• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tenaga kerja, manfaat bagi masyarakat. Kajian kondisi ekologis

meningkat laju infiltrasi, menurunnya erosi dan aliran permukaan dan Perbaikan biofisik dan

kimia tanah Biodiversitas meningkat Sekuestrasi karbon meningkat Keterlibatan masyarakat manfaat reklamasi pendapatan ≥ standar KHL TAMBANG BATUBARA

Kerusakan Lingkungan akibat aktivitas Pertambangan (pit dan outpit)

Reklamasi

Kegiatan pertambangan terbuka menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang sangat besar. Degradasi lahan merupakan hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan, kehilangan atau perubahan kenampakan lahan tidak dapat diganti. Degradasi lahan dapat diperbaiki melalui rehabilitasi baik berupa reklamasi maupun restorasi. Reklamasi didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu untuk beberapa penggunaan sedangkan restorasi adalah perlakukan perbaikan kembali ke penggunaan awal (Sitorus, 2004). Menurut Balkau (1998) setelah penutupan tambang seluruh areal termasuk penimbunan tailing harus ditinggalkan dalam kondisi stabil baik secara fisik maupun secara kimiawi. Kestabilan tersebut sebaiknya menjadi karakter intrinsik dari rancangan akhir area yang akan ditutup dan disana sebaiknya tetap memerlukan pengawasan/ penjagaan dan intervensi.

ICMM (2006) menjelaskan bahwa beberapa terminologi tentang rehabilitasi di daerah bekas tambang yakni a) reklamasi : proses secara umum dimana permukaan lahan dikembalikan ke berbagai bentuk yang dapat dimanfaatkan kembali. b) pemulihan (restorasi) yaitu reklamasi yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ekologi dan mempromosikan penutupan dan pemulihan sesuai keterpaduan ekologis, pengembalian kembali dari ekosistem asli (sebelum penambangan) kepada semua aspek dari fungsi-fungsi dan struktur-strukturnya, c) rehabilitasi yaitu proses kemajuan menuju pengembalian kembali kepada ekosistem aslinya dan d) penggantian (replacement) yaitu penciptaan ekosistem alternatif kepada ekosistem yang asli. Definisi pemulihan secara ekologi (ecological restoration) adalah serangkaian aktivitas-aktivitas seperti peningkatan, perbaikan, rekonstruksi dari ekosistem yang terdegradasi dan mengenai pengoptimalan pengembalian keragaman hayati yang tercermin dari pemantapan kembali kemampuan dari suatu lahan untuk menangkap dan memelihara serta menahan sumberdaya-sumberdaya yang fundamental seperti energi, air, nutrisi dan species-species. Tibbet (2005) mengemukakan bahwa keberhasilan

rehabilitasi sangat ditentukan oleh kualitas dari tanah atau lahan yang telah direkonstruksi serta penutupan tanaman yang memerlukan keterlibatan dari ahli bidang geoteknik, hidrologi, botani dan stakeholder setempat untuk menentukan tipe-tipe yang cocok dalam penggunaan lahan dan perencanaan species yang akan ditanam. Rekonstruksi ekosistem yang berkelanjutan memerlukan proses yang cocok baik dari bawah permukaan tanah dan diatas tanah sehingga diperlukan manipulasi yang cermat dari komponen biotik dan abiotik. Hutan yang terjaga unsur-unsur ekosistemnya pada saat yang sama memberikan manfaat-manfaat lain bagi manusia seperti rekreasi, hidrologi (jumlah dan kualitas air), pengurangan CO2, dan sebagainya, bahkan memberikan manfaat tangible lainnya seperti hasil

hutan non kayu yang mudah dipasarkan (Darusman, 2002).

Mullingan (2003) memformulasikan strategi rehabilitasi dari hasil studinya mengenai industri batubara di Australias meliputi kestabilan bentuk lahan (landform stability), kestabilan ekosistem, kondisi-kondisi yang toleran untuk pertumbuhan (tolerable condition for growth), komposisi species, siklus nutrisi, kemampuan reproduktif, penerimaan dan ketahanan dari gangguan-gangguan (resillence to disturbance) dan kriteria yang lengkap. Tongway dan Hindley (2003) merumuskan indikator untuk keberhasilan rehabilitasi ekosistem melalui verifikasi dari indikator Environmental Function Analysis (EFA) yang terdiri dari kriteria kestabilan, infiltrasi, pernafasan tanah dan ukuran kelompok makanan.

Siklus Hidrologi

Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan reaksinya dengan lingkungannya termasuk hubungannya dengan makhluk hidup (International Glossary of Hydrology dalam Seyhan, 1990). Secara ringkas, Lee (1990) menyatakan bahwa hidrologi adalah ilmu mengenai air dan fenomena yang berkaitan dengan air. Konsep dasar mengenai ilmu hidrologi sangat berkaitan dengan siklus hidrologi. Daur atau siklus hidrologi diberikan batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Pada saat hujan, bagian yang dianggap sebagai kehilangan presipitasi terdiri dari intersepsi oleh penutup tajuk, simpanan depresi permukaan seperti air

yang terakumulasi dalam cekungan dan infiltrasi ke dalam tanah. Intersepsi dan simpanan depresi permukaan ditentukan oleh karakteristik vegetasi serta karakteristik permukaan tanah atau dianggap dapat diabaikan untuk kejadian hujan dengan intensitas tinggi (Chow et al., 1988).

Presipitasi dalam segala bentuk (salju, hujan batu es, hujan dan lain-lain) jatuh ke atas vegetasi, batuan gundul, permukaan tanah, permukaan air dan saluran-saluran sungai (presipitasi saluran). Air yang jatuh pada vegetasi mungkin diintersepsi (yang kemudian berevaporasi dan/atau mencapai permukaan tanah dengan menetes saja maupun sebagai aliran batang) selama suatu waktu atau secara langsung jatuh pada tanah (through fall) khususnya pada kasus hujan dengan intensitas tinggi dan lama. Sebagian besar presipitasi berevaporasi selama perjalanannya dari atmosfer dan sebagian pada permukaan tanah. sebagian dari prsipitasi yang membasahi permukaan tanah akan berinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak menurun sebagai perkolasi di bawah muka air tanah. air ini secara perlahan berpindah melalui akifer ke saluran-saluran sungai. Beberapa air yang berinfiltrasi bergerak menuju dasar sungai tanpa mencapai muka air tanah sebagai aliran bawah permukaan. Air yang berinfiltrasi juga memberikan kehidupan pada vegetasi sebagai lengas tanah. Beberapa dari lengas ini diambil oleh vegetasi dan transpirasi berlangsung dari stomata daun.

Setelah bagian presipitasi yang pertama yang membasahi permukaan tanah dan berinfiltrasi, suatu selaput air yang tipis dibentuk permukaan tanah yang disebut detensi permukaan/lapis air. Selanjutnya detensi permukaan menjadi lebih tebal (lebih dalam) dan aliran air mulai dalam bentuk laminer. Dengan bertambahnya kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen (deras). Air yang mengalir disebut sebagai limpasan permukaan. Selama perjalanannya menuju dasar sungai, bagian dari limpasan permukaan akan disimpan pada depresi permukaan yang disebut sebagai cadangan depresi. Akhirnya limpasan permukaan mencapai saluran sungai dan menambah debit sungai. Air pada sungai mungkin berevaporasi secara langsung ke atmosfer atau mengalir kembali ke dalam laut dan selanjutnya berevaporasi. Kemudian, air ini nampak kembali pada permukaan bumi sebagai presipitasi (Seyhan, 1990).

Pada siklus hidrologi terdapat beberapa proses yang saling terkait mencerminkan pergerakan air, meliputi proses presipitasi, evaporasi, transpirasi, intersepsi, infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan, aliran air bawah tanah. Selanjutnya proses Evapotranspirasi, intersepsi, infiltrasi, perkolasi, aliran disebut sebagai komponen ketersediaan air. Pergerakan air pada suatu DAS merupakan manifestasi dari siklus hidrologi untuk mencapai keseimbangan ketersediaan air di bumi. Konsep keseimbangan air adalah water balance atau persamaan air (viessman et.al, 1977, Arsyad, 2006), yaitu:

AP = P - IN - ET – PE –∆SA

Keterangan : AP = Aliran permukaan; P = curah hujan; IN = intersepsi; ET = evapotranspirasi;

PE = Perkolasi; dan ∆SA = perubahan simpanan air.

Gambar 2. Siklus hidrologi (disadur dari Chow, 1964)

Hujan

Intersepsi

Infiltrasi Hujan Lebih

Direct runoff Aliran Bawah

Permukaan Perkolasi Ground Baseflow Produksi Air Badan Sungai/Laut Evaporasi/ Evapotranspirasi Evaporasi/ Evapotranspirasi Atmosfer

Menurut Chow (1964), secara umum siklus air merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi pada air dari saat air hujan jatuh ke permukaan bumi, dialirkan menjadi aliran permukaan ke badan-badan sungai hingga menguap ke udara, dan kemudian jatuh kembali ke permukaan bumi (Gambar 2). Berdasarkan Gambar 2, sebagian air hujan yang jatuh akan menguap (evaporasi) sebelum tiba di permukaan bumi, dan sebagian lainnya akan menjadi aliran permukaan (direct runoff) setelah diintersepsi oleh tanaman dan terinfiltrasi ke dalam tanah, serta mengalami perkolasi dan mengalir ke badan sungai/laut sebagai base flow.

Aliran Permukaan

Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di permukaan tanah atau bawah permukaan tanah, yang mengalir ke tempat yang lebih rendah seperti sungai, danau atau laut (Schwab et al., 1981). Sedangkan menurut UU No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dikatakan bahwa air permukan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.

Sedangkan menurut Arsyad (2006), aliran permukaaan (run off) adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah. Aliran permukaan inilah yang dapat menyebabkan erosi tanah, karena mampu mengangkut bagian-bagian tanah yang terdispersi oleh butir hujan. Dalam pengertian ini run-off adalah aliran di atas permukaan tanah sebelum air itu sampai ke dalam saluran atau sungai. Faktor- faktor yang mempengaruhi sifat-sifat aliran permukaan (Arsyad, 2006) sebagai berikut:

1) Curah hujan – jumlah, laju dan distribusi 2) Temperatur

3) Tanah – tipe, substratum, dan topografi 4) Luas daerah aliran

5) Vegetasi penutup tanah - tipe, jumlah dan kerapatan 6) Sistem pengelolaan tanah

Pengendalian aliran permukaan akan berdampak secara langsung terhadap terjadinya erosi lahan, dimana pada gilirannya akan dapat mempengaruhi ketersediaan air pada musim kemarau dan pencegahan banjir pada musim hujan.

Volume aliran permukaan yang berlebihan dapat berpotensi menimbulkan banjir di bagian hilir. Hal ini sesuai dengan pendapat Irianto (2003), bahwa curah hujan tahunan yang terakumulasi pada waktu yang pendek (Desember-Februari) menyebabkan tanah tidak mampu menampung semua volume air hujan. Akibatnya sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan, hal ini diperburuk dengan meningkatnya alih fungsi hutan menjadi pengunaan lain seperti pertanian, permukiman, industri dan sawah. Sehingga akan menimbulkan potensi banjir yang cukup besar di wilayah hilir. Selanjutnya dikatakan bahwa besarnya aliran permukaan juga akan menimbulkan erosi yang berlebihan, sehingga secara langsung akan menurunkan kesuburan tanah. Penurunan kesuburan tanah akan menyebabkan makin berkurangnya vegetasi yang mampu tumbuh dengan baik, sehingga tutupan lahan semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya pengisian (recharging) cadangan air di bagian hulu yang berakibat timbulnya kekeringan pada saat musim kemarau. Horton (1933) mengemukanan bahwa aliran permukaan terjadi saat intensitas hujan melampaui kapasitas infiltrasi tanah. Aliran permukaan dianggap sebagai lapisan air tipis yang menutupi secara merata seluruh permukaan DAS.

Infiltrasi

Infiltrasi berasal dari kata filt yang berasal dari kata filter yang artinya penyaring. Awalan in menunjukkan suatu proses masuk ke dalam. Secara harfifah infiltrasi diartikan sebagai proses masuknya sesuatu ke dalam suatu benda lain melalui suatu penyaring, dan bila dihubungkan antara tanah dan air maka infiltrasi adalah suatu proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah (Leopold, 1974). Definisi umum mengenai infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah secara vertikal. Ada dua istilah utama yang terkait dengan infiltrasi yaitu laju infiltrasi dan kapasitas infiltrasi.

Laju infiltrasi adalah banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah (Arsyad, 2006). Laju infiltrasi akan menurun dengan lamanya waktu, akan tetapi pada saat tertentu akan mencapai konstan. Sedangkan jumlah air yang dapat terinfiltrasi dalam suatu selang waktu tertentu disebut infiltrasi kumulatif, yaitu merupakan integral dari laju infiltrasi pada suatu selang waktu

tertentu (Skaggs dan Khaleel, 1982). Menurut Horton (1940) pada saat demikian dapat diketahui kapasitas infiltrasi suatu tanah yaitu laju maksimum infiltrasi pada saat tanah menjadi jenuh air.

Menurut Hillel (1980) proses infiltrasi dipengaruhi oleh dua gaya, yaitu (1) gaya sedotan matrik, yang merupakan gaya pertama bekerja pada tanah-tanah kering yang digenangi. Gaya ini mengakibatkan laju aliran air ke arah lateral dan vertikal cenderung sama besarnya. Akan tetapi dengan bertambahnya kedalaman pembahasan profil tanah, peranan gaya sedotan matrik semakin berkurang, (2) gaya gravitasi yang merupakan gaya yang bekerja pada tanah-tanah yang mendekati jenuh. Dalam keadaan ini laju aliran air (infiltrasi) makin berkurang. Hal ini disebabkan oleh karena gerakan air ke arah vertikal hanya disebabkan oleh gaya gravitasi.

Menurut Horton (1940) variasi penurunan laju infiltrasi dan kapasitasnya tergantung pada beberapa faktor berikut :

Kandungan air tanah. Kandungan air tanah awal (antecedent moisture conditions) akan mempengaruhi serapan air oleh tanah, laju infiltrasi dan nilai kumulatifnya. Menurut Phillips (1956), serapan tanah bernilai nol pada saat kandungan air tanah awal tinggi, dan secara kontinyu akan meningkat dengan menurunnya kandungan air tanah. Diantara sifat-sifat fisik tanah yang erat hubungannya dengan infiltrasi adalah tekstur dan struktur tanah. Kedua sifat tanah ini sangat menentukan proporsi pori makro dan pori mikro dalam tanah. Sifat fisik tanah. Tanah yang bertekstur pasir mempunyai proporsi pori makro yang lebih besar, yang berperan untuk mengalirkan air dan udara dalam tanah. Sedangkan tanah yang bertekstur liat didominasi oleh pori-pori mikro (pori kapiler). Laju aliran air dalam pori-pori kapiler dibatasi oleh gaya kapiler, dimana lajunya berbanding terbalik dengan diameter pori. Dengan demikian dapat diartikan bahwa air yang bergerak persatuan waktu menurun cepat dengan mengecilnya diameter pori. Hal inilah yang menyebabkan kapasitas infiltrasi tanah bertekstur liat lebih rendah dibandingkan tanah yang bertekstur pasir. Tanah yang didominasi oleh liat umumnya juga banyak mengandung bahan koloid, dimana bila mengalami pembasahan maka ikatan antar butir tanah menjadi lemah (Musgrave dan Holtan, 1964).

Penutupan tanah. Penutupan tanah dengan serasah berupa mulsa akan meningkatkan kapasitas infiltrasi dan melindungi tanah dari pemadatan karena air hujan. Menurut Arsyad (2006), usaha konservasi tanah dengan menggunakan mulsa sebagai penutup tanah akan dapat meningkatkan besarnya infiltrasi. Mulsa atau penutup tanah mekanis yang permeabel dapat mengurangi pembentukan

surface-sealing (penutupan permukaan tanah) sebagaimana dijelaskan oleh Hillel (1982) bahwa mulsa tanah dapat menahan dan mengurangi energi pukulan hujan sehingga mencegah timbulnya surface sealing. Selain itu juga dapat mencegah pembentukan lapisan kedap air akibat energi pukulan butiran air hujan. (Schwab

et al, 1981) sehingga kemampuan tanah melalukan air bertambah dan laju infiltrasi menjadi lebih tinggi.

Lapisan Tanah. Menurut Arsyad (2006), sifat berbagai lapisan suatu profil menentukan kecepatan masuknya air. Hasil penelitian Bodman dan Coleman (1943) menunjukkan bahwa lapisan tanah yang kurang permeabel dapat menghambat masuknya air ke dalam tanah, baik lapisan tersebut terletak di atas ataupun di bawah permukaan tanah. Jika lapisan impermeabel terletak pada lapisan bawah, laju infiltrasi akan berkurang pada saat ujung pembasahan (wetting front) mencapai lapisan impermeabel tersebut. Jika lapisan impermeabel terdapat pada daerah lereng maka sebagian air yang diinfiltrasikan akan keluar kembali menjadi aliran permukaan. Bila lapisan atas kurang porous dibandingkan lapisan bawah, maka sebagian besar air akan mengalir diatas permukaan dan air yang masuk kedalam tanah akan terikat pada lapisan permukaan. Dengan demikian maka laju infiltrasi akan sangat lambat pada tanah yang dengan permukaan impermeabel.

Lapisan impermeabel pada permukaan tanah dapat terjadi antara lain oleh karena proses crusting (pengkerakan) dan penutupan pori tanah sebagai akibat dari pemecahan butiran tanah pada pengolahan tanah yang berlebihan, dimana akibat dilakukan pengolahan tanah yang berlebihan mengakibatkan terjadinya pemecahan agregat tanah, sehingga pada saat hujan partikel-partikel tanah akan terdispersi oleh hempasan air hujan dan menutup pori tanah (sealing).

Pengolahan Tanah. Teknik pengolahan tanah juga mempengaruhi laju dan kapasitas infiltrasi. Pengolahan tanah secara intensif dan menggunakan alat-alat

berat akan mempercepat pelapukan bahan organik dan penghancuran bongkah- bongkah tanah. Pada pengolahan tanah yang intensif, tanah diolah sedemikian rupa sehingga peluang terjadinya butiran lepas dan tertinggal di permukaan tanah tinggi. Tanah hasil olahan setelah kering selama musim kemarau akan hanyut terbawa aliran air sehingga akan masuk dan menyumbat pori-pori di permukaan tanah pada saat turun hujan untuk pertama kalinya (Ward, 1967). Pengolahan tanah dengan cara dibalik/dibajak secara berulang-ulang juga akan menyebabkan air di dalam bongkahan dan permukaan tanah menguap. Akibatnya tanah akan menyusut dan membentuk lapisan kerak impermeabel yang dapat mengurangi laju infiltrasi. Pawitan (1999) menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim, dan ukuran DAS serta kapasitas sistem storage DAS, baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau/waduk, dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah bagi perubahan iklim.

Aktivitas Organisme Tanah. Aktivitas organisme seperti aktivitas akar tanaman dan organisme tanah sangat mempengaruhi pembentukan agregat tanah. Akar- akar serabut tanaman dalam tanah akan mengikat butir-butir primer tanah menjadi agregat-agregat tanah. Bahan organik mempengaruhi stabilitas struktur tanah karena bagian-bagian tanaman seperti daun, ranting dan lain - lain yang jatuh ke atas permukaan tanah akan menutupi permukaan tanah. Hal ini merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak butir-butir hujan dan akan menghambat aliran permukaan.

Bahan organik yang melapuk, selain menambah zat hara pada tanah juga mempunyai kemampuan menghisap dan memegang air tinggi. Arsyad (2006) berpendapat bahwa bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya. Selanjutnya Stalling (1954) mengatakan bahwa bahan organik yang melapuk cepat memberikan pengaruh maksimal selama 20 sampai 30 hari saja dalam pembentukan agregat tanah. Ketahanan tanah terhadap dispersi ditentukan oleh bahan perekatnya yaitu bahan organik, koloid liat, kation besi dan alluminium (Buckman dan Brady, 1969).

Penggunaan Lahan. Penggunaan lahan merupakan faktor yang dinamik dan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Perubahan penggunaan lahan erat kaitannya dengan aktifitas manusia yang ada di dalamnya, dan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap laju dan kapasitas infiltrasi tanah. Perubahan kawasan hutan alam dengan lapisan mulsa tebal yang dikonversi menjadi lahan pertanian, menyebabkan kehilangan vegetasi penutup di atasnya dan dapat menimbulkan kerusakan tanah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh daya pukul air hujan yang langsung menimpa permukaan sehingga dapat merusak struktur tanah.

Perubahan lahan menjadi kawasan perkotaan juga akan menurunkan laju infiltrasi karena umumnya kawasan perkotaan memiliki persentase luasan kedap air lebih tinggi, akibatnya jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah semakin menurun dan sebagian besar menjadi aliran permukaan. Lahan yang digunakan sebagai padang penggembalaan yang intensif dan dalam jumlah yang relatif besar, memiliki laju infiltrasi yang rendah.

Erosi dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Erosi tanah merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dan ditemui hampir di seluruh kawasan dunia. Pengaruhnya bersifat langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung meliputi penurunan produktivitas lahan dan produksi tanaman, sedangkan pengaruh tak langsung dapat berupa siltasi reservoir, saluran dan sungai, penurunan pasokan air, penurunan kapasitas energi listrik, banjir, kerusakan jalan akibat tanah longsor, dan lain-lain (Widianto et al.,

2003; Barrow, 1991). Pengaruh erosi di Indonesia dapat dilihat dari semakin meningkatnya hamparan lahan kritis serta frekuensi dan besaran banjir. Banjir terjadi akibat sedimentasi di sungai, sehingga kapasitas tampung sungai menurun dan air meluap pada musim hujan. Peristiwa erosi juga menyebabkan sedimentasi di berbagai waduk seperti waduk Gajah Mungkur, bendungan Jati Luhur, dan lainnya. Sedimentasi dapat mempengaruhi kapasitas waduk serta menurunkan umur pakaiwaduk (Arsyad, 2006).

Erosi dan sedimentasi merupakan dua hal yang berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Erosi adalah hilangnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Tanah atau bagian-bagian

tanah yang terangkut ini disebut sedimen. Erosi di daerah tropika basah termasuk Indonesia umumnya disebabkan oleh air (Arsyad, 2006). Erosi yang diakibatkan oleh air sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan aliran permukaan. Berdasarkan proses (tempat, sumber, magnitud dan bentuk), erosi dapat dibedakan menjadi erosi percikan (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), sedangkan berdasarkan agen atau medianya, erosi dapat dibedakan menjadi erosi air dan erosi angin. Erosi mengalami perubahan secara spasial dan temporal, namun proses yang terlibat dalam erosi adalah sama dan semua jenis erosi umumnya diikuti oleh sedimentasi.

Erosi tanah terjadi melalui dua proses yakni proses penghancuran partikel- partikel tanah dan proses pengangkutan partikel-partikel tanah yang sudah dihancurkan. Kedua proses ini terjadi akibat hujan dan aliran permukaan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain curah hujan (intensitas, diameter, lama dan jumlah hujan), karakteristik tanah (sifat fisik), penutupan lahan, kemiringan lereng, panjang lereng dan sebagainya (Wischmeier dan Smith, 1978).

Faktor-faktor tersebut satu sama lain bekerja secara simultan dalam mempengaruhi erosi. Kehilangan tanah hanya akan terjadi jika kedua proses tersebut di atas berjalan. Tanpa proses penghancuran partikel-partikel tanah, maka erosi tidak akan terjadi, tanpa proses pengangkutan, maka erosi akan sangat terbatas. Kedua proses tersebut di atas dibedakan menjadi empat sub proses yakni: (1) penghancuran oleh curah hujan; (2) pengangkutan oleh curah hujan; (3) penghancuran (scour) oleh aliran permukaan; dan (4) pengangkutan oleh aliran permukaan. Jika butir hujan mencapai permukaan tanah, maka partikel-partikel tanah dengan berbagai ukuran akan terpercik (splashed) ke segala arah, menyebabkan terjadinya penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah. Jika aliran permukaan tidak terjadi (seluruh curah hujan terinfiltrasi), maka seluruh partikel-partikel yang terpercik akibat curah hujan akan terdeposisi di permukaan tanah. Selanjutnya jika aliran permukaan terjadi, maka partikel- partikel yang terdeposisi tersebut akan diangkut ke lereng bagian bawah.

Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan empat sub proses di atas, yakni : (1) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan lebih kecil dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran

permukaan; (2) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan lebih besar dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; dan (3) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan sama dengan proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan.

Dokumen terkait