• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Administrasi Geografis

4.3 Kondisi Biologi Kawasan 1 Ekosistem

Taman Nasional Kayan Mentarang memiliki tiga perempat kawasan lebih berupa batu pasir endapan, sedangkan sisanya terbentuk atas aktivitas vulkanik sehingga terbentuklah berbagai bentuk lahan, dari dataran rendah dan tinggi sampai komplek perbukitan dan punggung gunung yang tinggi. Daerah dataran rendah hingga tinggi terbentuk dari endapan batu pasir dan membentuk asosiasi dengan hutan kerangas. Daerah dengan dataran rendah vulkanik yang subur membentuk hutan dipterocarpaceae primer dan sebagian berupa daerah pertanian. Batu pasir yang berada di perbukitan dan pegunungan membentuk hutan dipterocarpaceae pegunungan dan hutan Montana.

Terdapat sedikitnya 18 jenis habitat terrestrial atau tipe vegetasi. Hutan dataran rendah, sub montana dan montana bercampur dengan padang rumput dan lahan pertanian masyarakat serta vegetasi pada substrat yang khusus seperti hutan kerangas dan hutan kapur. Substrat batu pasir di dataran tinggi merupakan komponen edaphis utama yang sangat menentukan dalam pembentukan hutan kerangas. Selain dari substrat terrestrial, hubungannya terhadap flora fauna dipengaruhi oleh komunitas perairan yang beranekaragam sehingga mempengaruhi tingginya keragaman amphibi dan ikan.

21

4.3.2 Flora

Taman Nasional Kayan Mentarang merupakan salah satu lokasi dengan keanekaragaman flora yang tinggi. Zona dataran rendah di TNKM didominasi oleh flora dengan famili Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae dan Moraceae. Zona bukit (dataran tinggi) didominasi oleh famili Sapotaceae, Burseraceae, Myrtaceae, Fagaceae, Ulmaceae, Euphorbiaceae, Dipterocarpaceae, Lauraceae, Theaceae dan Moraceae. Pegunungan rendah didominasi oleh Theaceae, Myrtaceae, Euphorbiaceae, Myrtaceae, Fagaceae, Lauraceae dan Guttiferaceae. Zona pegunungan tinggi didominasi oleh famili Myrtaceae, Ericaceae dan Fagaceae.

4.3.3 Fauna

Satwa endemik kalimantan tercatat di kawasan taman nasional ini. Bekantan (Nasalis larvatus), Gibbon Borneo (Hylobates muelleri) dan Lutung (Presbytis Spp) merupakan primata yang menghuni kawasan ini. Puri (1997) diacu dalam TNKM (2002) mengatakan Bekantan tercatat sebanyak 2 ekor di hulu Sungai Bahau dan diperkirakan Bekantan betina muda yang secara kebetulan melintasi kawasan tersebut. Jenis mamalia yang diyakini masih terdapat dalam kawasan seperti Kucing Merah (Felis badia) dan Kijang Kuning Borneo (Muntiacus atherodes). Sudana (1999) diacu dalam TNKM (2002) mendapatkan info dari masyarakat Tau Lumbis, Kucing Merah masih terdapat dalam kawasan.

Satwa langka dan terancam seperti Lutung dahi putih (Presbytis frontata) dimanfaatkan oleh masyarakat untuk diambil “Batu guliga”. Badak bercula dua (Dicerorhinus sumatrensis) berdasarkan studi Meijaard (1995) diacu dalam TNKM (2002), Badak ditemukan di sekitar perbatasan luar taman nasional. Banteng (Bos javanicus), Musang air (Cynogale bennettii) dan Gajah Asia (Elephas maximus) terdapat dalam kawasan. Gajah asia keberadaannya diketahui di daerah Lumbis kearah timur taman nasional. Banteng diburu untuk diambil dagingnya dan dibunuh jika memasuki perladangan warga.

Jenis-jenis satwa seperti Orang Utan (Pongo pygmaeus), Beruk (Macaca nemestrina), Landak Biasa (Hystrix brachyura), Berang-berang Bulu Licin (Lutra perspicillata), Macan Dahan (Neofelis nebulosa) dan Kucing Tandang (Felis planiceps). Orang Utan sangat jarang ditemui di kawasan Sungai Tubu (O‟Brien

1997 diacu dalam TNKM 2002). Sulit ditemukan Orang utan di kawasan ini karena habitat kurang sesuai dan perburuan di daerah tersebut. Puri (1997) diacu dalam TNKM (2002) mengatakan Macan dahan saat ini sangat jarang terlihat oleh pemburu. Masyarakat dikatakan sangat beruntung jika memperoleh enam ekor macan dahan hasil buruan sepanjang hidupnya. Landak hanya sesekali diburu untuk memperoleh daging dan bulunya sebagai cinderamata. Selain itu batu guliga yang terdapat pada landak dimanfaatkan sebagai komoditi jual beli sebagai obat. IUCN menetapkan status Beruk sebagai satwa Vulnerable, karena jumlahnya terus menurun. Namun masyarakat Krayan percaya satwa tersebut masih cukup melimpah dan dianggap sebagai hama.

Beruang madu (Helarctos malayanus) dan Luwak (Pardofelis marmorata) merupakan satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Luwak diburu oleh masyarakat untuk diambil daging, kulit dan giginya. Sedangkan Beruang madu umumnya dimanfaatkkan sebagai obat oleh masyarakat dengan memanfaatkan kantong empedunya. Gigi, kulit dan cakarnya dijual sebagai perhiasan.

Jenis-jenis burung banyak terdapat di kawasan ini, baik jenis endemik maupun jenis yang dilindungi. Merak Borneo (Polypectron schleiermacheri), Bangau Tongtong (Ciconia stormi), Ibis Karau (Pseudibis davisoni), Sempidan Kalimantan (Lophura bulweri), Sempidan Merah (Lophura erythrophthalma), Sempidan Biru (Lophura ignita), Julang Jambul-Hitam (Aceros corrugatus), Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus) dan Pelanduk Kalimantan (Malacocincla perspicillata) merupakan beberapa jenis burung yang terdapat dalam kawasan.

Jenis-jenis amphibi dan reptil tidak kalah banyak dengan kelas lainnya. Terdapat 26 jenis reptile dan 27 jenis amphibi yang dilaporkan terdapat dalam kawasan. Ikan merupakan satwa air yang banyak ditemukan di kawasan ini, terdapat sekitar 76 jenis yang baru diketahui dalam kawasan.

4.4 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Kebudayaan Masyarakat

Masyarakat dayak yang berada di dalam dan sekitar kawasan terdiri atas 12 kelompok suku bahasa dengan penduduknya 16.000 jiwa. Kelompok tersebut seperti Dayak Kenyah, Punan, Lundayeh, Tagel, Kayan dan Saben. Masyarakat tersebut telah mendiami kawasan kurang lebih selama dua atau tiga abad yang lalu. Perpindahan masyarakat dari dan ke dalam kawasan masih terjadi hingga

23

saat ini. Umumnya perpindahan keluar kawasan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi mereka, namun peningkatan perdagangan hasil hutan dari kawasan telah menyebabkan kembalinya masyarakat kedalam kawasan.

Klinik kesehatan umumnya terdapat di masing-masing ibukota kecamatan sebanyak satu buah dengan minimal dua orang perawat, satu orang mantri dan satu orang dokter. Umumnya dokter yang didatangkan berasal dari daerah lain Indonesia yang baru selesai pendidikan dan dalam masa tugas pelatihan pelayanan di daerah-daerah terpencil Indonesia. Untuk setiap desa terdapat satu buah sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama hanya ada di ibukota kecamatan.

Mata pencaharian masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sangat beragam. Umumnya masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dari hasil menanam dan berburu yang diperoleh dari hutan dan sungai. Kegiatan utama dalam mencari uang untuk membeli berbagai keperluan mereka adalah dengan memungut dan menjual hasil hutan serta dari bekerja sementara di Malaysia. Walaupun demikian masyarakat sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan berbagai mata pencaharian lainnya seperti beternak, hasil hutan non kayu, perburuan, kerajinan tangan dan bekerja sebagai buruh.

Masyarakat di sekitar kawasan merupakan masyarakat adat dimana kehidupan sehari-hari diatur dengan hukum adat, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam. Keberadaan lembaga hukum adat dalam menerapkan aturan sehari-hari telah membuat masyarakat percaya terhadap lembaga tersebut dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dibandingkan organisasi lain. Terdapat sedikitnya 10 wilayah adat di kawasan TNKM yaitu Apo Kayan, Pujungan, Hulu Bahau, Tubu, Mentarang, Krayan Hulu, Krayan Tengah, Krayan Hilir, Krayan Darat dan Lumbis Hulu. Wilayah adat tersebut dipimpin oleh kepala adat besar dan telah mendapat pengakuan dari pemerintah kabupaten dengan adanya surat tugas.

4.5 Pengelolaan Kawasan

Taman Nasional Kayan Mentarang bermula sebagai Cagar Alam yang diusulkan oleh tim gabungan PPA/FAO pada tahun 1977. Tahun 1980 Departemen Pertanian sebagai pengelola kawasan hutan menetapkan kawasan

tersebut menjadi Cagar Alam dengan SK No.847 Kpts/Um/II/25 November 1980 dengan luas 1,6 juta hektar. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 1992 WWF mengusulkan perubahan status kawasan menjadi Taman Nasional, agar pemanfaatan tradisional dapat dilakukan dalam kawasan. Departemen Kehutanan kemudian menilai usulan tersebut dan pada tanggal 7 Oktober 1996 Menteri Kehutanan menetapkan area tersebut menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang dengan SK Menteri Kehutanan No.631/Kpts-II/1996 yang memiliki luasan 1,35 juta hektar.

Perencanaan kawasan saat ini telah difokuskan kepada penataan batas taman nasional dan zona pemanfaatan. Penataan batas dan zonasi kawasan tidak hanya melibatkan pengelola kawasan, melainkan mengajak pula masyarakat adat melalui perencanaan partisipatif untuk menyempurnakan tata batas dan zonasi yang telah terbentuk. Pengelolaan kawasan hingga saat ini belum maksimal karena terbatasnya anggaran dan staf kawasan. Kawasan taman nasional umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengumpulkan hasil hutan dan berburu. Penelitian di dalam maupun di luar kawasan telah banyak dilakukan, baik oleh pihak independen maupun hasil kerjasama berbagai pihak. Stasiun Penelitian Hutan Tropis Lalut Birai merupakan pusat penelitian yang ada dalam kawasan.

Kegiatan pengamanan dan perlindungan kawasan dilakukan secara bersama dengan melakukan patroli udara, pembangunan pos penjagaan dan proses penghentian pengumpulan hasil hutan secara illegal oleh para pendatang. Koordinasi yang dilakukan bersama LSM dan pihak pemerintah beserta masyarakat tetap dilaksanakan dalam mencapai tujuan pengelolaan kawasan. Pembangunan sarana prasarana seperti Stasiun Penelitian Hutan Tropis Lalut Birai, landasan pesawat, jalan setapak dan pelabuhan. Pendanaan secara spesifik belum ditujukan untuk pengelolaan TNKM, sehingga sampai saat ini pendanaan berasal dari LSM yang telah bekerjasama dengan kawasan.

4.6 Tana ‘Ulen Lalut Birai

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan Tana „Ulen bagi masyarakat Desa Long Alango. Pengelolaannya saat ini dilakukan oleh pihak Badan Pengurus Tana „Ulen dan pengelolanya adalah masyarakat setempat. Pada awalnya kepemilikan

25

areal tersebut merupakan hak bagi kaum paren (bangsawan), namun saat ini kepemilikan tersebut telah beralih menjadi hak masyarakat desa (Konradus 1999). Tana „Ulen tersebut berada dalam Taman Nasional Kayan Mentarang SPTN Wilayah II. Dalam areal tersebut terdapat stasiun penelitian Lalut Birai yang didirikan oleh pihak WWF, namun saat ini telah dilimpahkan kepada pihak balai dan pengelolaannya dilakukan oleh pihak BPTU (Badan Pengurus Tana „Ulen) dengan pengawasan dari balai.

Masyarakat memanfaatkan areal tersebut untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka seperti pembangunan balai pertemuan umum dan acara kemasyarakatan lainnya. Selain itu areal tersebut dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dengan meminta izin kepada kepala adat. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa sepengetahuan kepala adat dapat dikenakan sanksi berdasarkan hukum adat yang telah disepakati.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Fisik Tana ‘Ulen Lalut Birai

5.1.1 Hidrologi

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan tanah adat masyarakat Desa Long Alango yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Arealnya terdiri atas lembah-lembah dalam dan pegunungan sehingga areal ini merupakan daerah tangkapan air. Oktariadi (2007) menggambarkan suatu daerah tangkapan air dengan areal yang umumnya dilindungi seperti suaka alam maupun hutan lindung serta berada pada daerah-daerah puncak dengan kelerengan terjal (30-50%) hingga sangat terjal (>70%). Sehingga Tana „Ulen Lalut Birai dapat dikatakan sebagai areal tangkapan air yang mengalirkan airnya melalui Sungai Enggeng.

Sungai Enggeng memiliki percabangan di daerah hulu seperti Sungai Tee, Sungai Enggeng Tau, Sungai Enggeng Kabi‟eng dan Sungai Enggeng Belua. Sungai Enggeng merupakan anak sungai dari Sungai Bahau yang mengalirkan airnya ke Sungai Kayan, salah satu sungai terbesar di Kalimantan Timur. Sungai Enggeng terletak di ketinggian 330 meter dari permukaan laut yang tercatat di muara sungai (Gambar 6).

27

Kondisi sungai sebagian besar terdiri atas bebatuan sehingga sungai ini sulit untuk dijadikan sarana transportasi. Arus deras dan tenang dapat dijumpai tidak jauh dari muara Sungai Enggeng. Perbedaan ketinggian aliran permukaan air mudah ditemukan di sungai ini. Kondisi tersebut menjadikan sungai ini sulit untuk dijelajahi dengan transportasi sungai pada umumnya.

Air di sungai ini tidak dimanfaatkan oleh warga untuk kepentingan mengairi lahan, kebutuhan sehari-hari maupun pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Letaknya cukup jauh dari desa sehingga sulit untuk dilakukan pemanfaatan oleh masyarakat. Namun, salah satu anak sungai (lalut) dari Sungai Enggeng dimanfaatkan oleh warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama aktifnya kegiatan penelitian di Stasiun Penelitian Hutan Tropis (SPHT) Lalut Birai.

5.1.2 Topografi

Kawasan ini sebagian besar berupa pegunungan dengan ketinggian lokasi yang berbeda di setiap tempatnya. Kondisi tertinggi yang berada di sebelah kanan batas kawasan adalah 1340 mdpl dan di sebelah kiri 1293 mdpl, tetapi banyak elevasi-elevasi yang lebih tinggi dicapai oleh pegunungan di titik pertemuan batas kiri dan kanan kawasan (Gambar 13). Kondisi permukaan yang naik turun seringkali dijumpai dalam areal ini.

Kemiringan lereng yang besar dengan elevasi punggung gunung yang tinggi membentuk kawasan berupa lembah curam dan dalam. Kondisi ini dapat dijumpai selama perjalanan menyusuri batas kawasan, baik di kiri maupun batas kanan kawasan.

5.1.3 Tanah

Permukaan tanah dalam kawasan Tana „Ulen tertutup oleh berbagai serasah tebal hingga sangat tebal akibat guguran daun sebagai proses alami regenerasi pada tumbuhan. Beberapa lokasi yang memiliki penutupan serasah daun yang sangat tebal adalah di puncak-puncak pegunungan.

Tanah yang berwarna kecokelatan hingga kemerahan dapat terlihat di jalan awal menyusuri kawasan ataupun di sekitar SPHT Lalut Birai, sedangkan tanah yang berada di ketinggian 1072 mdpl berwarna sedikit kekuningan dan beberapa diantaranya terdapat bebatuan kecil hingga sedang.

5.2 Kondisi Biologi Tana ‘Ulen Lalut Birai 5.2.1 Flora

Jenis-jenis tumbuhan yang ada di batas kawasan umumnya berupa pepohonan tinggi dan besar, sedangkan untuk lokasi seperti di puncak-puncak pegunungan dapat dijumpai pepohonan pendek dengan diameter yang kecil. Jenis- jenis pohon tersebut seperti Meranti (Shorea sp.), Ulin (Eusideroxylon zwagerii), Agathis (Agathis borneensis), Pulai (Alstonia scholaris), Eucalyptus (Tristianopsis whiteana), Eucalyptus (Tristianopsis obovata) dan Puspa (Schima wallichii).

Terdapat jenis-jenis rotan baik rotan dengan diameter besar maupun kecil di sepanjang batas kawasan. Jenis rotan yang dapat dijumpai seperti Wai sega (Calamus caesus) dan Wai Semole (Daemonorops periancantha). Jenis-jenis palem-paleman lainnya juga terdapat di areal ini seperti Palem kipas (Licuala splendidula) dan Nibung (Oncosperma horridum). Berbagai jenis anggrek terdapat di sepanjang jalur, namun sebagian besar merupakan jenis anggrek terestrial dan anggrek tanah.

5.2.2 Fauna

Satwa yang ada dalam kawasan seperti Bajing kerdil (Excillisiurus exillis), Rusa sambar (Cervus unicolor), Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri). Jenis burung yang ada dalam kawasan adalah burung Enggang gading (Buceros vigil), Enggang badak (Buceros rhinoceros), Kuau raja (Argusianus argus) dan Elang ular bido (Spilornis cheela).

Jenis satwa lainnya adalah Beruang madu (Helarctos malayanus), Kijang (Muntiacus spp.) dan Babi hutan (Sus barbatus). Satwa tersebut diketahui keberadaannya melalui jejak yang ditinggalkannya seperti kubangan, lubang galian dan jejak kaki.

5.3 Tana ‘Ulen Lalut Birai 5.3.1 Letak Tana ‘Ulen Lalut Birai

Tana „Ulen Lalut Birai merupakan Tanah adat masyarakat Desa Long Alango dan terletak dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Lokasinya berada di Sungai Enggeng dengan jarak kurang lebih 5 km dari desa.

29

Jarak ini ditempuh dalam waktu 15 menit dengan perahu tempel (ketinting). Muara Sungai Enggeng merupakan batas terluar di bagian timur kawasan dan berada di tepi aliran Sungai Bahau, sehingga cukup mudah dijangkau setelah melewati perjalanan air di sungai-sungai utama yang dijadikan jalur transportasi (Gambar 7).

Gambar 7 Muara Sungai Enggeng.

Tana „Ulen tersebut terdiri atas sisi utara (kanan), selatan (kiri), barat dan timur dari Sungai Enggeng, sehingga sungai ini merupakan titik tengah dari Tana „Ulen masyarakat. Peneliti biologi kawasan terdahulu memperkirakan luasan Tana „Ulen ini kurang lebih 11.000 ha, tanpa menyusuri batas kawasan.

5.3.2 Batas Tana ‘Ulen Lalut Birai

Masyarakat membatasi areal Tana „Ulennya menggunakan sistem mata air terluar yang mengalir ke Sungai Enggeng, baik mata air yang secara nyata mengalir ke Sungai Enggeng maupun mata air yang mengalir berputar menjauh dari Sungai Enggeng, jika tetap mata air itu berakhir di Sungai Enggeng, maka masyarakat menganggapnya sebagai batas dari Tana „Ulennya (Gambar 8).

Mata air yang mengalir kedalam dua DAS berbeda, menurut Ongkosongo (2010) dipisahkan oleh topografi di bagian daratnya. Noor (2009) mendefiniskan

topografi sebagai penampakan ketinggian muka bumi atau lahan. Letak punggung gunung terdapat di bagian teratas dari mata air tersebut, sehingga dalam Tana „Ulen ini pembatasnya adalah punggung gunung dan bukit. Punggung gunung tersebut memisahkan dua mata air yang mengalir ke Sungai Enggeng dan air yang mengalir ke luar Sungai Enggeng.

Gambar 8 Titik-titik koordinat survey lapang dan batas lapang Tana „Ulen Lalut Birai hasil diskusi.

Batas alam titik terluar di bagian timur kawasan Tana „Ulen Lalut Birai berupa muara Sungai Enggeng yang bertemu dengan Sungai Bahau, anak sungai dari Sungai Kayan. Muara ini memiliki lebar tidak lebih dari 20 meter. Berjalan di sisi kanan (utara) kawasan atau bagian atas dari muara dapat dijumpai kelerengan lahan yang mencapai 25%, berupa jalan menanjak (Gambar 9). Sisi-sisinya berupa areal lahan yang meninggi dan lereng curam (40%) yang mengarah ke Sungai Bahau. Jalan ini merupakan titik awal dari rangkaian pegunungan di bagian kanan (utara) yang merupakan kesatuan dari puncak gunung di hulu Sungai Enggeng.

Jalan tersebut merupakan jalan yang digunakan untuk mencapai SPHT Lalut Birai. Namun, jalan ini tidak selamanya berada di batas terluar dari Tana „Ulen Lalut Birai. Pada beberapa lokasi jalan, terdapat pengalihan jalan menuju

31

areal terendah dari punggung bukit yang merupakan batas Tana „Ulen. Sehingga dapat terlihat persimpangan jalan antara jalan menuju SPHT Lalut Birai dan jalan yang merupakan punggung bukit sebagai batas Tana „Ulen Lalut Birai.

Gambar 9 Lokasi titik pertama di bagian (a) kanan (utara) dan (b) kiri (selatan). Hutan di sekitar titik ini cukup terbuka dan banyak ditumbuhi semak belukar. Bagian dalam dari hutan ini terlihat masih baik dengan banyaknya pepohonan tinggi dan besar yang menaungi lantai hutan. Letak hutan yang berada di antara pertemuan dua arus sungai menjadikan hutan ini berada di lereng-lereng curam dengan kemiringan lebih dari 40% (Gambar 10). Letak hutan ini berada di ketinggian 330 mdpl.

Titik pertama di bagian kiri (selatan) kawasan terletak tidak jauh dengan titik pertama di bagian kanan (utara) (Gambar 9). Sehingga kondisinya tidak memiliki perbedaan yang nyata. Berada di titik terendah (330 mdpl) dari rangkaian punggung gunung Sungai Enggeng, menjadikan titik ini muara dari Sungai Enggeng serta anak sungainya. Perbedaan kecil yang terlihat dengan titik kanan adalah tidak terdapat jalan setapak di titik ini untuk masuk kedalam hutan.

Hutan di bagian kiri (selatan) areal dapat tergambarkan dengan kondisi yang berada di lereng curam menuju Sungai Enggeng. Sedangkan hutan yang menghadap Sungai Bahau tidak berada di lereng curam, melainkan berada di tanah yang cukup landai. Hutannya tidak langsung bertemu dengan Sungai Bahau, tetapi bertemu dengan tanah pasir berbatu yang merupakan hasil sedimentasi ketika banjir. Kelerengan curam dapat dijumpai tidak jauh dari bagian awal hutan. Berjalan kedalam hutan di bagian kiri areal akan bertemu dengan lahan curam

yang terhubung dengan punggung gunung di bagian kiri (selatan) dari muara sungai.

Titik koordinat kedua merupakan batas terluar di bagian kanan (utara) kawasan berupa jalan persimpangan menuju Sungai Pande Iut dan Sungai Enggeng dengan ketinggian 931 mdpl (Gambar 11). Batas ini memiliki ciri yang cukup khas berupa tanah datar berlumpur yang ditumbuhi rumput liar sebagai areal berkumpulnya beberapa jenis satwa. Sisi-sisi dari areal ini berupa kelerengan curam yang dalam dan sisi lainnya dilalui aliran air yang merupakan mata air ke Sungai Enggeng. Arah selatan titik ini berupa jalan menuju muara dan arah barat jalan landai menuju Tana „Ulen.

US Army Infantry School (2001) mendefinisikan bukit sebagai areal yang berada di ketinggian dengan sisi-sisinya berupa areal menurun, sedangkan rangkaian punggung bukit merupakan areal yang berada di ketinggian dengan perubahan ketinggian di sepanjang rangkaian dimana sisi-sisinya merupakan areal menurun tajam. Titik kedua yang memiliki sisi-sisi curam dan sisi lainnya berupa jalan landai menuju Tana „Ulen memberikan gambaran titik ini berada pada sebuah bukit yang terhubung dengan bukit lain pada punggung bukitnya. Sifatnya yang terjal merupakan ciri tersendiri dari sebuah bukit (Darmawan A & Ruswanto 2008). Titik dengan ketinggian 500-1000 mdpl mencirikan sebuah bukit, sedangkan pegunungan rendah dicirikan dengan ketinggian 1000-1500 mdpl (TNKM 2002).

Kondisi hutan di sepanjang titik satu ke titik dua banyak ditumbuhi oleh pepohonan besar dan tinggi, sehingga kondisi jalan banyak ternaungi oleh lebatnya pepohonan. Namun terdapat satu lokasi dengan naungan terbuka karena pohon tumbang sebagai proses regenerasi alami. Kondisi hutan sepanjang jalan ini berada di lereng-lereng curam yang memisahkan aliran Lalut Birai dengan aliran sungai lainnya yang ada di sebelah selatan jalur. Jalur sepanjang titik satu menuju titik dua, bukan punggung bukit terluar yang membatasi areal Tana „Ulen, melainkan punggung bukit yang terhubung dengan pertemuan beberapa punggung bukit lainnya yang membatasi kawasan.

33 Gambar 10 Peta kelerengan di Tana „Ulen Lalut Birai.

Gambar 11 Titik kedua di bagian (a) kanan (utara) dan (b) kiri (selatan). Titik koordinat kedua di bagian kiri (selatan) berada di puncak bukit dan merupakan rangkaian dari tiga punggung bukit lainnya (Gambar 11). Perbedaan tidak terlihat nyata dengan titik kedua di bagian kanan (utara), lereng curam dan terjal terdapat di sisi selatan dan utara titik ini. Titik ini berada pada ketinggian 626 mdpl, lebih rendah jika dibandingkan dengan titik kedua di bagian kanan (utara). Perjalanan menuju titik ini dilakukan dengan menyusuri lereng curam di bagian utara yang mengalirkan air ke Sungai Enggeng. Sisi selatan titik ini mengalirkan air ke Lalut Songan. Sisi barat titik ini menuju Tana „Ulen dan sisi timur menuju muara.

Gambar 12 Titik ketiga di bagian (a) kanan dan (b) kiri areal Tana „Ulen. Kondisi hutannya terletak di lereng-lereng curam dengan naungan lebat karena pepohonan rapat dan besar. Lantai hutannya sedikit ditumbuhi semak belukar, hanya beberapa di bagian tepi sungai yang mendapat sinar matahari ditumbuhi oleh tumbuhan bawah.

Koordinat ketiga di bagian kanan (utara) terletak pada ketinggian 1003 mdpl (Gambar 12). Area yang menurun ataupun titik terendah antara dua puncak

(a) (b)

35

ketinggian menurut US Army Infantry School (2001) disebut sebagai cekungan.

Dokumen terkait