• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Ekonomi Pada Masa Liberal

5. KEGIATAN BELAJAR 4

5.1.3. Kondisi Ekonomi Pada Masa Liberal

Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949, masalah perekonomian yang dihadapi Indonesia telah berkembang semakin kompleks. Kondisi ekonomi di Indonesia pasca perang kemerdekaan masih menunjukkan keadaan yang sangat memprihatinkan, karena masih menyisakan permasalahan pelik sebagai dampak dari era sebelumnya, dan munculnya permasalahan ekonomi yang baru sebagai akibat dari Konferensi Meja Bundar (KMB).

Berikut ini adalah masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di bidang ekonomi yang semakin bertambah rumit dan kompleks tersebut: Pertama, belum terwujudnya kemerdekaan atau kedaulatan ekonomi. Kondisi perekonomian Indonesia pasca pengakuan kedaulatan atau pasca perang kemerdekaan sebagian besar masih dikuasai oleh asing. Memasuki dekade 1950-an, sektor ekonomi modern Indonesia masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik Belanda. Menghadapi situasi seperti itu, aspirasi para tokoh pemimpin Indonesia memunculkan pandangan yang dikenal dengan “ekonomi nasional atau nasionalisasi ekonomi”.

Namun, oleh karena kurang adanya persiapan dan perencanaan yang matang, termasuk kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dengan baik, maka kebijakan nasionalisasi ekonomi yang diambil pemerintah Indonesia sebagian mengalami kegagalan. Kegagalan dalam upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional secepatnya, sebagian besar ditafsirkan oleh para pemimpin Indonesia sebagai kegagalan mengatasi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda. Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani para pemimpin republik di Den Haag pada tahun 1949 memuat jaminan bahwa hak hak yang diberikan kepada modal asing akan dihormati. Dengan hal itu berarti perusahaan-perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor-sektor ekonomi yang utama.

Kedua, banyaknya sarana dan prasarana ekonomi yang hancur dan rusak akibat perang dan kurang terawat. Akibat perang dan perjuangan secara fisik, banyak sarana dan prasarana ekonomi yang rusak seperti: jalan, jembatan, alat transportasi, alat komunikasi dan instalasi industri. Kerusakan parah juga banyak terjadi di perkebunan, instalasi minyak, pabrik dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan lambatnya atau kemacetan produksi dalam bidang industri.

Ketiga, pasca perang kemerdekaan terjadi pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang meningkat cukup tajam. Hal itu lebih dikarenakan salah satunya faktor angka kematian (mortalitas) menurun, di sisi lain angka kelahiran (fertilitas atau natalitas) bertambah. Pada tahun 1950 diperkirakan penduduk Indonesia sekitar 77,2 juta jiwa dan pada tahun 1955 meningkat menjadi 85,4 juta. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat berakibat pada kebutuhan impor makanan juga meningkat. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk kebutuhan akan lapangan kerja juga meningkat. Sementara, pemerintah Indonesia tidak cukup banyak dana untuk membuka lapangan kerja, akibatnya pengangguran terjadi dimana-mana. Oleh karena sebagian besar rakyat Indonesia pada waktu itu adalah petani yang hidupnya banyak dipengaruhi oleh faktor alam dan sebagian besar menganggur, akibatnya banyak rakyat Indonesia yang miskin atau melarat.

Pada tahun 1950-an, dengan kondisi ekonomi Negara yang sangat memprihatinkan, sebagian rakyat Indonesia berada dalam garis kemiskinan, maka sebagian besar mereka sulit memperoleh makanan yang cukup, akibatnya badannya kurus dan kesehatan mereka terganggu. Dengan kondisi semacam itu, maka mereka dalam bekerja akan berkurang kualitasnnya, produktifitas terganggu sehingga produktifitas ekonomi mereka kecil. Dengan produktifitas kerja yang sangat kurang maka pendapatan akan semakin kecil juga. Selanjutnya, apabila ada kebutuhan yang mendadak tentu akan semakin sulit memenuhinya dan bertambah sengsara atau menderita karena kemelaratan tersebut.

Keempat, utang negara meningkat dan inflasi cukup tinggi. Setelah pengakuan kedaulatan, ekonomi Indonesia tidak kunjung stabil. Hal itu ditandai dengan meningkatnya utang negara dan meningginya tingkat inflasi. Meskipun penyebab inflasi dalam sejarah perekonomian Indonesia disebabkan oleh faktor yang berbeda, tetapi dalam kasus inflasi pada kurun waktu pasca perang kemerdekaan hingga tahun 1958 pun, sebagian besar disebabkan oleh adanya defisit Anggaran Belanja Negara.

Kelima, Indonesia mengalami defisit dalam perdagangan internasional. Pada tahun 1950-an, perdagangan internasional Indonesia menurun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki barang-barang ekspor selain hasil perkebunan. Padahal sarana dan produktivitas perkebunan telah merosot akibat berbagai kerusakan. Untuk dapat meningkatkan produksi, diperlukan alat-alat dan sumber produksi. Sementara sebagian besar sarana dan prasarana ekonomi dan alat-alat produksi

mengalami kerusakan dan kehancuran, maka dari itu produksi berkurang. Akibat produk industri berkurang maka komoditas yang akan diperdagangkan atau diekspor juga berkurang dan pada akhirnya Indonesia sering mengalami defisit dalam perdagangan internasional.

Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang hampir selalu defisit dalam perdagangan internasional, menyebabkan Indonesia sulit untuk mengimpor alat-alat produksi. Sementara, untuk mengurangi atau menghilangkan defisit paling tidak diperlukan penghematan atau menekan pengeluaran pemerintah atau memperbesar pajak. Dengan demikian, berarti menekan kinerja pemerintah dan disisi lain menekan pengusaha, yang pada gilirannya mempersulit baik usaha pemerintah maupun para pengusaha. Kondisi semacam itu tentu memperparah perusahaan maupun industri dan menimbulkan penyerapan tenaga kerja berkurang dan pengangguran bertambah. Maka, kondisi ekonomi yang demikian lesu menambah rumitnya persoalan, mengakibatkan kondisi ekonomi semakin sulit, dan pendapatan pajak pun berkurang dan kondisi keuangan pemerintah tetap defisit.

Keenam, kekurangan tenaga ahli untuk membangun ekonomi nasional. Pada awal pengakuan kedaulatan, perusahaan-perusahaan yang ada masih merupakan milik Belanda. Demikian juga tenaga ahlinya. Tenaga ahli masih dari Belanda, sedang tenaga Indonesia hanya tenaga kasar. Oleh karena itu Mr. Iskaq Tjokroadisuryo melakukan kebijakan Indonesianisasi. Kebijakan ini mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha swasta nasional. Adapun langkahnya adalah dengan mewajibkan perusahaan asing memberikan latihan kepada tenaga-tenaga orang Indonesia.

Ketujuh, rendahnya penanaman modal asing (PMA). Penyebab rendahnya PMA salah satunya adalah masalah gangguan keamanan dan konflik dengan Belanda berkaitan dengan Irian Barat yang tidak kunjung selesai. Akibat konflik Irian Barat kondisi politik tidak stabil. Bangsa Indonesia banyak melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Sebagai dampak nasionalisasi, investasi asing mulai berkurang. Investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia. Para pemimpin nasional Indonesia yang berpandangan pragmatis menyadari bahwa modal asing harus dapat ditarik ke Indonesia untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang tersedia dan perindustrian yang modern. Untuk itu maka pada tahun 1953 pemerintah Indonesia menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (RUU PMA) yang setelah melalui proses

pembahasan yang cukup lama, akhirnya RUU PMA tersebut disetujui parlemen pada tahun 1958 disertai berbagai amandemen.

Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah : (a) mengurangi jumlah uang yang beredar dan (b) mengatasi kenaikan biaya hidup. Sedangkan masalah jangka panjang adalah pertambahan penduduk dan tingkat hidup yang rendah. Dari sisi moneter defisit pemerintah sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah pada 20 Maret 1950. Jumlah itu didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp 1,6 Milyar. Kemudian dengan kesepakatan Sidang Menteri Uni Indonesia-Belanda, diperoleh kredit sebesar Rp 200.000.000,- dari negeri Belanda. Pada 13 Maret 1950 di bidang perdagangan diusahakan untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang ekspor. Keadaan sedikit membaik tahun 1950. Ekspor Indonesia menjadi 187% pada bulan April 1950, 243% pada bulan Mei atau sejumlah $ 115 juta.

Selain itu diupayakan mencari kredit dari luar negeri terutama untuk pembangunan prasarana ekonomi. Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda berhasil mendapatkan kredit dari Exim Bank of Washington sejumlah $ 100.000.000. Dari jumlah tersebut direalisasi sejumlah $ 52.245.000. Jumlah ini untuk membangun proyek-proyek pengangkutan automotif, pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara. Namun demikian sejak 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang lagi, karena menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia dengan ekonomi agrarianya memang tidak memiliki barang-barang ekspor lain kecuali hasil perkebunan.

Upaya perbaikan ekonomi secara intensif diawali dengan Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang disusun Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo di masa Kabinet Natsir. Sasaran utamanya adalah industrialisasi. Setahun kemudian, pada zaman Kabinet Sukiman, pemerintah membentuk Biro Perancang Negara yang berturut-turut dipimpin oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Ir.

Djuanda, dan Mr. Ali Budiardjo. Pada tahun 1956 badan ini menghasilkan suatu

Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956 – 1960) dan untuk melaksanakannya, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Perancang Nasional. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp 12,5 Milyar, didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama lima tahun. Ternyata harga ekspor bahan mentah Indonesia merosot. Hal ini mendorong pemerintah untuk melaksanakan

nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember 1957.

Sementara itu, ketegangan politik yang timbul akibat pergolakan daerah ternyata tidak dapat diredakan dan untuk menanggulanginya diperlukan biaya yang besar, sehingga mengakibatkan meningkatnya defisit. Padahal ekspor justru sedang menurun. Situasi yang memburuk ini berlangsung terus sampai tahun 1959. Dalam bidang ekonomi satu fenomena moneter yang paling terkenal pada periode ini adalah pemotongan mata uang rupiah menjadi dua bagian. Penggunti-ngan uang ini terkenal dePenggunti-ngan sebutan “gunting Syafrudin”. Tujuan dari penggun-tingan uang ini adalah untuk menyedot jumlah uang beredar yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan dan untuk menekan defisit anggaran belanja.

b. Upaya Membangun Pengusaha Nasional

Sejak awal kemerdekaan telah ditempuh upaya untuk membangkitkan suatu golongan pengusaha nasional yang tangguh. Pemikiran ke arah itu dipelopori oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus selekas mungkin memiliki suatu golongan pengusaha. Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah, perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam membangun ekonomi nasional. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha itu, terutama pendidikan konkret atau dengan bantuan pemberian kredit. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan bangkit sehingga struktur ekonomi kolonial berangsur-angsur akan berubah.

Gagasan Soemitro itu dilaksanakan oleh Kabinet Natsir (September 1950 – April 1951) ketika ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Program ini terkenal dengan sebutan Program Benteng (Gerakan Benteng/Benteng Group) yang dimulai pada bulan April 1950. Selama tiga tahun (1950-1953) kurang lebih 700 perusahaan bangsa Indonesia telah mendapat kredit bantuan dari Program Benteng Ini. Langkah-langkah lain dalam menumbuhkan dunia usaha nasional antara lain adalah mewajibkan perusahaan-perusahaan asing untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar mereka dapat menduduki jabatan-jabatan staf, mendirikan perusahaan-perusahaan negara, menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional, dan

memberikan perlindungan pada perusahaan-perusahaan itu agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia.

Dokumen terkait