• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDIDAYA CACING OLIGOCHAETA DENGAN PADAT

DAFTAR LAMPIRAN

2.5 Pengambilan Data

3.1.4 Kondisi Lingkungan Budidaya

Parameter kualitas air yang diamati selama 60 hari pemeliharaan meliputi DO, suhu, pH dan TAN. Kisaran nilai kualitas air yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kisaran nilai beberapa parameter kualitas air pada bak pemeliharaan

Parameter uji Padat tebar (individu/m 2 ) Kisaran optimal Sumber 2600 3600 4600 DO (ppm) 2.42-3.18 2.29-3.27 2.15-3.22 2.5-7 Poddubnaya (1980) Suhu (oC) 24.8-26.5 24.8-26.5 24.7-26.6 20-25 Nascimento dan

Alves (2009) pH 6.53-6.72 6.53-6.78 6.26-6.79 5.5-7.5 Witley (1967) TAN (ppm) 0.904-2.226 0.898-2.221 0.903-2.652 <3.8 Angel dan Pilar

(2004)

Berdasarkan Tabel 2 di atas, terlihat bahwa kisaran kandungan oksigen terlarut dari ketiga perlakuan berada di bawah kisaran optimal, namun kadar oksigen terlarut tersebut masih di atas 2 ppm sehingga cacing oligochaeta masih dapat bertahan hidup. Nilai suhu, pH dan TAN untuk semua perlakuan padat tebar yang dipelihara selama 60 hari berada di kisaran optimal untuk pertumbuhan cacing oligochaeta.

Data hasil pengamatan kandungan oksigen terlarut dapat dilihat di Lampiran 7a dan diplotkan pada grafik seperti terlihat pada gambar 9.

18 0 5 10 15 20 25 30 0 10 20 30 40 50 60 S u h u ( ºC )

Masa pemeliharaan (hari)

Padat tebar 2600 ind/m2 Padat tebar 3600 ind/m2 Padat tebar 4600 ind/m2

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 10 20 30 40 50 60 p H

Masa pemeliharaan (hari)

Padat tebar 2600 ind/m2 Padat tebar 3600 ind/m2 Padat tebar 4600 ind/m2 Berdasarkan Gambar 9 di atas, terlihat bahwa konsentrasi oksigen terlarut berfluktuasi per satuan waktu. Nilai oksigen terlarut pada awal pemeliharaan berada di atas 3 ppm, sedangkan nilai kandungan oksigen terlarut pada akhir pemeliharaan menurun dengan tingkat kepadatan 2600, 3600 dan 4600 individu/m2 berturut-turut sebesar 2.74 ppm, 2.70 ppm dan 2.77 ppm.

Data hasil pengamatan nilai suhu selama 60 hari masa pemeliharaan cacing oligochaeta dapat dilihat pada Lampiran 7b yang diplotkan pada grafik seperti terlihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Perubahan nilai suhu selama 60 hari masa pemeliharaan

Gambar 10 di atas menunjukkan bahwa nilai suhu berfluktuasi per satuan waktu. Nilai suhu pada awal pemeliharaan berkisar 24.5 oC, sedangkan nilai akhir selama masa pemeliharaan pada tingkat kepadatan 2600, 3600 dan 4600 individu/m2 berturut-turut sebesar 25.5 oC, 25.5 oC dan 25.6 oC.

Data hasil pengamatan nilai pH selama 60 hari masa pemeliharaan cacing oligochaeta dapat dilihat pada Lampiran 7c dan diplotkan pada grafik seperti terlihat pada Gambar 11.

19 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 0 10 20 30 40 50 60 T A N ( p p m )

Masa pemeliharaan (hari)

Padat tebar 2600 ind/m2 Padat tebar 3600 ind/m2 Padat tebar 4600 ind/m2 Berdasarkan Gambar 11 di atas, selama 60 hari pemeliharaan nilai pH yang diperoleh berfluktuasi per satuan waktu. Nilai pada awal pemeliharaan berkisar 6.7 dan pada akhir pemeliharaan diperoleh nilai pH pada setiap tingkat kepadatan 2600, 3600 dan 4600 individu/m2 berturut-turut sebesar 6.56, 6.70 dan 6.62.

Data hasil pengamatan kandungan Totan Ammonia Nitrogen (TAN) selama 60 hari masa pemeliharaan cacing oligochaeta dapat dilihat pada Lampiran 7d dan diplotkan pada grafik seperti terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Perubahan kandungan TAN selama 60 hari masa pemeliharaan

Berdasarkan gambar 12 terlihat bahwa konsentrasi TAN pada awal pemeliharaan bernilai 0.9 ppm dan meningkat pada hari ke-10 dan ke-20. Namun pada akhir pemeliharaan nilai kandungan TAN menurun untuk padat tebar 2600, 3600 dan 4600 individu/m2 berturut-turut sebesar 0.784 ppm, 0.830 ppm dan 0.938 ppm.

3.1.5 Analisis Usaha

Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta dari ketiga perlakuan yang dihitung dalam jangka waktu satu tahun ditunjukkan pada Tabel 3, dengan asumsi yang digunakan sebagai berikut :

a. Biaya yang dikeluarkan terdiri atas biaya investasi dan biaya operasional yang dikeluarkan pada tahun pertama. Biaya operasional terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang dikeluarkan antara lain teknisi,

20 papan, plastik hitam, paku 2 dim, pemeliharaan alat, BBM dan lahan, sedangkan yang termasuk biaya variabel yaitu kotoran ayam, lumpur halus, EM4, gula pasir, kantong plastik, bahan bakar bensin dan bibit cacing

oligochaeta,

b. Budidaya dengan padat penebaran 2.600 individu/m2 dan 3.600 individu/m2 terdiri atas 9 siklus dalam jangka waktu satu tahun, siklus pertama waktu yang dibutuhkan adalah 55 hari (15 hari persiapan dan 40 hari pemeliharaan) dan siklus selanjutnya hanya 40 hari (pemeliharaan). Budidaya dengan padat penebaran 4600 individu/m2 terdiri atas 7 siklus dalam jangka waktu satu tahun, siklus pertama waktu yang dibutuhkan adalah 65 hari (15 hari persiapan dan 50 hari pemeliharaan) dan siklus selanjutnya hanya 50 hari (pemeliharaan) (Lamiran 8),

c. Bak pemeliharaan cacing oligochaeta berupa kotak kayu berukuran 100 cm × 25 cm × 20 cm sehingga luas dari satu bak pemeliharaan adalah 0,25 m2, d. Bak pemeliharaan yang digunakan pada analisis usaha penelitian ini sebanyak

1000 unit. Asumsi tersebut diambil dari nilai perhitungan BEP pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2. Perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 dijadikan acuan karena pada padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2 menghasilkan biomassa yang sangat rendah sehingga untuk mendapatkan keuntungan membutuhkan biaya yang sangat besar namun keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Perhitungan penentuan jumlah bak pemeliharaan yang digunakan dapat dilihat pada lampiran 9.

e. Lahan yang digunakan seluas 3900 m2 dengan luas efektif 3000 m2, f. Bobot rata-rata cacing oligochaeta untuk setiap perlakuan adalah 0.005 g, g. Jumlah cacing yang ditebar untuk perlakuan padat penebaran 2600

individu/m2 adalah 13 g/m2 atau sebanyak 3.25 g/bak pemeliharaan. Jumlah cacing yang ditebar untuk perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 adalah 18 g/m2 atau sebanyak 4.5 g/bak pemeliharaan. Jumlah cacing yang ditebar untuk perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 adalah 23 g/m2 atau sebanyak 5.75 g/bak pemeliharaan.

21 h. Pada siklus kedua dan berikutnya cacing oligochaeta yang dipanen sebanyak

90 % dari biomassa yang diproduksi dan 10 % lagi digunakan sebagai bibit untuk siklus berikutnya.

i. Biaya tenaga kerja untuk teknsi sebesar Rp 1 200 000 per bulan dengan pertimbangan pengerjaan yang dilakukan yaitu memelihara cacing, memberi pupuk, dan panen,

j. Keuntungan yang diperoleh menjadi hak dari pemilik dan pemilik juga terjun langsung pada saat kegiatan berlangsung,

k. Harga bibit cacing oligochaeta per kilo yaitu Rp 75 000/kg, dan l. Harga jual cacing oligochaeta per kilo yaitu Rp 75 000/kg.

Biaya yang dikeluarkan untuk budidaya daya cacing oligochaeta dengan kepadatan yang berbeda dapat dilihat pada Lampiran 9 dan hasil perhitungan dari biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, penerimaan, keuntungan, R/C ratio, payback period (PP), harga pokok produksi (HPP) dan break even point (BEP) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta pada sistem sirkulasi air

Uraian Padat penebaran (individu/m 2 ) 2.600 3.600 4.600 Biaya investasi (Rp) 35 710 500 35 710 500 35 710 500 Biaya Tetap (Rp) 70 487 350 70 487 350 70 287 350 Biaya variabel (Rp) 103 295 250 104 139 000 91 288 250 Biaya total (Rp) 173 782 600 174 626 350 161 575 600 Penerimaan/tahun (Rp) 69 400 125 124 866 563 167 404 125 Keuntungan (Rp) -104 382 475 -49 759 788 5 828 525 R/C rasio 0.40 0.72 1.04 PP (tahun) -0.34 -0.72 6.13 BEP (Rp) -144 322 551 424 628 467 154 585 260 BEP (kg) 940 940 937 HPP (Rp/kg) 187 805 104 888 72 389

Berdasarkan data hasil perhitungan analisis usaha dengan asumsi 1000 unit bak pemeliharaan terlihat bahwa pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 mengalami kerugian sebesar Rp 104 382 475. Berdasarkan perhitungan R/C ratio nilai yang diperoleh sebesar 0.40, bearti setiap pengeluaran biaya produksi sebesar Rp 1 maka akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 0.40. Sedangkan nilai BEP produksi sebesar 940 kg, menunjukkan bahwa titik impas atau kondisi tidak untung dan tidak rugi dicapai pada saat produksi usaha sebesar

22 940 kg. Apabila ingin mendapatkan keuntungan maka harus memproduksi lebih dari 940 kg. Nilai HPP yang diperoleh sebesar Rp 187 805 yang artinya agar usaha tidak rugi maka harus menjual cacing oligochaeta dengan harga lebih dari Rp 187 805 per kg.

Perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 juga mengalami kerugian, sama halnya dengan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2, kerugian yang diperoleh sebesar Rp 49 759 788. Nilai R/C ratio yang dihasilkan sebesar 0.72, yang bearti setiap 1 rupiah yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 0.72. Nilai BEP yang diperoleh sebesar Rp 424 628 467 dan 940 kg, apabila ingin mendapatkan keuntungan maka penerimaan yang diperoleh harus lebih dari Rp 424 628 467 dan 940 kg. Nilai HPP yang diperoleh dari hasil perhitungan sebesar Rp 104 888, sehingga cacing harus dijual dengan harga lebih dari harga tersebut supaya usaha yang dijalankan tidak rugi.

Perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 dengan asumsi 1000 unit bak pemeliharaan memperoleh keuntungan sebesar Rp 5 828 525 per tahun. Nilai R/C ratio yang dihasilkan sebesar 1.04, yang bearti setiap 1 rupiah yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.04. Waktu yang dibutuhkan oleh perlakuan 4600 individu/m2 untuk pengembalian modal yang sudah ditanam adalah selama 6.13 tahun. Nilai BEP (Rp) atau batas nilai produksi dalam suatu usaha untuk mencapai titik impas dari perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 adalah sebesar Rp 154 585 260 dan BEP (kg) sebesar 937 kg, oleh karena itu apabila ingin mendapatkan keuntungan maka penerimaan dan jumlah produksi yang dihasilkan harus lebih dari Rp 154 585 260 dan 937 kg. Nilai HPP yang diperoleh dari perlakuan 4600 individu/m2 adalah sebesar Rp 72 389 per kg, sehingga bisa dikatakan bahwa pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 layak untuk dijalankan karena nilai HHP yang diperoleh lebih rendah dari harga jual yang ditetapkan yaitu sebesar Rp 75 000 per kg.

3.2 Pembahasan

Cacing oligochaeta termasuk ke dalam filum Annelida, kelas Clitellata, kemudian dibagi lagi menjadi tiga subkelas, yaitu Oligochaeta, Branchiobdella dan Hirudinoidea. Cacing oligochaeta terdapat lebih dari 3100 spesies,

23 kebanyakan terdapat di air tawar, beberapa di laut, air payau dan darat. Jenis akuatik umumnya terdapat pada daerah dangkal yang kurang dari 1 meter, beberapa membuat lubang dalam lumpur, ada pula yang membuat selubung menetap atau berpindah-pindah. Melimpahnya jenis oligochaeta tertentu dapat dipakai sebagai petunjuk adanya pencemaran organik di perairan (Widigdo et al. 2005).

Secara fungsional dan ekologi, oligochaeta dibagi menjadi 2 tipe, yaitu microdrile dan megadrile. Microdrile merupakan spesies akuatik, berukuran 1-30 mm, dinding tubuh tipis dan agak transparan. Megadrile merupakan spesies darat, dinding tubuh tebal, umumnya panjang antara 5-30 cm, bahkan Megascolides di Australia dapat mencapai 3 meter. Pada umumnya jumlah ruas cacing oligochaeta tidak tetap, bervariasi sekitar 25%. Jumlah ruas atau somit pada cacing dewasa antara 115-200 buah, dan pada spesies dari famili Haplotaxidae sampai 500 buah. Ruas pertama adalah peristomium yang mengandung mulut dan ruas terakhir terdapat anus (Widigdo et al. 2005).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 60 hari pemeliharaan, pola pertambahan biomassa dan populasi cacing oligochaeta pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2 mencapai puncak yang sama yaitu pada hari ke-40 masing-masing sebesar 411.26 g/m2 dan 82252 individu/m2 untuk padat tebar 2600 individu/m2 dan 739.95 g/m2 dan 147991 individu/m2 untuk padat tebar 3600 individu/m2. Puncak populasi terjadi pada hari ke-40 dikarenakan cacing oligochaeta yang ditebar merupakan cacing dewasa yang siap kawin, dilihat dari panjang dan berat cacing yang ditebar. Hal ini didukung oleh Pophenco (1967) yang menyatakan bahwa cacing Tubifex sp. dewasa yang siap kawin berukuran sekitar 3 cm dengan bobot tubuh antara 2 -5 mg. Kasiorek (1970) juga mengemukakan bahwa telur Tubifex sp. meninggalkan kokonnya selama 10-12 hari dan setelah menetas akan tumbuh secara intensif selama 30 hari, sehingga diperoleh puncak di hari ke-40. Cacing oligochaeta yang mengeluarkan kokon akan mengeluarkan kokon kembali setiap dua minggu sekali. Anak cacing akan menghasilkan kokon untuk pertama kali pada usia sekitar 40 – 45 hari (Kasiorek 1974). Gambar 13 di bawah ini merupakan contoh kokon dari Limnodrilus hoffmeisteri.

24 Gambar 13 Kokon Limnodrilus hoffmeisteri (Anonim 2009)

Penurunan populasi terjadi pada hari ke-50 dikarenakan tingginya populasi pada hari ke-40, menyebabkan adanya persaingan mendapatkan makanan. Hal tersebut diduga karena dosis pupuk yang diberikan setiap harinya sama yaitu 1 kg/m2/hari, sedangkan populasi bertambah setiap minggunya. Pemupukan yang dilakukan dalam pemeliharaan cacing oligochaeta bertujuan untuk menambah kandungan nutrien. Unsur nutrien terpenting di dalam pemupukan adalah N- organik berbentuk partikel di perairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Penelitian ini menggunakan pupuk yang difermentasi menggunakan aktifator EM4 yang berfungsi meningkatkan kandungan N dan C yang terkandung

dalam bahan organik, hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan Fadillah (2004).

Penelitian yang dilakukan Fadillah (2004) menunjukkan bahwa kelimpahan bakteri yang didapat lebih rendah daripada Febriati (2004) yang melakukan pemupukan dengan kotoran ayam kering tanpa fermentasi. Kelimpahan bakteri rata-rata yang diperoleh Fadillah (2004) mencapai 104-105 sedangkan Febrianti (2004) mencapai 106-105. Perbedaan kelimpahan tersebut terkait dengan populasi cacing yang dicapai pada masing-masing penelitian. Rendahnya kelimpahan bakteri Fadillah (2004) diikuti dengan tingginya populasi dan biomassa yang dicapai yakni sebesar 661447 individu/m2 dan 1719.59 g/m2. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar cacing memanfaatkan bakteri sebagai sumber makanannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Widigdo et al. (2005), yang menyatakan bahwa cacing oligochaeta memakan bakteri, ganggang filamen, diatom dan detritus, sehingga populasi bakteri yang ada pada meia pemeliharaan akan mempengaruhi pertambahan cacing oligochaeta.

25 Penurunan pupulasi pada pemeliharaan juga disebabkan karena induk yang sudah dewasa tidak lagi menghasilkan individu baru, cacing yang masih muda belum mampu bereproduksi dan adanya kematian cacing yang sudah mencapai usia tua. Hal ini dibuktikan berdasarkan pengamatan secara visual, dimana cacing dewasa sudah tidak terlihat pada bak pemeliharaan dan pada saat sampling hari ke-50 tidak ditemukan adanya cacing dewasa. Penurunan biomassa berkaitan dengan penurunan populasi, dimana setelah populasi tertinggi dicapai jumlah individu dewasa mulai berkurang karena adanya kematian sedangkan individu muda belum mampu bereproduksi sehingga setelah titik tertinggi tercapai individu yang terdapat dalam wadah pemeliharaan sebagian besar adalah individu baru.

Pada pemeliharaan dengan perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 puncak populasi dan biomassa terjadi pada hari ke-50 sebesar 1275.46 g/m2 dan 255092 individu/m2 dan menurun pada hari ke-60. Perbedaan tinggi puncak populasi dan biomassa antar perlakuan dikarenakan pada padat penebaran 4600 individu/m2 memiliki nilai rata-rata kandungan oksigen terlarut yang rendah pada awal pemeliharaan (Lampiran 7a). Rendahnya oksigen terlarut tersebut dikarenakan jumlah dari padat penebaran 4600 individu/m2 lebih tinggi dibandingkan kedua perlakuan yang lain sehingga persaingan untuk mendapatkan oksigen juga lebih besar. Persaingan mendapatkan oksigen tersebut juga tidak hanya antar cacing yang dipelihara tetapi juga bersaing dengan bakteri karena proses dekomposisi membutuhkan oksigen. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Hariyadi dkk (1992) yang menyatakan bahwa proses dekomposisi tidak terjadi secara sekaligus tetapi bertahap bergantung kepada kadar bahan organik yang diuraikan, hanya 10-12 % bahan organik yang dapat diuraikan pada setiap tahap. Proses untuk mencapai sekitar 96 % bahan organik terurai diperlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 20 hari dan pada hari ke-5 diperkirakan 75 % bahan organik telah terurai. Pada temperatur 20 °C proses dekomposisi berjalan optimum dan sekitar 75 % bahan organik telah terdekomposisi. Rendahnya kandungan oksigen terlarut tersebut mempengaruhi aktivitas makan dan reproduksi dari cacing oligochaeta, yang diikuti dengan tingginya kandungan TAN.

26 Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang menggunakan padat penebaran yang sama tetapi menggunakan sistem yang berbeda yaitu sistem terbuka, penelitian ini memperoleh biomassa dan populasi lebih rendah. Penelitian dengan sistem terbuka memperoleh puncak populasi dan biomassa tertinggi pada perlakuan 4600 individu/m2 yaitu sebesar 447904 individu/m2 dan 2239.52 g/m2, yang terjadi pada hari ke-40 (Febriani 24 Oktober 2011, komunikasi pribadi). Perbedaan pertambahan populasi, pertambahan biomassa dan puncak dari populasi dan biomassa tersebut terjadi diduga karena pada sistem terbuka, faktor lain seperti kualitas air yang terdiri atas kandungan oksigen terlarut dan kandungan TAN lebih mendukung untuk reproduksi dan aktivitas makan.

Laju pertambahan biomassa tertinggi pada penelitian ini sebesar 25.05 g/m2/hari pada perlakuan padat tebar 4600 individu/m2 yang dicapai pada hari ke- 50. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan pada penelitian dengan menggunakan sistem terbuka yaitu sebesar 55.41 g/m2/hari, begitu pula halnya dengan penelitian Fadillah (2004) yaitu sebesar 42.94 gr/m2/hari yang sama-sama memberikan pupuk kotoran ayam hasil fermentasi namun sistem yang digunakan berbeda. Perbedaan laju pertambahan biomassa harian dipengaruhi oleh biomassa yang dapat dicapai pada setiap penelitian. Hal ini membuktikan bahwa budidaya cacing oligochaeta pada sistem sirkulasi dengan pergantian air menghasilkan laju pertambahan biomassa yang lebih rendah dibandingkan dengan budidaya cacing oligochaeta dengan sistem terbuka.

Berdasarkan hasil uji lanjut Tukey yang dilakukan pada hari ke-40 untuk pertambahan biomassa dan populasi, perlakuan 2600 individu/m2 signifikan dengan perlakuan 4600 individu/m2, hal ini dikarenakan biomassa dan populasi yang diperoleh dari kedua perlakuan tersebut memiliki nilai yang berbeda jauh. Begitu pula dengan hasil uji lanjut Tukey pada hari ke-50 untuk pertambahan biomassa dan populasi, yang menunjukkan perlakuan 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2 signifikan dengan perlakuan 4600 individu/m2. Hasil tersebut terjadi dikarenakan pada perlakuan 4600 memiliki padat penebaran awal yang lebih tinggi sehingga peluang untuk kawinnya cacing oligochaeta lebih tinggi sehingga menghasilkan populasi dan biomassa yang tinggi pula bila dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya.

27 Pada awal pemeliharaan kandungan oksigen terlarut untuk ketiga perlakuan berada di atas 3 ppm, namun pada hari ke-10 terjadi penurunan dan nilai rata-rata yang paling rendah terjadi pada padat tebar 4600 individu/m2 yaitu 2.15 ppm (Lampiran 7a). Nilai kandungan oksigen terlarut pada awal pemeliharaan lebih tinggi dibandingkan hari selanjutnya, diduga karena populasi cacing oligochaeta masih rendah sehingga pemanfaatan terhadap oksigen terlarut juga masih rendah, begitu pula dengan proses oksidasi bahan organik oleh mikroorganisme yang juga masih rendah. Penurunan kandungan oksigen terlarut yang terjadi pada ke-10 disebabkan oleh adanya aktifitas bakteri dalam merombak bahan makanan organik karena proses dekomposisi membutuhkan oksigen selain itu oksigen yang rendah juga disebabkan oleh respirasi cacing oligochaeta yang dipelihara akibat peningkatan populasi cacing tersebut.

Kandungan oksigen terlarut rata-rata yang didapatkan pada hari ke-10 nilainya kurang dari 2.5 ppm. Kondisi tersebut bisa menyebabkan menurunnya aktivitas makan maupun reproduksi cacing oligochaeta sehingga proses pembentukan zat-zat gizi di dalam tubuh jadi ikut menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marian dan Pandian (1984), yang menyatakan bahwa kebutuhan oksigen terlarut Tubifex tubifex bagi perkembangan embrio berkisar antara 2.5 – 7 ppm dan apabila oksigen terlarut kurang dari 2 ppm akan mengakibatkan aktivitas makan dan reproduksinya menurun. Meskipun oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 1.84 – 3.83 ppm, namun kisaran tersebut masih mampu mendukung kehidupan tubifisid, hal ini dikarenakan cacing masih dapat bertahan hidup pada kondisi yang anaerob (tanpa oksigen). Akan tetapi kondisi tersebut dapat menghambat aktivitas makan dan reproduksi cacing yang dipelihara, karena cacing tubifisid akan menggunakan energinya untuk menggoyang-goyangkan bagian posterior tubuhnya agar memperoleh oksigen untuk pernapasan (Pennak 1978). Hal ini juga didukung oleh pernyataan Vincentius (1992), yang menyatakan bahwa tubifisid memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi terhadap kandungan oksigen terlarut dalam air. Kondisi tersebut dibuktikan dengan adanya perbedaan puncak populasi dari ketiga perlakuan yaitu pada perlakuan 4600 individu/m2 yang terjadi pada hari ke-50 sedangkan dua perlakuan lainnya mencapai puncak populasi pada hari ke-40. Pada peneitian ini tidak menggunakan

28 aerasi yang berfungsi untuk mempertahankan konsentrasi oksigen terlarut, dikarenakan tempat melakukan penelitian tidak tersedia pembangkit listrik. Oleh karena itu untuk mempertahankan kualitas air, air yang ada di bak penampungan diganti setiap dua hari sekali sebanyak 2/3 dari volume air yang ada.

Suhu air selama penelitian berkisar antara 24.3 oC – 26.7 oC, dengan rincian pada padat tebar 2600 individu/m2 suhu berkisar antara 24.5oC – 26.6 oC, pada padat tebar 3600 individu/m2 suhu berkisar antara 24.4oC – 26.6oC dan pada padat tebar 4600 individu/m2 antara 24.3oC – 26.7oC (Lampiran 7b). Perubahan suhu pada media budidaya dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan pada saat penelitian dilakukan. Secara keseluruhan, perubahan suhu terjadi secara seragam untuk ketiga perlakuan selama 60 hari pemeliharaan dan berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan cacing oligochaeta.

Kondisi suhu air selama penelitian masih berada dalam batas kelayakan bagi produksi cacing oligochaeta, hal ini sesuai dengan Kosiorek (1974) yang menyatakan bahwa Tubifex tubifex menghasilkan kokon pada kisaran suhu 0 oC – 30 oC dengan suhu optimum berkisar antara 20 oC – 25 oC yang diperkuat juga oleh pernyataan Marian dan Pandian (1984) bahwa Tubifex sp. dapat bereproduksi pada kisaran suhu 0.5 oC – 30 oC. Walaupun kisaran suhu selama penelitian ada yang berada di luar kisaran optimum bagi tubifisid, tetapi secara umum kisaran suhu masih dapat mendukung bagi kehidupan cacing oligochaeta. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Pennak (1978) yang menyatakan bahwa suhu bukan merupakan faktor pembatas bagi oligochaeta akuatik.

Terlihat juga dari Gambar 10 di atas, suhu saat pengambilan contoh menunjukkan bahwa pada hari pengamatan ke-10 dan ke-50 terjadi sedikit peningkatan suhu untuk ketiga perlakuan. Perubahan suhu yang terjadi dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing sutra. Hal ini sesuai dengan pendapat Aston (1968) bahwa peningkatan suhu dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan terutama pertumbuhan cacing dewasa dan pertumbuhan jumlah kokon yang dikeluarkan oleh Tubifisid.

Kisaran nilai pH yang diperoleh selama 60 hari penelitian dari ketiga perlakuan adalah 6.40 – 6.93, dengan rincian pada padat tebar 2600 ind/m2 suhu berkisar antara 6.43 – 6.83, pada padat tebar 3600 ind/m2 suhu berkisar antara

29 6.43 – 6.9 dan pada padat tebar 4600 ind/m2 antara 6.4 – 6.93 (Lampiran 7c). Kisaran nilai pH tersebut masih dalam batas kelayakan hidup cacing oligochaeta. Hal ini didasarkan pada pendapat Whitley (1968), bahwa batas nilai pH untuk kelayakan hidup Tubifisid adalah 5.5 – 7.,5.

Nilai pH air pada media budidaya selama masa pemeliharaan tersebut bisa berada di atas maupun di bawah nilai pH air pada awal pemeliharaan yang bernilai 6.57-6.93. Hal ini disebabkan nilai pH air yang diperoleh tergantung dari reaksi- reaksi kimia yang ada di air, sesuai dengan pernyataan Spotte (1970) yang menyatakan bahwa reaksi kimia yang menghasilkan [H+] akan menurunkan pH dan reaksi yang menghasilkan [OH+] akan meningkatkan pH. Kisaran pH yang diperoleh selama penelitian berlangsung masih dapat mendukung kehidupan cacing oligochaeta, diperkuat oleh pernyataan Whitley (1968) yang mengemukakan bahwa kisaran pH yang baik untuk tubifisid adalah 7.0 – 9.0 dan pada kisaran 6.0 – 8.0 tubifisid masih dapat bertahan hidup.

Total Ammonia Nitrogen merupakan jumlah ammonia tidak terionisasi dan ion ammonium. Ammonia yang tidak terionisasi sangat toksik dan tetapi ion ammonium relatif tidak toksik. Kisaran kandungan TAN selama penelitian berlangsung dari ketiga perlakuan adalah 0.509 – 2.623 ppm. Berdasarkan

Dokumen terkait