• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Sejarah TNGGP

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan cikal bakal cagar alam pertama di Indonesia. Selain itu, TNGGP merupakan salah satu dari lima Taman Nasional pertama yang diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki luas ± 21.975 Ha dengan titik koordinat 106°50’ – 107°02’ dan 06°41’- 06°51’ dan terletak di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan, nomor 174/Kpts-II/2003 Tanggal 10 Juni 2003.

Tahun 1977 Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer, dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995.

4.2. Flora dan Fauna di TNGGP

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki beberapa ekosistem yang dibedakan menurut ketinggiannya, antara lain: (a) ekosistem hutan pegunungan bawah; (b) ekosistem hutan pegunungan atas dan (c) ekosistem sub-alpin. Selain ketiga tipe ekosistem utama tersebut, ditemukan beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Ekosistem tersebut antara lain: (a) ekosistem rawa; (b) ekosistem kawah; (c) ekosistem alun-alun; (d) ekosistem danau; dan ( e) ekosistem hutan tanaman.

Selain Keragaman ekosistem, TNGGP merupakan habitat bagi 1400 jenis flora berbunga, paku, lumut dan tumbuhan talus. Selain itu telah teridentifikasi 105 jenis tumbuhan hias, 100 jenis tumbuhan survival dan 107 jenis tumbuhan obat. Bambang dan Rugayah (1992) mencatat bahwa diantara jenis tumbuhan yang hidup di dalam kawasan TNGGP terdapat kelompok tumbuhan asli dan khas (70 jenis), endemik (4 jenis), mulai langka (4 jenis), jenis yang dilindungi UU (8 jenis), serta terinventarisasi 21 jenis eksotik.

Kawasan TNGGP juga merupakan habitat bagi beberapa tumbuhan yang mempunyai daya tarik tersendiri yaitu: edellweis (Anaphalis javanica), kantung semar (Nepenthes pymnamphora), lumut merah (Spagnum gdeanum), bubukuan

(Strobilanthus cernua), dan ”lumut goliath” yang mampu hidup pada suhu air mencapai > 50ºC. (TNGGP 2006)

Selain memiliki kekayaan flora, kawasan TNGGP menyediakan habitat bagi keanekaragaman fauna, antara lain mamalia, reptil, amfibi, burung, serangga, dan kelompok satwa tidak bertulang belakang. Terdapat burung 251 jenis atau lebih dari 50 % jenis burung yang hidup di Jawa, 110 jenis mamalia, lebih dari 300 jenis serangga, 75 jenis reptil, 18 jenis katak dan berbagai jenis binatang lunak (molusca) (BBTNGGP 2008)

Ditinjau dari potensi keanekaragaman satwaliarnya, TNGGP merupakan kawasan yang memiliki jenis burung tertinggi di Pulau Jawa. Sekitar 53% atau 260 jenis dari 460 jenis burung di Jawa dapat ditemukan di kawasan ini (BTNGP 1996) Di samping itu, 19 dari 20 jenis burung endemik di Pulau Jawa hidup di kawasan ini, termasuk jenis-jenis yang langka dan dilindungi undang-undang, salah satunya adalah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai “Satwa Dirgantara” melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993, celepuk gunung (Otus angelinae) dan berecet (Psaltria exilis) (Whitten et al. 1996).

Terdapat empat jenis primata yang dapat dijumpai antara lain : Owa Jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata ), lutung (Trachypithecus auratus) , dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) . Owa yang endemik, dilindungi, dan hanya dapat ditemukan di daereah Jawa Barat, masih dapat ditemukan di Cibodas, Bodogol dan daerah bagian selatan taman nasional. Surili juga termasuk endemik Jawa, termasuk kategori endangered dan dilindungi, masih dapat ditemukan di dalam kawasan hutan pegunungan bawah, dan di sekitar air terjun Cibeureum (Cibodas), Cisarua, dan Bodogol (BTNGGP 2003).

Di sekitar Jawa saat ini diketahui terdapat sekitar 40 jenis amfibi, sebagian besar di antaranya dapat dijumpai di hutan-hutan di sekitar Jawa Barat yakni sekitar 37 jenis dari semua jenis yang ada di Jawa dan Bali (Iskandar 1998). Sedangkan untuk kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan sekitarnya tercatat 18 jenis dari lima famili (Kusrini et al. 2007, Liem 1971).

4.3. Kawasan Wisata

Kawasan wisata yang ada di TNGGP di antaranya adalah Air Terjun Ciwalen (800 m dari Kantor Resort Cibodas), Air Panas (5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas), Telaga Biru (1.575 m dpl), Air terjun Cibeureum (2,8 km dari pintu masuk), Puncak dan Kawah Gunung Gede (2.958 m dpl), Alun-alun Surya Kencana (2.750 m dpl), Gunung Putri dan Selabintana. Papan Interpretasi di kawasan ini sudah cukup baik. Tetapi papan interpretasi yang ada di jalur Ciwalen menjadi tidak ada gunanya karena jarang dilewati pengunjung. 4.4. Kondisi Habitat Masing-Masing Lokasi Penelitian

Penjelasan kondisi habitat di masing-masing lokasi penelitian ini berdasarkan pengamatan langsung saat penelitian dan hasil dari wawancara dengan petugas yang berada di lokasi.

4.4.1. Curug Cibeureum

Curug Cibeureum terletak 2,8 km dari loket masuk dan berada pada ketinggian > 1.000 m dpl. Lokasi ini merupakan objek wisata yang sering dikunjungi wisatawan lokal maupun wisatawan asing sehingga lokasi ini memiliki tingkat gangguan oleh aktivitas manusia cukup tinggi terutama pada akhir pekan. Di lokasi ini terdapat tiga curug/air terjun dengan ketinggian berbeda. Curug satu merupakan curug yang pertama kali dijumpai apabila melewati jalur setapak dari telaga biru, curug ini memiliki ketinggian ± 30 m. Air terjun ini memiliki debit air terbesar dibandingkan dua air terjun lainnya. Lalu selanjutnya curug dua yang memiliki ketinggian ± 25 m dan merupakan air terjun dengan debit air terkecil. Selanjutnya yang terakhir adalah curug tiga merupakan curug tertinggi dengan ketinggian ± 40 m, namun debit air yang mengalir tidak lebih besar dari Curug Cibeureum dan lebih besar dari air terjun kedua. Di curug tiga ini juga merupakan habitat dari katak merah (Leptophryne cruentrata). Lokasi pengambilan sampel adalah daerah sekitar ketiga air terjun tersebut dan di jalur interpretasi antara HM 23 – 25.

Pengambilan data katak di daerah sekitar air terjun dilakukan di sekitar curug 3. Vegetasi dominan ialah selada air (Selaginella sp.), tumbuhan air lain dan kecubung (Brugmansia suaveolens) dengan substrat sungai sebagian besar lumpur berpasir. Habitat di sekitar air terjun terbuka (tidak tertutup tajuk) sehingga sinar matahari dapat langsung menyentuh lantai hutan. Habitat yang tertutup tajuk pohon adalah pada jalur sepanjang 200 m sebelum air terjun dan pada tebing antara air terjun kedua dan ketiga.

Lokasi lain pengambilan sampel di daerah Curug Cibeureum dilakukan pada jalur interpretasi antara HM 23-25. Habitat berupa jembatan kayu dengan tumbuhan kecubung tumbuh dominan di sisi kiri dan kanan jembatan. Tutupan tajuk di sisi kiri dan kanan jembatan rapat karena merupakan hutan primer pegunungan.

Gambar 5 Habitat pada Jalur Interpretasi antara HM 23-25.

4.4.2. Ciwalen

Letak Ciwalen berbatasan langsung dengan Kebun Raya Cibodas (KRC). Ciwalen merupakan jalur interpretasi yang ada di TNGP yang dikembangkan pihak TNGP selain jalur Cibereum. Kawasan ini dialiri oleh sungai Ciwalen yang merupakan sumber air yang menghidupi masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Pengambilan sampel di kawasan ini dilakukan di samping wisma peneliti, HM 2-3, dan dekat pos informasi Ciwalen. Kawasan ini jarang dikunjungi oleh wisatawan dibandingkan Curug Cibeureum sehingga tingkat gangguan akibat pengunjung kecil.

Vegetasi dominan di kawasan ini adalah kecubung (Brugmansia suaveolens). Keadaan tajuk pohon agak tertutup sehingga hanya beberapa lantai hutan yang terkena langsung sinar matahari.

Dokumen terkait