• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.3 Pengujian Performansi Motor Bakar Diesel

4.3.10 Kondisi Injektor

Untuk mengetahui hasil pembakaran pada ruang bakar maka diperlukan untuk mengetahui kondisi injektor.

Gambar 4.20 Kondisi injektor

Keterangan:

1 2 3 4

1. Kondisi awal injektor

2. Kondisi injektor setelah pembakaran bahan bakar Akra Sol

3. Kondisi injektor setelah pembakaran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 5%

4. Kondisi injektor setelah pembakaran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 10%

5. Kondisi injektor setelah pembakaran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 15%

6. Kondisi injektor setelah pembakaran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20%

Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa kondisi injektor paling kotor adalah pada pembakaran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20%, hal ini menunjukkan bahwa pembakaran pada bahan bakar Akra Sol + biodiesel 20% kurang sempurna sehingga meningggalkan sisa pembakaran di ruang bakar yang menyebabkan injektor kotor.

Hal ini disebabkan penyaringan biodiesel yang kurang sempurna yaitu pemisahan biodiesel dari kandungan gliserolnya. Perlu dilakukan beberapa kali penyaringan untuk mendapatkan biodiesel yang murni tanpa ada endapan gliserol yang tersisa sehingga proses pembakaran dapat berlangsung secara sempurna dan tidak meninggalkan residu karbon pada injector.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Semakin besar putaran mesin dan pembebanan yang diberikan maka semakin besar torsi yang dihasilkan. Torsi maksimum diperoleh pada bahan bakar Akra Sol beban 4,5 kg putaran 2800 rpm, yaitu sebesar 11,8 N.m sedangkan torsi Minimum pada bahan bakar Akra Solar + biodiesel Biji Wijen 20 % beban 3,5 kg dan putaran 1800 rpm yaitu sebesar 4,4 N.m. Persentase penurunan torsi dengan penggunaan Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen terjadi hingga 36,44 %.

2. Daya yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan putaran mesin dan pembebanan daya, semakin tinggi putaran dan pembebanan daya maka semakin tinggi pula daya yang akan dihasilkan. Selain itu daya juga dipengaruhi oleh nilai kalor bahan bakar, semakin tinggi nilai kalor bahan bakar maka daya yang terbangkitkan akan semakin besar. Daya maksimum diperoleh pada penggunaan bahan bakar Akra Sol dengan beban 4,5 kg, putaran 2800 rpm yaitu sebesar 3,45 kW. Sedangkan Daya minimum pada bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20% beban 3,5 kg diperoleh pada putaran 1800 rpm, yaitu sebesar 0,82 kW. Persentase penurunan daya dengan penggunaan Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen terjadi hingga 36,44 %.

3. Semakin tinggi putaran dan pembebanan mesin maka semakin kecil AFR. Hal ini disebabkan oleh putaran dan beban maksimal mesin mengalami “overlap” dimana pada saat ini terjadi proses pembakaran yang sangat cepat dimana diperlukan bahan bakar dengan jumlah besar, sehingga diperlukan udara yang besar pula untuk mengimbangi pembakaran bahan bakar tersebut. Nilai AFR maksimum pada bahan Akra Sol dengan beban 3,5 kg dan putaran 2200 rpm yakni sebesar 91,95 sedangkan nilai AFR minimum pada campuran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Wijen 20 % dengan beban 4,5 kg dan putaran 1800 rpm yaitu sebesar 55,79. Persentase penurunan AFR dengan penggunaan Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen terjadi hingga 9,22 %.

4. Nilai kalor bahan bakar berbanding terbalik dengan laju aliran bahan bakar. Semakin tinggi nilai kalor maka semakin kecil nilai laju aliran bahan bakar yang akan berpengaruh pada satuan waktu mesin beroperasi. Dengan kata lain semakin besar nilai laju aliran bahan bakar, semakin besar pula konsumsi bahan bakar spesifiknya, demikian sebaliknya. SFC minimum pada bahan bakar Akra Sol beban 4,5 kg putaran 2800 rpm yaitu sebesar 176,15 gr/kWh. Sedangkan SFC maksimum pada bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20% beban 3,5 kg putaran 1800 rpm yaitu sebesar 1399,91 gr/kWh. Besar SFC sangat dipengaruhi oleh besar kecil nilai laju aliran bahan bakar. Persentase peningkatan SFC dengan penggunaan Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen terjadi hingga 148 %. 5. Nilai kalor bahan bakar mempengaruhi laju konsumsi udara yang akan berdampak pada nilai efisiensi volumetris. Laju konsumsi udara berbanding lurus dengan efisiensi volumetris. Semakin besar laju konsumsi udara maka semakin tinggi nilai efisiensi volumetris dan begitu pula sebaliknya. Nilai Efisiensi Volumetris minimum pada campuran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20 % dengan beban 3,5 kg dan putaran 1800 rpm yakni sebesar 51,48 %. Nilai Efisiensi Volumetris maksimum pada bahan bakar Akra Sol dengan beban 4,5 kg dan putaran 2800 rpm yakni sebesar 99,89 %. Persentase penurunan Efisiensi Volumetris dengan penggunaan Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen terjadi hingga 16,52 %.

6. Nilai Efisiensi Thermal Aktual sangat dipengaruhi oleh nilai kalor bahan bakar yang juga mempengaruhi nilai laju aliran bahan bakar. Nilai Efisiensi Thermal Aktual minimum pada campuran bahan bakar Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen 20 % dengan beban 3,5 kg dan putaran 1800 rpm yakni sebesar 5,09 %. Nilai Efisiensi Thermal Aktual maksimum pada bahan bakar Akra Sol dengan beban 4,5 kg dan putaran 2800 rpm yaitu sebesar 37,76 %. Persentase penurunan Efisiensi Thermal Aktual dengan penggunaan Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen terjadi hingga 56,74 %.

7. Nilai Heat Loss dipengaruhi oleh nilai kalor bahan bakar, semakin tinggi nilai kalor maka semakin tinggi kecenderungan peningkatan suhu exhaust. Nilai Heat Loss minimum pada penggunaan Biodiesel Biji Wijen 20 % pembebanan 3,5 kg putaran 1800 rpm yakni sebesar 644,08 W. Heat Loss maksimum terjadi pada penggunaan Akra Sol beban 4,5 kg putaran 2800 rpm yakni sebesar 4367,12 W. Persentase penurunan Heat Loss dengan penggunaan Akra Sol + Biodiesel Biji Wijen terjadi hingga 35,01 %.

5.2 Saran

1. Melengkapi alat ukur pada saat pengujian untuk memperoleh hasil pengujian yang lebih baik

2. Menunggu putaran mesin stabil pada saat menaikkan dan menurunkan putaran agar mendapat putaran mesin yang tepat pada saat pengujian pada putaran yang berbeda melalui pembacaan pada instrumentasi pembaca TD-115

3. Mengembangkan pengujian ini dengan menggunakan variasi campuran bahan bakar yang berbeda

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel

2.1.1 Sejarah Biodiesel

Biodiesel pertama kali dikenalkan di Afrika selatan sebelum perang dunia II sebagai bahan bakar kenderaan berat. Biodiesel didefinisikan sebagai metil/etil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel. Sedangkan minyak yang didapatkan langsung dari pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak (oilseed), yang kemudian disaring dan dikeringkan (untuk mengurangi kadar air), disebut sebagai minyak lemak mentah. Minyak lemak mentah yang diproses lanjut guna menghilangkan kadar fosfor (degumming) dan asam-asam lemak bebas (dengan netralisasi dan steam refining) disebut dengan refined fatty oil atau straight vegetable oil (SVO).

SVO didominasi oleh trigliserida sehingga memiliki viskositas dinamik yang sangat tinggi dibandingkan dengan solar (bisa mencapai 100 kali lipat, misalkan pada Castor Oil). Oleh karena itu, penggunaan SVO secara langsung di dalam mesin diesel umumnya memerlukan modifikasi/tambahan peralatan khusus pada mesin, misalnya penambahan pemanas bahan bakar sebelum sistem pompa dan injektor bahan bakar untuk menurunkan harga viskositas. Viskositas (atau kekentalan) bahan bakar yang sangat tinggi akan menyulitkan pompa bahan bakar dalam mengalirkan bahan bakar ke ruang bakar. Aliran bahan bakar yang rendah akan menyulitkan terjadinya atomisasi bahan bakar yang baik. Buruknya atomisasi berkorelasi langsung dengan kualitas pembakaran, daya mesin, dan emisi gas buang.

Pemanasan bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi bahan bakar merupakan satu solusi yang paling dominan untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul pada penggunaan SVO secara langsung pada mesin diesel. Pada umumnya, orang lebih memilih untuk melakukan proses kimiawi pada minyak mentah atau refined fatty oil/SVO untuk menghasilkan metil ester asam

lemak (fatty acid methyl ester - FAME) yang memiliki berat molekul lebih kecil dan viskositas setara dengan solar sehingga bisa langsung digunakan dalam mesin diesel konvensional. Biodiesel umumnya diproduksi dari refined vegetable oil menggunakan proses transesterifikasi. Proses ini pada dasarnya bertujuan mengubah [tri, di, mono] gliserida berberat molekul dan berviskositas tinggi yang mendominasi komposisi refined fatty oil menjadi asam lemak methil ester (FAME).

Konsep penggunaan minyak tumbuh-tumbuhan sebagai bahan pembuatan bahan bakar sudah dimulai pada tahun 1895 saat Dr. Rudolf Christian Karl Diesel (Jerman, 1858-1913, Gambar 2.1) mengembangkan mesin kompresi pertama yang secara khusus dijalankan dengan minyak tumbuh-tumbuhan. Mesin diesel atau biasa juga disebut Compression Ignition Engine yang ditemukannya itu merupakan suatu mesin motor penyalaan yang mempunyai konsep penyalaan di akibatkan oleh kompressi atau penekanan campuran antara bahan bakar dan oksigen didalam suatu mesin motor, pada suatu kondisi tertentu. Konsepnya adalah bila suatu bahan bakar dicampur dengan oksigen (dari udara) maka pada suhu dan tekanan tertentu bahan bakar tersebut akan menyala dan menimbulkan tenaga atau panas. Pada saat itu, minyak untuk mesin diesel yang dibuat oleh Dr. Rudolf Christian Karl Diesel tersebut berasal dari minyak sayuran. Tetapi karena pada saat itu produksi minyak bumi (petroleum) sangat melimpah dan murah, maka minyak untuk mesin diesel tersebut digunakan minyak solar dari minyak bumi. Hal ini menjadi inpirasi terhadap penerus Karl Diesel yang mendesain motor diesel dengan spesifikasi minyak diesel.

2.1.2 Definisi Biodiesel

Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkil ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan.

Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas.

Biodiesel merupakan kandidat yang paling baik untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia, karena biodiesel merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur zaman sekarang.

Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja dari penjualan bahan bakar. Pertumbuhan SPBU membuat semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar.

Dibandingkan dengan solar, biodiesel memiliki kelebihan diantaranya (Hambali, 2007) :

1. Bahan bakar ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik (free sulphur, smoke number rendah)

2. Cetane number lebih tinggi sehingga efisiensi pembakaran lebih baik dibandingkan dengan minyak kasar

3. Memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin 4. Dapat terurai (biodegradable)

5. Merupakan renewable energy karena terbuat dari bahan alam yang dapat diperbaharui

6. Meningkatkan independensi suplai bahan bakar karena dapat diproduksi secara lokal

Menurut Syah (2006), karakteristik emisi pembakaran biodiesel dibandingkan dengan solar adalah sebagai berikut :

1. Emisi karbon dioksida (CO2) netto berkurang 100% 2. Emisi sulfur dioksida berkurang 100%

3. Emisi debu berkurang 40-60%

4. Emisi karbon monoksida (CO) berkurang 10-50% 5. Emisi hidrokarbon berkurang 10-50%

6. Hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH = polycyclic aromatic hydrocarbon) berkurang, terutama PAH beracun seperti : phenanthren berkurang 98%, benzofloroanthen berkurang 56%, benzapyren berkurang 71%, serta aldehidadan senyawa aromatik berkurang 13%.

Karateristik dan standar daripada biodiesel ditunjukkan pada Tabel 2.1 di bawah ini:

Tabel 2.1 Standar biodiesel [9]

Parameter Satuan Biodiesel Biji Wijen Standar Nasional Indonesia Biodiesel Standard in ASTM Jarak pagar

Angka Asam Mg KOH/g 0.1044 Maks 0.8 Maks 0.5 0.298

Air dan Sedimen %vol 0 Maks 0.05 Maks 0.05 <0.05

Korosi Lempeng Tembaga

%wt No. 1.b Maks No. 3 Maks No. 3

Residu Karbon %wt 0.1298 Maks 0.05 Maks 0.05

Abu Tersulfatkan

Belerang mg/kg 13 Maks 100 Maks 50

Fosfor mg/kg 0.98 Maks 10 Maks 1 0.03

Gliserol Bebas %wt 0.0091 Maks 0.02 Maks 0.02 0.0045

Gliserol Total %wt 0.2086 Maks 0.24 Maks 0.24 0.053

Kadar Ester Alkil

%wt 99.56 Min 96.5 98.997

Uji halphen Negatif Negatif Negatif

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006) European Commision (2007) Tjahjana dan Pranowo (2010) Kartika et al. (2011)

2.1.3. Pembuatan biodiesel

Agar biodiesel bisa digunakan sebagai bahan bakar maka diperlukan teknologi untuk mengkonversinya. Terdapat beberapa teknologi untuk konversi biomassa, dijelaskan pada Gambar 2.2. Teknologi konversi biodiesel tentu saja membutuhkan perbedaan pada alat yang digunakan untuk mengkonversi biodiesel dan menghasilkan perbedaan bahan bakar yang dihasilkan.

Gambar 2.2 Teknologi Konversi Biodiesel [13]

2.1.3.1 Esterifikasi

Ester merupakan salah satu gugus dari fungsi dari senyawa karbon. Ester adalah senyawa dengan gugus fungsi – COO – dengan struktur R – COO – R, dimana R merupakan suatu rantai karbon atau atom H, sedangkan R merupakan rantai karbon. Ester mempunyai rumus umum CnH2nO2. Pemberian nama ester terdiri dari dua kata yaitu gugus alkil (berasal dari alkoksi) diikuti dengan nama asam karboksilatnya dengan menghilangkan kata asam. Gugus atom yang terikat pada atom O (Gugus R) diberi nama alkil dan gugus R – COO – H diberi nama alkanoat.

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas (FFA) menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan asam lemak dengan alcohol. Reaksi ini merupakan reaksi kesetimbangan, jadi memerlukan katalis untuk mempercepat tercapainya keadaan setimbang. Katalis-katalis yang cocok adalah zat yang berkarakter asam kuat, dan karena ini asam sulfat, asam sulfonat organic atau resin penukar kation asam kuat merupakan katalis terpilih dalam praktek industrial

2.1.3.2 Transesterifikasi

Transesterifikasi adalah pertukaran alkohol dengan suatu ester untuk membentuk ester yang baru. Reaksi ini bersifat reversible dan berjalan lambat tanpa adanya katalis. Penggunaan alcohol atau mengambil alih salah satu produk adalah langkah untuk mendorong reaksi kearah kanan atau produk.

Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut:

1. Pengaruh air dan asam lemak bebas

Minyak nabati yang akan di transesterifikasi hasrus memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0.5%. Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

2. Perbandingan pengaruh molar alkohol dengan bahan mentah

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida, untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4.8:1 dapat menghasilkan konversi 98%. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan maka konversi yang didapat akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah satu jam konversi yang dihasilkan adalah 98 – 99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74 – 89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena menghasilkan konversi yang maksimum.

3. Pengaruh jenis alkohol

Pada rasio 6:1, methanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi dibandingkan dengan menggunakan etanol atau butanol.

Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling popular untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH). Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalahion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0.5 – 1.5% berat minyak nabati.

5. Metanolisis Crude dan Refined minyak nabati

Perolehan metal ester akan lebih tinggi jika menggunakan minyak nabati refined. Namun apabila produk metal ester akan digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel, cukup digunakan bahan baku berupa minyak yang telah dihilangkan getahnya dan disaring.

6. Pengaruh temperature

Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30 – 65% (titik didih metanol sekitar 65oC) Semakin tinggi temperatur, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat.

2.2 Biodiesel dari bahan-bahan lainnya 2.2.1 Biodiesel dengan Bahan Baku Biji Karet

Menurut Soemargono, Edy Mulyadi; pemanfaatan biji karet (Hevea Brasiliensis), sebagai sumber bahan baku biodiesel merupakan terobosan yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah perkebunan karet. Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan pola pemungutan minyak biji karet secara maksimal dan mendapatkan kondisi proses produksi biodiesel yang memenuhi standar SNI dan ASTM. Proses produksi biodiesel dilakukan menggunakan prototip alat berkapasitas 20 liter/jam. Proses esterifikasi dijalankan pada suhu 105C, penambahan methanol 10% dan katalis asam, waktu 90 menit. Proses trans-esterifikasi dijalankan dalam reaktor alir osilasi dengan dosis katalis 1% berat minyak dan methanol sebanyak 15% berat minyak. Variabel yang dipelajari adalah suhu dan waktu proses. Produk biodiesel dimurnikan dengan sistem vakum. Dari hasil penelitian ini diperoleh rendemen kernel sebanyak 53% dari berat biji karet. Sedangkan minyak dalam kernel yang dapat dipungut maksimum

56% dari berat kernel. Karakteristik biodiesel sesuai dengan yang distandarisasikan, yaitu densitas 0,8565 g/ml, angka asam 0,49, angka iod 62,88, kadar ester 97,2%, flash point 178°C dan panas pembakaran 16183 J/g.

2.2.2 Biodiesel dengan Bahan Baku Kelapa

Minyak kelapa diperoleh dari buah tanaman kelapa atau Cocos nucifera L., yaitu pada bagian inti buah kelapa (kernel atau endosperm). Tanaman kelapa ini memiliki :

Famili : Palmae

Genus : Cocos

Inti buah tanaman kelapa ini memiliki kandungan minyak kelapa sebanyak 34 % dengan kelembaban 6-8 %. Kandungan asam lemak minyak kelapa yang paling banyak adalah asam laurat C12:0 (asam lemak jenuh / saturated fatty acid).

Pada pembuatan minyak kelapa yang menjadi bahan baku utamanya adalah daging kelapa. Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemak, Tabel 2.2, digolongkan ke dalam minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya paling besar jika dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Berdasarkan tingkat ketidakjenuhannya yang dinyatakan dengan bilangan iod (iodine value), maka minyak kelapa dapat dimasukkan ke dalam golongan non drying oils, karena bilangan iod minyak tersebut berkisar antara 7,5 – 10,5.

Minyak kelapa yang belum dimurnikan mengandung sejumlah kecil komponen bukan minyak, misalnya fosfatida, gum sterol (0,06 –0,08%), tokoferol (0,003) dan asam lemak bebas (kurang dari 5%), sterol yang terdapat di dalam minyak nabati disebut phitosterol dan mempunyai dua isomer, yaitu beta sitoterol (C29H50O) dan stigmasterol (C29H48O). Stirol bersifat tidak berwarna, tidak berbau, stabil dan berfungsi sebagai stabiliuzer dalam minyak.

Tokoferol mempunyai tiga isomer, yaitu α-tokoferol (titik cair 158o-160oC), -tokoferol (titik

cair 138o-140oC) dan -tokoferol. Persenyawaan tokoferol bersifat tidak dapat disabunkan, dan berfungsi sebagai anti oksidan.

Warna coklat pada minyak yang mengandung protein dan karbohidrat bukan disebabkan oleh zat warna alamiah, tetapi oleh reaksi browning. Warna ini merupakan hasil reaksi dari senyawa karbonil (berasal dari pemecahan peroksida) dengan asam amino dari protein, dan terjadi terutama pada suhu tinggi. Warna pada minyak kelapa disebabkan oleh zat warna dan kotoran – kotoran lainnya.

Zat warna alamiah yang terdapat pada minyak kelapa adalah karoten yang merupakan hidrokarbon tidak jenuh dan tidak stabil pada suhu tinggi. Pada pengolahan minyak menggunakan uap panas maka warna kuning yang disebabkan oleh karoten akan mengalami degradasi. Daging buah kelapa dapat diolah menjadi santan (juice extract). Santan kelapa ini dapat dijadikan bahan penganti susu atau dijadikan minyak.

Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa

Asam lemak Rumus kimia Jumlah ( % )

Asam lemak jenuh

Asam kaproat C5H11COOH 0,0 – 0,8 Asam kaprilat C7H15COOH 5,5 – 9,5 Asam kaprat C9H19COOH 4,5 – 9,5 Asam laurat C11H23COOH 44,0 – 52,0 Asam miristat C13H27COOH 13,2 – 19,0 Asaam palmitat C15H31COOH 7,5 – 10,0 Asam stearat C17H35COOH 1,0 – 3,0

Asam lemak tidak jenuh

Asam palmitoleat C15H29COOH 0,0 – 1,3 Asam oleat C17H33COOH 5,0 – 8,0

Asam linoleat C17H31COOH 1,5 – 2,5

2.2.3 Biodiesel dengan Bahan Baku Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis) berasal dari Guinea di pesisir Afrika Barat, kemudian diperkenalkan ke bagian Afrika lainnya, Asia Tenggara dan Amerika Latin sepanjang garis equator (antara garis lintang

utara 15o dan lintang selatan 12o). Kelapa sawit tumbuh baik pada daerah

iklim tropis, dengan suhu antara 24 oC - 32 oC dengan kelembaban yang tinggi dan curah hujan 200 mm per tahun. Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80% perikarp dan 20% buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kandungan minyak dalam perikarp sekitar 30% – 40%. Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu :

1. Minyak sawit (CPO), yaitu minyak yang berasal dari sabut kelapa sawit

2. Minyak inti sawit (CPKO), yaitu minyak yang berasal dari inti kelapa sawit

Pada umumnya minyak sawit mengandung lebih banyak asam-asam palmitat, oleat dan linoleat jika dibandingkan dengan minyak inti sawit. Minyak sawit merupakan gliserida yang terdiri dari berbagai asam lemak, sehingga titik lebur dari gliserida tersebut tergantung pada kejenuhan asam lemaknya. Semakin jenuh asam lemaknya semakin tinggi titik lebur dari minyak sawit tersebut. Karakteristik minyak sawit ditunjukkan pada Tabel 2.3 berikut ini:

Tabel 2.3 Karakteristik Minyak Sawit

Karakteristik Nilai

Specific Gravity pada 37,8 oC 0,898-0,901 Iodine Value 44 – 58 Saponification Value 195 – 205

Unsaponification Value, % < 0,8 Titer, C 40 – 47

Komponen penyusun minyak sawit terdiri dari trigliserida dan non trigliserida. Asam- asam lemak penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh seperti ditunjukkan pada Tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.4 Komposisi Komponen Trigliserida Asam Lemak pada Minyak Sawit dari Berbagai Sumber [15]

Asam Lemak Jumlah

(%) Asam Kaprilat - Asam Kaproat - Asam Miristat 1.1-2.5 Asam Palmitat 40-46 Asam Stearat 3.6-4.7 Asam Oleat 30-45 Asam laurat - Asam Linoleat 7-11

Komponen non-trigliserida, Tabel. 2.5, merupakan komponen yang menyebabkan rasa, aroma dan warna kurang baik. Kandungan minyak sawit yang terdapat dalam jumlah sedikit ini, sering memegang peranan penting dalam menentukan mutu minyak.

Tabel 2.5 Kandungan Minor (Komponen non-Trigliserida) Minyak Sawit

Komponen ppm Karoten 500 – 700 Tokoferol 400 – 600 Sterol Mendekati 300 Phospatida 500 Besi ( Fe ) 10 Tembaga ( Cu ) 0,5 Air 0,07 – 0,18 Kotoran-kotoran 0,01

2.3 Komposisi Bahan Baku

Sistematika wijen menurut Van-Rheenen (1981) cit Suprijono dan Sunardi (1996) masuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, class Dicotyledoneae, ordo Solanales (Tubiflorae), famili Pedaliaceae, genus Sesamum,

Dokumen terkait