• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa pakraman adalah komunitas masyarakat Hindu di Bali yang menempati wilayah tertentu, dipayungi oleh tempat persembahyangan yang disebut dengan Khayangan Tiga. Pada Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001, (yang diubah menjadi Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2003), dijelaskan bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan khayangan tiga atau khayangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 angka 4).

Ada beberapa frase kunci yang dapat menjelaskan desa pakraman ini. Yang pertama adalah “masyarakat hukum adat di Propinsi Bali”. Artinya bahwa desa pakraman ini, dalam konteks keberadaannya pada kasanah wilayah Indonesia, hanya ada di Propinsi Bali, yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakannya sehari-hari (adat). Desa yang ada di luar propinsi Bali, tidaklah disebutkan dengan sebutan “desa pakraman”, meskipun desa tersebut dilandaskan pembentukannya pada kebiasaan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat.

Kedua, “mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun.” Paling tidak frase ini menekankan kepada identitas religius yang melandasi desa pakraman itu, yaitu agama Hindu, yang mana identitas ini diikuti oleh kebiasaan-kebiasaan yangtelah dilakukan turun temurun. Masyarakat yang keberadaannya di luar agama Hindu, tidaklah termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum yang disebut dengan desa pakraman tersebut. Dalam konteks sosiologis dapat dikatakan bahwa kebiasaan yang turun- temurun itu telah tercermin di dalam pergaulan, kontak sosial, termasuk norma-norma setempat yang muncul sebagai akibat pergaulan tersebut. Apabila di Bali terdapat kebiasaan yang berbeda- beda, tetapi sepanjang hal itu merupakan roh dari agama Hindu Bali, maka hal itupun juga merupakan bagian dari desa pakraman. Fakta inilah yang kemudian membuat masing-masing desa pakraman itu mempunyai alur praktik sosial, budaya dan religius yang berbeda-beda di Bali. Awaig-awig yang ada di satu desa pakraman, tidak dapat disamakan dengan awaig-awig di desa pakraman yang lain. Hanya, pengikat dari konteks ini adalah kehinduan atau praktik ritual agama Hindu di Bali.

Ketiga, “dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan Desa”. Frase ini menegaskan bahwa Khayangan Tiga merupakan hal kemutlakan di dalam desa pakraman tersebut. Artinya setiap desa pakraman harus mempunyai khayangan tiga atau khayangan desa tersebut. Di Bali, yang disebut dengan khayangan tiga adalah tiga rangkaian kesatuan pura yang merupakan simbolisasi kekuatan Tuhan, dimana masing-masing tempat sembahyang tersebut merupakan manifestasi dari kekuatan Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Pada Khayangan Tiga, Pura Desa merupakan manifestasi dari Dewa Brahma, Pura Puseh merupakan manifestasi dari Dewa Wisnu dan Pura Dalem merupakan manifestasi dari Dewa Siwa. Ketiga tempat sembahyang ini mutlak dimiliki oleh komunitas yang disebut dengan Desa Pakraman, bagaimanapun wujud fisik dari pura tersebut dan bagaimanapun lokasinya jaraknya. Desa yang tidak mempunyai tiga pura tersebut, tidak dapat dikatakan sebagai desa pakraman. Sebaliknya apabila satu komunitas sosial mempunyai tiga tempat persembahyangan tersebut, dia layak mendapat sebutan sebagai Desa Pakaraman.

Keempat, mempunyai wilayah tertentu. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang tergabung dalam Desa pakraman ini harus mempunyai wilayah tertentu. Pada peraturan daerah ini tidak disebutkan secara pasti seberapa jauh wilayah yang ditempati oleh masyarakat yang tergabung di dalam desa pakraman tersebut. Juga tidak disebutkan berapa jumlah penduduknya dan bagaimana perbatasannya. Yang paling utama adalah keterikatan mereka dengan tempat persembahyangan bersama yang disebut dengan khayangan tiga tersebut. Dengan demikian, bisa saja keanggotaan desa pakraman itu berasal dari tiga banjar dinas, atau bahkan satu banjar dinas, bahkan satu banjar dinas dapat terdiri dari dua desa pakraman dengan komposisi tempat tinggal penduduknya selang- seling atau berdampingan dengan penduduk rumah tangga yang menjadi anggota desa pakraman lain. Tidak ada kewajiban desa pakraman tersebut mempunyai kuburan. Karena itu dimungkinkan desa pakraman itu berdiri dengan tanpa kuburan asal masyarakat tersebut mempunyai tiga tempat sembahnya tersebut, yaitu Khayangan Tiga. Di jaman sekarang, tahun 2015 ini, dengan adanya jasa penitipan jenazah di rumah sakit, jasa untuk mengkremasi jenazah, sangat mungkin desa pakraman ini berdiri hanya dengan mengikatkan diri pada pura khayangan tiga, tanpa mempunyai kuburan.

Kelima, “mempunyai harta kekayaan sendiri”. Frase ini mencirikan tentang kesejarahan dari desa pakraman itu di Bali. Desa pakraman ini merupakan komunitas gotong-royong, saling tolong menolong, yang amat mungkin di masa lalu terkosentrasi pada pelaksanaan ritual

keagamaan. Seperti yang sudah diketahui dan dirasakan masyarakat, ritual Hindu Bali, apalagi di masa lalu, ritual tersebut cenderung kompleks. Kekompleksan ini membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang besar untuk menyelenggarakannya. Untuk pelaksanaan kompleksitas tersebut, maka secara ekonomi memerlukan biaya yang besar. Maka untuk menutupi pembiayaan ini, secara sosial desa pakraman mempunyai kekayaan yang dapat dikelola secara bersama. Inilah barangkali yang menjadi dasar pemikiran munculnya harta benda yang dimiliki desa pakraman. Yang paling terkenal, kekayaan ini adalah tanah laba pura, yang dipertahankan sampai sekarang. Angka 10 pada pasal 1 Peraturan daerah No. 3 Tahun 2001 (sebagaimana yang diubah menjadi Perda No. 3 tahun 2003) menyebutkan bahwa tanah ayahan desa pakraman adalah tanah milik desa pakraman yang berada baik di dalam maupun di luar desa pakraman. Ini juga menjadi kekayaan yang dapat dikelola oleh desa parkaran secara mandiri. Tentu sekarang kekayaan tersebut berkembang semakin meluas seperti Lembaga Perkreditan Rakyat dan sebagainya. Pura Khayangan Tiga tentu juga menjadi hak milik dari desa pakraman.

Keenam “ berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Dari sini dapat dikatakan bahwa komunitas ini mempunyai kewenangan otonomi. Konstitusi Indonesia melindungi hal ini karena masing-masing kebiasaan yang berupa adat tersebut mempunyai perwujudan praktik yang berbeda-beda. Demikiann juga halnya di Bali. Meskipun mempunyai landasan keagamaan yang sama, akan tetapi penafsiran atas ritual yang telah menjadi kebiasaan itu berbeda-beda. Dalam hal desa pakraman, kepentingan mengurus rumah tangga sendiri yang bersendi otonomi itu penting, demi mencegah konflik penafsiran.

Banyak yang menyebutkan secara satir bahwa desa pakaraman itu mirip seperti negara di dalam negara. Mungkin ini hanya ungkapan lelucon yang ditujukan kepada lembaga ini karena mempunyai fungsi, kewenangan serta kelengkapan organisasi mirip dengan negara. Pasal 5 Peraturan daerah No 3 Tahun 2001 mengatur tentang tugas desa pakraman sebagai berikut:

a. Membuat awig-awig b. Mengatur karma desa

c. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa

d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan,

e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaann nasional pada umumnya dan

kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan “paras paros, sagilik-saguluk salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat).

f. Mengayomi krama desa.

Pasal 6 dari peraturan ini mengatur wewenang desa pakraman, yaitu:

a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa sesuai dengan awaig-awig dan adat kebiasaan setempat.

b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana,

c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.

Organisasi desa pakraman dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai alat kelengkapan yang disebut dengan prajuru. Dimana prajuru ini ditetapkan oleh masyarakat yang menjadi anggota desa pakraman tersebut berdasarkan awig-awig yang dimilikinya (Pasal 7, Perda No. 3 Tahun 2001). Sedangkan pada bidang keamanan, dilengkapai dengan apa yang disebut pecalang (pasal 17, Perda No. 3 Tahun 2001). Ketertiban dan keamanan di masyarakat dilaksanakan oleh pecalang.

Dengan adanya fungsi, kewenangan dan kelengkapan seperti itu, ditambah dengan kekayaan berupa barang bergerak maupun tidak bergerak, material maupun immaterial, serta barang-barang yang memiliki makna magis dan religius, desa pakraman tersebut mirip dengan negara di dalam negara. Apalagi kemudian lembaga ini mempunyai otoritas sendiri untuk mengelolanya.

Desa pakraman merupakan sebutan untuk sistem kemasyarakatan asli dari masyarakat Hindu di Bali. Akan tetapi, perhatian yang lebih menekankan kepada aspek hukum tentang lembaga desa adat ini justru baru dimulai pada tahun 1986, ketika pemerintah daerah Bali membuat Peraturan daerah No 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi daerah Tingkat I Bali. Ini boleh dikatakan sebagai upaya pertama secara normative dalam mengatur, menegaskan eksistensi desa adat di Bali, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Dalam peraturan daerah ini kata “adat” masih dipakai untuk menyebutkan pakraman seperti yang dirtulis sekarang. Adat, dengan demikian mencerminkan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali, sesuai dengan leluhurnya, dan menurun secara berkesinambungan. Munculnya aturan normatif ini, dapat

dipandang sebagai munculnya kesadaran baru dari kalangan elit dan intelektual Bali terhadap perlindungan komunitas adat ini, baik secara hukum maupun dalam menghadapi perubahan sosial. Aturan secara hukum perlu dibuat demi memberikan status yang jelas kedudukan, fungsi dan eksistensi dari lembaga ini, baik bagi masyarakat Bali maupun masyarakat di luar Bali. Bagi masyarakat Bali hal ini akan menambah keyakinannya dalam negara Indonesia karena kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan turun-temurun telah mempunyai payung hukum. Bagi kalangan di luar masyarakat Bali, akan mengetahui bagaimana keberadaan desa tradisionil di Bali dan bagaimana posisinya di dalam hukum nasional. Akan tetapi yang juga perlu dilihat adalah bahwa munculnya peraturan daerah ini amat mungkin didorong oleh mulai terasakannya desakan-desakan kepada desa adat dari pengaruh-pengaruh luar, terutama dari arus turisme yang demikian deras di Bali.

Peraturan daerah ini kemudian diubah menjadi Peraturan Daerah Propinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana kemudian yang telah direvisi melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2003. Dua hal penting yang mesti dicatat dalam perkembangan ini, terutama dari tahun 1986 dengan tahun 2001 adalah adanya bab khusus tentang Pemberdayaan Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman serta bab tentang Pecalang. Ketiga ketentuan ini tidak ada dalam peraturan daerah sebelumnya. Munculnya bab tentang Pemberdayaan Desa Pakraman mencerminkan telah mulai ada kesadaran bahwa desa pakraman ini dapat dibuat mandiri, maju dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Bahkan dalam ketentuan pasal 1 angka 19 sengaja dijelaskan tentang maksud dari kata pemberdayaan itu, yaitu rangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan desa pakraman dapat lestari dan kokoh sehingga berperan positif dalam pembangunan. Dengan kata lain, desa pakraman ini dapat ikut terlibat dalam perubahan sosial, membangun dirinya sendiri sesuai dengan perkembangan jaman dan tetap eksis. Tidak lain, ini disebabkan karena desa pakraman mempunyai sumber daya atau kepemilikan seperti yang disebutkan pada bab V tentang Harta Kekayaan Desa Pakraman dan bab VI tentang Pendapatan Desa Pakraman.

Bab tentang Majelis Desa Pakraman boleh dikatakan sebagai sebuah lembaga yang bermanfaat untuk menyelesaikan segala perbedaan-perbedaan yang ada di berbagai desa pakraman di Bali dan menyamakan persepsi diantara sekian banyaknya desa pakraman yang mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda meskipun dilandasi oleh agama Hindu. Sedangkan Bab tentang Pecalang, merupakan antisipasi dari adanya konflik yang mungkin muncul intra

anggota desa pakraman tentang kesalahan penafsiran dari makna awaig-awig di tengah perkembangan jaman serta antisipasi konflik yang mungkin terjadi di antara desa pakraman. Konflik berpotensi muncul sebagai akibat perubahan sosial yang demikian deras di Bali dengan industri pariwisatanya.

Hubungan antara Desa Dinas Dengan Desa Pakraman

Meskipun dua desa ini berada di dalam satu komunitas, dalam pelaksanaan praktik sehari-hari kedua desa tersebut menjalankan fungsinya secara mandiri. Pada intinya, desa dinas menjalankan fungsinya dalam rangka administratif kependudukan yang berhubungan dengan kepemerintahan. Sedangkan desa pakraman, menjalankan fungsi yang berhubungan dengan adat dan keagamaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali secara turun-temurun dan berkelanjutan. Dari konteks tersebut, sesungguhnya tidak ada kaitan antara desa pakraman dengan desa dinas karena masing-masing mempunyai peran tersendiri.

Namun demikian, kedua desa di Bali ini mempunyai hubungan yang unik yang kemudian membentuk pola hubungan harmonis. Yang pertama adalah adanya satu banjar dinas yang langsung menjadi satu desa pakraman. Ini merupakan hubungan menarik karena di lingkungan banjar dinas itu juga berdiri Pura Khayangan Tiga sebagai tempat persembahyangan dari seluruh masyarakat yang ada di banjar dinas itu. Dalam konteks sistem sosial tradisional di Bali, banjar ini disebut dengan Desa Pakraman atau dulu disebut dengan desa adat karena mempunyai Pura Khayangan Tiga tersendiri. Hubungan antara desa pakraman dengan banjar dinas boleh dikatakan sejajar, tidak saling intervensi, dan saling bekerjasama. Dikatakan sejajar karena masing-masing mempunyai legitimasi. Banjar dinas merupakan unsur paling rendah (dekat dengan masyarakat) dalam sistem kepemerintahan Indonesia di Bali. Banjar inilah yang mengurus administrasi kependudukan dalam kerangka hubungan penduduk dengan negara atau pemerintah. Sedangkan desa pakraman merupakan desa tradisional di Bali sehingga dengan keberadaan itu juga memiliki legitimasi sosial. Fungsi dari desa pakraman lebih banyak mengatur soal hubungan sosial tradisional di Bali yang menyangkut kebudayaan dan ritual atau berhubungan dengan sistem sosial ketradisionalan Bali. Dengan komposisi legistimasi seperti itulah kemudian kedua sistem ini dapat hidup berdampingan tanpa harus mencampuri urusan masing-masing lembaga. Keduanya mempunyai fungsi dan tugas masing-masing, dengan pokok melayani masyarakat, akan tetapi dengan wujud yang berbeda. Akibat positif dari keberadaan

dua lembaga ini sering terlihat. Di darah-daerah rawan di Bali, terutama di desa atau lingkungan yang dekat dengan perkotaan, desa pakraman dengan banjar dinas dapat melakukan kerjasama dalam memelihara ketertiban dan keamanan. Satuan pecalang yang dimiliki oleh Desa Pakraman dapat bersinergi melaksanakan tugas untuk menertibkan desa yang dengan demikian, juga menciptakan ketertiban di banjar dinas. Dalam praktiknya pecalang melaksanakan tugas dengan melakukan sidak ke tempat-tempat yang dipandang rawan pelanggaran seperti kos- kosan atau melakukan patroli ke wilayah lingkungan desa untuk memantau keamanan. Dalam rapat yang dilakukan oleh desa pakraman misalnya, pimpinan (kelihan) banjar dinas dapat memakai kesempatan memberikan pengumuman kepada warga tentang kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah. Kerjasama antara kedua lembaga ini justru dapat memberikan saling keberuntungan bagi warga.

Aparatur yang menjalankan desa dinas ada juga yang menjadi aparatur di desa pakraman sehingga membuat segala perkembangan yang ada di kedua lingkungan lembaga tersebut, dapat diketahui dan disikapi oleh aparatur yang sama. Atau sebaliknya aparatur yang secara struktural mempunyai kedudukan tinggi di desa pakraman, mempunyai struktur juga di banjar dinas. Ini membuat sikap saling hormat menghormati diantara kedua desa tersebut. Mau tidak mau, untuk memelihara ketertiban lingkungan, baik desa pakraman maupun desa dinas (keperbekelan), harus saling memberikan penilaian, bertukar informasi tentang segala potensi negatif yang ada di desa untuk didiskusikan demi menciptakan ketertiban bersama.

Realitas adanya banjar dinas yang menjadi desa pakraman sesungguhnya merupakan komposisi yang ideal karena kedua lembaga itu berada di dalam satu wilayah, satu lingkungan dan dengan demikian juga aparaturnya dapat saling melengkapi. Harmonisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan relatif dapat dipelihara karena lingkungan perbatasan dari dua lembaga komunal ini sama. Satu hal yang dapat menjadi pengganjal dari dua lembaga ini adalah pada bidang keyakinan dari warganya. Karena desa pakraman merupakan lembaga yang menjadi pengayom masyarakat Hindu (Bali), maka warga di banjar tersebut yang bukan pemeluk Hindu bukan menjadi wadah dari desa pakraman. Perbedaan budaya karena kebanyakan masyarakat non-Hindu berasal dari luar daerah Bali, dan juga perbedaan agama, akan menimbulkan ketidakpahaman tentang pola ritual atau pelaksanaan agama yang digelar. Pada titik inilah penting bagi banjar dinas dengan aparatnya menjadi penghubungan yang baik dan fungsional untuk menjelaskan kebiasaan dan ritual dari masing-masing kepercayaan tersebut kepada

berbagai pihak agar dapat saling dimengerti. Norma-norma, kebiasaan dan budaya dari masing- masing pihak harus dijelaskan oleh aparatur banjar dinas agar mampu memunculkan saling pengertian. Dengan dasar saling pengertian inilah kemudian akan mampu diciptakan harmonisasi di lingkungan tersebut. Tentu saja juga sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur banjar dinas itu dilakukan secara bersama-sama oleh aparat (prajuru) desa pakraman. Cara ini akan menambah kentalnya upaya harmonisasi tersebut.

Harus diakui bahwa ada perbedaan antara desa dinas (administratif) dengan desa pakraman. Pada umumnya desa dinas itu terdiri dari beberapa banjar dinas yang kemudian bersatu atau disatukan menjadi satu desa dinas, yang sekarang di Bali disebutkan dengan nama keperbekelan. Misalnya Perbekel Samsam di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, terdiri dari enam banjar dinas, yaitu Banjar Penyalin, Banjar Kutuh Kelod, Kutuh Kaja, Samsam I, Samsam II dan Banjar Dinas Lumajang. Akan tetapi di Keperbekelan Samsam terdapat Lima Desa Pakraman, yaitu Samsam, Lumajang, Penyalin, Kutuh Kelod dan Kutuh Kaja. Dari sisi penyebutan anggota masyarakat juga mempunyai perbedaan karena pada desa dinas (perbekel), disebut sebagai warga dan desa pakraman, disebut dengan krama.

Dalam hal pengelompokan krama, desa pakraman mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu, sesuai dengan asal usul atau kepemilikan yang dikelola. Pembagian sebutan krama (warga) pada desa pakraman ini setidaknya dikenal pada tiga kelompok, yaitu krama pengarep, krama pangle, dan sekarang ada juga yang disebut dengan krama tamiu. Mereka yang disebut dengan krama pengarep adalah orang yang terkena ayah-ayahan dan ikut bertanggung jawab di dalam ritual yang dilakukan oleh desa. Di wilayah lain, misalnya di Karangasem, mereka yang disebut dengan krama pengarep adalah pihak yang mendapatkan hak untuk mengolah tanah milik desa pakraman (Stuart-Fox, 2010: 37). Sedangkan krama pangele adalah mereka yang berasal dari desa pakraman bersangkutan, akan tetapi karena berdomisili di wilayah yang jauh, dapat melakukan ganti terhadap kerja gotong royong yang dilakukan di desa pakraman tersebut. Sedangkan krama tamiu merupakan warga lain yang berasal dari luar wilayah, berdomisili di wilayah desa pakraman tersebut tetapi tidak bergabung dengan desa pakraman. Paling banyak mereka yang disebut sebagai krama tamiu ini adalah mereka yang beragama di luar Hindu dan berasal dari daerah lain. Dalam kasus di Bali, di awal millennium ke-21 ini cukup banyak krama tamiu yang menduduki wilayah desa pakraman, terutama yang berdekatan dengan kota.

Dalam konteks demikian, desa administrative (keperbekelan), tidak mempunyai pembedaan dalam penyebutan anggota masyarakat yang berdomisili di wilayahnya. Seluruh warga yang menyatakan bertanggung jawab dan berdomisili di wilayah desa tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak mempunyai pembedaan sebutan. Semua warga wajib membayar pajak apabila berada di wilayah keperbekelan itu dan juga berhak untuk mengelola tanah miliknya atas dasar pajak yang diserahkan, dan sebaliknya juga berhak mendapatkan kepengurusan administrasi seperti memiliki KTP, mengurus kartu keluarga dan sebagainya.

Hubungan kerjasama antara desa pakraman dengan desa dinas atau banjar dinas, justru semakin kental akhir-akhir ini ketika krama tamiu semakin banyak yang datang di Bali. Krama tamiu tersebut bertempat tinggal di banjar-banjar yang menjadi wilayah desa dinas sekaligus juga menjadi wilayah desa atau banjar pakraman. Datangnya krama tamiu ini memberikan penghasilan tambahan bagi krama desa dengan penyediakan rumah-rumah kontrakan atau tempat kost. Akibat dari itu, jumlah penduduk satu desa menjadi bertambah banyak dan dipandang perlu untuk melakukan kontrol lapangan demi menjaga ketertiban lingkungan. Untuk melakukan kontrol inilah kemudian desa dinas (keperbekelan), memerlukan peran dari desa pakraman dengan memanfaatkan petugas keamanan dari desa pakraman, yang disebut dengan pecalang. Petugas keamanan desa pakraman yang berfungsi menjaga keamanan.

Ada dua varian kerjasama yang dilakukan. Varian yang pertama adalah pimpinan desa dinas meminta bantuan kepada pimpinan desa pakraman (disebut dengan kelihan) untuk mengaktifkan pecalang di wilayahnya masing-masing. Dalam kerangka ini, desa pakraman akan bertindak sendirian untuk memantau situasi lingkungan yang ada di desa pakraman bersangkutan. Dalam praktik, pecalang biasanya berkeliling wilayah desa untuk memantau situasi dan melakukan razia terhadap warga yang tidak jelas identitasnya. Sedangkan varian kedua, akan ada gabungan tindakan baik yang dilakukan oleh desa pakraman maupun desa dinas (administratif) untuk melakukan pemantauan lingkungan. Desa pakraman akan turun ke lapangan dengan dilengkapi pecalang beserta jajaran pimpinan dan kelengkapan organisasi, sedangkan jajaran pimpinan desa dinas juga melakukan hal yang sama. Karena garis komando

Dokumen terkait