• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk arus lintas Indonesia (ARLINDO) dari arah ut ara sehingga secara umum kondisi perairannya banyak dipengaruhi oleh massa air laut dari Samudera Pasifik. Hasil pengukuran beberapa parameter perairan selama penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan Kabupaten Barru relatif homogen dimana fluktuasi nilai- nilai yang diperoleh relatif kecil.

Pengukuran suhu dan salinitas perairan menunjukkan nilai maksimum umumnya terjadi pada hauling III menjelang pagi hari (jam 04:30-05:00). Salinitas maksimum pada hauling III dapat disebabkan kondisi pasang yang terjadi menjelang pagi hari dimana massa air bergerak dari arah lautan dengan salinitas yang lebih tinggi menuju ke arah daratan, sebaliknya salinitas pada

hauling I (jam 21:00-22:00) ditemukan salinitas lebih rendah mencapai 28‰, dimana pada waktu ini terjadi surut dan massa air banyak mendapat pengaruh dari massa air daratan utama sehingga salinitasnya lebih rendah. Pada stasion 3, 4 yang terletak lebih jauh dari daratan utama ditemukan kecenderung salinitas lebih tinggi dibandingkan stasion 1, 2, 6, 7 dan 8 yang terletak lebih dekat pantai. Hal ini disebabkan pengaruh masukan massa air dari daratan utama dengan salinitas yang lebih rendah pada stasion dekat pantai utama nya pada stasion 1 dan 8 yang terletak dekat dengan muara sungai (Gambar 9).

Kecepatan arus yang lebih besar biasanya terjadi pada hauling I yang dapat disebabkan pengaruh angin yang bertiup cukup kencang pada saat itu. Walaupun arus untuk arus daerah dekat pantai umumnya pengaruh pasang surut lebih besar dibandingkan pengaruh angin, namun pengukuran yang dilakukan hanya pada arus permukaan sehingga pengaruh angin dapat lebih dominan. Umumnya arus pada musim barat lebih kencang daripada arus yang terjadi pada musim timur. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) memperlihatkan nilai yang cukup besar. Konsentrasi DO di perairan ini berada di atas batas minimum untuk

mendukung kehidupan di perairan seperti yang disebutkan oleh Prescot (1973) yaitu sebesar 2,0 mgO2/liter.

5.2 Komposisi dan Kelimpahan Plankton

Keterkaitan yang erat antara fitoplankton sebagai sumber energi di lautan dengan zooplankton merupakan tahap awal penghantaran energi ke jenjang trofik yang lebih tinggi. Tidak teridentifikasinya korelasi nyata antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang berarti bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton tidak disertai dengan peningkatan kelimpahan zooplankton saat itu yang dapat disebabkan adanya time lag karena zooplankton membutuhkan waktu untuk tumbuh mengikuti pertumbuhan fitoplankton. Jika diamati lebih seksama, terdapat trend bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton dalam suatu periode pengambilan data akan diikuti oleh kenaikan kelimpahan zooplankton setelah pengambilan data selanjutnya (Gambar 13). Fenomena ini masih perlu dikaji lagi karena selama penelitian stasion pengambilan data berada pada lokasi yang berbeda. Hubungan yang tidak nyata antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton juga ditemukan oleh Hauhamu (1995) di teluk Ambon dan Umar (2002) di teluk Siddo yang menemukan perbedaan temporal keaneragaman dan dominansi antara fitoplankton dan zooplankton.

Fitoplankton yang ditemukan adalah kelas Bacillariophyceae (diatom), Dynophyceae (dinoflagellata) dan Chrysophycae, dimana kelas Bacillariophyceae adalah yang paling umum ditemukan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Parson et al. (1977), yang mengelompokkan fitoplankton di lautan menjadi delapan kelas yaitu Cyanophyceae, Rhodophyceae, Dynophyceae, Haptophyceae, Chrysophycae, Xanthophyceae, Chlorophyceae dan Bacillariophyceae (diatom). Diantara kelas-kelas itu, kelas Bacillariophyceae dan Dynophyceae merupakan fitoplankton yang umum ditemukan di laut. Dalam perairan tropis, umumnya Bacillariophyceae ditemukan dalam kelimpahan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan kelas Bacillariophyceae memiliki laju penggandaan ya ng relatif cepat dari kelas lainnya, tetapi dalam kasus tertentu, Dynophyceae dapat dijumpai dalam kelimpahan yang tinggi dan mampu menghambat pertumbuhan plankton

48

sehingga terjadi blooming spesies tertentu seperti yang terjadi pada kasus red tide.

Penelitian ini hanya menemukan 3 kelas fitoplankton, sementara Parson

et al. (1977) menyatakan bahwa terdapat 8 kelas fitoplankton di lautan. Hal ini disebabkan oleh faktor waktu pengambilan sampel plankton yang dilakukan pada waktu malam hari sehingga berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis yang diperoleh. Anakotta (2002) dalam penelitiannya di teluk Kupang dan menemukan komposisi dan kelimpahan fitoplankton pada malam hari lebih kecil dibandingkan pada siang hari.

Komposisi jenis zooplankton lebih banyak ditemukan dibandingkan fitoplankton, anggota kelompok zooplankton jumlahnya lebih besar dari kelompok fitoplankton. Zooplankton itu sendiri terdiri dari berbagai macam organisme akuatik hewani baik yang bersifat holoplankton seperti Copepoda maupun meroplankton seperti larva ikan, larva moluska dan lain- lain. Selain itu faktor migrasi vertikal zooplankton yang cenderung naik ke permukaan pada malam hari menyebabkan jenis zooplankton lebih banyak ditemukan pada penelitian ini.

Kelimpahan zooplankton secara umum didominasi oleh sub kelas Copepoda, namun demikian terdapat variasi kelimpahan berdasarkan komposisi jenis pada setiap stasion penelitian. Beberapa jenis melimpah pada stasion penelitian tertentu tetapi kemudian tidak ditemukan pada stasion yang lain. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan komunitas yang dinamis, sehingga suatu jenis dapat lebih dominan dari yang lainnya pada interval waktu tertentu tetapi kemudian menjadi langka pada interval waktu yang lain. Seperti yang ditunjukkan oleh larva dan telur ikan, ditemukan cukup dominan pada stasion 1, 6, 7 dan 8 tetapi pada stasion 2 dan 4 menjadi langka bahkan pada stasion 3 tidak ditemukan sama sekali. Selain itu sub kelas Malacostraca ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada stasion 4 tetapi kemudian dominan stasion 7 dan 8 (Gambar 12).

5.3 Hasil Tangkapan Ikan

Hasil tangkapan bagan rambo sangat beranekaragam, terdiri dari berbagai spesies. Secara umum jumlah hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan tangkapan utama seperti teri, kembung, laya ng, cumi, tembang, japuh, peperek dan selar yang mencapai 88,3% dari total hasil tangkapan (Tabel 5), selebihnya adalah ikan lain yang termasuk by-catch dan discard. Jenis ikan tangkapan utama tersebut termasuk ikan demersal dan pelagis yang berukuran kecil yang dimungkinkan karena bagan rambo menggunakan jaring dengan mesh size yang berukuran kecil. Keanekaragaman jenis tangkapan dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari fishing ground di daerah tropis yang memiliki variasi jenis ikan yang lebih banyak dibandingkan daerah lain.

By-cath dapat diartikan sebagai hasil tangkapan samp ingan dan masih bernilai ekonomis. Termasuk kelompok ini dalam hasil tangkapan bagan rambo adalah kwee (Caranx), alu-alu (Sphyraena), baronang (Siganus), bambangan (Lutjanus) dan beberapa jenis ikan lain. Discard adalah hasil tangkapan sampingan yang tidak bernilai ekonomis dan biasanya dibuang kembali ke laut karena tidak dimanfaatkan. Termasuk dalam kelompok ini adalah buntal (Diodon,

Arothron), beseng-beseng (Apogon) dan lain- lain. Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah hasil tangkapan sampingan yang termasuk discard hampir ditemukan setiap waktu hauling tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit atau dapat dikatakan hampir semua tangkapan bagan rambo dimanfaatkan.

Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dapat dijadikan gambaran besarnya

schooling ikan yang masuk pada catchable area bagan rambo. Jenis dominan yang paling banyak ditangkap adalah teri (Stolephorus) yang mencapai 28,8% dari total total hasil tangkapan (Tabel 5). Terdapat variasi hasil tangkapan teri pada setiap stasion penelitian. Tangkapan yang relatif besar ditemukan pada stasion 3, 6 dan 7 (Gambar 15). Pada stasion ini kelimpahan zooplankton juga ditemukan relatif tinggi. Terdapat dugaan bahwa hasil tangkapan teri berhubungan dengan kelimpahan zooplankton pada saat itu, dengan pertimbangan bahwa salah satu tujuan teri memasuki catchable area bagan rambo adalah untuk mencari makan dan makanan teri adalah zooplankton, dimana kondisi perairan yang lebih terang karena cahaya lampu bagan rambo menjadi daya tarik dalam membantu teri untuk

50

menangkap mangsanya. Hal ini juga berkaitan dengan migrasi verikal zooplankton yang berada disekitar permukaan perairan pada saat malam hari. Namun demikian, proses ini tidak sesederhana penjelasan di atas dan masih terdapat faktor-faktor lain yang bersama-sama memberi pengaruh dalam menentukan jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo.

Korelasi positif hasil tangkapan teri dengan kelimpahan zooplankton di perairan menunjukkan bahwa kelimpahan zooplankton di perairan memberikan kontribusi terhadap jumlah hasil tangkapan sebanyak 40,3%; selain itu masih terdapat faktor- faktor lain yang tidak terukur dalam penelitian ini. Faktor lain tersebut diduga adalah kondisi fisik-kimia perairan dan pencahayaan bagan rambo, diduga memberikan kontribusi dalam menentukan variasi jumlah tangkapan. Selain itu faktor teknis penangkapan seperti pelolosan ikan pada saat proses hauling dapat juga memberi pengaruh jumlah hasil tangkapan. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana pengaruh kondisi fisik-kimia perairan dan teknis penangkapan terhadap hasil tangkapan ikan bagan rambo.

Data jumlah hasil tangkapan teri berdasarkan waktu hauling menunjukkan bahwa tangkapan terbesar umumnya terjadi di hauling III (jam 04:30 – 05:00), kemudian pada hauling I (jam 21:00 – 22:00) dan terendah terjadi pada hauling II (jam 01:00 – 02:00) (Gambar 16). Hal ini dapat diartikan bahwa penangkapan efektif teri oleh bagan rambo dapat dilakukan pada hauling III dan I. Jika hal ini dihubungkan dengan kelimpahan plankton sebagai makanan teri, ternyata jumlah tangkapan tidak berkorelasi dengan besarnya kelimpahan plankton yang relatif sama pada setiap waktu hauling (Gambar 14). Selain itu, jika dihubungkan dengan faktor cahaya lampu bagan sebagai daya tarik ikan untuk masuk ke catchable area

ternyata juga tidak berkorelasi karena besarnya intensitas lampu selalu sama tetapi diperoleh hasil tangkapan yang berbeda-beda.

Terdapat beberapa dugaan yang dapat menyebabkan perbedaan hasil tangkapan pada setiap hauling, diantaranya adalah kebiasaan waktu makan ikan (feeding periodicity) dan kondisi lingkungan. Feeding periodicity dapat diartikan sebagai periode (waktu) ikan mengambil makanannya dalam waktu 24 jam (Effendie, 1997). Ikan teri melakukan aktivitas mencari makan pada malam hari yaitu saat menjelang malam hari sampai menjelang pagi hari, namun dari hasil

analisis makanan diketahui bahwa tingkat kepenuhan isi perut teri yang banyak berisi zooplankton ditemukan pada hauling III sehingga dapat diartikan bahwa teri aktif mengambil makanannya menjelang pagi hari. Kondisi perairan juga diduga mempengaruhi hasil tangkapan teri utamanya suhu dan salinitas, dimana terjadi peningkatan suhu dan salinitas menjelang pagi hari yang berkesesuaian dengan peningkatan hasil tangkapan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Hauhamu (1995) bahwa peningkatan suhu sampai batas tertentu akan merangsang hewan air untuk makan dan meningkatkan aktivitas fisiologi seperti metabolisme dan pencernaan makanan.

Perbandingan antara hasil tangkapan teri dengan hasil tangkapan ikan selain teri menunjukkan trend yang hampir sama. Keberadaan teri dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi ikan- ikan lain utamanya untuk jenis ikan yang bukan fototaksis positif unt uk masuk dalam catchable area bagan rambo. Jumlah tangkapan teri menunjukkan korelasi positif dengan beberapa jenis ikan tangkapan utama lain yaitu layang (Decapterus), tembang (Sardinella), peperek (Leiognathus), selar (Selar) dan ikan lain dimana kenaikan jumlah tangkapan teri juga diikuti oleh kenaikan jumlah tangkapan ikan selain teri pada saat itu.

Dokumen terkait