• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

I.1. KONDISI UMUM DAN CAPAIAN SEKTOR ESDM

Sesuai amanat RPJMN Tahun 2010-2014, KESDM utamanya mengemban tugas melaksanakan “Prioritas Nasional ke-8 di Bidang Energi”. Sebagai

tolak ukur keberhasilan pelaksanaan Prioritas Nasional Bidang Energi tersebut, terdapat 6 indikator utama yang harus dicapai pada akhir tahun 2014. Dari 6 indikator tersebut, 4 diantaranya berhasil dicapai dan 2 lainnya belum terealisasi, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel I-1 Capaian Indikator Kinerja Prioritas Nasional Bidang Energi pada RPJMN Tahun 2010-2014

Belum tercapainya produksi minyak bumi disebabkan karena usia lapangan minyak Indonesia yang sudah tua, gangguan produksi dan faktor non-teknis. Selain itu, akibat terlambatnya produksi minyak bumi secara full scale dari Blok Cepu yang merupakan satu-satunya penemuan cadangan minyak besar di Indonesia sejak tahun 90-an. Target full scale blok Cepu mengalami kemunduran dari semula tahun 2014, menjadi tahun 2015.

Belum tercapainya target kapasitas terpasang panas bumi sebesar 5.000 MW di tahun 2014 selain karena target yang sangat tinggi, juga disebabkan karena kendala perizinan, lahan, harga jual, negosiasi pengembang dengan PLN, dan benturan antar perundang-undangan. Selain itu, pengelolaannya cukup kompleks karena terkait lintas kementerian antara lain KESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian Dalam Negeri, dan bahkan juga Pemerintah Daerah.

Upaya telah dilakukan, antara lain menetapkan Permen ESDM terkait kepastian harga, namun perlu didukung dengan perubahan peraturan yang lebih tinggi dimana pembahasannya memakan waktu cukup lama dan melibatkan banyak stakeholders. Salah satu upaya mengatasi hal tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI telah berhasil menyelesaikan perubahan UU Panas Bumi pada tahun 2014 melalui UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.

RENSTRA KESDM 2015-2019 9

- 9 -

Selain target pada RPJMN Tahun 2010-2014 di atas, berikut ini adalah capaian sektor ESDM tahun 2010-2014 secara lebih luas, yang merupakan pengalaman dan pertimbangan dalam menetapkan target-target kedepan:

1. Produksi Minyak dan Gas Bumi

Industri minyak bumi nasional sudah tua, lebih dari 100 tahun, dan produksinya semakin menurun. Setelah Indonesia merdeka, puncak produksi minyak terjadi sebanyak 2 kali, yaitu pada tahun 1977 dan 1995 yaitu masing-masing sebesar 1,68 juta barrel per day (bpd) dan 1,62 juta bpd. Setelah tahun 1995, produksi minyak Indonesia rata-rata menurun dengan natural decline rate sekitar 12%. Namun sejak tahun 2004 penurunan produksi minyak dapat ditahan dengan decline rate sekitar 3% per tahun.

Gambar I-2 Sejarah Produksi Minyak Indonesia

Pada tahun 2014, produksi minyak bumi hanya sekitar 789 ribu bpd atau menurun menjadi 96% dibandingkan tahun 2013 sebesar 824 ribu bpd. Penurunan produksi tersebut, selain disebabkan karena usia lapangan minyak Indonesia yang sudah tua, juga karena adanya kendala teknis seperti unplanned shutdown, kebocoran pipa, kerusakan peralatan, kendala subsurface dan gangguan alam. Selain itu, terdapat kendala non teknis terjadi seperti perizinan, lahan, sosial dan keamanan. Selain itu, terlambatnya peak production dari the giant field-Blok Cepu, akibat pembebasan lahan yang berlarut-larut menyebabkan on-stream proyek mundur menjadi tahun 2015.

Meskipun produksi minyak bumi tahun 2014 hanya sekitar 789 ribu bpd, namun jika dilihat minyak dan gas bumi as a single comodity, produksinya mencapai 2,24 juta barrel oil equivalen per day (boepd). Bahkan jika dilihat energi fosil sebagai satu kesatuan mencakup migas Selain target pada RPJMN Tahun 2010-2014 di atas, berikut ini adalah capaian sektor ESDM tahun 2010-2014 secara lebih luas, yang merupakan pengalaman dan pertimbangan dalam menetapkan target-target kedepan:

1. Produksi Minyak dan Gas Bumi

Industri minyak bumi nasional sudah tua, lebih dari 100 tahun, dan produksinya semakin menurun. Setelah Indonesia merdeka, puncak produksi minyak terjadi sebanyak 2 kali, yaitu pada tahun 1977 dan 1995 yaitu masing-masing sebesar 1,68 juta barrel per day (bpd) dan 1,62 juta bpd. Setelah tahun 1995, produksi minyak Indonesia rata-rata menurun dengan natural decline rate sekitar 12%. Namun sejak tahun 2004 penurunan produksi minyak dapat ditahan dengan decline rate sekitar 3% per tahun.

Gambar I-2 Sejarah Produksi Minyak Indonesia

Pada tahun 2014, produksi minyak bumi hanya sekitar 789 ribu bpd atau menurun menjadi 96% dibandingkan tahun 2013 sebesar 824 ribu bpd. Penurunan produksi tersebut, selain disebabkan karena usia lapangan minyak Indonesia yang sudah tua, juga karena adanya kendala teknis seperti unplanned shutdown, kebocoran pipa, kerusakan peralatan, kendala subsurface dan gangguan alam. Selain itu, terdapat kendala non teknis terjadi seperti perizinan, lahan, sosial dan keamanan. Selain itu, terlambatnya peak production dari the giant field-Blok Cepu, akibat pembebasan lahan yang berlarut-larut menyebabkan on-stream proyek mundur menjadi tahun 2015.

Meskipun produksi minyak bumi tahun 2014 hanya sekitar 789 ribu bpd, namun jika dilihat minyak dan gas bumi as a single comodity, produksinya mencapai 2,24 juta barrel oil equivalen per day (boepd). Bahkan jika dilihat energi fosil sebagai satu kesatuan mencakup migas Selain target pada RPJMN Tahun 2010-2014 di atas, berikut ini adalah capaian sektor ESDM tahun 2010-2014 secara lebih luas, yang merupakan pengalaman dan pertimbangan dalam menetapkan target-target kedepan:

1. Produksi Minyak dan Gas Bumi

Industri minyak bumi nasional sudah tua, lebih dari 100 tahun, dan produksinya semakin menurun. Setelah Indonesia merdeka, puncak produksi minyak terjadi sebanyak 2 kali, yaitu pada tahun 1977 dan 1995 yaitu masing-masing sebesar 1,68 juta barrel per day (bpd) dan 1,62 juta bpd. Setelah tahun 1995, produksi minyak Indonesia rata-rata menurun dengan natural decline rate sekitar 12%. Namun sejak tahun 2004 penurunan produksi minyak dapat ditahan dengan decline rate sekitar 3% per tahun.

Gambar I-2 Sejarah Produksi Minyak Indonesia

Pada tahun 2014, produksi minyak bumi hanya sekitar 789 ribu bpd atau menurun menjadi 96% dibandingkan tahun 2013 sebesar 824 ribu bpd. Penurunan produksi tersebut, selain disebabkan karena usia lapangan minyak Indonesia yang sudah tua, juga karena adanya kendala teknis seperti unplanned shutdown, kebocoran pipa, kerusakan peralatan, kendala subsurface dan gangguan alam. Selain itu, terdapat kendala non teknis terjadi seperti perizinan, lahan, sosial dan keamanan. Selain itu, terlambatnya peak production dari the giant field-Blok Cepu, akibat pembebasan lahan yang berlarut-larut menyebabkan on-stream proyek mundur menjadi tahun 2015.

Meskipun produksi minyak bumi tahun 2014 hanya sekitar 789 ribu bpd, namun jika dilihat minyak dan gas bumi as a single comodity, produksinya mencapai 2,24 juta barrel oil equivalen per day (boepd). Bahkan jika dilihat energi fosil sebagai satu kesatuan mencakup migas

BAB SA

RENSTRA KESDM 2015-2019

#esdm

10

- 10 -

dan batubara, maka produksi energi fosil Indonesia tahun 2014 mencapai 7,25 juta boepd, hampir mendekati produksi minyak negara di Timur Tengah, dimana mereka lebih dominan memiliki migas, tetapi tidak memiliki batubara sebagaimana Indonesia.

Gambar I-3 Produksi Energi Fosil Indonesia Tahun 2010-2014

Sebaliknya, produksi gas bumi Indonesia relatif meningkat sejak tahun 1970-an, meskipun akhir-akhir ini produksinya cederung stagnan pada kisaran 8.000 mmscfd. Sejak tahun 2001, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, produksi gas bumi lebih besar dari minyak bumi. Pada tahun 2014 produksi gas bumi sebesar 8.147 mmscfd. Angka produksi

gas tersebut berbeda dengan angka lifting gas yang pada tahun 2014 sebesar 6.838 mmscfd atau 1.221 ribu boepd. Produksi, merupakan volume gas yang tercatat di wellhead dikurangi pemakaian sendiri (own use) yaitu untuk gas re-injeksi dan gas lift. Sedangkan lifting gas bumi adalah produksi dikurangi losses (flare) dan merupakan sejumlah volume gas yang terjual (terkontrak). Dalam penetapan APBN yang dipakai adalah lifting gas bumi karena dikaitkan dengan penerimaan negara. Namun, dari sisi teknis produksi gas juga penting karena terkait dengan perhitungan cadangan (reservoir performance migas).

2. Penyiapan Wilayah Kerja dan Eksplorasi Migas

Dalam rangka peningkatan produksi migas dalam jangka panjang maka perlu dilakukan pembukaan wilayah kerja dan eksplorasi migas secara masif. Pada periode 2010-2014 telah ditandatangani Kontrak Kerja Sama (KKS) Wilayah Kerja (WK) Migas sebanyak 116 KKS yang terdiri dari 81 KKS Migas konvensional dan 35 KKS Migas non-konvensional (34 KKS Coal Bed Methane/CBM dan 1 KKS Shale Gas).

- 10 -

dan batubara, maka produksi energi fosil Indonesia tahun 2014 mencapai 7,25 juta boepd, hampir mendekati produksi minyak negara di Timur Tengah, dimana mereka lebih dominan memiliki migas, tetapi tidak memiliki batubara sebagaimana Indonesia.

Gambar I-3 Produksi Energi Fosil Indonesia Tahun 2010-2014

Sebaliknya, produksi gas bumi Indonesia relatif meningkat sejak tahun 1970-an, meskipun akhir-akhir ini produksinya cederung stagnan pada kisaran 8.000 mmscfd. Sejak tahun 2001, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, produksi gas bumi lebih besar dari minyak bumi. Pada tahun 2014 produksi gas bumi sebesar 8.147 mmscfd. Angka produksi

gas tersebut berbeda dengan angka lifting gas yang pada tahun 2014 sebesar 6.838 mmscfd atau 1.221 ribu boepd. Produksi, merupakan volume gas yang tercatat di wellhead dikurangi pemakaian sendiri (own use) yaitu untuk gas re-injeksi dan gas lift. Sedangkan lifting gas bumi adalah produksi dikurangi losses (flare) dan merupakan sejumlah volume gas yang terjual (terkontrak). Dalam penetapan APBN yang dipakai adalah lifting gas bumi karena dikaitkan dengan penerimaan negara. Namun, dari sisi teknis produksi gas juga penting karena terkait dengan perhitungan cadangan (reservoir performance migas).

2. Penyiapan Wilayah Kerja dan Eksplorasi Migas

Dalam rangka peningkatan produksi migas dalam jangka panjang maka perlu dilakukan pembukaan wilayah kerja dan eksplorasi migas secara masif. Pada periode 2010-2014 telah ditandatangani Kontrak Kerja Sama (KKS) Wilayah Kerja (WK) Migas sebanyak 116 KKS yang terdiri dari 81 KKS Migas konvensional dan 35 KKS Migas non-konvensional (34 KKS Coal Bed Methane/CBM dan 1 KKS Shale Gas).

RENSTRA KESDM 2015-2019 11

Salah satu tantangan penemuan cadangan adalah menurunnya minat penandatanganan WK Migas sejak tahun 2011 hingga tahun 2014. Hal yang perlu menjadi catatan penting yaitu Kontrak Shale Gas Indonesia pertama kali ditandatangani pada 31 Januari 2013 yaitu Wilayah Kerja MNK Sumbagut yang dioperasikan oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE).

Gambar I-4 Penandatanganan KKS, Firm Commitment dan Bonus Tanda Tangan

Meskipun eksplorasi telah dilakukan termasuk pemboran sumur wildcat, namun peluang kegagalan penemuan cadangan atau dry hole masih besar, ini adalah resiko tinggi kegiatan hulu migas. Selama periode 2010-2014, dari 494 sumur eksplorasi yang dikerjakan, hanya 153 sumur yang disinyalir menemukan cadangan atau success ratio penemuan cadangan migas Indonesia sekitar 31%.

Gambar I-5 Pemboran Sumur Eksplorasi dan Penemuan Cadangan

Salah satu tantangan penemuan cadangan adalah menurunnya minat penandatanganan WK Migas sejak tahun 2011 hingga tahun 2014. Hal yang perlu menjadi catatan penting yaitu Kontrak Shale Gas Indonesia pertama kali ditandatangani pada 31 Januari 2013 yaitu Wilayah Kerja MNK Sumbagut yang dioperasikan oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE).

Gambar I-4 Penandatanganan KKS, Firm Commitment dan Bonus Tanda Tangan

Meskipun eksplorasi telah dilakukan termasuk pemboran sumur wildcat, namun peluang kegagalan penemuan cadangan atau dry hole masih besar, ini adalah resiko tinggi kegiatan hulu migas. Selama periode 2010-2014, dari 494 sumur eksplorasi yang dikerjakan, hanya 153 sumur yang disinyalir menemukan cadangan atau success ratio penemuan cadangan migas Indonesia sekitar 31%.

Gambar I-5 Pemboran Sumur Eksplorasi dan Penemuan Cadangan

BAB SA

RENSTRA KESDM 2015-2019

#esdm

12

- 12 -

3. Alokasi Gas Bumi untuk Domestik dan Infrastruktur Gas

Sejak tahun 1970-an produksi gas Indonesia lebih dominan untuk ekspor, dimulai saat ditemukannya lapangan gas Badak (Kaltim, 1971) dan lapangan Arun (NAD, 1972), kemudian diekspor dalam bentuk LNG pertama kali tahun 1977. Sejak tahun 70-an kebutuhan gas domestik dapat dikatakan belum ada hingga tahun 2000-an dimana kebutuhan gas domestik mulai tumbuh dan menjadi sangat dibutuhkan seperti saat ini. Perkembangan 3 sumber LNG Indonesia di Kalimantan Timur, Aceh dan Papua dijelaskan pada gambar di bawah ini.

Gambar I-6 Perkembangan Gas Bumi Indonesia

Pada tahun 2013, porsi ekspor gas bumi Indonesia sebesar 72% dilakukan melalui LNG dan 28% melalui pipeline. Pangsa pasar ekspor LNG Indonesia mulai dari yang terbesar, yaitu Jepang, Korea, Tiongkok, Taiwan dan Amerika. Sedangkan pangsa ekspor gas melalui pipa, mayoritas atau sekitar 79% ke Singapore dan selebihnya ke Malaysia.

Gambar I-7 Pangsa Ekspor Gas Bumi Indonesia

Tahun 2014, Pemerintah berhasil melakukan renegosiasi harga gas LNG Tangguh ke Fujian, Tiongkok yaitu meningkat dari US$ 3,345/mmbtu menjadi US$ 12,8/mmbtu (dengan asumsi harga minyak sebesar US$ 100 barel dan batasan maksimum harga minyak sebesar US$ 38/bbl kini ditiadakan). Sehingga, penerimaan negara selama durasi kontrak (2009-2034) dengan asumsi harga minyak sebesar US$ 100/bbl adalah sebesar US$ 21,46 miliar.

- 12 -

3. Alokasi Gas Bumi untuk Domestik dan Infrastruktur Gas

Sejak tahun 1970-an produksi gas Indonesia lebih dominan untuk ekspor, dimulai saat ditemukannya lapangan gas Badak (Kaltim, 1971) dan lapangan Arun (NAD, 1972), kemudian diekspor dalam bentuk LNG pertama kali tahun 1977. Sejak tahun 70-an kebutuhan gas domestik dapat dikatakan belum ada hingga tahun 2000-an dimana kebutuhan gas domestik mulai tumbuh dan menjadi sangat dibutuhkan seperti saat ini. Perkembangan 3 sumber LNG Indonesia di Kalimantan Timur, Aceh dan Papua dijelaskan pada gambar di bawah ini.

Gambar I-6 Perkembangan Gas Bumi Indonesia

Pada tahun 2013, porsi ekspor gas bumi Indonesia sebesar 72% dilakukan melalui LNG dan 28% melalui pipeline. Pangsa pasar ekspor LNG Indonesia mulai dari yang terbesar, yaitu Jepang, Korea, Tiongkok, Taiwan dan Amerika. Sedangkan pangsa ekspor gas melalui pipa, mayoritas atau sekitar 79% ke Singapore dan selebihnya ke Malaysia.

Gambar I-7 Pangsa Ekspor Gas Bumi Indonesia

Tahun 2014, Pemerintah berhasil melakukan renegosiasi harga gas LNG Tangguh ke Fujian, Tiongkok yaitu meningkat dari US$ 3,345/mmbtu menjadi US$ 12,8/mmbtu (dengan asumsi harga minyak sebesar US$ 100 barel dan batasan maksimum harga minyak sebesar US$ 38/bbl kini ditiadakan). Sehingga, penerimaan negara selama durasi kontrak (2009-2034) dengan asumsi harga minyak sebesar US$ 100/bbl adalah sebesar US$ 21,46 miliar.

RENSTRA KESDM 2015-2019 13

- 13 -

Pemerintah sangat sadar dalam menetapkan Kebijakan Gas Bumi Nasional dengan melakukan prioritas untuk domestic. Namun, tetap memperhatikan keekonomian dan contract sanctity. Guna mendukung kebijakan tersebut, telah diterbitkan Permen ESDM No. 3/2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri. Bukti kongkret Pemerintah dalam melakukan prioritas kebutuhan gas domestik yaitu meningkatnya persentase penyaluran gas bumi domestik dimana pada tahun 2003 hanya sebesar 25%, dan meningkat menjadi 57% pada tahun 2014. Sebaliknya porsi ekspor relatif menurun.

Pada tahun 2010, sempat terjadi lonjakan ekspor yang disebabkan karena beroperasinya LNG Tangguh Train 1 dan 2 yang melakukan ekspor utamanya ke Fujian, Tiongkok pada pertengahan 2009 dan mencapai puncak ekspor pada tahun 2010. Pada tahun 2011, porsi ekspor kembali menurun seiring dengan meningkatnya penyaluran untuk domestik. Poin menarik dari kebijakan Pemerintah ini adalah, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, mulai tahun 2013 penyaluran gas untuk domestik lebih besar daripada ekspor.

Gambar I-8 Pemenuhan Gas Bumi Domestik dan Ekspor

Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik, maka dilakukan pembangunan infrastruktur gas secara masif, antara lain: Floating Storage Regasification Unit (FSRU), LNG Receiving Terminal, dan pipa transmisi gas. Beberapa infrastruktur gas bumi strategis yang telah dibangun pada periode 2010-2014, antara lain:

Pemerintah sangat sadar dalam menetapkan Kebijakan Gas Bumi Nasional dengan melakukan prioritas untuk domestic. Namun, tetap memperhatikan keekonomian dan contract sanctity. Guna mendukung kebijakan tersebut, telah diterbitkan Permen ESDM No. 3/2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri. Bukti kongkret Pemerintah dalam melakukan prioritas kebutuhan gas domestik yaitu meningkatnya persentase penyaluran gas bumi domestik dimana pada tahun 2003 hanya sebesar 25%, dan meningkat menjadi 57% pada tahun 2014. Sebaliknya porsi ekspor relatif menurun.

Pada tahun 2010, sempat terjadi lonjakan ekspor yang disebabkan karena beroperasinya LNG Tangguh Train 1 dan 2 yang melakukan ekspor utamanya ke Fujian, Tiongkok pada pertengahan 2009 dan mencapai puncak ekspor pada tahun 2010. Pada tahun 2011, porsi ekspor kembali menurun seiring dengan meningkatnya penyaluran untuk domestik. Poin menarik dari kebijakan Pemerintah ini adalah, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, mulai tahun 2013 penyaluran gas untuk domestik lebih besar daripada ekspor.

Gambar I-8 Pemenuhan Gas Bumi Domestik dan Ekspor

Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik, maka dilakukan pembangunan infrastruktur gas secara masif, antara lain: Floating Storage Regasification Unit (FSRU), LNG Receiving Terminal, dan pipa transmisi gas. Beberapa infrastruktur gas bumi strategis yang telah dibangun pada periode 2010-2014, antara lain:

BAB SA

RENSTRA KESDM 2015-2019

#esdm

14

- 14 -

FSRU Jawa Barat 3 MTPA, dibangun oleh Nusantara Regas,

merupakan FSRU pertama di Indonesia yang beroperasi pada Juli 2012. FSRU tersebut, pertama kali mendapatkan alokasi gas dari LNG Tangguh dan LNG Bontang untuk disalurkan ke PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok.

FSRU Lampung 3 MTPA, dibangun PT PGN, dan beroperasi pada

Agustus 2014. Pada tahap awal, alokasi gas berasal dari Tangguh dan disalurkan bagi industri di Lampung. Selanjutnya gas juga dapat disalurkan ke pembangkit listrik, rumah tangga dan UMKM.

LNG Regasification Unit Arun 3 MTPA dan pipa transmisi gas Arun-Belawan, dibangun Pertamina dan beroperasi pada awal 2015. Pada

tahap awal, alokasi gas berasal dari Bontang dan Tangguh, untuk kemudian disalurkan ke pembangkit listrik dan industri.

Pipa gas Kalija I (Kepodang-Tambak Lorok) dengan panjang sekitar

207 km, diameter 14 inchi dan kapasitas desain 150 MMSCFD, ditargetkan dapat beroperasi pada tahun 2015.

• Infrastruktur gas lainnya yang masih dalam proses pembangunan antara lain: LNG Donggi-Senoro, LNG Masela, LNG Tangguh Train-3, Receiving Terminal Banten, FSRU Jawa Tengah, dan pipa Gresik-Semarang.

4. Penyediaan Bahan Bakar Minyak

Pada tahun 2010 realisasi volume BBM bersubsidi sebesar 38,2 juta Kilo Liter (KL) dan meningkat sekitar 9% per tahun. Realisasi volume BBM bersubsidi tahun 2014 sebesar 46,8 juta KL atau sedikit lebih tinggi dari kuota APBN-P 2014 sebesar 46 juta KL dan lebih rendah dari kuota APBN 2014 sebesar 48 juta KL. Hal tersebut memaksa Pemerintah untuk terus meningkatkan upaya pengendalian dan pengawasan BBM bersubsidi.

Tabel I-2 Realisasi Volume BBM Bersubsidi

Apabila dilihat per jenis BBM bersubsidi, kenaikan konsumsi paling tinggi terjadi pada jenis BBM Minyak Solar. Hal tersebut disinyalir karena potensi penyalahgunaan pada jenis BBM Minyak Solar masih besar, khususnya di sektor industri dan pertambangan. Pada tahun 2010-2014 terjadi 3 fenomena volume BBM bersubsidi, yaitu:

RENSTRA KESDM 2015-2019 15

• Tahun 2010, terjadi over kuota volume BBM bersubsidi, tetapi besaran subsidi BBM tidak melebihi alokasi pada APBN-P.

• Tahun 2013, realisasi volume BBM bersubsidi sebesar 46,51 juta KL dan tidak melebihi kuota APBN-P 2013 sebesar 48 juta KL. Terjadi penghematan sebesar 1,49 juta KL. Hal tersebut utamanya karena kenaikan harga BBM pada 22 Juni 2013 yang mendorong masyarakat cenderung melakukan penghematan dan penyalahgunaan BBM bersubsidi pun menjadi berkurang.

• Tahun 2014, kuota BBM bersubsidi diturunkan dari 48 juta KL (APBN) menjadi 46 juta KL (APBN-P) dan Pemerintah dituntut untuk melakukan pengendalian BBM bersubsidi yang lebih masif lagi.

Gambar I-9 Kuota dan Realisasi BBM Bersubsidi

Beberapa upaya pengendalian BBM bersubsidi yang dilakukan pada 2010-2014, antara lain:

• Pengalihan subsidi BBM dari belanja konsumtif ke belanja produktif melalui penyesuaian BBM bersubsidi pada tanggal 22 Juni 2013 dan 18 November 2014.

Tabel I-3 Kenaikan Harga BBM Tahun 2013-2014

No. Jenis BBM bersubsidi 22 Juni 2013 18 November 2014 1 Premium Rp. 4.500/liter naik menjadi

Rp. 6.500/liter

Rp. 6.500/liter naik menjadi

Rp. 8.500/liter 2 Solar Rp. 4.500/liter naik menjadi

Rp. 5.500/liter

Rp. 5.500/liter naik menjadi

Rp. 7.500/liter 3 Minyak Tanah Rp. 2.500/liter Tetap Rp. 2.500/liter Tetap

BAB SA

RENSTRA KESDM 2015-2019

#esdm

16

- 16 -

Seiring dengan menurunnya harga minyak pada akhir tahun 2014, maka mulai 1 Januari 2015 diterapkan kebijakan baru terkait pengaturan harga BBM. Bensin Premium di luar Jawa-Bali (BBM Khusus Penugasan) tidak lagi disubsidi dan Solar hanya mendapatkan subsidi tetap sebesar Rp. 1.000/liter. Kebijakan baru tersebut, berdampak pada harga Premium dan Solar menjadi fluktuatif dan dapat ditetapkan paling banyak 2 kali sebulan dengan mempertimbangkan harga keekonomian.

Tabel I-4 Penurunan Harga BBM Tahun 2015

No. Jenis BBM bersubsidi 1 Januari 2015 19 Januari 2015

1 Premium (BBM Khusus Penugasan) Rp. 8.500/liter turun menjadi Rp. 7.600/liter Rp. 7.600/liter turun menjadi Rp. 6.600/liter 2 Solar Rp. 7.500/liter turun menjadi

Rp. 7.250/liter

Rp. 7.250/liter turun menjadi Rp. 6.400/liter 3 Minyak Tanah Rp. 2.500/liter Tetap Rp. 2.500/liter Tetap Tabel I-5 Kenaikan Harga BBM Tahun 2015 (s.d. Bulan Maret)

No. Jenis BBM bersubsidi 1 Maret 2015 28 Maret 2015

1 Premium (BBM Khusus Penugasan) Rp. 6.600/liter naik menjadi Rp. 6.800/liter Rp. 6.800/liter naik menjadi Rp. 7.300/liter 2 Solar Rp. 6.400/liter Tetap Rp.6.400/liter naik menjadi

Rp. 6.900/liter 3 Minyak Tanah Rp. 2.500/liter Tetap Rp. 2.500/liter Tetap • Implementasi Permen ESDM No. 1/2013 tentang Pengendalian BBM

bersubsidi, yang mengatur:

- Pelarangan konsumsi BBM bersubsidi jenis Premium bagi kendaraan

dinas Pemerintah, BUMN & BUMD di Jawa dan Bali, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.

- Pelarangan konsumsi BBM bersubsidi jenis solar bagi kendaraan

dinas Pemerintah, BUMN & BUMD di Jawa dan Bali, kendaraan pertambangan, perkebunan dan kehutanan serta kapal barang non-pelra dan non-perintis di NKRI.

RENSTRA KESDM 2015-2019 17

• Pembatasan konsumen pengguna BBM bersubsidi, mulai dari melarang industri penerbangan, pembangkit listrik, industri besar, pertambangan, perkebunan, kehutanan, perkapalan, kendaraan TNI/POLRI, Pemerintah/BUMN/BUMD menggunakan BBM Bersubsidi. • Pengendalian BBM tahun 2014 mulai Agustus 2014 atau pasca Idul

Fitri, agar kuota 46 juta KL tidak terlampaui, antara lain:

Dokumen terkait