• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Pulau Pari

Ekosistem Teluk Jakarta yang disebut juga Greater Jakarta Bay Ecosystem terletak pada posisi antara garis 106o 20' - 107o 03' bujur timur dan pada garis 5o 10' - 6o

Laguna Pulau Pari yang terdapat di gugusan Kepulauan Seribu berfungsi sebagai daerah asuhan bagi banyak larva ikan. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan Kaswadji (1997), yang menemukan larva-larva ikan dari enam famili, yaitu Ambassidae, Apogonidae, Teraponidae, Hemirhamphidae, Gobiidae dan Serranidae. Pulau Pari sendiri saat ini termasuk salah satu dari 7 lokasi DPL-BM (Daerah perlindungan Laut Berbasis Masyarakat) yang berlokasi di Kepulauan Seribu sedangkan 6 lokasi lainnya adalah Pulau Tidung, Pulau Harapan, Pulau Panggang (Gosong Pramuka) dan Pulau Kelapa, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kawasan Gosong Pramuka dan Kel. Pulau Panggang. DPL Pulau Pari mempunyai luas 12 ha dari total 122,1 ha wilayah DPL yang ada di Kepulauan Seribu (Amri dan Agus, 2011).

10' lintang selatan. Teluk Jakarta terikat oleh bagian Barat Tanjung Pasir dan bagian timur Tanjung Karawang adalah sebagian besar dipengaruhi oleh aktivitas berbasis lahan. Williams et. al (2000) dalam Arifin (2004) menyatakan bahwa ekosistem Teluk Jakarta terdiri dari dua ekosistem pantai (coastal ecosystems), yaitu Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu.

Sebagai ekosistem semi tertutup laguna pulau pari mendapatkan pengaruh dari pulau-pulau yang ada di dalam laguna (Pulau Pari, Pulau Kongsi, Pulau Burung, Pulau Tikus dan Pulau Tengah) dan juga dari perairan di sekitarnya. Terumbu karang mengelilingi semua gugus pulau-pulau tersebut dengan membentuk bagian-bagian terumbu yang cukup komplit, seperti rataan terumbu (reef flat), goba (lagoon) dan terumbu yang mengelilingi goba (atol) sehingga menyerupai pulau atol yang dikenal juga dengan atol semu atau (pseudo atol) (Abrar, 2011).

Perairan Laguna Pulau Pari dihubungkan dengan laut lepas melalui 6 kaloran (inlet) yang beragam lebar dan kedalamannya (Kaswadji, 1997). Aktifitas

masyarakat yang tinggal di Pulau Pari dan sekitarnya dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kondisi perairan laguna. Limbah rumah tangga dan aktivitas pengolah rumput laut berpengaruh terhadap kualitas perairan terutama kandungan bahan organik dan konsentrasi nutrien perairan. Selain pengaruh dari dalam laguna, perairan laguna juga mendapat pengaruh dari perairan sekitarnya. Laguna Pulau Pari terletak paling selatan dari gugusan pulau seribu dan berjarak hanya 40 km dari kota Jakarta, sehingga perairan laguna juga mendapatkan pengaruh dari perairan Teluk Jakarta yang tingkat pencemarannya sudah tinggi. Pengaruh pencemaran dari Teluk Jakarta telah dirasakan oleh para petani rumput laut, yang menyatakan adanya penurunan hasil budidaya rumput laut yang dikarenakan oleh seringnya terkena serangan penyakit sebagai akibat semakin menurunnya kualitas air dalam laguna.

Contoh adanya pengaruh lingkungan adalah terjadinya fluktuasi kondisi nutrien dan konsentrasi klorofil yang tidak beraturan, seperti yang dilaporkan oleh Kaswadji (1997). Lebih lanjut lagi Kaswadji (1997) juga melaporkan bahwa nilai nitrat berfluktuasi antara 0,001 – 0,326 (mg N/l), nilai fosfat berfluktuasi antara 0,00009 – 0,15 (mg P/l) dan nilai silikat berfluktuasi antara 0,006 – 2,052 (mg Si/l). Konsentrasi klorofil a berfluktuasi sangat tajam selama setahun, nilai terendah yang teramati adalah 0,066 (µg/l) sampai 13,388 (µg/l). Dari hasil pengukuran terhadap luas penampang kaloran (jalan masuk air) dan mengalikannya dengan kecepatan arus, Kaswadji (1997) menemukan bahwa jumlah massa air yang masuk melalui kaloran adalah 63637,2 m3

Kedua pengaruh yang diterima perairan Laguna Pulau Pari, baik dari dalam maupun dari luar laguna dapat menyebabkan terjadinya dinamika kondisi perairan baik pada kondisi kimia, fisik maupun biologi perairan. Proses fisik seperti pengadukan masa air dapat mempengaruhi distribusi vertikal dari fitoplankton dan zooplankton. Secara fisik, masa air yang ada di dalam laguna bergerak keluar masuk melalui kaloran, yang dipengaruhi oleh arus dan pasang surut. Pergerakan masa air dan tekanan angin dapat menyebabkan teradinya pengadukan pada kolom air dalam goba.

/jam. Masuknya massa air dari perairan sekitar, dapat menyebabkan terjadi fluktusi kondisi perairan di dalam laguna.

(5 m), Goba Besar satu (5 m), Goba besar dua (1 m), Goba Ciaris (1 m) dan Goba buntu (0,5 m) (Kaswadji, 1997). Dengan kedalaman yang berbeda pada masing-masing goba yang ada, menyebabkan adanya variasi dalam proses pengadukan masa air pada setiap goba. Di dalam laguna Pulau Pari ditemukan tiga tipe ekosistem, yaitu terumbu karang, lamun dan mangrove. Ketiga tipe ekosistem pantai ini juga dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi hidrodinamika perairan dalam laguna.

Perubahan yang terjadi secara fisik (arus, pasang surut, angin, turbulensi) dan kimiawi (konsentrasi nutrien) dapat mempengaruhi kondisi biologis perairan. Hal ini ditegaskan oleh Tondato et al (2010) yang menyatakan bahwa faktor-faktor biotik (ketersediaan makanan, keberadaan predator dan kompetisi) dan abiotik (fisika dan kimia), atau interaksi antar keduanya dapat menentukan musim dan kecocokan dari suatu habitat dalam keberhasilan reproduksi. Perubahan yang terjadi pada produsen primer akan mempengaruhi pembentukan biomassa produsen sekunder (protozoa dan zooplankton) dan organisme pada tingkatan trofik yang lebih tinggi lagi (larva ikan). Akibat terjadinya dinamika pada komponen produsen primer dan sekunder, maka ketersediaan makanan bagi larva ikan, tidak selalu terpenuhi setiap saat.

2.2 Biologi Larva Ikan

Iktioplankton merupakan salah satu cabang dari Ichthyologi yang membahas tentang daur hidup ikan, dimulai dari fase telur hingga larva yang hidup secara planktonik dan sifatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya terutama pergerakan dan migrasinya. Penelitian tentang ikthioplankton pertama kali dilakukan di dunia oleh G.O. Sars ditahun 1865 saat ia menemukan telur-telur ikan Cod (Gadus morrhua) di perairan Norwegia (Westhaus-Ekau, 2004). Selanjutnya di tahun 1878 dua orang Jerman C. Kupfer dan H.A. Meyer, berhasil melakukan pembuahan terhadap telur ikan herring dan menetaskan larvanya dan di tahun 1885, hatchery ikan laut komersial pertama di dunia pun berdiri. Di Indonesia penelitian iktioplankton pertama kali dilakukan oleh Delshman (1926).

Westhaus-Ekau (2004) menyebutkan berdasarkan sejarahnya maka ada dua macam penelitian iktioplankton yaitu 1) non quantitative sampling in the sea

(identifikasi, distribusi) dan 2) quantitative surveys for estiamtion of abundance

(recruitment ecology). Lebih jauh lagi Westhaus-Ekau (2004) menambahkan, ada empat tujuan utama dalam penelitian stadia awal, yaitu :

1. Pengetahuan umum tentang early life stages per se, morfogenesis, fisiologi, tingkah laku, taksonomi, sistematika dan zoogeografi.

2. Peranan telur dan larva ikan dalam ekosistem akuatik, rantai makanan dan jaring-jaring makanan.

3. Menetaskan telur dan larva untuk uji-uji toksikologi, fisiologi dan genetik serta untuk mengidentifikasi spesies yang belum diketahui.

4. Pengetahuan mengenai populasi ikan dan eksploitasi optimumnya.

Awal daur hidup ikan, menurut Effendie (1978) dan Metarase et.all. (1989), meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (ikan muda). Ikan-ikan pada stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993). Pemijahan sebagai salah satu bagian dari reproduksi merupakan mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies. Penambahan populasi ikan bergantung kepada berhasilnya pemijahan dan bergantung kepada kondisi dimana telur dan larva ikan kelak berkembang (Effendie, 1997). Keberadaan ikthioplankton sendiri sangat penting karena mortalitas yang dialaminya sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses rekruitmen ikan dewasa sekaligus sumberdaya perikanan. Lebih lanjut lagi kemampuan gerak yang sangat terbatas dari ikthioplankton mengakibatkan mudahnya kedua komponen (telur dan larva) ini dimangsa oleh predator-predator yang ada di lingkungan perairan (Syahailatua, 2006).

Penelitian di bidang fish early life history, terutama tentang iktioplankton atau larva ikan di Indonesia masih sangat jarang sehingga belum memberikan sumbangan yang signifikan dalam manajemen perikanan yang saat ini berbasis pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Dengan melakukan survei ikthioplankton dalam jangka waktu yang panjang maka kita akan dapat mengetahui informasi mengenai lokasi pemijahan, waktu pemijahan dan

menduga atau meramalkan musim benih (spatfall), mengefisienkan pengumpulan benih tersebut, mendukung kemajuan di bidang budidaya, mengetahui dimana kumpulan larva ikan yang bernilai ekonomis ini berasal dan mencari makan, serta konservasi lingkungan pantai (Romimohtarto dan Juwana 1998).

2.2.1 Morfologi Larva Ikan

Russel (1976) menyebutkan bahwa larva ikan merupakan bentuk atau tingkatan ikan setelah menetasnya telur dan isitilah larva digunakan dengan merujuk pada larva yang masih memiliki kantong telur atau yolk sac sedangkan isitlah “post larva” adalah untuk ikan muda antara stadia larva dan juwana. Mantiri (1995) mendeskripsikan ikthioplankton sebagai organisme ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva sedangkan Effendie (1978) menyebutkan bahwa perkembangan larva secara garis besar dibagi menjadi dua tahap, yaitu

prolarva dan postlarva. Prolarva adalah stadia dimana larva masih mempunyai kantung kuning telur (yolk sac) yang terletak di bagian depan bawah, tubuh masih transparan dengan beberapa pigmen yang belum diketahui fungsinya. Sedangkan postlarva adalah stadia dimana kantong kuning telur menghilang dan terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ yang ada sehingga secara morfologis sudah mempunyai bentuk yang sama dengan induknya. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor sudah ada garis bentuknya. Berenangnya sudah lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie 1997). Selanjutnya apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juvenile. Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada yang mengalami beberapa perubahan bentuk tubuhnya atau bermetamorphose. Westhaus-Ekau Ekau (2004) menyebutkan bahwa fase untuk perkembangan ikan adalah :

o Yolk-sac stage (fase pada saat larva baru menetas dimana kantong kuning telurnya masih ada).

o Larvastage (fase preflexion, flexion dan postflexion)

o Transformation stage (fase dimana larva ikan kehilangan karakteristik larvanya)

o Juvenil Stages (fase juvenil)

Gambar fase perkembangan hidup ikan dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Fase perkembangan ikan Trachurua symmetricus (Ahlstorm dan Ball, 1954 dalam SEAFDEC, 2007).

Pada perkembangan selanjutnya sirip ekor mulai berkembang yang kemudian diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Dengan mengerasnya vertebrae dan osteogenesis serta adanya perubahan pigmentasi pada tubuh larva ikan maka fase post larva akan memasuki fase selanjutnya yaitu juwana (juvenil). Pada fase ini seluruh organ dan pigmentasi yang ada akan menjadi lebih jelas dan mirip dengan induknya sehingga akan lebih mudah

karena dapat menentukan waktu dan lokasi pemijahan. Bila di suatu tempat ditemukan larva ikan dengan stadia preflexion dalam jumlah banyak maka dapat dipastikan maka lokasi pemijahannya tidak jauh.

Gambar 2. Larva ikan pada stadia preflexion (Leis and Carson-Ewart, 2000).

Gambar 3. Larva ikan pada stadia postflexion (Leis and Carson-Ewart, 2000).

2.2.2. Identifikasi Larva Ikan

Menurut Leis and Carson-Ewart (2000) ada empat metode untuk mengidentifikasi larva ikan :

1. Menggunakan literatur dari para ahli yang telah melakukan pekerjaan identifikasi sebelumnya

2. Series method, yaitu mengumpulkan sejumlah larva dari jenis tertentu dan melakukan identifikasi dari stadia tertinggi berdasarkan kesamaan morfologi dari ikan dewasa. Metode ini membutuhkan bahan dalam jumlah yang banyak, terutama dari berbagai metode pengumpulan untuk mendapatkan kisaran ukuran yang luas.

3. Biokimia, yaitu dengan menggunakan bahan-bahan kimia untuk melakukan identifikasi molekuler dengan menggunakan DNA. Metode ini tidak praktis untuk pekerjaan identifikasi secara rutin tetapi akurat walaupun mahal.

4. Rearing, yaitu menetaskan telur di laboratorium dari ikan dewasa yang telah teridentifikasi dimana sejumlah diantaranya diambil untuk diamati pertumbuhan dan ciri-ciri morfologinya. Sayangnya larva yang ditetaskan di laboratorium kadang tidak mirip dengan larva yang ditangkap dari alam karena pengaruh kondisi laboratorium yang berbeda dengan alam.

Romimohtarto dan Juwana (1998) menambahkan, pada larva ikan ada beberapa kelompok sifat taksonomik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis larva yaitu :

1. Berbagai struktur dan bentuk tubuh seperti mata, kepala, bentuk badan, lambung dan sirip khususnya sirip dada.

2. Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang.

3. Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanophora).

4. Tandan-tanda yang sangat khusus seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan berubah, jenggot (sungut) pada dagu, duri (spine) pada preoperculum dan lain-lain.

Karakter dari melanophora merupakan ciri pembeda utama dalam mengidentifikasi jenis dari larva. Kesamaan antar spesies dapat dilihat dari ada atau tidaknya melanophora serta posisi dimana melanophora tersebut berada. Menurut Russel (1976) posisi melanophora bisa terletak di bagian eksternal dari epidermis atau dermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebral, dan di daerah otocystic.

organisme didalamnya, tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan keperluan yang berbeda-beda terhadap lingkungan tempatnya hidup. Menurut Nikolsky (1963) ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu: 1. Sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2. Ketersediaan sumber makanan yang cukup, 3. Cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan.

Larva ikan biasanya memanfaatkan daerah yang terlindung sebagai habitat pengasuhan. Secara umum distribusi ikthioplankton ditentukan oleh faktor-faktor dari tingkah laku seperti faktor-faktor fisik seperti sirkulasi pasang surut (Laprise and Dodson, 1989), suhu, salinitas dan turbiditas (Able, 1978), keberadaan predator (Brodeur and Rugen, 1993) dan ketersediaan makanan. Selain itu juga ada pergerakan berdasarkan waktu dan cahaya (Mantiri, 1995)

Ekosistem laguna merupakan tipe ekosistem yang dimanfaatkan oleh banyak biota laut sebagai habitat pengasuhan bagi larva dan juvenile (Williams, 1983; Dufour and Galzin, 1997; Kaswadji, 1997; Renjaan, 2003). Ekosistem laguna biasanya dibatasi oleh terumbu karang yang menyebabkan masa air yang ada di dalam laguna tidak tercampur secara langsung dengan masa air di sekitarnya, dan tidak terkspos secara langsung oleh faktor fisik perairan sekitarnya seperti arus dan ombak (Choat and Bellwood, 1991). Kondisi seperti ini dapat memberikan perlindungan bagi larva dan juvenile ikan yang masih lemah dan memiliki pergerakan terbatas.

Beberapa Ikan karang dari family Pomacentridae (Williams, 1983; Wilson, 2003), Labriidae, Scaridae, dan Gobiidae (Dufour and Galzin, 1997) dan beberapa larva moluska (Renjaan, 2003) ditemukan berlindung di perairan laguna. Larva-larva ikan biasanya bergerombol memasuki laguna pada saat sore hingga malam hari terutama pada waktu bulan gelap (Dufour and Galzin, 1997). Selain larva yang berasal dari luar laguna, di dalam laguna juga dihasilkan larva-larva ikan, yang berasal dari ikan karang yang memijah di dalam laguna.

Sulistiono et al., (2000) menyatakan bahwa sebagian besar ikan di ekosistem terumbu karang adalah ikan-ikan yang bersifat diurnal (aktif pada siang hari). Mereka mencari makan dan tinggal di permukaan karang dan memakan

plankton yang lewat di atasnya. Ikan-ikan diurnal ini seperti Famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Acanthuridae, Labridae, Lutjanidae, Balistidae, Serranidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blennidae, dan Gobiidae. Sebagian kecil lainnya adalah ikan-ikan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari). Ikan ini pada siang hari menetap di gua-gua dan celah-celah karang. Yang termasuk dalam kelompok ikan ini adalah Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae dan termasuk juga Famili Serranidae dan Labridae. Ada pula sebagian kecil jenis-jenis ikan yang sering melintasi ekosistem terumbu karang seperti Famili Scombridae, Sphyraenidae dan Caesionidae.

Ikan-ikan karang mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat dengan terumbu karang dan mempunyai pola pergerakan yang sangat terbatas, contohnya adalah ikan dari famili Scaridae, Acanthuridae, Siganidae, Chaetodontidae, Pomachantidae dan beberapa spesies dari family Labriidae dan Pomacentridae (Choat and Bellwood, 1991). Dengan banyaknya jenis ikan yang memanfaatkan laguna sebagai daerah asuhan, maka laguna harus memiliki kemampuan untuk mendukung keberhasilan hidup larva-larva ikan tersebut melalui jaminan ketersediaan makanan berupa fitoplankton dan zooplankton.

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Nopember 2010. Sampling dilakukan setiap bulan dengan ulangan dua kali setiap bulan. Lokasi sampling meliputi daerah laguna dan tubir disekitar Pulau Pari dan pulau-pulau di sekelilingnya (Pulau Burung, Pulau Tikus dan Pulau Kongsi). Ada 5 stasiun pengambilan sampel (Gambar 4). Stasiun pengambilan sampel ditentukan berdasarkan karakter fisik yaitu kedalaman dan input massa air. Setiap goba mempunyai kedalaman dan luas yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, maka ditetapkan lima stasiun pengamatan, yaitu: Stasiun 1 di goba Soa besar/P. Tikus (kedalaman maks 15 m), Stasiun 2 di goba Labangan pasir (kedalaman maks 5 m)/P. Burung, Stasiun 3 di goba Ciaris/P. Kongsi (kedalaman maks 1 m) stasiun 4 di goba Buntu/LIPI (kedalaman maks 0,5 m) dan Tubir .

16

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva net dengan ukuran diameter 60 cm, panjang 3 m dan ukuran mata jaring 500 µm (Gambar 5). Thermometer dengan skala Hg untuk pembacaan suhu, refraktometer untuk pengukuran salinitas, Global Positioning System (GPS) untuk menetukan lokasi/stasiun sampling, pH meter untuk mengukur tingkat keasaman air dan stereo mikroskop Zeiss DV-40 dengan perbesaran maksimal 10x untuk pengamatan larva ikan. Bahan penelitian yang dipakai adalah alkohol 70% untuk pengawetan sampel larva ikan setelah disortir dan formalin 4% sebagai pengawet pada saat sampling di lapangan.

Gambar 5. Larva net

3.2.1 Prosedur Kerja

Sampling larva ikan dilakukan dengan cara menarik larva net secara horisontal dengan menggunakan perahu motor pada kedalaman lebih kurang 1 meter, selama 10 menit dengan kecepatan 2 knot. Sampel larva ikan yang tertangkap kemudian diawetkan dengan formalin 5% setelah itu dibawa ke

laboratorium untuk analisa lebih lanjut. Selain sampling larva ikan juga dilakukan sampling kualitas air seperti suhu, salinitas, ph dan nutrien. Untuk analisa nutrien (NO3, PO4

Di laboratorium sample dipisahkan dari zooplankton disimpan dalam larutan alkohol 70%. Larva ikan diidentifikasi hingga tingkatan takson yang terendah dengan mengacu pada buku Leis and Carson-Ewart (2000), Delshman (1926; 1932), Petunjuk Identifikasi FAO (Smith and Richardson, 1977) dan Sirisaksophon and Patterson (2006). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Biologi milik Balai Penelitian Perikanan Laut-KKP Jakarta dan Laboratorium Plankton milik Balai Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jatiluhur-KKP.

dan Si) dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan (Proling) FPIK IPB.

3.3 Analisa Data

3.3.1 Kelimpahan Larva Ikan

Kelimpahan larva ikan yang didefinisikan sebagai banyaknya larva ikan persatuan volume air dihitung dengan menggunakan rumus :

N = n/V Dimana :

tsr

N = kelimpahan larva ikan (ind/m3

n = jumlah larva tercacah (ind) )

Vtsr = volume air tersaring (Vtsr = l x t x v) l = luas bukaan mulut larva net

t = lama waktu penarikan (towing time) (menit)

18

3.3.2 Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman larva diperlukan untuk menggambarkan kehadiran jumlah individu antar genus dalam suatu komunitas. Nilai ini dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Bengen, 2000). Formulasi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener berdasarkan persamaan sebagai berikut :

Keterangan :

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener N = jumlah total individu dalam komunitas (ni) ni = jumlah individu spesies atau jenis ke-i pi = proporsi individu spesies ke-i (ni/N) i =1,2,3,...,s

s = jumlah genus/spesies

3.3.3 Indeks Keseragaman

Keseragaman adalah suatu gambaran tentang sebaran individu dari setiap spesies dalam suatu komintas. Nilai indeks keseragaman (E) dihitung berdasarkan persamaan berikut : atau E Keterangan : E = indeks keseragaman H’ = indeks keanekaragaman s = jumlah genus/spesies

Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu dari setiap genus/spesies pada tingkat komunitas. Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Nilai E mendekati 1 apabila sebaran individu antar jenis merata (seragam) sedangkan Nilai E mendekati 0 apabila sebaran individu tidak merata atau ada jenis yang mendominasi.

3.3.4 Indeks Dominasi

Indeks dominasi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Odum, 1994) :

=

Keterangan :

D = indeks dominasi

ni = jumlah individu genus ke-i N = jumlah total individu

pi = proporsi individu spesies ke-i I = 1,2,3,...,s

s = jumlah genus

3.3.5 Analisis Komponen Utama/PCA (Principal Component Analysis)

Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi sebaran parameter bio-fisikakimia perairan (Bengen 2000). Analisis Komponen Utama adalah suatu teknik ordinasi yang memproyeksikan dispersi matriks dari data multidimensi dalam suatu ruang datar. Dengan cara mereduksi ruang maka diperoleh sumbu-sumbu baru yang merepresentasikan secara optimal dari sebagian besar variabilitas data matriks multidimensi sehingga dapat ditemukan hubungan antar ciri dan hubungannya antar obyek. Analisis ini membagi matriks korelasi parameter menjadi beberapa komponen, kemudian menyusun keragaman komponen bersangkutan dari yang terbesar pada sumbu komponen utama hingga didapatkan ditribusi spasial parameter biologi, fisika dan kimia pada suatu daerah tertentu. Korelasi linear antar dua parameter yang dianalisis dari indeks sintetik merupakan peragam dari kedua parameter yang telah dinormalisasikan.

Analisis Komponen Utama mencari indeks yang menunjukkan ragam stasiun maksimum. Indeks ini disebut Komponen Utama Pertama yang merupakan sumbu utama 1 (F1). Suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun direpresentasikan oleh F1. Selanjutnya dicari Komponen Utama Kedua (F2) yang memiliki korelasi nol dengan F1. Komponen F2 ini memberikan informasi

20

terbesar sebagai pelengkap F2. Proses ini berlanjut terus hingga memperoleh komponen utama ke-p, dimana begian informasi dapat dijelaskan semakin kecil. Analisis Komponen Utama menggunakan indeks jarak Euclidean pada data. Jarak Euclidean (Bengen 2000) hubungan didasarkan pada rumus:

(i,i’) = ∑ (Xij-Xi’j)

Keterangan : i.i’ = dua stasiun (pada baris)

2

j = parameter lingkungan

Semakin kecil jarak Euclidean antar 2 stasiun, maka karakteristik bio-fisikakimia antar 2 stasiun tersebut semakin mirip, demikian pula sebaliknya. Perhitungan PCA dilakukan dengan bantuan paket program statistik STATISTICA versi 6.0.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lingkungan Perairan

Penelitian dilakukan di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Gugusan ini tersusun atas pulau-pulau sangat kecil yang termasuk kategori pulau karang timbul dan pulau dataran rendah (low islands) yang terletak pada posisi 5°50’– 5°52’ LS dan 106°34’ - 106°36’ BT. Pulau-pulau yang ada disana adalah Pulau Pari, Pulau Tengah, Pulau Kongsi, Pulau Burung dan Pulau Tikus. Semua gugus pulau-pulau tersebut dikelilingi oleh terumbu karang yang membentuk bagian-bagiab terumbu yang cukup lengkap, seperti rataan terumbu (reef flat), goba (lagoon) dan terumbu yang mengelilingi goba (atol) sehingga menyerupai pulau atol yang dikenal juga dengan atol semu atau pseudo atol ( Abrar, 2011). Wilayah Pulau Pari sendiri termasuk salah satu dari 7 DPL (Daerah Perlindungan Laut) yang dibentuk pada tahun 2005 dengan luas 12 ha (Amri dan Agus, 2011). 4.1.1 Suhu

Secara umum, kisaran suhu di semua stasiun penelitian berkisar antara 28,8 – 32,75 °C dengan rata-rata 30,21 °C. Suhu rata-rata tertinggi tercatat ada bulan Agustus yaitu 30,65 °C sedangkan terendah ada di bulan Oktober (Gambar 6). Penelitian Kaswadji (1997) menunjukkan kisaran 29,8 – 32 °C pada periode bulan Juni-November dimana suhu tertinggi ada di bulan September yaitu 32 °C. Tingginya suhu di bulan Agustus dikarenakan bulan tersebut sudah memasuki

Dokumen terkait