• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI SUMBERDAYA ALAM DAS BABON

4.2.3. Kondisi Hidrologi

4.2.3.1. Hidrologi Permukaan (Sungai)

Secara umum sistem sungai-sungai di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sub DAS seperti disajikan peta sistem Sungai DAS Babon, yaitu:

a. Sub DAS Gung, yang merupakan bagian hulu DAS Babon dengan sungai utama Sungai Gung yang bersifat perenial (mengalir sepanjang tahun), beserta anak-anak sungainya: Sungai Lutung, Jaten, Porang, Klangit, dan Sungai Sinanas.

b. Sub DAS Pengkol, yang merupakan bagian tengah DAS Babon dengan sungai utama Sungai Pengkol yang juga bersifat perenial, dengan anak-anak sungainya: Sungai Wideng, Watukodok, dan Sungai Seketok.

c. Sub DAS Babon Hilir, yang merupakan bagian hilir DAS Babon dengan sungai utama Sungai Babon dan Banjir Kanal Timur. Banjir Kanal Timur merupakan sedutan dari Sungai Babon di daerah Pucung. Anak-anak sungai yang masuk ke Banjir Kanal Timur antara lain: Sungai Candi, Mongkong, dan Sungai Dungadem; sementara sungai-sungai yang langsung bermuara ke Laut Jawa, yang berada di antara Banjir Kanal Timur dan Sungai Babon adalah: Sungai Tenggang, Siringin, Leles, Doro, Kaidin, dan Prih.

Secara keseluruhan, sistem sungai-sungai yang terdapat di DAS Babon membentuk pola aliran dendritik. Sungai Gung, Pengkol, dan Babon sendiri sebenarnya sebagai satu sungai besar, yang merupakan sungai utama di DAS Babon. Sungai-sungai ini merupakan sungai perenial, yang mengalir sepanjang tahun, dan pada musim kemarau masih mempunyai air walaupun dalam volume yang kecil. Berdasarkan kondisi tersebut, DAS Babon termasuk dalam kategori sungai perenial.

Aliran sungai di dalam DAS dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dengan cabang dan anak sungai mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Pola ini tergantung pada kondisi topografi, geologi, iklim, dan vegetasi yang terdapat di dalam DAS yang bersangkutan. Sungai yang ada di DAS Babon membentuk pola aliran radial. Pola aliran ini biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah dengan topografi berbentuk kubah.

Berdasarkan SK Walikota Kepala Daerah Tingkat II Semarang No. 880.2/992/94 menetapkan peruntukan Sungai Babon di Kota Semarang adalah sebagai berikut :

a. Air Sungai Babon dari bagian hulu di Kelurahan Mateseh, Kecamatan Tembalang sampai dengan bendung Pucanggading ditetapkan sebagai air golongan B (air yang dapat dipergunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga).

b. Air Sungai Babon setelah melewati bendung Pucanggading sampai dengan bendung Karangroto ditetapkan sebagai air golongan C (air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan).

c. Air Sungai Babon setelah melewati bendung Karangroto sampai dengan muara di pantai Utara ditetapkan sebagai air golongan C (air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan).

Evaluasi kondisi hidrologi DAS juga dapat diketahui dari pola fluktuasi air sungainya. Sungai Babon berdasarkan pada ketersediaan airnya termasuk dalam kategori sungai perenial yaitu sungai yang airnya mengalir sepanjang tahun, meskipun terjadi fluktuasi musiman (seasonal water regime). Dengan demikian bahwa DAS Babon telah mengalami gangguan (enviromental disturbances), misalnya terjadinya perubahan pola/bentuk penggunaan lahan, meningkatnya erosi, menurunnya kapasitas infiltrasi tanah, dan sebagainya.

Pemanfaatan Sungai Babon selama ini selain untuk pembuangan limbah, juga untuk pengendalian banjir Kota Semarang melalui pembangunan saluran Banjir Kanal Timur, untuk irigasi, perikanan, dan bahan baku air minum. Beberapa permukiman padat membuang limbah rumah tangga ke saluran sungai. Gambaran mengenai daerah aliran sungai DAS Babon dapat dilihat pada Gambar 9.

4.2.3.2. Kondisi DAS Babon

DAS Babon mempunyai morfologi: berbentuk memanjang, pola aliran denritik dengan ordo sungai sampai 4 artinya merupakan zone hidrologi yang sungainya merupakan alur-alur kecil dengan sifat aliran intermitten yaitu sungai yang ada airnya hanya pada musim penghujan. Secara keseluruhan Sungai Babon mempunyai sifat aliran perenial (ordo 1 sampai 3) artinya airnya mengalir sepanjang tahun dengan fluktuasi antara musim penghujan dan musim kemarau sangat besar. Berdasarkan hasil pencatatan tinggi muka air dan debit di bendungan Pucang Gading selama 11 tahun terakhir (1999 – 2009) menunjukkan bahwa: debit rata-rata bulanan berkisar antara 0.74 m3/dt – 5 048 m3/dt, dan rata-rata bulanannya sebesar 4 205 m3/dt.

Ketersediaan air DAS Babon merupakan debit rata-rata bulanan dikurangi losses (kehilangan) air yang besarnya sama dengan 80% dari debit rata-rata bulanan yang selanjutnya disebut debit rata-rata bulanan efektif atau debit andalan. Hasil perhitungan debit rata-rata bulanan efektif disajikan dalam Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa ketersediaan air bulanan sungai Babon sebesar 0.91 m3/dt. Debit terbesar terjadi pada bulan Maret sebesar 1.96 m3/dt, dan terkecil jatuh pada bulan Agustus yaitu sebesar 0.06 m3/dt. Dengan memperhatikan kontinuitas air sungai tersebut, maka debit air yang dapat digunakan adalah debit rata-rata yang besarnya 0.91 m3/dt.

Tabel 15 Debit rata-rata bulanan efektif Sungai Babon di stasiun Pucang Gading (m3/dt)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Spt Okt Nov Des Rataan 2000 212 252 2.57 2.10 1.21 0.60 0.28 0.10 0.26 0.83 0.93 1.58 1.26 2001 2,12 2.27 2.43 2.08 1.15 0.57 0.25 0.09 0.26 0.40 0.88 1.45 1.15 2002 1.97 2.27 2.35 2.05 1.13 0.51 0.22 0.08 0.24 0.35 0.85 1.24 1.10 2003 1.92 2.23 2.34 1.98 1.02 0.47 0.21 0.07 0.23 0.32 0.79 1.15 1.06 2004 1.86 2.16 2.15 1.91 0.99 0.46 0.21 0.07 0.12 0.27 0.77 0.99 1.00 2005 1.73 2.06 2.15 1.78 0.95 0.44 0.19 0.07 0.07 0.24 0.74 0.96 0.95 2006 1.58 1.81 2.06 1.66 0.89 0.43 0.18 0.04 0.07 0.22 0.63 0.92 0.87 2007 1.41 1.66 1.55 1.56 0.83 0.41 0.17 0.04 0.06 0.17 0.51 0.70 0.75 2008 0.88 1.05 1.26 1.29 0.71 0.35 0.16 0 0.03 0.03 0.30 0.65 0.56 2009 0.59 0.94 0.81 0.74 0.48 0.27 0.14 0 0.01 0 0.25 0.44 0.39 Rata2 1.61 1.89 1.96 1.71 0.94 0.45 0.20 0.06 0.13 0.28 0.67 1.01 0.91

Sampai saat ini, penggunaan air Sungai Babon berdasarkan ProLH-GTZ (2005) ada tiga jenis, yaitu sebagai air irigasi, bahan baku air minum (PDAM), dan pengglontoran Kota. Sedangkan untuk kebutuhan air baku dari sektor industri dan lain-lain dengan memanfaatkan air tanah. Debit yang diperlukan untuk penggunaan air tersebut dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Penggunaan air di DAS Babon

No Penggunaan Air Debit

1 PDAM Sendang Mulyo 60 – 100 l/detik

2 Bendung Pucang Gading, Daerah Irigasi 50 – 800 l/detik 3 Bendung Karang Roto, Daerah Irigasi 100 l/detik Sumber: ProLH-GTZ. 2005

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa penggunaan air DAS Babon baru sekitar 210 l/detik atau 0.21 m3/detik (31.34%) di musim kemarau, dan 1 000 l/detik atau 1 m3/detik (27.25%) di musim penghujan, sehingga masih banyak kemungkinan untuk dikembangkan sebagai sumber air baku. Namun satu hal yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan air sungai hanya diijinkan 0.5 dari debit andalan.

4.2.3.3. Hidrologi Bawah Permukaan (Air Tanah)

Kajian hidrologi air tanah untuk mendukung pengelolaan DAS Babon ditekankan pada pola aliran air tanah kaitannya dengan suplai air tanah ke dalam aliran air sungai, dan kondisi hidrogeologi secara umum untuk mendukung aspek pemanfaatan air tanah sebagai sumber air minum penduduk.

Berdasarkan hasil pengukuran lapangan dan analisis kontur air tanah, arah aliran air tanah di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian seperti disajikan pada Peta Arah Aliran Air Tanah (Gambar 10), yaitu:

a. Kelompok air tanah pada satuan dataran aluvial dan dataran aluvial bekas rawa. Air tanah mengalir dari perbukitan ke daerah-daerah yang lebih rendah, dengan konsentrasi air tanah pada satuan dataran aluvial dan dataran aluvial bekas rawa. Secara umum air tanah mengalir ke arah Timur dan Utara menuju wilayah pesisir,

b. Kelompok air tanah pada satuan cekungan antar perbukitan. Air tanah juga mengalir dari perbukitan-pegunungan di sekitarnya menuju pusat cekungan, sebagai konsentrasi air tanah dan akuifer.

Ditinjau dari Peta Hidrogeologi skala 1:250.000 Tahun 1985 yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, dan didukung dengan data hasil pengukuran lapangan, secara umum kondisi hidrologi air tanah di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu:

a. Akuifer dengan permeabilitas tinggi, produksi sedang dan penyebaran luas, yang terdapat pada satuan dataran aluvial dengan kedalaman muka air tanah berkisar 2 - 5 meter dpt dan daya hantar listrik berkisar 846 – 1 339 mhos/cm; serta pada cekungan antar perbukitan dengan kedalaman air tanah 4-8 meter dpt. Air tanah relatif berkualitas baik, masih berasa tawar, jernih, tidak berbau dan masih sesuai untuk air minum.

b. Akuifer dengan permeabilitas sedang, produksi sedang dan penyebaran sempit, terdapat pada satuan dataran aluvial bekas rawa. Kedalaman air tanah mencapai 7.5 meter dpt dengan nilai daya hantar listrik berkisar 256 mhos/cm. Air tanah berkualitas baik, tawar, jernih, tetapi pada beberapa tempat sedikit agak berbau lumpur.

c. Daerah air tanah dengan produksi sedang, penyebaran sempit dan terdapat air tanah asin. Kelompok ini umumnya terdapat pada satuan rataan pasang surut, yang masih dipengaruhi oleh aktivitas air laut. Asinnya air tanah disebabkan oleh intrusi air laut ke dalam air tanah, khususnya saat air laut pasang dan musim kemarau. Air tanah dangkal dan tidak sesuai untuk air minum, namun demikian pada beberapa tempat masih dijumpai air tanah dengan kualitas baik, berasa tawar dengan nilai DHL berkisar 783 mhos/cm, seperti yang terdapat di Desa Sriwulan Kabupaten Demak.

d. Daerah langka air tanah, yang meliputi satuan-satuan perbukitan-pegunungan volkanik dan igir-igir struktural lipatan. Langkanya air tanah disebabkan oleh kedudukan satuan ini pada topografi yang tinggi, lereng curam, lapisan tanah relatif tipis, dan berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan. Namun demikian, pada tekuk-tekuk lerengnya (khususnya pada kontak antar lapisan batuan),

banyak dijumpai mata air yang muncul baik sebagai rembesan (seepage) maupun contact spring atau topographic spring.

4.2.3.4. Kualitas Air

Diskripsi tentang kondisi kualitas air juga sangat diperlukan dalam hubungannya dengan peruntukan air Sungai Babon. Selama ini Sungai Babon dimanfaatkan selain sebagai pengendali banjir melalui saluran banjir Kanal Timur, juga digunakan untuk irigasi, mandi cuci kakus (MCK), industri, dan penambangan bahan galian golongan C. Dengan demikian sumber-sumber pencemaran air Sungai Babon adalah bersumber dari kegiatan-kegiatan penduduk (MCK), pertanian (penggunaan pupuk, pestisida, dan insektisida), penambangan, perikanan, dan industri. Keenam usaha industri yang potensial menimbulkan pencemaran di Sungai Babon dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18, serta peta mengenai kualitas air DAS Babon pada Gambar 11.

Tabel 17 Jenis industri yang potensial mencemari Sungai Babon

No Nama Perusahaan Jenis Kegiatan Polutan 1 PT. Bintang Buana sakti Penyamakan

Kulit

BOD, COD, DS, Chrom, Sulfida, Phenol, Amoniak, Minyak dan Lemak

2 PT. Condro Purnomo Cipto Sda Sda

3 PT. Puspita Abadi Sda Sda

4 PT. Rodeo Tekstil BOD, COD, TDS, Chrom,

Amoniak, Sulfida 5 CV. Sumber Baru Pulp dan

Kertas

BOD, COD, TDS, Amoniak, Sulfida

6 Puskud Mina Baruna Cold Storage BOD, COD, TDS, Amoniak, Bebas

Sumber : Bappedalda Semarang (1996/1997)

Tabel 18 Konsentrasi beban pencemar yang masuk ke Sungai Babon (kg/tahun)

No Parameter Tahun Target Diperbolehkan

1995/1996 1996/1997 1 BOD5 194 337.78 86 666.63 76 923.75 2 COD 609 607.89 242 679.52 167 167.50 3 TSS 220 401.19 54 040.14 72 027.75 4 Sulfida (H2S) 1 615.62 126 133.30 299.68 5 Amoniak (NH3) 5 922.30 246.49 3 001.25 6 Chrom Total 710.96 185.67 20.19

7 Minyak 11.39 Tidak teramati 1 811.13

Gambar 11 Peta kualitas air DAS Babon.

Berdasarkan pada Surat Keputusan Walikota Semarang No.660.2992/1994 tentang peruntukan Sungai Babon, bahwa ruas Sungai Babon bagian hilir adalah untuk perikanan (golongan B atau kelas 2), yang menyatakan bahwa nilai ambang

batas untuk kadar Cr = 0.0 – 0.05 ppm dan Pb = 0.0 – 0.03 ppm, sementara hasil penelitian Kartikasari (2002) di muara Sungai Babon terdapat kandungan Cr = 58.6 – 96.4 ppm dan Pb = 23 – 24.5 ppm. Dengan demikian kualitas air Sungai Babon masih sangat jelek untuk perikanan.

Pada umumnya kualitas air Sungai Babon mempunyai pH antara 7.3 – 8.1 (termasuk netral), tetapi nilai oksigen terlarut dalam air (dissolved oxygen) ada yang masih di bawah angka netral untuk hidup biota air (sekitar 5-6 ppm) dan yang paling rendah mencapai 1.4 ppm yaitu di Banjir Kanal Timur dan muara Sungai Babon. Nilai BOD, COD masih aman untuk berbagai peruntukan, hanya kadar bakteri Coliform ada yang mencapai 460 MPN/100 ml yaitu didekat permukiman padat di Jatingaleh.

4.2.3.5. Cekungan Air Tanah

Air tanah di Kota Semarang terdapat pada 2 (dua) lapisan pembawa air (aquifer), yaitu air tanah bebas atau air tanah dangkal (unconfined aquifer), dan air tanah dalam atau air tanah tertekan (confined aquifer). Keberadaan kedua lapisan pembawa air tanah tersebut berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air adalah cekungan air tanah (CAT).

Berdasarkan pasal 1 ayat 12 CAT adalah: suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Air tanah Kota Semarang berdasarkan Permen ESDM No. 13 Tahun 2009 berada pada CAT Semarang – Demak, dan CAT Ungaran.

Untuk jenis air tanah pertama yaitu air tanah bebas atau air tanah dangkal merupakan air tanah yang terdapat pada lapisan pembawa air (aquifer), dimana bagian atasnya tidak tertutup oleh lapisan kedap air, tetapi bagian bawahnya dilapisi oleh lapisan tanah yang kedap air, sehingga permukaan air tanah bebas (muka air tanah) ini sangat dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan sekitarnya. Penduduk Kota Semarang yang berada di dataran rendah, banyak memanfaatkan air tanah ini dengan membuat sumur-sumur gali (dangkal) dengan kedalaman rata-rata 3 - 18 m. Sedangkan untuk peduduk di dataran tinggi hanya dapat memanfaatkan sumur gali pada musim penghujan dengan kedalaman berkisar antara 20 - 40 m.

Kedudukan muka air tanah dangkal (bebas) di Kota Semarang bervariasi antara 0 meter sampai 20 meter di bawah muka laut, ke arah Utara atau ke arah laut kedudukan muka air tanahnya makin dalam yaitu ± 20 meter, dan makin ke arah atas atau daerah perbukitan muka air tanah (mat) makin tinggi. Untuk lebih jelasnya kedudukan muka air tanah dangkal (bebas) disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Kedudukan DAS Babon terhadap CAT Semarang, Demak, dan Ungaran.

Air tanah tertekan adalah air yang terkandung di dalam suatu lapisan pembawa air yang berada diantara 2 lapisan batuan kedap air, sehingga debitnya hampir selalu tetap. Disamping itu, kualitasnya juga memenuhi syarat sebagai air bersih. Debit air tanah dalam (tertekan) ini sedikit sekali dipengaruhi oleh musim dan keadaan di sekelilingnya. Untuk daerah Semarang bawah lapisan aquifer di dapat dari endapan alluvial dan delta Sungai Garang. Kedalaman lapisan aquifer ini berkisar antara 50 - 90 meter, terletak di ujung Timur Laut Kota dan pada mulut Sungai Garang lama yang terletak di pertemuan antara lembah Sungai

Garang dengan dataran pantai. Kelompok aquifer delta Garang ini disebut pula kelompok aquifer utama karena merupakan sumber air tanah yang potensial dan bersifat tawar. Untuk daerah Semarang yang berbatasan dengan kaki perbukitan terdapat air tanah artesis yang terletak pada endapan pasir dan konglomerat formasi damar yang mulai diketemukan pada kedalaman antara 50 - 90 m. Pada daerah perbukitan kondisi artesis masih mungkin ditemukan karena adanya formasi damar yang permeable dan sering mengandung sisipan-sisipan batuan lanau atau batu lempung.

Pengambilan air tanah baik air tanah bebas maupun air tanah tertekan/dalam di Kota Semarang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pengambilan air diakibatkan oleh:

1. Bagi penduduk: PDAM Tirta Moedal tidak mampu melayani kebutuhan air minum penduduk. Jangkauan pelayanan PDAM hanya mampu melayani 56.1%

2. Bagi industri:

a. Pajak pengambilan air tanah dalam lebih murah dibandingkan dengan tarif

PDAM (SK Gubernur Jawa Tengah No. 5 Tahun 2003) yaitu sebesar Rp 161/m3.

b. Monitoring dari pihak yang berwajib (Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah) kurang ketat. Terbukti dengan inkonsistensi data tentang pengguna air tanah dari industri maupun hotel per bulan.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka jumlah sumur bor dalam dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada periode tahun 1996 jumlah sumur bor sebanyak 230 buah, dan meningkat cukup tajam pada tahun 2003, jumlah sumur bor mencapai 540 buah dengan volume pengambilan mencapai 15.31 x 106 m3/tahun, dan terus mengalami kenaikan hingga pada tahun 2005 yaitu sebesar 8 315 sumur bor. Namun jumlah pengambilan air tanahnya malah turun yaitu 8.5 x 106 m3/tahun. Setelah periode tersebut yaitu mulai periode tahun 2006 hingga tahun 2008, tercatat pada tahun 2008 jumlah sumur dalam sebanyak 544 buah dan volume pengambilan sebesar 9.6 x 106 m3/tahun. Perkembangan jumlah sumur dan pengambilan air tanah di Kota Semarang disajikan dalam Tabel 19 dan Gambar 13.

Tabel 19 Perkembangan jumlah sumur dan volume pengambilan di Kota Semarang

No. Tahun Jumlah Sumur Volume yang Diambil (m3) NPA (Rp) 1. 1996 230 - - 2. 2003 543 15 310 000 - 3. 2004 3 111 6 198 635 6 670 280 595 4. 2005 8 315 8 539 940 24 022 100 840 5. 2006 5 409 12 115 193 22 951 798 869 6. 2007 449 7 137 555 17 753 863 855 7. 2008 544 9 617 198 26 412 586 708

Sumber: Dinas ESDM Jawa Tengah, 2009

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Volume Yang Diambil (1000 m³/th) Jumlah Sumur (unit)

Gambar 13 Grafik volume pengambilan air tanah dengan jumlah sumur. Pengambilan air tanah yang terus meningkat tanpa memperhatikan aspek daya dukungnya dalam hal ini adalah safe yield nya, maka akan mengakibatkan resiko lingkungan yaitu penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah dapat terjadi karena pengambilan air tanah yang jauh melebihi kapasitas akuifernya, maka terjadilah penurunan muka air tanah yang mencapai 15 hingga 22 m dbpts (1996).

Penurunan muka air tanah akan menyebabkan kenaikan tegangan efektif pada tanah, dan apabila besarnya tegangan efektif melampaui tegangan yang diterima tanah sebelumnya maka tanah akan mengalami konsolidasi dan kompaksi yang mengakibatkan amblesan tanah pada daerah konsolidasi normal. Amblesan

tanah yang terjadi di dataran pantai Semarang diperkirakan disebabkan oleh dua faktor, yaitu: (a) penurunan muka air tanah akibat pemompaan dan (b) peningkatan beban karena pengurugan tanah. Penimbunan tanah urug untuk reklamasi daerah pantai di daerah penelitian dimulai pada tahun 1980, yaitu meliputi kompleks PRPP, Tanah Mas, Bandarharjo, Pelabuhan Tanjung Mas dan Tambaklorog yang diikuti oleh daerah- daerah lainnya secara tersebar pada tahun 1996. Ketebalan timbunan tanah tersebut berkisar antara 1-5 m, dan diikuti pembangunan perkantoran atau kompleks perumahan. Daerah-daerah yang mengalami penurunan muka air tanah disajikan dalam Gambar 14.

Sumber: Direktorat Tata Lingkungan Geologi Kawasan Pertambangan, Departemen ESDM, 2004

Gambar 14 Laju penurunan permukaan tanah Kota Semarang periode 2001- 2003.

4.2.4. Geologi dan Geomorfologi

Berdasarkan konsepsi yang dikemukakan oleh Pannekoek (1949), secara umum geomorfologi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu: zona utara, tengah, dan selatan. Jika ditinjau dari konsepsi tersebut, maka DAS Babon termasuk dalam zona utara dan tengah dari Pulau Jawa, yang dimulai dari gisik (beach) dan dataran aluvial pesisir (coastal alluvial plain) bagian Utara ke arah Selatan meliputi perbukitan struktural lipatan (folded hills) hingga deretan perbukitan-pegunungan bergunung api (volcanic) di bagian selatan wilayah studi yang merupakan bagian dari zona tengah Pulau Jawa.

Menurut Peta Geologi lembar Semarang skala 1:100.000 tahun 1989 yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, maka secara geologis wilayah studi dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok atau satuan, yaitu:

a. Bagian Utara (DAS Babon Hilir) dan tengah (DAS Babon Tengah) wilayah studi merupakan dataran aluvial pantai Semarang dan Demak serta dataran aluvial yang tersusun oleh material endapan cekungan berupa lempung dan pasiran yang terbentuk zaman Holosen dan Pleistosen Bawah.

b. Bagian Selatan wilayah studi (DAS Babon Hulu) berupa deretan perbukitan hingga pegunungan yang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) Perbukitan rendah struktural lipatan yang merupakan bagian dari ujung-ujung Barat Perbukitan Kendeng, tersusun oleh material batugamping dengan sisipan lempung tufaan dan konglomerat yang terbentuk sejak zaman Pleistosen Bawah; (2) Bukit-bukit sisa dan perbukitan denudasional di bagian hulu DAS Babon tersusun oleh material sedimen berupa batu pasir tufaan, konglomerat dan breksi tufaan yang terbentuk pada zaman Pliosen, serta di beberapa tempat dijumpai pula singkapan batuan dari Formasi Damar; dan (3) Deretan pegunungan volkanik bagian dari Gunung Api Ungaran, yang tersusun oleh material piroklastik berupa aliran lahar, pasir, kerikil, dan kerakal.

Secara geomorfologis, keseluruhan wilayah studi terdiri atas 9 (sembilan) satuan bentuk lahan (landform) yang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bagian DAS yang terdiri atas:

a. DAS Babon Hilir, meliputi: dataran pasang-surut, dataran aluvial dan tanggul alam.

b. DAS Babon Tengah, meliputi: satuan bentuk lahan dataran aluvial bekas rawa dan ledok antar perbukitan.

c. DAS Babon Hulu, meliputi: deretan perbukitan-pegunungan volkanik terdenudasi, dan igir-igir struktural lipatan Formasi Kendeng (hogback).

Satuan dataran pasang surut (tidal flat) merupakan dataran pantai yang masih dipengaruhi oleh aktivitas pasang tertinggi dan surut terendah air laut. Satuan ini terdapat di bagian paling bawah di sekitar muara-muara sungai dengan

kemiringan lereng 0-3%, tersusun oleh material sedimen lempung (darat) dan pasir halus (fluvio-marine). Material penyusun yang berukuran halus (berlumpur) dan sering tergenang air laut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mangrove, seperti Rhyzopora sp. (bakau) dan Avicennia sp. (api-api), sehingga satuan ini lebih spesifik disebut sebagai rawa garaman (salt marsh). Sebagian besar muara-muara sungai tertutup oleh sedimentasi dari darat (lumpur) dan lebih diperparah lagi (khususnya di muara Banjir Kanal Timur) oleh bertumpuknya sampah-sampah domestik, sehingga terjadi penyempitan muara sungai. Akibat penyempitan muara dan debit aliran mengecil (khususnya di musim kemarau), menyebabkan intrusi air laut melalui permukaan jauh ke dalam, dan proses erosi pantai di sekitar muara banyak terjadi.

Satuan yang terdapat di kanan-kiri aliran Sungai Babon dan sering mengalami penggenangan adalah satuan dataran banjir (flood plain), yang banyak dimanfaatkan sebagai lahan tambak. Pada beberapa tempat yang lebih tinggi akibat penimbunan sedimen sungai secara alami dan dimanfaatkan sebagai lahan permukiman penduduk disebut sebagai tanggul alam (levee). Kedua satuan ini mempunyai penyebaran yang sempit, dan tersusun oleh perselingan material antara lempung, pasir, dan kerikil.

Dua satuan bentuk lahan yang terdapat di bagian tengah DAS Babon adalah satuan dataran aluvial bekas rawa (swamp-alluvial plain) dan cekungan antar perbukitan (intermountain basin). Ditinjau dari aspek morfologi, kedua satuan ini mempunyai kenampakan sama, yaitu berupa dataran dengan lereng datar (0-3%) membentuk suatu cekungan. Perbedaan keduanya terletak pada genesis dan material penyusunnya. Dataran aluvial bekas rawa merupakan dataran aluvial yang terbentuk akibat sedimentasi secara intensif pada daerah yang dulunya berupa rawa-rawa, dengan material penyusun lebih didominasi oleh lempung rawa, sedikit pasir hasil sedimentasi sungai yang mengalir melalui rawa tersebut, dan masih banyak dijumpai cangkang siput rawa, serta pada beberapa tempat juga dijumpai lapisan lempung laut abu-abu (yang diperkirakan bagian dari Formasi Kalibeng, zona lipatan sinklinorium Kendeng). Satuan ini terdapat di daerah Rawasari, bagian tengah Sungai Pengkol ke arah Timur, dan banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian subur. Sementara satuan cekungan antar perbukitan

Dokumen terkait