• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi terapeutik adalah kegiatan yang dilakukan oleh perawat atau tenaga medis yang berpusat pada klien yaitu pasien dengan tujuan pemulihan pasien. Northouse (1998) mengatakan bahwa komunikasi terapeutik merupakan kemampuan perawat dalam membantu klien (pasien) beradaptasi dalam mengatasi gangguan psikologi dan interaksi dengan orang lain (Lalongkoe,2013:62-63).

Menurut Stuart G.W (1998) komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang ditujukan kepada pasien dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Trikaloka & Ahmad,2013:94). Pada hakekatnya komunikasi sangat penting dalam kehidupan manusia, namun seringkali tidak disadari adanya kelemahan dalam berkomunikasi yang menyebabkan seseorang kesulitan untuk berinteraksi dan bersosialiasi dengan orang lain, oleh sebab itu pemulihan perlu dilakukan untuk mengembalikan fungsi wicara seseorang. Komunikasi terapeutik sangat membantu untuk pemulihan wicara dengan bantuan tenaga medis atau terapis berpengalaman dalam mengatasi masalah pasien.

Dalam penelitian yang telah dilakukan menemukan kesamaan fakta di lapangan dengan teori tersebut bahwa sebagai terapis wicara harus memiliki kompetensi dalam menangani masalah pasien, terapis wicara di RS QIM mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan pasien

99 yang bervariasi. Komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh BA bertujuan untuk pemulihan pasien, kepada setiap pasien BA memberi target pemulihan sesuai dengan kelemahan wicara yang dialami pasien.

Target yang dimaksud adalah pemulihan wicara yang meliputi bahasa pertuturan sehingga akan ada penekanan pada fonem dan kata, apabila pasien berbicara terlalu cepat atau terlalu banyak bicara, sebagai terapis BA perlu membatasi pembicaraan namun tidak melarang atau menhentikan secara paksa yang berarti bahwa terapis memberikan respon dengan diam kemudian mengalihkan pembicaraan pasien terhadap fokus utama yaitu pemulihan pasien. Sesuai dengan teori dari Trikaloka & Ahmad (2013:101) bahwa perlu diperhatikan sikap terapis yang menunjukkan penerimaan terhadap kondisi pasien, diam untuk memfokuskan komunikasi pasien sesuai tahapan metode yang akan diterapkan.

Terapis wicara mampu memposisikan diri terhadap pasien yang bervariasi seperti pasien dewasa, pasien anak yang mengalami kasus delay autisme, disabilitas, atau down syndrom. Sikap yang dimiliki setiap pasien juga bervariasi terutama pasien anak yang terkadang rewel, mudah bosan, dan jika merasa tidak nyaman bisa saja memberontak. Sebagai terapis juga harus memahami kendala tersebut dan mampu mengatasinya. Dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik kendala yang terjadi dapat diminimalisir dengan membujuk pasien,

100 mengajak pasien bermain, dan memberikan hadiah sebagai upaya agar pasien bisa lebih tenang sehingga mau mengikuti terapi. Cara ini cukup berhasil sehingga pasien dapat mengikuti tahapan selama terapis berlangsung.

Dalam komunikasi terapeutik tujuan utama dilakukan terapi adalah pemulihan kesehatan pasien secara optimal, oleh sebab itu terapis perlu memperhatikan kenyamanan pasien. BA memberikan ruangan yang rapi, suasana kondusif, dilengkapi berbagai alat penunjang praktik yang digunakan sebagai media belajar aspek-aspek yang perlu diperbaiki dalam terapis seperti huruf, gambar, balok warna, buku, dan lain sebagainya.

Sebagai terapis wicara BA mampu bertanggung jawab kepada pasien dalam membantu mengatasi masalah pasien, memberikan tahapan terapi yang bertujuan untuk pemulihan wicara pasien. Tujuan utama dilakukan terapi adalah pemulihan kesehatan pasien secara optimal, maka BA memberikan pelayanan maksimal kepada pasiennya seperti memberi metode yang tepat yaitu stimulus multimodal method, meminimalisir hambatan dengan permainan dan pemberian reward kepada pasien anak ketika rewel, terapi juga memberikan target pemulihan yang akan dievaluasi bersama kelurga pasien. Hasil terapi yang dilakukan adalah pemulihan wicara pasien, tentunya akan hal ini juga akan berpengaruh terhadap interaksi pasien dengan lingkungan sosialnya. Wicara pasien yang sebelumnya tidak dimengerti oleh orang

101 lain, komunikasi terapeutik dinyatakan berhasil karena pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan komunikasi yang dilakukan lebih bisa dimengerti walau belum sepenuhnya jelas.

Sebagai terapis atau tenaga perawat fokus utama dalam interaksi adalah pasien, oleh sebab itu sebagai tenaga medis dituntut untuk bersikap profesional, terbuka, dan mampu mengobservasi respon pasien agar dapat menerapkan metode berdasar masalah klien (Priyoto,2009:57). Adapun prinsip yang harus diperhatikan saat menangani pasien adalah kredibilitas komunikasi karena apabila keduanya saling memahami dan mampu bekerjasama maka akan tercipta keadaan yang kondusif sehingga proses terapi dapat berjalan dengan lancar. Terapis harus memberikan sikap profesional kepada pasien seperti menujukkan penerimaan, empati, dan hormat/respect (Lalongkoe,2013:80-83).

Teori sesuai dengan hasil observasi di lapangan yang meunjukkan bahwa BA memberikan sikap yang profesional, tidak hanya di ruangan saja tetapi saat di luar ruangan BA juga sangat ramah dan memberikan sapaan kepada pasiennya. BA menunjukkan penerimaan dengan sikap ramah dan santun yang dia tunjukkan kepada pasien dan keluarganya seperti sikapnya kepada pasien dewasa tidak menggurui dan santun, sedangkan kepada pasien anak BA memposisikan dirinya sebagai teman dan sesekali memberikan permainan untuk menghilangkan kejenuhan pasien. Pasien BA

102 bervariasi selain anak-anak, dia juga memiliki pasien dewasa dengan usia 57 tahun, meskipun dia telah berpengalaman dalam bidangnya, namun sikap yang ditunjukkan menunjukkan kepedulian dan perhatian kepada pasien. Perlakuan yang BA berikan tersebut akan membuat pasien merasa nyaman dan dihargai karena BA menunjukkan penerimaan terhadap kondisi pasiennya. Gerald membagi tahapan komunikasi terapeutik (Suryani,2006:13&55) sebagai berikut :

a. Fase Pra-Interaksi

Dilakukan sebelum memulai interaksi dengan klien (pasien). Pada fase inilah perawat atau terapis harus mampu menganalisa dirinya sendiri agar dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien, selain itu sebagai tenaga medis dalam tahap ini bekerja untuk mengumpulkan data mengenai pasien sebagai dasar dalam berinteraksi, mampu menganalisa kelebihan dan kekurangan dirinya untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien dan membuat rencana pertemuan (Lalongkoe,2013:74).

Biasanya perawat menggunakan teknik wawancara untuk menggali informasi yang dibutuhkan dalam proses diagnosa (Arwani,2003:62).

Teori tersebut dibuktikan dengan hasil yang didapatkan selama observasi, pada pertemuan awal BA dengan pasiennya sebagai berikut :

103 a) BA dan ST

Sebelum memulai interaksi dengan Bapak ST yang merupakan pasien dengan usia dewasa tentunya BA mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan berdoa, merapikan ruangan, dan menyiapkan alat-alat penunjang untuk pelaksanaan terapi wicara. Selain itu, BA menganalisa dirinya sendiri melalui kemampuannya dalam menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan pasien. Dari respon yang diberikan oleh pasien dan keluarganya menjadi tolak ukur keberhasilan dalam komunikasi terapeutik yang dilakukan. BA menjalin interaksi awal dengan cara menanyakan kabar, keluhan, menjelaskan hasil diagnosa dan menceritakan proses terapi yang akan dilakukan. Dari observasi yang telah dilakukan, peneliti melihat bahwa terapis dalam melakukan komunikasi terapeutik terhadap Bapak ST sudah efektif karena pada tahap ini selain analisis diagnosa pasien secara tertulis, BA juga melakukan analisis secara lisan terhadap wicara pasien yaitu dari jawaban yang diberikan oleh pasien akan terlihat kelemahan wicara pasien sehingga data yang diperoleh terapis akan lebih valid. Bapak ST yang sudah berusia 57 tahun dengan kondisi pasca

104 stroke sesekali BA membantu untuk menuntun jalan memasuki ruangan hingga duduk, selain itu BA juga memberikan saran agar melakukan fisioterapi dan okupasi terapi untuk pemulihan stroke.

BA mampu memberikan pelayanan yang optimal untuk pasien yang ditunjukkan dengan sikap ramah, memberikan ruangan yang kondusif dan memperhatikan kenyamanan pasien sehingga tidak ada hal yang mengganggu konsentrasi pasien. Metode diterapkan secara sederhana agar pasien mampu mengingat latihan apa saja yang sudah dilakukan dan pasien dapat mengikuti dengan baik tahapan dalan terapi. Terapis pun berdiskusi untuk menentukan rencana pertemuan guna melaksanakan terapi, dalam penentuan ini terapis tidak ingin mengganggu aktifitas pasien oleh sebab itu terapis tidak bisa memutuskan sepihak jadwal terapi.

b) BA dan NA

Pada fase pra-interaksi BA mengawali aktifitasnya dengan berdoa, merapikan ruangan dan menyiapkan alat penunjang terutama mainan dan benda yang berwarna-warni. Persiapan yang dilakukan BA

105 tersebut sesuai dengan usia pasien yang masih anak-anak terlihat dari alat penunjang yang disediakan oleh BA. Saat pasien memasuki ruangan, BA memberikan sapaan dan mempersilahkan duduk. Sikap yang diberikan oleh BA sesuai dengan teori fase pra-interaksi bahwa terapis akan memulai berpra-interaksi dengan menanyakan kabar, mengajak bicara pasien dengan cara bertanya nama dan usia, teknik ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menentukan kelemahan wicara pasien. Kemudian terapis memberikan penjelasan mengenai masalah yang dialami oleh pasien. Dalam memberikan informasi, yang dilakukan BA lebih seperti sharing dengan keluarga pasien dengan membahas aktifitas pasien, cara bicaranya, dan perkembangan pasien. Selain mendapatkan diagnosa, BA juga menggali kelebihan dan kelemahan pasien secara lebih banyak melalui cerita dari keluarga pasien. Dari hasil yang diperoleh dalam percakapan tersebut, BA menganalisa dirinya melalui kemampuan berkomunikasi dalam menjelaskan hasil diagnosa agar dapat dipahami oleh keluarga pasien dan memilih metode yang tepat untuk diterapkan dalam proses terapi. Selain itu, BA juga harus

106 memperhatikan kondisi pasien untuk dapat memberikan pelayanan maksimal yang telah dibuktikan dengan BA selalu mengingatkan agar keluarga dapat membantu memberikan terapi selama di rumah. BA mampu memberikan keleluasaan waktu terapi dengan tidak menentukan jadwal secara sepihak karena BA tidak ingin mengganggu aktifitas sekolah NA, maka beliau berdiskusi dengan keluarga pasien untuk menentukan waktu terapi, dan kesepakatan tersebut bahwa NA akan melakukan terapi setiap hari Senin dan Sabtu.

c) BA dan NR

Kedatangan NR diterima dengan baik oleh BA.

Ketika memasuki ruangan BA memberi sapaan dan memperkenalkan dirinya kepada pasien. Sebagai terapis BA tidak ingin pasiennya kecewa, oleh sebab itu dia memberikan pelayanan yang maksimal dengan memberikan suasana ruangan yang kondusif beserta alat penunjang yang lengkap. Ruangan yang rapi akan memberikan kenyamanan kepada pasien terutama pada anak-anak. BA berusaha untuk memberikan sikap yang ramah dan baik kepada pasiennya. BA mampu memberikan pelayanan yang optimal pada awal

107 pertemuan yang dibuktikan dengan penerimaan kondisi pasien dan memberikan kata-kata motivasi seperti

“belajar yang rajin, banyakin baca buku cerita ya” cara tersebut BA lakukan untuk mejalin kedekatan dengan pasien. Memberikan tambahan alat penunjang yang biasanya disukai oleh anak-anak selain digunakan dalam belajar juga dapat digunakan untuk bermain.

Sebagai terapis yang sudah berpengalaman, pada fase pra-interaksi ini BA mengajak NR untuk berkomunikasi dengan memberikan pertanyaan nama, usia dan sekolah dengan maksud untuk menggali kelemahan wicara pasien. BA juga memberikan penjelasan hasil diagnosa dan metode terapi yang akan digunakan. BA menganalisa dirinya melalui interaksi yang dilakukan dengan pasien, jika pasien merespon berarti komunikasi dapat berjalan dengan baik. Tujuan utama terapi adalah pemulihan pasien, oleh sebab itu BA mengingatkan kepada keluarga pasien untuk terus melatih wicara pasien selama di rumah maupun di sekolahan. Komunikasi yang dilakukan oleh BA adalah sebagai cara dalam menjalin keakraban dengan pasien dan keluarganya, kemudian membuat kesepakatan jadwal untuk pertemuan selanjutnya.

108 b. Fase Perkenalan

Brammer dalam Suryani (2006,58) mengatakan, fase perkenalan yang dilakukan oleh perawat pada saat pertama kali bertemu adalah pengenalan diri. Sesuai dengan hasil observasi yang telah dilakukan kepada BA bahwa kepada setiap pasien baru, BA selalu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama dan profesi. Interaksi mulai terjalin ketika BA menanyakan masalah dan perkembangan pasien selama di rumah untuk dianalisa lebih lanjut. Tidak semua orang mampu memahami hasil diagnosa kesehatan pasien, oleh sebab itu BA memberikan penjelasan agar keluarga pihak keluarga mengetahui masalah pasien dan terapi dapat dilakukan dengan baik. Sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa sebagai langkah awal untuk membina hubungan saling percaya, terapis harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien (pasien) apa adanya dan menghargai klien (Lalongkoe,2013:74).

a) BA dan ST

Ketika memasuki ruangan terapi, BA menunjukkan penerimaan yang dibuktikan dengan sikap sikap yang sangat ramah, menjabat tangan pasien dan keluarganya. Karena pasien mengalami kesulitan

109 dalam berkomunikasi BA menghargai kondisi tersebut dengan tidak memaksa pasien untuk berbicara. BA menanyakan kondisi pasien kepada keluarga yang menemaninya. BA pun memperhatikan dengan saksama penjelasan keluhan yang diceritakan oleh keluarga pasien. Sikap BA tersebut menunjukkan penerimaan kepada pasien. BA menunjukkan sikap terbuka dengan membagi cerita pengalamannya dalam menangani kasus afasia dan menjelaskan tahapan metode agar dapat di praktikan di rumah. Hubungan saling percaya sangat penting untuk kedepannya karena terapi membutuhkan waktu yang cukup lama, oleh sebab itu BA meyakinkan keluarga pasien dengan target perkembangan pemulihan wicara pasien.

b) BA, NA, dan NR

Kedatangan NA dan NR diterima baik oleh BA dengan senyuman dan sapaan. Kemudian BA memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarganya dengan menyebutkan nama dan profesi, kemudian BA meminta keluarga pasien untuk menceritakan perkembangan pasien, BA sangat saksama memperhatikan cerita tanpa memutus komunikasi yang

110 sedang berlangsung. Sebagai terapis BA mengingatkan tujuan utama dilakukannya terapi adalah pemulihan pasien, BA juga berusaha membina hubungan saling percaya demi kelancaran terapi dengan cara selalu sharing dengan keluarga pasien setiap selesai terapi dan memberikan target pemulihan. Selain itu, BA mengingatkan kepada keluarga pasien untuk dapat menerapkan metode yang beliau berikan ini di rumah.

Hasil diagnosa dijelaskan dengan rinci oleh BA dan dikombinasikan dengan cerita pengalaman dari keluarga pasien, hal tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi lebih banyak dan terbuka dalam menganalisa kasus yang dialami pasien.

Sikap terbuka diberikan oleh BA dibuktikan dengan sharing yang dilakukannya bersama keluarga pasien, sesekali beliau membagi pengalamannya dalam menangani pasien afasia. Sebagai terapis yang berpengalaman, BA tidak memaksa pasien untuk berbicara mengingat kasus pasien yang kesulitan dalam berbicara, namun jika pasien mau berbicara terapis akan mendengarkan tanpa memutus komunikasinya, hal ini membuktikan bahwa BA mampu menghargai pasien.

111 c. Fase Kerja

Trikaloka & Ahmad (2013:97) mengatakan bahwa fase ini terdiri dari dua kegiatan pokok yaitu menyatukan proses komunikasi dengan tindakan perawatan dan membangun suasana yang mendukung untuk proses perubahan. Fase kerja berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses tindakan keperawatan diperlukan suasana yang kondusif agar dapat berlangsung dengan baik karena materi akan lebih mudah dipahami ketika pasien dalam keadaan yang nyaman. Di dalam ruangan tidak ada orang lain selain terapis dan pasien sehingga pasien akan fokus dengan instruksi yang diberikan oleh terapis. Karena apabila ada orang lain tentunya akan berpengaruh pada fokus pasien seperti melirik atau menengok ke arah orang lain.

Berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh BA, fase kerja dilakukan dari penentuan metode yang akan diterapkan dan kemudian dievaluasi. Metode yang diterapkan kepada pasien afasia adalah metode stimulus multimodal yang merupakan metode secara kompleks untuk memperbaiki pertuturan pasien terutama pada komponen bahasa.

Kemudian, setiap selesai terapi BA akan memberikan

112 evaluasi kepada keluarga pasien berupa sharing perkembangan pasien, hingga pada setiap tiga bulan evaluasi dilakukan dengan dokter syaraf untuk melihat perkembangan peningkatan oral motorik pasien.

Fase kerja ini terapis mengarahkan pasien untuk mengucapkan kata, mengulang kata dan menjawab pertanyaan guna melatih fungsi bahasanya. Pasien mendengarkan ucapan terapis kemudian menirukan ucapan yang diberikan oleh terapis. Dalam pengucapan tersebut akan diulang sebanyak tiga kali dimaksudkan agar pasien fokus dan aktif dalam mengikuti instruksi yang diberikan.

Fase ini berkaitan dengan teknik komunikasi terapeutik yang sering digunakan dalam asuhan keperawatan antara lain mendengarkan, aktif, eksplorasi, refleksi, dan memfokuskan (Lalongkoe,2013:76).

a) BA dan ST

Fase kerja yang diberikan untuk menangani kasus afasia yang dialami oleh Bapak ST adalah dengan penerapan metode stimulus multimodal untuk perbaikan bahasa. Kelemahan bahasa yang perlu diperbaiki meliputi huruf, kata, dan penngucapan kalimat.

113 Pada fase ini digunakan media penunjang berupa gambar, warna, dan tulisan. Pasien diminta untuk memilih, kemudian menyebutkan. Rencana tindakan sudah dilaksanakan dengan baik yang dibuktikan dengan sikap terapis mengarahkan pasien dalam tahap pengenalan visual auditori yaitu pengenalan pada benda atau gambar dan pengulangan pada kata. Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali, pasien diminta untuk menirukan gerakan bibir dan lidah terapis hingga kata yang diucapkan semakin lebih jelas.

Pada proses mengulang, BA menuntun Bapak ST untuk mengulang pengucapan sebanyak tiga kali setiap gambar dan kata yang dimaksudkan agar pasien aktif melatih gerak lidah untuk menghasilkan suara yang jelas. Adapun jeda yang diberikan oleh BA merupakan salah satu cara pasien beristirahat sebentar dan kemudian melanjutkan penerapan metode dalam pemulihannya, sehingga pasien tidak merasa jenuh dan kelelahan.

Kendala yang dialami oleh BA adalah kondisi Bapak ST yang mengalami stroke sehingga gerakan untuk mengambil benda sedikit lebih lama dan stroke yang dideritanya juga menyebabkan kemampuan

114 wicara Bapak ST menjadi sangat menurun sehingga dalam teknik mengulang dilakukan lebih dari tiga kali.

Dalam praktik fase kerja diperlukan waktu yang cukup lama, hal ini biasanya membuat pasien merasa capek dan bosan sehingga sebagai terapis harus mampu membangkitkan semangat pasien untuk terus aktif mengikuti setiap tahapan. BA mampu memberikan suasana yang mendukung untuk menunjang keberlangsungan proses terapi, hal ini beliau lakukan dengan memperhatikan kondisi pasien. Ketika pasien banyak salah mengucapkan kata dan mengulang berkali-kali, saya beristirahat sejenak untuk mengembalikan konsentrasi pasien.

b) BA dan NA

Metode Stimulus Multimodal diterapkan oleh BA kepada NA yang mengalami afasia. Penerapan metode ini bertujuan untuk mempertajam fungsi bahasa yang semula tidak teratur menjadi lebih tertata. Pada pasiennya, BA meminta agar pasien dapat mengikuti instruksi dengan baik. Rencana tindakan sesuai dengan pelaksanaan terapi, hal ini dibuktikan dengan pengenalan visual auditori menggunakan media gambar

115 atau warna. Kemudian pasien juga diminta untuk menirukan ucapan terapis dan mengulang kata sebanyak tiga kali. Teknik pengucapan dilakukan dengan cara penyebutan huruf contohnya huruf A mulut dibuka lebar, huruf N lidah ditarik ke langit-langit rongga mulut, huruf I bibir ditarik seperti sedang senyum terlihat giginya dan seterusnya.

BA sangat memperhatikan pasiennya saat terapi berlangsung, terutama kepada pasien anak yang mudah merasa bosan apalagi dengan waktu terapi yang cukup lama. Terapis harus pandai mempertahankan kenyamanan pasien agar tidak rewel, hal ini dibuktikan oleh terapis dengan memberikan suasana yang mendukung seperti adanya alat-alat permainan berupa gambar, balok, kartu, dan huruf. Selain itu, sesekali mengajak pasien bermain untuk menghilangkan kejenuhan.

c) BA dan NR

Fase kerja yang diberikan kepada NR hampir sama seperti fase kerja yang diberikan kepada pasien NA. Pasien NR memiliki masalah pada aspek semantik, fonetik dan sintaksis. Ketiga aspek tersebut menjadi

116 pusat perhatian dalam penerapan metode ini karena pasien perlu perbaikan terhadap oral motorik agar dapat mengucapkan kalimat dengan jelas dan dilakukan penekanan pada kata yang lemah.

Perbedaan yang muncul adalah NR memiliki masalah dengan pendengaran, sehingga perlu menggunakan intonasi yang keras namun tidak membentak. Dikarenakan kondisi psikis pasien yang bervariasi maka intonasi perlu diperhatikan dalam penerapan metode ini karena terkadang intonasi yang sebenarnya diucapkan dengan nada yang keras untuk tujuan terapi dapat diartikan sebagai membentak pasien, sebagai terapis BA mampu mengatasi masalah ini dengan menyesuaikan kondisi pasien.

Rencana tindakan sebelumnya sudah dijelaskan kepada keluarga pasien sehigga tidak terjadi miss communication mengenai makna dan suara yang diucapkan. Sesuai dengan pelaksanaannya karena pasien memiliki masalah dengan pendengarannya BA harus menggunakan intonasi nada yang sedikit lebih keras agar NR dapat mendengarkan instruksi yang diberikan oleh terapis. Pasien diminta untuk memilih benda kemudian terapis menyebutkan nama atau warna

117 benda tersebut yang ditirukan oleh pasien, hal ini akan diulang hingga pasien mampu mengucapkan secara lebih jelas. Terapi ini dilakukan selama 30 menit, untuk pasien anak tentunya mudah merasa bosan sehingga terapis harus pandai untuk mempertahankan konsentrasi pasien dan membangun suasan yang mendukung, hal ini dibuktikan ketika pasien terlihat sudah bosan terapis mengajaknya bermain atau di setiap tahap prosesnya jika pasien mampu mengikuti instruksi dengan baik maka akan diberikan reward berupa tos atau waktu untuk bermain sejenak.

d. Fase Terminasi

Fase ini yang paling sulit dan penting, karena akan terjadi pada saat pasien dinyatakan berhenti terapi karena sudah mencukupi target atau terapi dilaksanakan karena masih perlu perbaikan tertentu. Perawat dan klien saling mengingatkan tujuan utama, pada fase ini juga akan dilakukan evaluasi objektif (mengulang) atau subjektif dengan menanyakan perasaan pasien (Pribadi,2013:76).

Meski sudah sampai pada fase terakhir, setelah dilakukan evaluasi terapis mengingatkan kembali tujuan pemulihan

Meski sudah sampai pada fase terakhir, setelah dilakukan evaluasi terapis mengingatkan kembali tujuan pemulihan

Dokumen terkait