• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terumbu karang merupakan ekosistem khas tropis yang dapat berkembang pada kondisi nutrien dan kekeruhan yang rendah serta tingkat kecerahan yang tinggi. Asosiasi hewan karang dengan zooxanthella menyebabkan pemanfaatan nutrien cukup efektif, sehingga bila terjadi penambahan nutrien yang berlebih pada ekosistem terumbu karang akan membahayakan hewan karang karena akan terjadi ledakan alga. Peristiwa ini akan menyebabkan kekeruhan yang tinggi sehingga menghalangi penetrasi cahaya matahari ke bagian dasar perairan sebagai habitat hewan karang.

Selain faktor yang telah diuraikan tersebut, aktifitas fisik manusia juga ikut memberikan kontribusi terhadap degradasi ekosistem terumbu karang. Aktifitas tersebut antara lain kegiatan pariwisata, penangkapan ikan yang destruktif, dan adanya kegiatan pelabuhan.

Terumbu karang di Kepulauan Seribu umumnya merupakan tipe terumbu karang tepi (fringing reefs), dan berupa pseudoatol, atau patch reef. Dari 4.561,10 ha luasan terumbu karang di DKI Jakarta berdasarkan interpretasi citra

LANDSAT, sekitar 60% rusak parah, 25% baik, dan 15% sangat baik. Kondisi tutupan karang keras pada pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta umumnya kurang dari 5% akibat dampak dari aktivitas manusia seperti penangkapan ikan, pembuangan sampah, penambangan pasir dan karang, serta penebangan mangrove (Tim Pusat Sumberdaya Alam Laut BAKORSUTANAL, 2009). Estradivari et al. (2009) menemukan 60 jenis karang keras pada tahun 2007.

Pada stasiun yang terletak di Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka, pengambilan data penutupan susbstrat pada kedalaman tujuh meter umumnya berada pada lereng (slope) terumbu karang. Pada Pulau Onrust, kedalaman pengambilan data penutupan substrat berada pada area yang cukup landai (rataan).

Gambar 6 Perbandingan persen penutupan dan jumlah genus karang keras.

Gambar 6 menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah genus dengan persen penutupan terumbu karang. Secara umum persen penutupan karang keras pada Pulau Karang Bongkok (16,07-24,68%) lebih besar dibandingkan Pulau Pramuka (2,97-14,07%), sedangkan di Pulau Onrust tidak terdapat penutupan karang keras (0%). Tingginya persen penutupan karang keras dan jumlah genus pada Pulau Karang Bongkok diduga karena aktivitas manusia dan proses siltasi pada pulau tersebut sangat minim. Pada Pulau Karang Bongkok hanya terdapat satu rumah penginapan yang digunakan pada kegiatan tertentu saja. Pulau-pulau yang berada di sekitar Pulau Karang Bongkok umumnya merupakan pulau kecil

seperti Pulau Opak Kecil dengan aktivitas manusia yang rendah. Selain itu dampak pencemaran dari Teluk Jakarta masih rendah karena letaknya yang cukup jauh dari Pulau Karang Bongkok (~50 km), hal ini didukung dengan konsentrasi nutrien yang masih rendah terutama bila dibandingkan dengan Pulau Onrust.

Kondisi yang berbeda terjadi pada Pulau Pramuka yang merupakan daerah pemukiman dan pusat pemerintahan. Pada Pulau Pramuka, rerata penutupan karang menjadi lebih rendah karena pulau ini merupakan daerah pemukiman dengan beragam kegiatan pariwisata, pelabuhan, perikanan, budidaya, dan lain sebagainya. Beragam aktivitas tersebut memberikan kontribusi terhadap degradasi ekosistem terumbu karang meskipun pulau ini jaraknya masih jauh dari Teluk Jakarta (~41 km). Berdasarkan komposisi penutupan substrat yang dilakukan dengan metode Transek Garis Menyinggung, perairan pada Pulau Pramuka lebih didominasi oleh pecahan karang (Rubble/R) dan pasir (Sand/S) bila dibandingkan dengan Pulau Karang Bongkok (Gambar 7, Lampiran 4). Pecahan karang yang banyak menunjukkan tingginya pengaruh aktifitas manusia terhadap dasar perairan, seperti saat melemparkan jangkar perahu.

Gambar 7 Komposisi penutupan substrat.

Catatan: S = Sand, R = Rubble, OT = Other, SP = Sponge, MA = Macroalgae, HA = Halimeda, DCA = Dead Coral with Algae, SC = Soft Coral, HC = Hard Coral

Hasil pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan karang keras menunjukkan adanya pengelompokan yang terpisah pada stasiun di Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka, dan antara kedua pulau tersebut dengan Pulau Onrust (Gambar 8, Lampiran 10). Tiga stasiun pada Pulau Onrust membentuk satu kelompok karena tidak memiliki terumbu karang pada saat ini. Pada Pulau Karang Bongkok bagian utara, barat, selatan, dan timur serta Pulau Pramuka bagian timur (KB-UBST dan PT) membentuk satu kelompok karena memiliki persentase penutupan karang yang cenderung seragam (12,20-24,68%); Pulau Pramuka bagian utara, barat, dan selatan (P-UBS) membentuk satu kelompok (persen penutupan karang keras sebesar 2,97-14,06%). Tumpang tindih persentase penutupan karang pada pengelompokan antara KB-UBST dan PT serta P-UBS terjadi karena pada kelompok KB-UBST dan PT memiliki 7-16 genera karang keras, sedangkan pada P-UBS hanya memiliki 2-9 genera karang keras, dimana meskipun jumlah genus pada kelompok P-UBS ada yang memiliki lebih dari tujuh genera, namun persentase penutupan pada P-UBS tetap lebih rendah dibanding KB-UBST dan PT.

Gambar 8 Pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan karang keras.

Adanya degradasi persentase karang keras pada ketiga kelompok tersebut merupakan cerminan dari dampak kegiatan manusia dan juga proses sedimentasi. Kelompok yang terletak pada Pulau Onrust merupakan pulau yang paling dekat

dengan Teluk Jakarta yang telah tercemar, khususnya dari limbah yang berasal dari Sungai Angke. Selain itu Pulau Onrust merupakan lokasi pariwisata dan berada diantara pulau lain yang dijadikan sebagai kawasan pariwisata seperti Pulau Bidadari, Pulau Kelor, dan Pulau Cipir. Tekstur butiran pasir yang cenderung berlumpur dan berwarna lebih gelap dibandingkan kedua pulau kajian lain menandakan perairan di Pulau Onrust sangat keruh sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan karang.

Estradivari et al. (2009) mengemukakan pada tahun 1985 di Pulau Onrust masih ditemukan 4% tutupan karang hidup, sedangkan pada tahun 1993 menurun menjadi 2%, dan pada tahun 2005 tidak ditemukan lagi tutupan karang hidup. Pada tahun 2007 hanya ditemukan 8 koloni karang keras berukuran kecil dari jenis Montipora. Kekayaan jenisnya juga sudah sangat berkurang, dari 96 jenis pada tahun 1926 menjadi 21 jenis pada tahun 1993. van der Meij et al. (2010) menyatakan bahwa pada tahun 1920 di Pulau Onrust terdapat 57 spesies karang, namun pada tahun 1994 menurun secara drastis sehingga menjadi lima spesies (Leptastrea pruinosa, Oulastrea crispata, Platygyra pini, Porites lutea, dan Turbinaria peltata), dan pada tahun 2005 ditemukan tujuh spesies (Oulastrea crispata, Pavona decussata, Platygyra pini, Porites lichen, P. murrayensis, P. solida, dan Psammocora digitata). Area rataan karang hilang sama sekali pada pulau ini, hanya sejumlah koloni kecil yang ditemukan. Degradasi karang di Pulau Onrust menandakan hampir tidak terjadi pemulihan ekosistem terumbu karang akibat kuatnya tekanan antropogenik dari Teluk Jakarta.

Sta. PB merupakan daerah sekitar pelabuhan dan alur pelayaran, sehingga aktivitas tersebut mempengaruhi eksistensi ekosistem terumbu karang. Sta. PU dan Sta. PS berada di sekitar pemukiman dengan aktivitas masyarakat yang cukup tinggi.

Seluruh stasiun pada Pulau Karang Bongkok membentuk kelompok tersendiri karena jumlah jenis dan persentase penutupan karang yang cukup tinggi akibat pengaruh aktivitas manusia yang sangat rendah. Adanya Sta. PT dalam kelompok ini diduga karena lokasi pada Pulau Pramuka bagian timur berhadapan langsung dengan laut lepas, sehingga proses turbulensi perairan akibat gelombang di lokasi ini cukup tinggi untuk memberikan dampak positif bagi perkembangan

terumbu karang. Kecepatan arus dan gelombang yang cukup besar sampai pada taraf yang dapat ditoleransi oleh hewan karang berguna untuk membersihkan polip hewan karang dari partikel yang menempel dan memberikan pasokan makanan untuk menjaga kehidupan hewan karang tersebut (Walker dan Wood, 2005).

Nilai penutupan karang keras pada penelitian ini lebih rendah dari hasil kajian Fadila dan Idris (2009). Rendahnya persentase penutupan karang keras pada penelitian ini diduga karena titik lokasi kajian dan kedalaman yang berbeda. Meskipun terjadi perbedaan nilai persentase penutupan karang keras, namun pola penutupan karang keras pada penelitian ini menunjukkan kecenderungan yang sama, dimana persentase penutupan karang keras pada Pulau Pramuka lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Karang Bongkok, sedangkan karang keras tidak dijumpai di Pulau Onrust. Kondisi Teluk Jakarta pada tahun 1937/1938 menunjukkan beberapa karakteristik yang serupa dengan Kepulauan Seribu pada tahun 2005 yang ditandai dengan tingginya penutupan karang dan rendahnya proses sedimentasi (van der Meij et al., 2009) seperti yang terjadi pada Pulau Karang Bongkok. Tekanan ekologi yang terjadi terus menerus sampai tahun 2005 menyebabkan perbedaan komposisi fauna yang signifikan dan penurunan kekayaan jenis yang nyata bila dibandingkan dengan tahun 1937/1938. Uneputty dan Evans (1997) menyatakan tingkat polusi pada wilayah pantai yang berjarak lebih dari 20 km dari Jakarta pada tahun 1985 masih rendah, namun sepuluh tahun kemudian sebaran polusi mencapai 45 km dari daratan Jakarta dengan jumlah limbah yang makin meningkat pada masing-masing pantai. Sebagai perbandingan, jumlah rerata limbah padat di Pulau Onrust pada tahun 1985 tidak lebih dari 7 m-1 kemudian berkembang menjadi sekitar 38 m-1 pada tahun 1994. Willoughby et al. (1997) menuliskan bahwa rerata total limbah padat yang berukuran di atas 5 cm pada tahun 1985 di Pulau Onrust (~8 km dari Teluk Jakarta) adalah 6,7 m-1 dan menjadi 17,6 m-1 pada tahun 1995. Sedangkan pada pulau yang lebih jauh, jumlah limbah padat lebih rendah meski menunjukkan peningkatan seperti pada Pulau Semak Daun (~45 km dari Teluk Jakarta) (tahun 1985 = 0,4 m-1 dan tahun 1995 = 2,3 m-1), Pulau Kotok Besar (~49 km dari Teluk Jakarta) (tahun 1985 = 0,6 m-1 dan tahun 1995 = 2,4 m-1), dan Pulau Kelapa (~52 km dari Teluk Jakarta) (tahun

1985 = 0,9 m-1 dan tahun 1995 = 2,6 m-1). Letak ketiga pulau tersebut berdekatan dengan Pulau Pramuka dan Pulau Karang Bongkok. Penambahan limbah tersebut berkaitan erat dengan kegiatan manusia seperti kegiatan pariwisata, perikanan, alur pelayaran, dan pembuangan limbah domestik lainnya.

Data historis menunjukkan degradasi karang yang berkesinambungan dan makin rendahnya kedalaman pertumbuhan karang sejak tahun 1920 sangat berkaitan dengan aktivitas manusia dan bertambahnya kandungan hara yang menyebabkan kondisi perairan menjadi semakin eutrofik. Selain itu berdasarkan hasil penelusuran beragam artikel ilmiah, maka dari 190 spesies karang yang telah dikumpulkan sejak tahun 1920-2005 telah mengalami penurunan jumlah spesies sebanyak 60 spesies pada tahun 2005 saja (Lampiran 5). Selain punahnya beberapa spesies, terjadi juga pergerakan distribusi karang yang menjauhi Teluk Jakarta dan pulau-pulau yang berdekatan dengan teluk tersebut ke arah utara dimana kondisi perairannya masih baik (van der Meij et al., 2010).

Dokumen terkait