• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Perairan Rawa Banjiran DAS Mahakam

Penelitian ini dilakukan di rawa banjiran DAS Mahakam yang meliputi Sungai Rebak Rinding, Danau Melintang, dan rawa (rapak) yang berada di dekat kawasan Danau Melintang. Musim penghujan yang berlangsung selama penelitian meningkatkan massa air dan menyebabkan banjir. Pada saat banjir, terjadi penyatuan berbagai macam habitat perairan yang ada di sekitarnya seperti rawa, sungai, dan danau sehingga terbentuklah suatu ekosistem baru yang disebut rawa banjiran.

Menurut Mustakim (2008), saat musim kemarau, daerah di sekitar aliran Sungai Mahakam akan terpisah menjadi beberapa habitat seperti rawa, sungai, dan danau. Habitat - habitat tersebut akan menyatu pada saat musim penghujan. Kondisi tersebut akan berlangsung selama ± 3 bulan.

Fluktuasi air merupakan kondisi yang sangat mempengaruhi kualitas air di rawa banjiran. Untuk mengetahui kondisi perairan di daerah rawa banjiran tersebut, maka dilakukan pengamatan parameter fisika, kimia, dan biologi secara umum yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kisaran nilai parameter fisika, kimia, dan biologi perairan rawa banjiran DAS Mahakam

Stasiun

Parameter Satuan Rawa Sungai Danau

Baku Mutu Fisika Suhu 0C 29.97 ± 0.20 29.01 ± 0.90 29.03 ± 0.96 Kedalaman m 0.84 ± 0.19 3.15 ± 1.00 2.67 ± 1.06 Kekeruhan NTU 52.33 ± 0.58 106.67 ± 2.52 99.33 ± 2.52 Kimia pH 5.76 ± 0.19 6.38 ± 0.32 6.58 ± 0.35 6 – 9* Oksigen Terlarut (DO) mg/l 2.07 ± 0.09 4.08 ± 0.58 3.48 ± 0.30 > 3* Alkalinitas mg/l 8.28 ± 0.85 15.17 ± 0.32 15.23 ± 2.29 Biologi Tumbuhan Air %/m2 78.33 ± 7.64 31.67 ± 2.89 55.00 ± 5.00 *Baku mutu berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001 untuk air kelas III

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan (Effendie 1979). Ikan - ikan di perairan tropik hidup pada lingkungan yang hangat

dengan fluktuasi suhu yang kecil sehingga ikan - ikan tersebut cenderung memiliki pertumbuhan yang cepat dan siklus hidup yang singkat (Moyle & Cech 1988).

Menurut Samuelet al. (2002), suhu perairan yang berada pada kisaran 25 - 290C masih berada dalam batas wajar dan tidak membahayakan kehidupan ikan di daerah tropik. Cholik et al. (1982) in Sinaga (1995) menyatakan bahwa suhu perairan di daerah tropik tidak banyak bervariasi dan yang terbaik untuk mendukung kehidupan organisme perairan berada pada kisaran 25 - 32 0C. Semakin tinggi suhu semakin meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik yang selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Suhu air maksimal yang dapat diikuti oleh perubahan suhu tubuh ikan adalah 40 0C (Jangkaru 2002). Perubahan suhu lingkungan yang cepat dan besar akan berakibat fatal bagi ikan. Enzim dalam tubuh ikan yang berfungsi merangsang metabolisme hidup dalam batas suhu tertentu, akan berhenti beraktivitas jika terjadi perubahan suhu yang besar dan terjadi dalam waktu singkat (Jangkaru 2002).

Suhu perairan selama penelitian berkisar antara 29.97 ± 0.200C di stasiun rawa, 29.01 ± 0.90 0C di stasiun sungai, dan 29.03 ± 0.96 0C di stasiun danau. Suhu ini masih dalam kisaran batas normal untuk pertumbuhan ikan betok. Suhu yang sesuai sebagai syarat hidup ikan betok adalah 15 - 310C (Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Jambi 1995), 29 0C (Purwakusuma 2002), 24 - 30 0C (Kuncoro 2009), dan 22 - 300C (www.fishbase.org).

Pada perairan rawa banjiran fluktuasi tinggi air dalam setahun sangat besar (terkait erat dengan siklus hidrologi). Akibat adanya peningkatan kedalaman dan penggenangan daratan, habitat berkembang sangat luas (Moyle & Cech 1988). Semakin luas habitat, semakin beragam pula sebaran makhluk hidup yang hidup di dalamnya karena semakin beragam pula ketersediaan makanan yang terdapat disana. Hal ini sesuai dengan hasil tangkapan ikan betok yang diperoleh. Hasil tangkapan terbanyak terdapat pada bulan Desember saat kedalaman air tertinggi yaitu sebanyak 140 ekor.

Kekeruhan dapat mempengaruhi proses fotosintesis karena bisa menghambat intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air. Selanjunya dapat mempengaruhi pandangan dan pergerakan ikan sehingga ikan kesulitan untuk mencari makan, memijah, ataupun beruaya (intensitas cahaya matahari berperan sebagai perangsang alami untuk ikan dalam melakukan ruaya) yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ikan itu sendiri (Effendie 1997).

Kekeruhan perairan pada setiap stasiun penelitian cenderung tidak merata dan bervariasi. Kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun sungai (106.67 ± 2.52 NTU). Hal tersebut ditunjang dengan sedikitnya jumlah ikan hasil tangkapan pada stasiun sungai dibandingkan dengan stasiun-stasiun yang lain. Ikan betok yang tertangkap pada stasiun sungai hanya 71 ekor yang terdiri atas 42 ekor jantan dan 29 ekor betina (Lampiran 6).

Kekeruhan yang terjadi diduga disebabkan oleh adanya pencampuran massa air oleh angin dan arus pada saat terjadi banjir. Selain itu, banyaknya partikel lumpur yang terbawa arus juga mempengaruhi kekeruhan perairan.

Faktor - faktor kimia perairan seperti pH, oksigen terlarut, dan alkalinitas dalam keadaan ekstrim mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan ikan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Fluktuasi pH suatu perairan sangat ditentukan oleh alkalinitas di perairan tersebut. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitasnya (Effendie 1997).

Oksigen dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme. Oleh karena itu, kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh kemampuan memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya. Kandungan oksigen dalam air tawar pada suhu 250C yaitu 5.77 - 8.24 mg/l dan mengalami penurunan pada suhu 30 0C yaitu 5.28 - 7.54 mg/l (Fujaya 2004). Perairan yang mengandung oksigen terlarut kurang dari 3 mg/l mulai mengganggu kehidupan ikan (Jangkaru 2002).

Kisaran rata-rata nilai pH, oksigen terlarut, dan alkallinitas pada semua stasiun penelitian masih dalam batas aman dan sesuai dengan baku mutu (Tabel 2), walaupun pada stasiun rawa terlihat adanya penurunan nilai pH dan oksigen terlarut tetapi hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan betok. Derajat keasaman (pH) akan mudah ternetralisir dengan masuknya air dari sungai utama (Samuelet al. 2002).

Persentase penutupan tumbuhan air pada tiap stasiun penelitian cukup bervariasi dan yang terbesar terdapat pada stasiun rawa. Tumbuhan air tersebut merupakan makanan insekta (nyamuk dan lalat air) yang pada tropik level selanjutnya merupakan makanan ikan betok (Mustakim 2008).

Ikan betok banyak ditemukan hidup di dataran rendah yang identik dengan suhu tinggi dan kelarutan oksigen yang rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya alat pernapasan tambahan (labirinth) yang dimiliki oleh ikan betok sehingga ikan betok dapat mengambil oksigen bebas dari udara saat perairan tempat hidupnya

kekurangan oksigen (Sterba 1969; Nelson 1984). Alat pernapasan tambahan yang sama juga ditemukan pada ikan serandang (Channa pleurophthalmus) di DAS Musi (Said 2006).

Utomo dan Ahsyari (1999) melaporkan bahwa ikan betok masih ditemukan pada perairan yang berlumpur, sedikit air, dengan kandungan oksigen rendah di Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Selain ikan betok, ditemukan pula ikan gabus

(Channa striatus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), dan tambakan (Helostoma

temmincki).

Dokumen terkait