• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.5 Kondisi Fisik Rumah

Kondisi fisik rumah responden pada penelitian ini terkait pada kepadatan penghuni, kelembaban, suhu, ventilasi, pencahayaan, jenis lantai, dan jenis bahan bakar dengan kejadian ISPA pada balita.

5.5.1. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Berdasarkan Kepadatan Penghuni dengan Kejadian ISPA

Kepadatan hunian dalam penelitian ini adalah perbandingan antara luas lantai rumah responden dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal, memenuhi syarat kesehatan jika luas lantai rumah ≥8 m2 per orang atau dalam memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan secara proporsi kepadatan penghuni yang baik atau yang memenuhi syarat kesehatan (61,2%) dan yang tidak baik atau yang tidak memenuhi syarat kesehatan (38,8%). Secara statistik menunjukkan ada hubungan kepadatan penghuni dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,022 (p<0,05). Hal ini bisa terjadi karena rumah yang terlalu sempit sangat memungkinkan terjadinya penularan penyakit ISPA sangat

cepat serta banyaknya polusi udara yang terjadi di luar masuk ke rumah. Jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah dapat memengaruhi penyebaran penyakit menular dalam transmisi mikroorganisme. Kepadatan hunian dapat meningkatkan CO2 di ruangan, kadar oksigen ruangan menurun yang berdampak pada penurunan kualitas udara dalam ruangan sehingga memudahkan terjadinya pencemaran gas dan bakteri kemudian cepat menimbulkan penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. Adanya kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan maka akan memberi pengaruh besar terhadap kejadian penyakit ISPA begitu juga sebaliknya.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010. Kepadatan penghuni kamar tidur anak Balita yang tidak memenuhi syarat akan menghalangi proses pertukaran udara bersih sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi dan akibatnya menjadi penyebab terjadinya ISPA. Kepadatan penghuni rumah yang terlalu tinggi dan tidak cukupnya ventilasi menyebabkan kelembaban dalam rumah juga meningkat (Krieger dan Higgins, 2002).

Kondisi kepadatan hunian di dalam rumah akan memengaruhi kondisi suhu udara dan kualitas udara yang ada dalam ruangan. Seperti meningkatnya kadar CO2

dalam ruangan sehingga suplai O2 yang dibutuhkan penghuni dalam rumah jadi berkurang. Dengan meningkatnya kadar CO2 dalam rumah memberi kesempatan

dapat meningkat. Banyaknya bakteri didalam rumah yang di dukung oleh jumlah penghuni yang padat akan meningkatkan risiko untuk terjadinya ISPA.

5.5.2. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Berdasarkan Kelembaban dengan Kejadian ISPA pada Balita

Kelembaban udara dalam penelitian ini adalah keadaan kelembaban udara .dalam rumah memenuhi syarat jika nilai kelembabannya antara 40% - 70%. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa responden yang memiliki rumah dengan kelembaban yang baik atau memenuhi syarat yaitu (68,2%) hampir sebanding dengan responden yang memiliki kelembaban yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat yaitu (31,8%). Namun dari responden dengan kelembaban yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat, mayoritas menderita ISPA yaitu sebanyak 77,8%. Hal ini disebabkan karena sebagian besar responden tidak membuka jendela pada siang hari sehingga cahaya matahari tidak dapat masuk secara langsung yang mengakibatkan ruangan dalam rumah menjadi lembab sehingga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Kelembaban dalam rumah sangat berhubungan dengan ventilasi dan pencahayaan. Jika ventilasi dan pencahayaan tidak memenuhi syarat maka kelembaban dalam rumah semakin tidak memenuhi syarat kesehatan. Kurangnya ventilasi rumah, kepadatan perumahan dan pengaruh cuaca yang panas kemungkinan menjadi faktor penyebab kelembaban udara dalam rumah tidak baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan. Kelembaban yang

tinggi merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikrorganisme. Bakteri dapat bertahan hidup beberapa jam bahkan berminggu-minggu lamanya pada tempat yang lembab dan gelap tanpa sinar matahari. Rumah yang lembab dan basah disebabkan banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah yang memudahkan anak-anak terserang ISPA.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heri (2005) di Kecamatan Klirong Kebumen yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita.

5.5.3. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Berdasarkan Ventilasi terhadap Kejadian ISPA pada Balita

Ventilasi adalah tempat proses masuknya udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah. Ventilasi yang kurang baik dapat membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan. Ventilasi yang buruk dapat meningkatkan paparan (Krieger dan Higgins, 2002).

Luas ventilasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas ventilasi yang meliputi luas lubang angin, luas jendela dan pintu yang terbuka dibagi dengan luas lantai. Berdasarkan hasil observasi dan pengukuran yang dilakukan dapat diketahui rumah responden yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan yaitu (57,6%). Dan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu (42,4%) sehingga menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ventilasidengan kejadian ISPA dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar rumah responden hanya memiliki jendela dan pintu di depan rumah sehingga ventilasi yang berfungsi sebagai pertukaran udara dalam rumah menjadi berkurang. Ada beberapa rumah yang memiliki jendela tetapi tidak pernah dibuka karena menyangkut keamanan rumah.

Ventilasi rumah berfungsi untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, ventilasi rumah yang baik adalah ≥10% dari luas lantai. ISPA erat kaitannya dengan ventilasi karena ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan yaitu ≥10% dari luas lantai memungkinkan adanya pergantian udara agar tetap terjaga sirkulasinya, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan penyakit pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi bakteri yang ada di dalam rumah.

Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan mikroorganisme selalu dalam konsentrasi tinggi sehingga kondisi ini akan memperbesar kemungkinan penularan kepada orang lain. Rumah yang jendelanya kecil menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur terkumpul dalam rumah. Bayi dan anak yang sering menghisap asap lebih mudah terserang ISPA.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Chahaya dan Nurmaini (2005) di Deli Serdang, ventilasi ruangan mempunyai pengaruh terhadap kejadian ISPA pada

balita. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukamawa (2005) menunjukkan bahwa ada pengaruh ventilasi terhadap kejadian ISPA pada anak Balita, hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri penyebab ISPA pada balita yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga dapat meyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit, oleh karena itu kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baikuntuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit ISPA. Namun bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan Suripto (2003) yang menemukan tidak ada hubungan luas ventilasi dengan kejadian pneumonia pada balita.

5.5.4. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Berdasarkan Pencahayaan dengan Kejadian ISPA pada Balita

Pada umumnya sinar matahari masuk ke dalam rumah responden namun luas ventilasi kurang memadai sehingga cahaya yang masuk tidak memenuhi syarat kesehatan. Kondisi pencahayaan yang kurang disebabkan karena kurangnya ventilasi yang ada pada rumah responden seperti jendela, pintu dan lubang angin sehingga sinar matahari tidak dapat masuk. Selain itu padatnya perumahan dimana antara rumah yang satu dengan yang lain saling berdempetan. Dan ada beberapa rumah yang memiliki jendela namun tidak pernah dibuka yang sehubungan dengan keamanan rumah dari kekhawatiran dengan adanya pencurian. Menurut Notoatmodjo (2007) ukuran minimal cahaya masuk kedalam rumah adalah dengan 60 lux meter atau luas ventilasi 15%-20% dari luas lantai.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Dalam hal ini sistem pencahayaan masih dijumpai 10% rumah yang tidak dilengkapi jendela. Rumah yang memiliki jendelapun hanya sebagian kecil yang membukanya setiap pagi hari. Begitu pula dalam hal sinar matahari, ventilasi dan penerangan ruangan, terdapat 30% rumah yang tidak masuk sinar matahari langsung. Ketiadaan jendela atau fungsi jendela, gelap dan lembab dapat mengganggu sistem penghawaan dan penggantian udara segar dalam rumah. Apalagi bila keadaan rumah tersebut tidak dimasuki sinar matahari secara langsung, dapat menjadi tempat yang baik untuk berkembangnya bakteri dalam udara ruangan untukwaktu yang lama.

Menurut asumsi peneliti bahwa responden yang memiliki rumah dengan cahaya yang kurang maka akan meningkatkan angka perkembangbiakan bakteri karena bakteri ini akan bertahan hidup dalam waktu yang lama tanpa sinar atau cahaya matahari. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karim (2012) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat terhadap kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Marissa Kota Gorontalo. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prayitno (2008) di Rembang yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita.

Pencahayaan langsung dalam ruangan dapat mengurangi terjadinya penularan bakteri, karena sinar ultraviolet (sinar matahari) dapat membunuh bakteri ini secara

langsung dan cepat. Dalam hal ini luas ventilasi sangat berpengaruh terhadap jumlah cahaya yang masuk ke dalam rumah karena semakin luas ventilasi maka semakin banyak cahaya yang masuk (Supriyadi, 2003). Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini disamping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuknya cahaya. Lokasi penempatan jendela juga harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai dan bukan menyinari dinding. Maka sebaiknya pembuatan jendela harus di tengah-tengah tinggi dinding. Dan jika memungkinkan sebaiknya menggunakan beberapa atap rumah dengan kaca terutama untuk ruangan yang tidak ada ventilasi sama sekali sehingga ruangan tidak menjadi gelap (Notoatmodjo, 2007).

5.5.5. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Berdasarkan Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat diketahui bahwa lantai rumah responden dominan terbuat dari bahan yang kedap air dan secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,279 (p>0,05). Hal ini disebabkan karena sebagian besar lantai rumah responden sudah baik atau dominan terbuat dari bahan yang kedap air yaitu (62,4%) dan menderita ISPA pada balita yaitu sebanyak (32,1%) dan sebagian kecil rumah dengan lantai tanah dalam keadaan baik atau padat sehingga tidak memungkinkan bakteri berkembang biak di lantai.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliansyah (2002) di Desa Pagar Bengkulu yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA. Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, mengatakan bahwa kejadian ISPA pada balita lebih banyak terjadi pada responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan (38,7%), yang menyatakan ada hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA.

5.5.6. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Berdasarkan Jenis Bahan Bakar dengan Kejadian ISPA pada Balita

Bahan bakar untuk memasak adalah jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, terdiri dari kompor gas/elpiji, dan kompor minyak tanah dan kayu. Pencemaran dalam ruang merupakan perubahan kondisi ruangan yang disebabkan masuknya atau dimasukinya oleh suatu zat/bahan ke dalam ruangan akibat aktivitas manusia pencemaran dalam ruangan bias berasal dari penggunaan bahan bakar untuk memasak. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru, sehingga mempermudah timbulnya gangguan pada saluran pernafasan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar jenis bahan bakar yang digunakan responden dominan kompor dan kayu bakar dan secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis bahan bakar dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,332 (p>0,05).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih (2012) di Kecamatan Bergas Semarang yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis bahan bakar dengan kejadian ISPA. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chahaya dan Nurmaini (2005) di Deli Serdang, bahan bakar mempunyai pengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Kejadian ISPA pada balita yang tinggal pada rumah yang menggunakan bahan bakar kayu lebih tinggi dari pada balita yang tinggal pada rumah yang menggunakan bahan bakar gas elpiji. Hal ini kemungkinan karena ibu rumah tangga pada saat memasak di dapur menggendong anaknya, atau anak bermain disekitar dapur sehingga asap bahan bakar tersebut terhirup oleh balita. Pemaparan yang terjadi dalam rumah juga tergantung lamanya orang berada di dapur atau ruang lainnya yang telah terpapar bahan pencemar.

Dokumen terkait