegetasi tidak jauh berbeda dengan kondisi hutan primer.

a) Pada kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 52,57%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 40,89%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 73,01% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 49,10%. b) Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai

adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 49,59%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 38,89%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 76,20% dan untuk tingkat pohon adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 38,53%. c) Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai

adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 33,31%, untuk tingkat pancang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 34,15%, untuk tingkat tiang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 68,40% dan untuk tingkat pohon adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) sebesar 41,61%.

Tabel 7 Daftar jenis dengan INP terbesar pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun Kondisi Hutan Kelerengan (%) Jenis-jenis Dominan

Semai INP Pancang INP Tiang INP Pohon INP

Hutan Primer

0-15

Shorea leprosula 28,53 Polyalthia laterifolia 27,42 Polyalthia laterifolia 66,31 Shorea leprosula 25,87 Polyalthia laterifolia 27,89 Eugenia sp. 23,81 Eugenia sp. 25,71 Litsea spp. 22,15 Eugenia sp. 22,97 Litsea spp. 19,02 Nephelium lappaceum 21,03 Polyalthia laterifolia 20,16 Litsea spp. 15,02 Mangifera macrocarpa 11,32 Canarium denticulatum 18,96 Nephelium lappaceum 19,56 Hopea dyeri 11,17 Nephelium lappaceum 10,05 Litsea spp. 14,87 Eugenia sp. 19,02

15-25

Eugenia sp. 27,79 Litsea spp. 26,19 Eugenia sp. 39,73 Shorea leprosula 31,77 Litsea spp. 27,11 Eugenia sp. 24,45 Polyalthia laterifolia 36,75 Eugenia sp. 29,60 Shorea leprosula 22,01 Nephelium lappaceum 15,38 Pithecelobium sp. 28,59 Litsea spp. 25,44 Polyalthia laterifolia 14,07 Polyalthia laterifolia 14,79 Litsea spp. 25,39 Polyalthia laterifolia 15,56 Shorea ovalis 9,52 Shorea leprosula 10,19 Canarium denticulatum 18,37 Pithecelobium sp. 14,60

25-45

Litsea spp. 26,69 Eugenia sp. 26,96 Litsea spp. 29,43 Diospyros malam 31,32 Polyalthia laterifolia 19,49 Litsea spp. 25,30 Shorea leprosula 23,39 Shorea leprosula 28,85 Eugenia sp. 18,40 Polyalthia laterifolia 19,84 Polyalthia laterifolia 23,36 Eugenia sp. 25,26 Shorea leprosula 15,18 Nephelium lappaceum 14,17 Eugenia sp. 21,45 Litsea spp. 20,84 Shorea laevifolia 11,45 Eusideroxylon zwageri 12,26 Nephelium lappaceum 19,48 Vatica resak 13,62

LOA TPTJ 1 Tahun

0-15

Shorea leprosula 52,57 Polyalthia laterifolia 40,89 Polyalthia laterifolia 73,01 Shorea leprosula 49,10 Polyalthia laterifolia 32,51 Eugenia sp. 22,07 Eugenia sp. 44,34 Eugenia sp. 48,50 Eugenia sp. 26,88 Myristica iners 15,72 Shorea leprosula 26,72 Polyalthia laterifolia 25,14 Anthocepalus cadamba 8,16 Shorea leprosula 11,75 Dillenia excelsa 19,02 Litsea spp. 17,33 Mangifera macrocarpa 7,32 Macaranga maingayi 11,26 Myristica iners 12,21 Nephelium lappaceum 12,80

15-25

Shorea leprosula 49,59 Polyalthia laterifolia 38,89 Polyalthia laterifolia 76,20 Eugenia sp. 38,53 Polyalthia laterifolia 25,82 Eugenia sp. 24,33 Eugenia sp. 29,34 Shorea leprosula 30,62 Eugenia sp. 15,92 Shorea leprosula 16,41 Shorea leprosula 28,20 Polyalthia laterifolia 24,00 Myristica iners 11,66 Myristica iners 11,55 Myristica iners 23,81 Litsea spp. 23,83 Litsea spp. 10,54 Litsea spp. 10,14 Litsea spp. 14,72 Nephelium lappaceum 14,94

Tabel 7 (Lanjutan) Daftar jenis dengan INP terbesar pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun Kondisi Hutan Kelerengan (%) Jenis-jenis Dominan

Semai INP Pancang INP Tiang INP Pohon INP

LOA TPTJ

1 Tahun 25-45

Shorea leprosula 33,31 Eugenia sp. 34,15 Eugenia sp. 68,40 Diospyros malam 41,61 Eugenia sp. 32,60 Polyalthia laterifolia 23,13 Polyalthia laterifolia 39,50 Eugenia sp. 33,18 Polyalthia laterifolia 14,19 Litsea spp. 16,29 Litsea spp. 28,91 Shorea leprosula 30,32 Pentaspadon sp. 9,01 Shorea leprosula 12,82 Shorea leprosula 20,26 Litsea spp. 26,53 Myristica iners 7,91 Myristica iners 11,09 Lansium domesticum 16,51 Polyalthia laterifolia 15,62

Dilihat dari tingkat permudaan antara hutan primer dengan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) terlihat bahwa pada LOA TPTJ 1 tahun untuk tingkatan permudaan semai jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis dengan INP terbesar adalah jenis lempung (Shorea leprosula) dengan nilai INP meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 28,53% menjadi 52,57%. Pada kelerengan sedang (15-25%) INP terbesar bergeser dari jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) menjadi jenis lempung (Shorea leprosula), sedangkan jenis jambu-jambu masih berada di urutan lima besar yakni menduduki peringkat tiga. Sedangkan pada kelerengan curam (25-45%) INP terbesar bergeser dari jenis medang (Litsea sp.) menjadi jenis lempung (Shorea leprosula). Secara keseluruhan untuk tingkat semai jenis baru yang menduduki posisi INP teratas diantaranya adalah jenis jabon (Anthocepalus cadamba), jenis asam (Mangifera macrocarpa), jenis dara-dara (Myristica iners) dan jenis kedondong hutan (Pentaspadon sp.)

Pada LOA TPTJ 1 tahun untuk tingkat permudaan pancang jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar juga tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis dengan INP terbesar adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) dengan nilai INP meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 27,42% menjadi 40,89%. Pada kelerengan sedang (15-25%) INP terbesar bergeser dari jenis medang (Litsea sp.) menjadi jenis benitan (Polyalthia laterifolia), sedangkan jenis medang turun empat peringkat dan menduduki tempat kelima INP terbesar. Sedangkan pada kelerengan curam (25-45%) INP terbesar adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) dengan nilai INP meningkat dari 26,96% menjadi 34,15%. Secara keseluruhan untuk tingkat pancang jenis baru yang menduduki posisi INP teratas adalah jenis dara-dara (Myristica iners) dan jenis mahang (Macaranga maingayi).

Untuk tingkat permudaan tiang pada LOA TPTJ 1 tahun jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis dengan INP terbesar adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) dengan nilai INP meningkat yaitu dari 66,31% menjadi 73,01%. Pada kelerengan sedang (15-25%) INP terbesar bergeser dari

jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) menjadi jenis benitan (Polyalthia laterifolia), sedangkan jenis jambu-jambu turun satu peringkat dan menduduki tempat kedua INP terbesar. Sedangkan pada kelerengan curam (25-45%) INP terbesar juga mengalami perubahan yaitu bergeser dari jenis medang (Litsea sp.) menjadi jenis jambu-jambu (Eugenia sp.). Secara keseluruhan untuk tingkat tiang jenis baru yang menduduki posisi INP teratas diantaranya adalah jenis simpur (Dillenia excelsa), jenis dara-dara (Myristica iners) dan jenis langsat (Lansium domesticum).

Sedangkan untuk tingkat permudaan pohon pada LOA TPTJ 1 tahun, di kelerengan datar (0-15%) jenis dengan INP terbesar adalah jenis lempung (Shorea leprosula) dengan nilai INP 25,87% menjadi 49,10%. Pada kelerengan sedang (15-25%) INP terbesar bergeser dari jenis lempung (Shorea leprosula) menjadi jenis jambu-jambu (Eugenia sp.). Hal ini mungkin terjadi akibat kegiatan penebangan yang mana jenis lempung merupakan jenis yang ditebang sehingga menurun nilai INPnya dari 31,77% menjadi 30,62%. Sedangkan pada kelerengan curam (25-45%) INP terbesar adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) dengan nilai INP 31,32% menjadi 41,61%. Secara keseluruhan untuk tingkat pohon perubahan INP dipengaruhi oleh kegiatan penebangan untuk kayu jenis komersil dan kerusakan pohon untuk jenis non komersil. Tidak teramati terjadi perubahan atau penambahan jenis baru yang menduduki nilai INP terbesar pada tingkat permudaan pohon.

Jenis-jenis yang ditemukan dalam plot penelitian dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu jenis dilindungi, komersial ditebang dan komersial tidak ditebang. Tingkat dominansi kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Indeks Nilai Penting (INP) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun

Kondisi Hutan Kelerengan Kelompok kayu

Tingkat vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

Hutan primer 0-15 DL 0,00 1,17 0,48 3,87 KD 170,36 155,81 248,28 242,62 KTD 29,64 43,02 51,23 53,51 15-25 DL 1,87 0,00 0,00 2,32 KD 181,83 163,36 260,93 259,91 KTD 16,30 36,64 39,07 37,77

Tabel 8 (Lanjutan) Kondisi Hutan Kelerengan Kelompok kayu Tingkat vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon Hutan Primer 25-45 DL 6,52 5,93 2,71 10,91 KD 168,06 148,61 225,48 231,31 KTD 25,42 45,47 71,81 57,78 LOA TPTJ 1 Tahun 0-15 DL 0,00 1,08 1,26 3,56 KD 171,61 163,73 252,46 250,06 KTD 28,36 35,16 46,27 46,38 15-25 DL 1,62 0,00 1,22 6,09 KD 175,35 171,50 273,40 251,20 KTD 23,08 28,49 25,40 42,71 25-45 DL 1,58 0,00 0,95 6,59 KD 158,78 165,56 243,28 251,69 KTD 39,62 34,47 55,78 41,70

Keterangan : DL: Dilindungi, KD: Komersial ditebang, KTD: Komersial tidak ditebang

Dari Tabel 8 terlihat bahwa jenis-jenis komersial ditebang paling mendominasi di setiap plot pengamatan pada semua tingkat vegetasi. Hal ini dibuktikan dengan nilai INP yang tinggi yaitu untuk vegetasi tingkat semai dan pancang INP > 150 sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon umumnya kelompok jenis komersial ditebang INP > 200.

Jenis-jenis yang dominan adalah jenis yang memiliki jumlah dan penyebaran yang luas, hal ini ditegaskan oleh Soerianegara dan Indrawan (1988), bahwa tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominansinya. Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan tingginya nilai frekuensi suatu jenis menunjukkan bahwa jenis ini tersebar merata hampir diseluruh petak pengamatan.

5.1.2.3 Keanekaragaman Jenis

Dalam menentukan tingkat keanekaragaman jenis di suatu tempat atau hutan dapat ditentukan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukkan tingkat keanekaragaman vegetasi di suatu tempat atau hutan dimana nilainya ditentukan

oleh kelimpahan jenis dan kemerataannya. Indeks keanekaragaman jenis merupakan parameter yang dapat digunakan untuk membandingkan dua komunitas. Besarnya nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun

Kondisi hutan Kelerengan (%) Indeks Keanekaragaman Jenis Semai Pancang Tiang Pohon Hutan Primer 0-15 2,91 3,09 2,92 3,52 15-25 2,94 3,19 2,99 3,35 25-45 3,06 3,05 3,22 3,29 LOA TPTJ 1 Tahun 0-15 2,55 2,88 2,72 2,96 15-25 2,84 2,96 2,87 3,22 25-45 3,01 3,10 2,77 3,03

Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,5 – 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dibawah nilai 1,5 maka nilai H’ tergolong rendah. Jika nilai H’ berada pada rentang 1,5<H’<3,5 maka tergolong sedang dan jika berada pada nilai diatas 3,5 maka nilai H’ tergolong tinggi. Pada umumnya karena jarang didapati nilai H’ pada suatu kawasan yang tergolong tinggi dan mengingat terlalu lebarnya rentang nilai sedang maka jika suatu nilai H’ mendekati 3,5 maka tingkat keanekaragaman sudah dapat digolongkan cukup tinggi.

Berdasarkan pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai Indeks Keragaman jenis untuk seluruh tingkat pertumbuhan pada hutan setelah penebangan umur satu tahun mengalami penurunan dibandingkan dengan hutan primer, kecuali pada tingkat pancang kelerengan curam (25-45%) mengalami kenaikan dari 3,05 menjadi 3,10. Penurunan ini dapat disebabkan adanya kegiatan penebangan dan pembuatan jalur tanam. Indeks Keanekaragaman jenis terbesar pada tingkat semai terdapat pada kelerengan curam (25-45%) di hutan primer yaitu sebesar 3,06 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 2,55, pada tingkat pancang nilai Indeks Keragaman jenis terbesar pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan primer yaitu sebesar 3,19 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu

Dokumen terkait