• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terletak pada 5°19'12" sampai 6°23'54" LS dan 106°22'42" sampai 106°58'18" BT dengan luas wilayah 661,5 km² termasuk di dalamnya wilayah Kepulauan Seribu atau ± 650 km² tidak termasuk wilayah Kepulauan Seribu. Secara administratif wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 5 wilayah kota, 1 wilayah kabupaten, 44 kecamatan dan 267 kelurahan. 5 wilayah kota tersebut yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan dan wilayah kabupaten yaitu Kepulauan Seribu.

Sebagai Ibukota Negara, DKI Jakarta merupakan propinsi yang berbentuk suatu kota metropolitan. Dengan kepadatan penduduk sebesar 16.667 jiwa/km² DKI Jakarta merupakan kota terpadat di Indonesia. Data kependudukan Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta2 menunjukkan jumlah penduduk DKI Jakarta sampai dengan bulan Mei 2006 yaitu 7.523.591 jiwa. Jumlah ini bertambah pada siang hari karena adanya para commuter yaitu orang-orang yang bekerja atau bersekolah di Jakarta namun bertempat tinggal di wilayah sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tange rang dan Bekasi.

Pemusatan aktifitas-aktifitas penting seperti pemerintahan dan perekonomian mengakibatkan pembangunan DKI Jakarta semakin pesat. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya infrastruktur fisik yang dibangun seperti gedung-gedung pencakar langit juga sarana transportasi (misal jalan layang). Menurut Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah (NKLHD) tahun 2002, luas area yang sudah terbangun di DKI Jakarta yaitu sebanyak 92 persen dari total luas wilayah.

Pesatnya pembangunan fisik ini seharusnya diimbangi dengan memperhatikan kualitas lingkungan hidup kota. Salah satu indikatornya yaitu keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menurut penelitian Janala (1995) kebutuhan luas RTH yang ideal di DKI Jakarta dapat dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen. Setelah melakukan perhitungan, diperkirakan pada tahun 2005

DKI Jakarta membutuhkan RTH seluas 137.896,13 hektar atau lebih besar dari luas Jakarta. Kenyataannya, pada tahun 2005 luas RTH di DKI Jakarta termasuk taman hanya mencapai 9.242 hektar, sedangkan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) RTH ideal yang hendak dicapai seluas 9.544,8 hektar dan ditargetkan terpenuhi pada tahun 2010 (Perda No 6 tahun 1999).

Secara umum kondisi iklim DKI Jakarta periode 1994-2004 dapat dilihat pada Gambar 5. Data tersebut didapat dari pengamatan Badan Meteorologi dan Geofisika DKI Jakarta pada lima stasiun yang tersebar di lima wilayah kota. Data dapat dilihat secara lebih lengkap pada Tabel Lampiran 3. Berdasarkan grafik suhu udara rata-rata tahunan diketahui bahwa suhu udara di DKI Jakarta berkisar antara 26.4-29.0 ºC dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan angka tertinggi di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. Suhu maksimum rata-rata sebesar 33.8 ºC, lebih tinggi daripada suhu maksimum rata-rata iklim tropis pada umumnya yaitu antara 27-32 ºC. Begitu pula dengan data kelembaban udara rata-rata tahunan yang tidak banyak mengalami perubahan yaitu berkisar antara 69.0-86.8 %. Angka terendah tersebut juga menunjukkan bahwa kondisi kelembaban di Jakarta lebih rendah daripada kondisi umum iklim tropis yaitu 75% (Soegijanto, 1998).

Data intensitas matahari tidak dapat diperlihatkan secara lengkap karena terdapat dua stasiun yang tidak melakukan pengukuran secara efektif yaitu Stasiun Halim (Jakarta Timur) yang berhenti beroperasi sejak tahun 1997 dan Stasiun Cengkareng (Jakarta Barat) yang memang tidak melakukan pengukuran sejak awal berdiri. Dari ketiga stasiun lain dapat diketahui bahwa intensitas matahari di DKI Jakarta cenderung mengalami peningkatan. Hal ini diduga akibat menipisnya lapisan ozon di atmosfer. Curah hujan total tahunan me ngalami fluktuatif secara signifikan dengan curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 1996 di wilayah Jakarta Selatan yaitu sebesar 3005.3 mm dan curah hujan terendah yaitu 594.6 mm terjadi pada tahun 1997 di wilayah Jakarta Pusat.

23

Suhu Udara Rata-Rata Tahunan

25.00 25.50 26.00 26.50 27.00 27.50 28.00 28.50 29.00 29.50 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Suhu (oC) Utara Timur Pusat Barat Selatan

Kelembaban Udara Rata-Rata Tahunan

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Kelmbaban udara (%) Utara Timur Pusat Barat Selatan

Intensitas Matahari Rata-Rata Tahunan

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Intensitas matahari (%) Utara Timur Pusat Barat Selatan

Curah Hujan Total Tahunan

0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 3000.00 3500.00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun CH (mm) Utara Timur Pusat Barat Selatan

Gambar 5. Kondisi Umum Iklim DKI Jakarta Periode 1994-2004 (Sumber: BMG Balai Wilayah II Jakarta, 2006)

Gambar 6 memperlihatkan grafik suhu maksimum dan minimum antara 5 wilayah di DKI Jakarta dan Bogor dari tahun 1994-2004. Data suhu maksimum dan suhu minimum antara DKI Jakarta dan Bogor dapat diketahui secara lengkap pada Tabel Lampiran 3. Grafik perbandingan suhu maksimum menunjukkan perbedaan angka sampai dengan 3ºC antara Bogor dengan 5 wilayah di DKI Jakarta. Angka pada grafik perbandingan suhu minimum menunjukkan perbedaan sampai dengan 2 ºC antara Bogor dengan wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur, sedangkan antara Bogor dengan wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan cenderung memiliki suhu minimum yang relatif sama. Perbedaan suhu tersebutlah yang dikemukakan oleh LAPAN sebagai fenomena Urban Heat Island.

Padatnya penduduk yang bermukim dan beraktifitas mendukung terjadinya fenomena Urban Heat Island di DKI Jakarta. Selain infrastruktur fisik yang menjadikan Jakarta mendapat predikat ’hutan beton’, ketergantungan manusia pada alat yang memerlukan energi pun besar. Bangunan-bangunan berlantai banyak mengkonsumsi energi yang cukup besar yaitu 150-300 KWh/m².tahun, tergantung jenis bangunan. Penggunaan energi terbesar yaitu 60-80 % untuk mengoperasikan sistem mesin pendingin (AC) dan sistem tata cahaya (Soegijanto, 1998). Dari mesin pendingin sampai mesin industri, semua mengeluarkan emisi berupa kalor yang dibuang ke udara. Panas yang kemudian memenuhi udara Jakarta juga ditambah dari panas dari kendaraan bermotor beserta panas dari AC kendaraan bermotor tersebut dan panas dari metabolisme manusia itu sendiri.

25 Suhu Maksimum 28.00 29.00 30.00 31.00 32.00 33.00 34.00 35.00 36.00 Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Selatan Bogor Wilayah Suhu (oC) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Suhu Minimum 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 25.00 Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Selatan Bogor Wilayah Suhu (oC) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Gambar 6. Perbandingan Suhu Maksimum dan Minimum Antara 5 wilayah DKI Jakarta dan Bogor Tahun 1994-2004

Tanggapan Responden Secara Umum

Total responden yang mengisi kuisioner yaitu sejumlah 65 orang responden, terdiri dari 47 orang responden (72.3%) melalui penyebaran langsung dan pos, 15 orang responden (23.1%) melalui seminar roof garden, dan 3 orang (4.6%) melalui internet. Pada ketegori bangunan hunian diperoleh responden sebanyak 29 orang responden, terdiri dari 23 orang (79.3%) dari penyebaran langsung, 4 orang (13.8%) dari seminar dan 2 orang (6.9%) dari internet. Pada kelompok bangunan non hunian diperoleh responden sebanyak 36 orang responden, terdiri dari 24 orang (66.7%) dari penyebaran langsung dan pos, 11 orang (30.6%) dari seminar dan 1 orang (2.8%) dari internet. Persentase perolehan data kuisioner dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7 Persentase perolehan data kuisioner.

Secara umum perolehan kuisioner dari penyebaran langsung dan pos cukup rendah yaitu hanya sejumlah 46.0% pengembalian untuk bangunan hunian (23 responden dari 50 kuisioner yang dibagikan) dan 16.0% pengembalian untuk bangunan non hunian (24 responden dari 150 kuisioner yang dibagikan). Banyaknya jumlah responden menyebabkan kurangnya kontak langsung, sehingga diduga bahwa banyak responden yang tidak menghiraukan kuisioner untuk diisi dan dikirimkan kembali, lupa dan akhirnya tidak mengacuhkan, atau bahkan tidak menerima sama sekali kuisioner yang telah dititipkan untuk disampaikan pada mereka.

27

Tambahan data diperoleh melalui Seminar Roof Garden yang diadakan oleh Sudin Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat sebanyak 15 orang responden yaitu sebanyak peserta seminar yang hadir. Seminar ini diadakan untuk mensosialisasikan roof garden pada sejumlah pengelola bangunan yang terdapat di Jakarta Pusat. Tabel 3 memperlihatkan persentase jenis bangunan yang dikelola oleh responden pada seminar tersebut, dengan presentase responden terbesar yaitu pengelola bangunan hotel (33.3%).

Tabel 3 Jenis bangunan yang dikelola responden pada seminar roof garden di Jakarta Pusat

Jenis bangunan Jumlah Persentase

Rumah Tinggal 4 26.7

Bangunan Hotel 5 33.3

Bangunan Perkantoran 4 26.7

Bangunan Perdagangan 1 6.7

Bangunan Pendidikan 1 6.7

Kecilnya jumlah responden yang diperoleh melalui internet disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor teknis yaitu keterlambatan dalam pembuatan website, kesalahan dalam pengisian field database sehingga kapasitas muatan tidak banyak dan keterbatasan waktu pada domain sehingga website tidak dapat diakses kembali. Faktor lainnya yaitu karakteristik responden yang tidak memenuhi syarat, yaitu tidak berdomisili di DKI Jakarta dan bukan merupakan pemilik atau pihak pengelola bangunan yang sah.

Identitas Responden

Berdasarkan data yang diperoleh dari 29 orang responden pada kelompok bangunan hunian dan 36 orang responden pada kelompok bangunan non hunian, dapat diketahui identitas keseluruhan responden menurut karakteristiknya seperti pada Tabel 4. Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi jenis kelamin, usia, agama, pekerjaan, pendapatan per bulan dan pendidikan terakhir.

Tabel 4 Karakteristik responden No

Karakteristik Responden

Bangunan hunian (n=29)

Bangunan non hunian (n=36) Jumlah Persentase Jumlah Persentase

1 Jenis Kelamin a. Laki-laki 18 62.1 26 72.2 b. Perempuan 10 34.5 6 16.7 c. Tidak menjawab 1 3.5 4 11.1 2 Usia a. 25-40 tahun 15 51.7 10 27.8 b. > 40 tahun 13 44.8 20 55.6 c. Tidak menjawab 1 3.5 6 16.7 3 Agama a. Islam 23 79.3 28 77.8 b. Kristen 4 13.8 2 5.6 c. Katolik 2 6.9 2 5.6 d. Tidak menjawab 0 0.0 4 11.1 4 Pekerjaan a. Pegawai negeri 5 17.2 5 13.9 b. Pegawai swasta 16 55.2 28 77.8 c. Wiraswasta 3 10.3 0 0.0 d. Lainnya 4 13.8 1 2.8 e. Tidak menjawab 1 3.5 2 5.6 5 Pendapatan perbulan a. < Rp. 500.000 1 3.5 0 0.0 b. Rp. 500.000 – Rp. 1.500.000 5 17.2 3 8.3 c. Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000 8 27.6 11 30.6 d. Rp. 3.000.000 – Rp. 5.000.000 3 10.3 5 13.9 e. Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000 5 17.2 8 22.2 f. > Rp. 10.000.000 3 10.3 0 0.0 g. Tidak menjawab 4 13.8 9 25.0 6 Pendidikan terakhir a. SMA/sederajat 4 13.8 7 19.4 b. Akademi/sederajat 4 13.8 10 27.8 c. PT/sederajat 20 68.9 17 47.2 d. Tidak menjawab 1 3.5 2 5.6

Pada kelompok bangunan hunian, responden didominasi oleh laki- laki (62.1%) dengan rentang usia 25 sampai dengan 40 tahun (51.7%). Berdasarkan latar belakang agama diketahui bahwa mayoritas responden beragama Islam (79.3%). Sebagian besar responden (68.9%) menempuh tingkat pendidikan

29

44,6% 55,4%

Bangunan Hunian Bangunan Non Hunian

sampai dengan pergur uan tinggi. Sebanyak 55.2% responden bekerja sebagai pegawai swasta dengan tingkat pendapatan yang beragam.

Karakteristik responden pada kelompok bangunan non hunian tidak jauh berbeda dengan kelompok bangunan hunian. Mayoritas responden (72.2%) berjenis kelamin laki- laki namun dengan usia mayoritas (44.8%) lebih dari 40 tahun. Latar belakang agama responden yaitu sebanyak 77.8% beragama Islam. Sebagian besar responden (77.8%) bekerja sebagai pegawai swasta yaitu sebagai pengelola bangunan dengan tingkat pendapatan yang beragam. Tingkat pendidikan yang ditempuh oleh responden sebagian besar yaitu setaraf tingkat pendidikan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi).

Keterangan Bangunan

Berdasarkan data yang diperoleh dari 65 orang responden yang terdiri dari 29 orang responden (44.6%) pada kelompok bangunan hunian dan 36 orang responden (55.4%) pada kelompok bangunan non hunian (Gambar 8) dapat diketahui berbagai macam keterangan yaitu jenis bangunan, jumlah lantai, status kepemilikan, jenis konstruksi bangunan, jenis atap, keberadaan beranda dan fasilitas taman yang dimiliki.

Gambar 8 Persentase kelompok bangunan.

Keterangan jenis bangunan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Pada kelompok bangunan hunian terdiri dari rumah tinggal (89.7%) dan apartemen (10.3%). Pada kelompok bangunan non hunian responden terbanyak (44.4%) mengelola bangunan perkantoran dan responden lainnya mengelola

bangunan industri (13.9%), hotel (13.9%), bangunan perdagangan (11.1%), rumah sakit atau bangunan kesehatan (11.1%) dan bangunan pendidikan (5.6%).

Tabel 5 Jenis bangunan yang dimiliki atau dikelola responden

Jenis bangunan Jumlah Persentase

Bangunan hunian (n=29)

Rumah 26 89.7

Apartemen 3 10.3

Bangunan non hunian (n=36)

Bangunan Perdagangan 4 11.1

Bangunan Pendidikan 2 5.6

Rumah Sakit/Bangunan Kesehatan 4 11.1

Bangunan Perkantoran 16 44.4

Bangunan Industri 5 13.9

Bangunan Hotel 5 13.9

Keterangan lainnya mengenai bangunan dapat dilihat pada Tabel 6. Pada kelompok bangunan hunian, sebagian besar responden (89.7%) memiliki bangunan dengan jumlah lantai satu hingga dua lantai. Hal ini dikarenakan responden terbanyak merupakan pemilik bangunan rumah tinggal, sedangkan responden lainnya (10.3%) merupakan pengelola apartemen yang memiliki bangunan tinggi dengan jumlah lantai lebih dari lima lantai. Mayoritas responden memiliki bangunan atas nama mereka sendiri. Jenis konstruksi bangunan sebagian besar yaitu tembok dengan atap genting dan memiliki beranda. Hampir semua responden memiliki taman pada bangunannya. Sebagian besar responden (72.4%) memiliki taman di halaman bangunannya, sedangkan hanya 10 dari 21 responden (47.6%) yang memanfaatkan beranda sebagai taman.

Pada kelompok bangunan non hunian, mayoritas responden (61.1%) merupakan pemilik atau pengelola dari bangunan tinggi. Sebanyak 72.2% responden memiliki bangunan atas nama sendiri, artinya status kepemilikan dari bangunan tersebut adalah atas nama sebuah perusahaan yang mengelola dan menyewakan bangunannya untuk digunakan oleh perusahaan lain. Jenis konstruksi bangunan didominasi oleh tembok dengan jenis atap dak semen dan memiliki beranda. Sebagian besar responden (91.7%) memiliki taman di halaman

31

bangunannya, karena para pemilik atau pengelola bangunan menyadari bahwa setiap bangunan yang memiliki taman akan mempunyai citra yang baik di mata masyarakat.

Tabel 6 Keterangan bangunan No Keterangan Bangunan

Bangunan hunian Bangunan non hunian Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1 Jumlah lantai a. 1-2 lantai 26 89.7 6 16.7 b. 3-5 lantai 0 0.0 8 22.2 c. > 5 lantai 3 10.3 22 61.1 2 Status kepemilikan a. Milik sendiri 22 75.9 26 72.2 b. Milik bersama 5 17.2 4 11.1 c. Mengontrak/sewa 0 0.0 1 2.8 d. Lainnya 2 6.9 5 13.9 3 Jenis konstruksi a. Kayu 0 0.0 0 0.0 b. Tembok 19 65.5 33 91.7 c. Kombinasi kayu/tembok 10 34.5 3 8.3 4 Jenis atap a. Genting 21 72.4 0 0.0 b. Seng/asbes 1 3.5 4 11.1 c. Dak semen 2 6.9 24 66.7 d. Kombinasi 5 17.2 8 22.2 5 Terdapat beranda a. Ya 21 72.4 23 63.9 b. Tidak 6 20.7 11 30.6 c. Tidak menjawab 2 6.9 2 5.6

6 Fasilitas taman yang dimiliki

a. Taman di halaman bangunan 21 72.4 33 91.7

b. Taman beranda 10 34.5 8 22.2

Persepsi Responden Terhadap Urban Heat Island

Persepsi responden terhadap Urban Heat Island (UHI) meliputi arti, dampak, dan cara mengatasi UHI. Persentase persepsi responden mengenai arti UHI dapat dilihat pada Gambar 9. Pada kelompok bangunan hunian, perbandingan persentase jawaban responden hampir berimbang yaitu 48.3% mengetahui arti UHI dan 44.8% tidak mengetahui arti UHI, sedangkan 6.9% tidak menjawab. Pada kelompok bangunan non hunian, sebagian besar (75.0%) responden mengetahui arti UHI.

.

Gambar 9 Persentase persepsi responden mengenai arti UHI.

Persepsi mengenai arti UHI dipengaruhi oleh kelompok bangunan, dimana terdapat perbedaan persepsi antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Berdasarkan Tabel Lampiran 6 dapat diketahui hubungan kedua variabel tersebut, dimana nilai chi-hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Perbedaan persepsi tersebut diduga karena sistem informasi lebih berkembang pada lingkungan kerja (bangunan non hunian) dibandingkan lingkungan permukiman (bangunan hunian) sehingga kalangan masyarakat terutama mereka yang awam terhadap isu-isu lingkungan kurang memperoleh informasi mengenai UHI.

Selain itu persepsi mengenai arti UHI juga dipengaruhi oleh latar belakang responden, yaitu faktor tingkat pendapatan dan pendidikan. Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 7). Artinya terdapat perbedaan persepsi antara responden dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang berbeda, semakin tinggi tingkat pendapatan dan pendidikan persepsi tentang arti UHI pun semakin

33 37,9 24,1 20,7 13,8 66,7 41,7 52,8 8,3 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 A B C D

Dampak Urban Heat Island

Persentase

Bangunan hunian Bangunan non hunian

Ket:

A : Udara yang panas

B : Gangguan pada kesehatan

C : Pemborosan energi untuk

pendingin ruangan

D : Lainnya

tinggi. Hal ini diduga karena dengan pendapatan yang tinggi, maka kesempatan memperoleh informasi akan lebih banyak, baik melalui jalur pendidikan maupun teknologi informasi yang kian berkembang.

Persentase persepsi responden terhadap dampak UHI dapat dilihat pada Gambar 10. Pertanyaan pada kuisioner boleh dijawab responden lebih dari satu pilihan karena setiap pilihan tidak terikat satu sama lain, maka tiap pilihan memiliki persentase masing- masing atau bersifat independen. Pertanyaan mengenai dampak UHI (sebagaimana dikemukakan oleh Neiburger et al., 1995; Voogt, 2004 dan US EPA, 2006 ) yang ditanyakan kepada responden terdiri dari 4 pilihan jawaban yaitu:

A) Udara yang panas

B) Gangguan pada kesehatan

C) Pemborosan energi untuk pendingin ruangan, dan D) Dampak lain yang mungkin responden ketahui.

Gambar 10 Persentase dampak UHI yang diketahui responden.

Secara umum persepsi responden mengenai dampak UHI didominasi oleh kelompok responden pada kelompok bangunan non hunian, namun responden pada kelompok bangunan hunian cenderung lebih mengetahui dampak lain UHI dari pilihan jawaban yang diajukan. Gambar 10 memperlihatkan bahwa kelompok responden pada bangunan hunian tidak banyak mengetahui dampak dari UHI, dimana jawaban yang paling banyak dipilih oleh responden yaitu udara yang panas (37.9%). Pada kelompok bangunan non hunian mayoritas responden

memilih jawaban udara yang panas (66.7%) dan pemborosan energi untuk pendingin ruangan (52.8%). Dampak lain yang diketahui oleh responden yaitu dampak psikologis pada manusia akibat udara yang panas, serta dampak yang lebih bersifat global, seperti polusi udara yang menimbulkan efek rumah kaca yang kemudian merusak lapisan ozon. Dampak ini juga dikemukakan oleh Voogt (2004) dan US EPA (2006).

Berdasarkan uji Chi Kuadrat dapat diketahui hubungan kelompok bangunan dengan persepsi mengenai dampak UHI, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.01 (Tabel Lampiran 6). Artinya tidak ada pengaruh kelompok bangunan terhadap persepsi responden mengenai dampak UHI atau tidak ada perbedaan persepsi mengenai dampak UHI antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Walaupun demikian, secara keseluruhan persepsi mengenai dampak UHI dipengaruhi oleh latar belakang responden yaitu jenis pekerjaan. Berdasarkan Tabel Lampiran 7 diketahui bahwa nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Artinya terdapat perbedaan persepsi mengenai dampak UHI antara responden dengan jenis pekerjaan yang berbeda.

Pertanyaan lain yang diajukan berkaitan dengan persepsi mengenai UHI yaitu cara mengatasi dampak UHI yang responden ketahui. Pertanyaan ini berbentuk isian agar responden lebih bebas mengemukakan pendapat dan sarannya. Baik pada kelompok bangunan hunian maupun bangunan non hunian, persentase responden yang menjawab dan tidak menjawab pertanyaan hampir berimbang (Gambar 11).

Gambar 11 Persentase tanggapan responden untuk mengemukakan cara untuk mengatasi UHI.

35

Berdasarkan jawaban yang dikemukakan oleh responden mengenai cara untuk mengatasi UHI, diketahui bahwa sebagian besar responden mengatakan bahwa penghijauan merupakan cara yang paling baik dalam mengatasi UHI, baik dalam skala mikro (taman-taman di sekitar bangunan) maupun skala meso (hutan atau RTH kota. Gambar 12 memperlihatkan presentase jawaban mayoritas responden, yaitu 78.9% pada kelompok bangunan hunian dan 77.8% pada kelompok bangunan non hunian.

Gambar 12 Persentase jawaban responden mengenai cara untuk mengatasi UHI. Persepsi mengenai cara mengatasi UHI tidak dipengaruhi oleh kelompok bangunan, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10 (Tabel Lampiran 6). Artinya tidak ada perbedaan persepsi mengenai cara mengatasi UHI antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Demikian juga hubungan antara persepsi mengenai cara mengatasi UHI dengan latar belakang responden. Berdasarkan Tabel Lampiran 7 diperoleh hasil bahwa dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10, artinya latar belakang responden tidak mempengaruhi persepsinya mengenai cara mengatasi UHI.

Cara lain yang dikemukakan responden yaitu lebih bersifat pengendalian pencemaran udara seperti pengurangan penggunaan bahan yang dapat merusak lapisan ozon yang berasal dari aktifitas industri maupun kendaraan bermotor, serta pemilihan bahan pada bangunan seperti pengurangan penggunaan kaca.

Persepsi Responden Terhadap Roof Garden

Persepsi responden terhadap roof garden meliputi arti, bentuk, manfaat dan persepsi responden mengenai peran roof garden terhadap perbaikan iklim kota. Persentase persepsi responden mengenai arti roof garden dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Persentase persepsi responden mengenai arti roof garden. Mayoritas responden mengetahui arti roof garden, baik pada kelompok bangunan hunian maupun bangunan non hunian, namun tingkat persepsi kelompok responden pada kelompok bangunan non hunian lebih tinggi (94.4%). Berdasarkan uji Chi Kuadrat pada Tabel Lampiran 6 dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara kelompok bangunan dengan persepsi mengenai arti roof garden, dimana nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Artinya persepsi reponden mengenai arti roof garden dipengaruhi oleh kelompok bangunan, atau terdapat perbedaan persepsi mengenai arti roof garden

antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Hal ini diduga karena istilah roof garden lebih populer di kalangan responden pada kelompok bangunan non hunian yang memang memiliki

roof garden pada bangunannya.

Berdasarkan Tabel Lampiran 8 diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa faktor latar belakang responden yang mempengaruhi persepsinya terhadap arti

roof garden, yaitu jenis kelamin, tingkat pendapatan dan pendidikan. Terdapat perbedaan persepsi antara responden laki- laki dan responden perempuan, dimana responden laki- laki lebih mengetahui arti roof garden. Demikian pula terdapat

37

perbedaan persepsi antara responden dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang berbeda.

Persepsi responden mengenai bentuk roof garden dijawab secara bebas, agar responden dapat mengemukakan pendapatnya sesuai dengan persepsi yang dimiliki. Berdasarkan jawaban responden tersebut kemudian dipilah kelompok jawaban yang mendekati pengertian istilah roof garden sesuai referensi. Menurut Sukaton et al. (2004), secara sederhana roof garden dideskripsikan sebagai taman dimana semua unsur tanamannya ditanam tidak di atas tanah pada halaman bangunan melainkan di atas atap bangunan, dan secara lebih luas juga mencakup semua bentuk bak-bak tanaman yang diletakkan beberapa meter di atas permukaan tanah.

Pada Gambar 14 dapat diketahui bahwa telah banyak dari responden yang dapat mendeskripsikan bentuk roof garden dengan benar. Mayoritas responden mengemukakan pendapatnya mengenai bentuk roof garden lebih mengarah pada fungsi estetika dan kenyamanan, namun ada sebagian kecil responden yang kurang benar dalam mendeskripsikan bentuk roof garden. Pada kelompok bangunan hunian sebanyak 48.3% menjawab dengan benar, sedangkan 44.8% lainnya tidak menjawab. Pada kelompok bangunan non hunian persentase responden yang menjawab dengan benar lebih besar yaitu 52.8% dan persentase responden yang tidak menjawab lebih kecil yaitu 19.4%, namun persentase responden yang menjawab dengan kurang benar lebih besar (27.8%).

Berdasarkan uji Chi Kuadrat untuk hubungan kelompok bangunan dengan persepsi mengenai bentuk roof garden diperoleh hasil nilai chi hitung kurang dari nilai chi tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 6). Artinya persepsi mengenai bentuk roof garden akan dipengaruhi oleh kelompok bangunan, atau terdapat perbedaan persepsi antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Hal ini diduga karena responden pada bangunan non hunian lebih sering melihat roof garden pada bangunan yang mereka miliki atau kelola, atau pada bangunan tinggi lain seperti hotel, bangunan perkantoran, bangunan perdagangan dan bangunan komersil

Dokumen terkait