• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Geografis dan Perkembangan Historis Jepara

Kondisi Geografis Jepara

A. Kondisi Geografis dan Perkembangan Historis Jepara

A. Kondisi Geografis dan Perkembangan Historis

Jepara

Sampai saat ini, hampir setiap orang Indonesia menge-nal Kabupaten Jepara semata-mata sebagai kota kerajinan ukir yang paling terkenal bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Namun demikian, sesungguhnya Jepa-ra memiliki berbagai potensi bukan hanya seni keJepa-rajinan ukir melainkan bidang-bidang yang lain baik kalautan, perdagan-gan, maupun wisata. Di samping itu Jepara juga terkenal seb-agai kota yang memiliki aset historis yang berharga yaitu se-bagai kota maritim tua dan kota tempat kelahiran salah satu tokoh pergerakan wanita Indonesia yaitu R.A Kartini.

Kabupaten Jepara yang beribu kota di Jepara terletak pada posisi 3 13’ 20’’ sampai 4 9’ 35’ Bujur Timur dan 5 43’ 30’ sampai 6 47’ 44’’ Lintang Selatan. Adapun batas-batas wilayah kabupaten Jepara adalah sebagai berikut: sebe-lah barat dan utara di batasi oleh Laut Jawa, sebesebe-lah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Pati, den

sebe-lah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak (BPS dan Bappeda: 2014)

Nama Jepara berasal dari perkataan Ujung para. Dari perkataan ini kemudian berkembang dan berubah menjadi Ujung Mara dan selanjutnya menjadi Jumpara yang pada akhirnya berubah menjadi lebih sederhana yaitu Jepara atau Japara. Nama-nama daerah di pesisir yang menggunakan kata “ujung” masih banyak dijumpai misalnya Ujung Tanah, Ujung Kalirang, Ujung Cat, Ujung Jati, dan sebagainya. Semen-tara itu perkataan “Ujung” dapat diartikan sebagai daerah se-menanjung, sedangkan “para” merupakan kependekan dari perkataan “pepara” yang berarti berjualan ke mana-mana atau pergi berdagang ke sana–kemari. Jadi perkataan Jepara dapat diartikan sebagai sebuah semenanjung tempat pemu-kiman para pedagang yang berniaga di berbagai daerah (Pa-nitia Penyusunan Hari Jadi Jepara: 1988)

Berdasarkan geografi kesejarahan, yang bisa disaksikan pada saat ini sangat berbeda dari keadaan pada abad XVI. Pada periode itu, Jepara merupakan sebuah pelabuhan dari sebuah pulau yang oleh sejarahwan disebut sebagai Pulau Muria. Pulau ini terpisah dari daratan Jawa oleh Selat Muria. Pelabuhan Jepara terletak di pantai barat pulau ini. Jika di-kaji secara historis, sesungguhnya Jepara merupakan kota pelabuhan di Jawa yang sudah tua, bahkan lebih tua daripada Kota Demak. Para sejarahwan menduga bahwa Jepara sudah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Kalingga (618-906 M) pada masa penyebaran Agama Hindu. Pada waktu itu Jepa-ra merupakan pelabuhan besar menurut ukuJepa-ran zamannya dengan letak yang aman yaitu di sebuah teluk yang terlindun-gi oleh beberapa pulau kecil di lepas pantai. Letak pelabuhan Jepara sangat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang lebih besar yang berlayar antara Malaka dan Maluku dengan melewati pantai utara Jawa.

Dengan posisi yang strategis di bidang pelayaran dan perdagangan itulah nama Jepara sudah sering disebut-sebut dalam sumber sejarah, baik sumber sejarah lokal yang beru-pa babad maupun catatan-catatan perjalanan yang disusun oleh para pedagang dan pengelana asing. Seorang pengelana Portugis yang bernama Tome Pires telah mengunjungi Jepara pada tahun 1513. Dia mencatat dalam buku perjalanannya yang berjudul Suma Oriental bahwa pada waktu itu Jepara di pimpin oleh seorang kepala negeri yang bernama Pate Unus yang ayahnya pada mulanya adalah seorang pedagang di Mal-aka yang berjaya dalam perdagangannya ke Jawa. Ayah Pate Unus itu kemudian menetap di Jepara. Pada waktu itu Jepara hanya memiliki penduduk antara 90 sampai 100 orang (Su-priyono : 2005).

Pada masa kejayaan kerajaan Islam, yaitu kesultanan Demak, Jepara hanya merupakan bagian dari wilayah kesul-tanan itu. Sebagaimana halnya pada masa sebelumnya, pada masa itu Jepara menjadi tempat tinggal para pedagang dan pelaut. Sabagai kota pelabuhan yang terletak di teluk yang aman. Jepara lebih disukai dari pada Demak. Namun demiki-an, Demak memiliki potensi yang menguntungkan karena dekat dengan pedalaman Jawa Tengah yang menghasilkan beras yang pada waktu itu merupakan komoditas ekspor yang penting dari jawa. Waktu itu beras dari Jawa sangat ter-kenal untuk di ekspor terutama ke Malaka dan Maluku. Di Malaka, beras merupakan alat tukar terhadap produk dari India. Persia, dan Cina seperti kain sutera, sedangkan di Ma-luku beras merupakan alat tukar terhadap rempah-rempah. Perubahan-perubahan politik sehubungan dengan dominasi Kumpeni Belanda dan sukarnya hubungan dengan daerah-daerah pedalaman lah yang terutama menyebabkan kemun-duran kota Pelabuhan Jepara pada abad XVII dan selanjutnya digantikan Semarang.

Pada masa Kesultanan Demak, Jepara tidak hanya ber-peran penting sebagai pelabuhan dagang saja, tetapi juga sebagai pangkalan angkatan laut. Pada waktu itu Adipati Unuslah yang menjadi penguasa lokal di Jepara sebelum ia diangkat sebagai sultan untuk menggantikan ayahnya, yaitu Raden Patah pada tahun 1518. Dengan perencanaan selama lima tahun, Adipati Unus akan menggempur Malaka (sebe-lum di kuasai Portugis tahun 1511) dengan alasan bahwa Sul-tan Malaka telah menghina pelautnya yang daSul-tang di Malaka. Kejadian ini justru memberikan semangat yang lebih besar kepada Adipati Unus dan armadanya untuk menghancurkan penguasa Malaka yang baru itu. Ia berusaha menghubungi para penguasa Melayu di Palembang dan Sultan Malaka yang melarikan diri untuk bersama-sama bertempur melawan Portugis.

Adipati Unus mengirimkan armada kapal sekitar 100 buah dengan volume kapal yang paling kecil 200 ton. Kapal-kapal itu dibuat di Lasem dan Semarang. Pada tahun 1513 dilaksanakan serangan terhadap Malaka. Namun demikian serangan ini mangalami kekalahan. Meskipun demikian permusuhan terhadap Portugis dilakukan di mana-mana. Setelah peristiwa itu, Demak masih mengirimkan armadan-ya ke Maluku untuk bertempur melawan Portugis. Menurut kesaksian Mendes Pinto bahwa dalam rangka peng-Islaman di Pasuruan dan mencegah persekongkolan antara Portugis dan penguasa non-Islam di Jawa, pada tahun 1546, Demak (masa Sultan Trenggana) mengirimkan ekspedisi laut gabun-gan dengabun-gan penguasa pesisir Jawa Tengah dan Jawa Barat sebanyak 2.700 kepal yang terdiri atas 1000 kapal jung dan 1700 kapal Dayung dengan disertai 80.000 orang prajurit.

Secara ekonomis peranan pelabuhan Jepara semakin meningkat ketika terjadi kekacauan politik di pusat Kesul-tanan Demak sejalan dengan pendangkalan pelabuhan

De-mak sebagai akibat dari proses sedimentasi. Pada akhirnya Jepara menjadi pelabuhan utama Kerajaan Demak. Kemajuan ini berlangsung terus meskipun pada tahun 1599 Jepara di serang dan menduduki oleh tentara Mataram. Jepara dijadi-kan sebagai salah satu bendar Mataram yang maju. Orang-orang Belanda melaporkan bahwa pada tahun 1651 mereka bertemu sekitar 60-80 jung Jawa di kawasan perairan Suma-tra yang sebagian besar berasal dari Jepara.

Berkaitan dengan perkembangan konflik-konflik poli-tik di Jawa antara Belanda, orang-orang Cina, Mataram, dan unsur-unsur anti-Mataram, akhirnya menyebabkan Mataram harus menyerahkan Jepara kepada Kompeni Belanda pada tahun 1743 atas jasanya membantu memadamkan pembe-rontakan orang Cina. Setelah peristiwa politik yang sangat kompleks ini pelabuhan Jepara mengalami kemunduran. Pada akhirnya Kompeni lebih memilih Semarang sebagai pelabuhan utama di kawasan Jawa begian tengah karena me-miliki jaringan transportasi yang lebih baik dan strategis dari segi pertahanan. Selain itu Semarang juga memiliki keung-gulan yang berhubungan dengan kemudahan akses terhadap daerah kerajaan Mataram. Dengan pertimbangan berbagai kondisi itulah, maka tidak mengherankan jika pada tahun 1707 secara resmi VOC memindahkan pusat kekuasaannya di pantai Utara Jawa Tengah dan Timur dari Jepara ke Sema-rang.

Pada masa pemerintahan kolonial, khususnya pada masa Tanam Paksa (1830-1870), pelabuhan Jepara masih difungsikan untuk pusat penimbunan hasil-hasil eksploitasi seperti gula, tembakau, indigo, dan sebagainya. Komoditas itu diangkut dengan menggunakan perahu-perahu tradision-al menuju ke pelabuhan Semarang di mana kaptradision-al-kaptradision-al be-sar sudah menunggu untuk mengangkut hasil Tanam Paksa tersebut ke Eropa. Pada akhir abad XIX peranan pelabuhan

Jepara semakin merosot sehubungan dengan pembangunan jalan kereta api Semarang Joeana Stoomtam Maatschappij

(SJS) yang menghubungkan daerah-daerah antara Semarang,

Demak, Jepara, Kudus, Pati dan Juana. Dengan demikian ko-moditas Tanam Paksa tidak lagi diangkut dengan perahu lewat pelabuhan Jepara, tetapi diangkut dengan kereta uap langsung menuju pelabuhan Semarang.