• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 METODOLOGI

6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL, kandungan klorofil-a, angin dan gelombang, serta kedalaman perairan (bathymetry). Wilayah perairan yang menjadi titik berat bahasan adalah Selat Madura dan sekitarnya yang meliputi Laut Bali bagian barat, Selat Bali bagian utara, dan Laut Jawa bagian timur sebelah utara kepulauan Madura. Selat Madura bagian timur berhadapan langsung dengan perairan Laut Bali bagian barat dan Selat Bali bagian utara. Selat Madura bagian timur juga dipengaruhi oleh kondisi perairan Laut Jawa melalui selat-selat sempit di antara Pulau Madura dengan Pulau Sepudi, Pulau Raas dan Pulau Kangean, serta perairan yang terbuka di sebelah timur Pulau Kangean. Sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a yang berubah-ubah menyebabkan perubahan lokasi dan waktu terjadinya thermal front yang merupakan indikator utama dalam penentuan ZPPI. Selat Madura termasuk dalam kategori perairan dangkal dan semi tertutup sehingga perbedaan suhu baik secara horizontal pada kawasan yang agak luas maupun vertikal sampai kedalaman tertentu bahkan dasar perairan tidak terlalu besar. Hal ini dibuktikan dengan pengukuran langsung yang menunjukkan bahwa kisaran suhu di Selat Madura mendatar 26,5 – 30o C (Bintoro, 2005).

Selama ini sudah menjadi istilah umum bahwa musim barat adalah “neraka” bagi kegiatan penangkapan ikan, namun Selat Madura berada dalam kondisi yang sebaliknya. Angin yang datang dari arah barat dan barat laut terhalang oleh dataran kabupaten Surabaya dan Gresik di Pulau Jawa serta kabupaten Bangkalan di Pulau Madura, sehingga Selat Madura berada dalam kondisi tenang dan sangat kondusif bagi kegiatan penangkapan ikan. Karena posisi geografisnya maka perairan Selat Madura tidak banyak dipengaruhi oleh angin yang datang dari arah selatan dan barat daya karena terhalang oleh pegunungan dan dataran tinggi di bagian tengah yang terdapat di Jawa Timur (Pegunungan Semeru, Bromo, Argopuro dan Raung). Angin yang datang dari arah utara terhalang oleh daratan

Pulau Madura, sedangkan yang datang dari arah timur laut pengaruhnya menjadi berkurang karena terhalang oleh dataran kepulauan di sebelah timur Pulau Madura (Sumenep, Raas, Sepudi dan Kangean). Angin yang besar pengaruhnya terhadap Selat Madura datang dari arah timur, berlangsung pada periode mulai dari bulan Juni hingga September. Gelombang di Selat Madura pada musim timur lebih tinggi dari gelombang pada periode waktu lainnya (Santos, 2005). Tinggi gelombang di selat ini sangat tergantung pada perbedaan tekanan udara dan jarak tempuh angin (Nontji, 2002). Kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura bagian timur terutama antara timur laut sampai tenggara Pondok Mimbo selama musim angin dari timur mengalami hambatan paling tinggi. Sedangkan angin dari arah tenggara yang kecepatannya dapat mencapai di atas 17 knot, terhalang oleh pegunungan antara Situbondo dan Banyuwangi serta daratan dan pegunungan di Pulau Bali sehingga pengaruhnya bagi Selat Madura menjadi sangat berkurang.

6.1.1 SPL, klorofil-a, angin, gelombang, dan arus

Kondisi oseanografi pada bulan Desember yang merupakan awal musim barat tergolong sangat baik untuk kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura. Pada bulan tersebut thermal front terjadi pada pertemuan antara massa air dalam kisaran SPL 26o - 30o C. Kandungan klorofil dalam kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3, angin dominan dari arah barat dengan kecepatan maksimum 7 – 10 knot dan tinggi gelombang rata-rata kurang dari 0,5 m. Kondisi umum tersebut sesuai dengan hasil pengamatan lapangan pada bulan Desember 2003 pada beberapa stasiun di Oyong (sebelah tenggara Sampang), bahwa suhu permukaan dalam kisaran 27,0o – 27,5o C. Arus laut mayoritas dari arah barat dan kadang-kadang dari utara dengan kecepatan maksimum 0,18 m/detik dan rata-rata 0,08 m/detik (Santos, 2005). Kisaran SPL tersebut juga masih sesuai dengan hasil pengukuran suhu permukaan laut pada kawasan yang dangkal di bagian barat menunjukkan kisaran 28,0o – 28,82o C (Bintoro, 2002). Kondisi lingkungan Selat Madura bagian timur dengan SPL yang memungkinkan adanya thermal front dan kandungan klorofil-a dalam kisaran tersebut sesuai untuk habitat ikan pelagis kecil, seperti layang dan kembung (Widodo, 2003). Kondisi oseanografi Selat Madura selama bulan Desember tersebut sangat menguntungkan bagi kegiatan

penangkapan ikan, sebaliknya Laut Jawa sangat diperngaruhi oleh angin dari arah barat sehingga menghambat kegiatan penangkapan ikan.

Sebaran SPL pada bulan Januari mengalami peningkatan dari sebelumnya sehingga thermal front terjadi dalam kisaran 28o - 30o C. Kenaikan suhu dalam periode tersebut yang dihitung berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR ini sejalan dengan hasil pengamatan lapangan yang menunjukkan nilai kisaran suhu 28,5o – 29,0o C. Sebagaimana bulan sebelumnya, arus air laut mayoritas dari arah barat dan kadang-kadang dari utara dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil perolehan SPL dan pengukuran suhu tersebut juga sesuai dengan hasil pengukuran oleh Bintoro (2002) bahwa suhu di permukaan berada pada kisaran 28,5o – 28,88o C. Kandungan khlorofil-a secara umum berada dalam kisaran 0,1 – 0,8 mg/m3. Angin yang dominan datang dari arah barat dan barat laut tidak banyak mempengaruhi Selat Madura sehingga sangat memungkinkan bagi nelayan Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan dengan penuh selama bulan Januari. Sebaliknya, kondisi angin dan gelombang di Laut Jawa dan Laut Flores masih seperti bulan sebelumnya sehingga menimbulkan kesulitan bagi kegiatan penangkapan ikan.

Sebaran SPL Selat Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR pada bulan Februari yang merupakan akhir musim barat mengalami perubahan dibandingkan bulan Januari. Suhu terendah mengalami penurunan dari 28o C menjadi 27o C, sedangkan suhu tertinggi mengalami peningkatan dari 30o C menjadi 31o C, sehingga Thermal front terjadi dalam kisaran SPL 27o – 31o C. Nilai kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini sesuai dengan hasil pengukuran lapangan di stasiun Oyong Sampang yang menunjukkan suhu dalam kisaran 28,5o – 29,0o C, dengan arus air laut mayoritas dari arah timur dan kadang-kadang dari utara dan selatan dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik dan rata-rata dengan kecepatan 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil pengukuran di beberapa stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu permukaan berada pada kisaran 28,0o – 29,0o C (Bintoro, 2002). Konsentrasi klorofil-a yang berada pada kisaran 0,3 – 0,5 mg/m3 menunjukkan kesuburan perairan Selat Madura lebih tinggi dibandingkan di perairan Laut Jawa dan Laut Bali dengan kandungan

klorofil-a yang lebih rendah yaitu 0,2 – 0,4 mg/m3. Kecepatan angin dan ketinggian gelombang yang dominan datang dari arah barat dan barat laut, memberikan kemungkinan bagi nelayan Situbondo untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura selama bulan Februari.

Kondisi oseanografi di perairan Selat Madura pada bulan Maret yang merupakan bulan pertama musim peralihan pertama, mengalami perubahan dibandingkan bulan terahir musim barat. Thermal front terjadi pada pertemuan antara massa air dalam kisaran SPL 28 o - 32o C. Konsentrasi klorofil-a di Selat Madura mengalami peningkatan terutama mulai dari bagian tengah hingga bagian timur dengan kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3. Kisaran SPL berdasarkan data NOAA- AVHRR berkorelasi dengan hasil pengukuran suhu lapangan pada bulan Maret 2003 di beberapa stasiun Oyong yang berada dalam kisaran 28,0o – 28,5o C (Santos, 2005), sementara hasil pengukuran oleh Bintoro (2002) diketahui bahwa suhu permukaan dalam kisaran 28,0o – 29,0o C. Di sisi lain, hasil pengukuran klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang sama tahun 1975, menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,13 – 0,40 mg/m3 (Ilahude, 1978). Thermal front di Laut Jawa terjadi pada pertemuan massa air yang berada dalam kisaran suhu lebih tinggi, demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali mengalami sedikit peningkatan dibandingkan pada akhir musim barat yaitu pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Jawa bagian timur khususnya antara Pulau Raas dan Pulau Kangean didominasi oleh kisaran 0,4 – 1,0 mg/m3. Kecepatan dan ketinggian angin dominan di Selat Madura yang datang dari barat dan barat laut memberi peluang bagi nelayan Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan, sebaliknya angin di Laut Jawa yang datang dari arah utara dan barat sangat menghambat kegiatan penangkapan ikan di Laut Jawa bagian timur sebelah utara Kepulauan Madura.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan April yang merupakan bulan kedua musim peralihan pertama, menunjukkan keadaan yang bervariasi. SPL beberapa lokasi di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 27o – 29o C, lokasi-lokasi lainnya mempunyai kisaran lebih tinggi yaitu 30o – 32o C. Nilai kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data NOAA-AVHRR ini sesuai dengan hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun di selatan Sampang

yaitu dalam kisaran 29,5o – 30,0o C (Santos, 2005), sedang di beberapa lokasi lainnya berada dalam kisaran 28,0o – 29,0o C (Bintoro, 2002). Hasil pengamatan SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR yang menunjukkan suhu tinggi sejalan dengan penelitian Sulistya (2007), yang menyatakan bahwa suhu tertinggi Laut Jawa (termasuk Selat Madura) diantaranya terjadi pada bulan April. SPL Selat Madura umumnya berada pada kisaran lebih rendah dibandingkan di Laut Jawa, sehingga thermal front di Selat Madura juga terjadi pada suhu lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Hasil pengamatan SPL di Selat Madura menggunakan data NOAA-AVHRR sebanding dengan hasil pengukuran suhu di Selat Makassar dengan kisaran 28,2 – 30,0 o C (Soegiharto, 1976). Konsentrasi klorofil-a di Selat Madura sedikit mengalami penurunan walaupun beberapa lokasi mengalami peningkatan, sebaliknya di Pulau Jawa dan Laut Bali sedikit mengalami peningkatan terutama di perairan timur Pulau Raas dan sekitar Pulau Kangean. Selat Madura sudah mulai dipengaruhi oleh angin dan gelombang yang berubah- ubah yaitu dari arah timur, barat dan utara, sedangkan Laut Jawa sudah dipengaruhi oleh angin dari arah timur, tenggara, dan barat laut. Nelayan Situbondo dapat melakukan penangkapan ikan selama bulan April karena kondisi angin dan gelombang mayoritas cukup baik untuk kegiatan penangkapan ikan, namun nelayan tradisionil atau nelayan dengan perahu/kapal motor ukuran kecil yang berpangkalan di Pondok Mimbo harus mulai memperhatikan perubahan angin dan gelombang yang datang dari timur dan tenggara.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Mei yang merupakan akhir musim peralihan pertama, menunjukkan mulai adanya pengaruh musim timur yang semakin kuat. Berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR bahwa sebaran SPL di perairan Selat Madura pada bulan Mei pada kisaran 29o – 31o C, sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran 29,0o – 29,5o C (Santos, 2005), juga dengan hasil pengukuran suhu rata-rata yaitu 28,36 o C (Bintoro, 2002). Hasil pengamatan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR juga relatif sama dengan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan Soegiharto (1976) bahwa SPL di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 29,2 – 30,2 oC, dengan suhu terendah berada di sisi antara timur laut Pondok Mimbo membentang ke utara sampai perairan selatan Raas dan suhu tertinggi terdapat di sebelah utara

Tanjung Pecinan membentang ke utara sampai perairan antara Sumenep dan Pamekasan (Soegiharto, 1976). Thermal front di perairan Selat Madura berada dalam kondisi yang sangat subur, ditandai dengan tingginya konsentrasi klorofil-a yang berada pada kisaran 0,4 – 1,5 mg/m3, lebih tinggi dari perairan Laut Jawa bagian timur yang berada pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Tingginya konsentrasi klorofil-a di Selat Madura diduga disebabkan oleh gerakan massa air yang memiliki kesuburan tinggi dari Selat Bali dan Laut Bali yang didorong oleh angin dari arah timur dan tenggara. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa angin dominan di Selat Madura datang dari arah timur dan selatan, sedangkan angin di Laut Jawa datang dari arah timur dan tenggara. Karena kecepatan angin sewaktu-waktu dapat mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan gelombang diatas 1,5 m, nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok Mimbo sudah harus mulai berhati-hati dalam melakukan penangkapan ikan. Hal ini juga dapat dibuktikan pada saat uji coba penerapan ZPPI di Situbondo pada bulan Mei, banyak nelayan Pondok Mimbo yang tidak bersedia melakukan penangkapan, namun nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor 20 GT ke atas masih bersedia melakukan kegiatan penangkapan ikan antara utara Besuki dan Tanjung Pecinan. Kondisi ini juga didukung oleh hasil pengamatan gelombang pada stasiun pengamatan Oyong bahwa ketinggian gelombang rata- rata mulai mengalami peningkatan berada di atas 0,5 meter dibandingkan sebelumnya berada di bawah 0,5 meter (Santos, 2005).

Kondisi oseanografi perairan Selat Madura pada bulan Juni yang merupakan awal musim timur, dipengaruhi oleh angin dari arah timur dan tenggara. Thermal front terjadi pada SPL yang lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 29o – 31o C. Di sisi lain konsentrasi klorofil-a cukup tinggi yaitu pada kisaran 0,5 – 1,5 mg/m3, lebih tinggi dibandingkan konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali yang berada pada kisaran 0,2 – 0,5 mg/m3. Nilai kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini masih sesuai dengan hasil pengukuran lapangan di perairan selatan Sampang yang menunjukkan suhu dalam kisaran 28,5o – 29,0o C. Arus laut mempunyai kecepatan maksimum 0,20 m/detik dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik, dengan arah yang berubah-ubah dari timur, utara dan barat (Santos, 2005). Klorofil-a yang tinggi (0,6 – 3,0 mg/m3)

sebagai indikator perairan yang subur juga terdapat di sekitar Kepulauan Kangean dan sebelah timur pulau Raas. Sejalan dengan datangnya angin dari arah timur dan selatan yang kadang–kadang mengganggu kegiatan penangkapan ikan karena kecepatannya dapat mencapai lebih dari 17 knot dengan gelombang mencapai ketinggian lebih dari 1,5 meter, sehingga cukup menyulitkan penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo terutama dari PPI Pondok Mimbo.

Kondisi oseanogafi di Selat Madura pada bulan Juli khususnya SPL hampir sama dengan bulan sebelumnya yaitu dalam kisaran 29o – 31o C. Thermal front di perairan Selat Madura bagian timur terjadi pada pertemuan massa air dengan SPL dalam selang 29o - 30o C. Suhu hasil pengukuran lapangan menunjukkan terjadinya penurunan yaitu dalam kisaran 28,0o – 28,5o C. Hasil pengukuran menujukkan menunjukkan bahwa kecepatan arus laut tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan sebelumnya yaitu maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata 0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Madura lebih tinggi dibandingkan Laut Jawa (0,4 – 1,5 mg/m3) dan perairan bagian utara Selat Bali dan Laut Bali (0,2 – 0,4 mg/m3). Hasil pengukuran klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang sama tahun 1973, menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,31 – 2,85 mg/m3 (Ilahude, 1978). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi di perairan sebelah timur Pulau Raas mengalami pergeseran lebih ke arah timur dari bulan sebelumnya. Angin dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan lebih dari 17 knot semakin mendominasi perairan Selat Madura, dan menimbulkan gelombang dengan ketinggian lebih dari 1,5 meter. Kecepatan angin dan ketinggian gelombang selama bulan Juli sangat berpengaruh bagi kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura, sehingga nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok Mimbo mayoritas tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Agustus yang merupakan bulan terakhir musim timur, thermal front terjadi dalam kisaran SPL 28o - 31o C, sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran 27,5o – 28,0o C (Santos, 2005). Pengukuran di stasiun pengamatan Oyong menunjukkan bahwa arus air mempunyai kecepatan dan arah dominan sama dengan bulan sebelumnya yaitu kecepatan maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata

0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur. Kisaran SPL di Selat Madura berdasarkan satelit NOAA juga masih sesuai dengan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan pada bulan Agustus tahun 1975 bahwa sebaran mendatar berada dalam kisaran 28,0 – 28,8o C dengan suhu terendah terdapat di perairan antara Pondok Mimbo hingga Pulau Raas, sedangkan suhu tertinggi terdapat di perairan sebelah utara Besuki (Soegiharto A, 1976). Sebaran SPL ini juga masih sesuai dengan hasil pengamatan oleh Tangdom (2005), yang menyatakan bahwa SPL di bagian selatan dari Selat Makassar adalah 29o C. Thermal front banyak terjadi di perairan sebelah timur hingga timur laut Pondok Mimbo dengan konsentrasi klorofil-a 0,4 – 1,0 mg/m3. Pergerakan massa air dari arah Laut Flores menyebabkan pengayaan klorofil-a di Laut Jawa (0,4 – 1,5 mg/m3) dan di Laut Bali (0,3 – 0,5 mg/m3) serta di perairan antara Pulau Raas dan Pulau Kangean (2,0 – 3,0 mg/m3) sehingga menjadi perairan yang potensial untuk penangkapan ikan. Namun demikian, angin timur yang mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan gelombang lebih dari 1,5 meter semakin dominan dan menghambat kegiatan penangkapan ikan terutama di perairan Selat Madura bagian timur. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa ketinggian gelombang rata- rata pada bulan Agustus berada dalam kisaran 1,0 - 1,5 meter, sedangkan gelombang maksimum berada dalam kisaran 2,5 – 3,0 meter (Santos, 2005). Bulan Agustus merupakan masa yang sulit bagi nelayan Situbondo terutama dari Pondok Mimbo karena angin yang dominan dari arah timur mempunyai kecepatan lebih dari 17 knot dan ketinggian gelombang rata-rata lebih dari 1,5 meter. Kondisi kecepatan angin dan ketinggian seperti ini menyebabkan terjadinya musim paceklik ikan bagi nelayan dari PPI Pondok Mimbo.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada awal musim peralihan kedua yaitu bulan September masih dipengaruhi oleh angin dan gelombang dari timur. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR bahwa nilai SPL Selat Madura dalam kisaran 28o – 32o C, sehingga thermal front terjadi pada pertemuan massa air dengan suhu dalam kisaran tersebut. Hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun pengamatan di selatan Sampang menunjukkan terjadinya peningkatan SPL, namun masih dalam kisaran 27,5o – 28,0o C (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi terjadi pada perairan sebelah

timur Pulau Raas dan sebelah utara Kepulauan Kangean (2,0 – 3,0 mg/m3), diduga disebabkan oleh pergerakan massa air dari Laut Flores. Angin dari timur, selatan dan tenggara mencapai kecepatan lebih tinggi dari 17 knot dan gelombang dengan ketinggian mencapai di atas 1,5 meter sangat menghambat kegiatan penangkapan ikan, sehingga nelayan Situbondo khususnya nelayan Pondok Mimbo masih menghadapi kesulitan dan masa paceklik yang lebih berat.

Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Oktober, memunjukan SPL berada dalam kisaran 27o - 31o C. Sebaran suhu ini sesuai dengan hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun yang menunjukkan suhu rata-rata adalah 28,5o C (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi (1,5 – 3,0 mg/m3) terdapat pada perairan yang lebih luas di sebelah timur Pulau Raas dan sekitar Kepulauan Kangean. Angin dan gelombang di Selat Madura yang dominan datang dari timur dan tenggara, frekuensi dan kecepatannya sudah mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya, menunjukkan mulai terdapat situasi yang menguntungkan bagi kegiatan penagkapan ikan. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa ketinggian gelombang rata-rata pada bulan Oktober berada dalam kisaran 0,5 – 1 meter (Santos, 2005). Kondisi angin dan gelombang bulan Oktober menunjukkan bahwa nelayan Situbondo khususnya dari Pondok Mimbo sudah dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan, terutama yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 10 GT, sedangkan nelayan tradisionil terutama yang menggunakan perahu layar atau perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT harus berhati-hati karena angin kadang-kadang mencapai 17 knot dan gelombang yang mencapai 1,5 meter. Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Nopember yang merupakan bulan terakhir musim peralihan kedua, kembali mengalami perubahan dan perbaikan dibandingkan sebelumnya. SPL di perairan Selat Madura, Laut Jawa dan Laut Bali secara umum lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 28 o – 30o C. SPL ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan pada beberapa stasiun pengamatan yang menunjukkan bahwa sebaran suhu di permukaan laut adalah 29,0o C, lebih tingi 1o C dari bulan sebelumnya (Santos, 2005). Sebaran klorofil-a yang agak tinggi (0,2 – 0,8 mg/m3) bergeser ke arah timur sebagai akibat

pergerakan massa air dari arah barat yang disebabkan oleh pergantian musim peralihan kedua menuju musim Barat. Konsentrasi klorofil-a pada perairan bagian timur Selat Madura mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya, demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa, Laut Bali dan Laut Flores bagian barat mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Sebagai indikator pergeseran dari musim peralihan kedua ke musim barat maka angin dengan frekuensi dan kecepatan yang dominan datang dari arah selatan dan barat dengan kecepatan mencapai lebih dari 17 knot. Gelombang dominan dengan ketinggian dalam kisaran 0,1 – 0,5 meter, memberi peluang bagi nelayan Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya.

Uraian tentang kondisi oseanografi di atas menunjukkan bahwa perairan Selat Madura mengalami perubahan sangat dinamis dan berdampak pada pola penangkapan ikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa penentuan zona yang berpotensi untuk penangkapan ikan harus selalu memperhatikan kondisi oseanografi Selat Madura dan sekitarnya. Secara umum, kondisi oseanografi yang diidentifikasi berdasarkan citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini berkorelasi dengan hasil beberapa pengamatan lapangan (Bintoro, 2002; Santos, 2005; Illahude, 1978; dan Soegiharto, 1976). Perolehan data SPL dari satelit NOAA-AVHRR dan hasil pengukuran lapangan menunjukkan bahwa suhu di Selat Madura pada kawasan tertentu dalam kisaran cukup sempit (0,5o – 1,5o C ), meskipun kisaran antara suhu yang terendah dengan yang tertinggi dapat mencapai 3o sampai 4o C. Semakin kecil perbedaan suhu antara massa air yang berbeda maka semakin sulit menemukan thermal front, menandakan air laut semakin homogen sehingga thermal front sulit dideteksi, berarti ikan menyebar di seluruh kawasan perairan. Penyebab terjadinya konsentrasi ikan pada lokasi tertentu berarti bukan karena suhu tapi parameter lainnya, misalnya klorofil-a atau salinitas. Selat Madura yang seperti jebakan sangat menguntungkan karena ikan masuk dari sisi timur yang terbuka sehingga menjadi pintu masuk ikan dari laut