• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 1 Letak Geografis dan Topografi Wilayah

Secara geografis, kawasan Taman TNGHS terletak antara 106° 13' – 106° 46' BT dan 06° 32' - 06° 55' LS. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, kawasan TNGHS terletak dalam tiga kabupaten, yaitu : Kabupaten Lebak di Propinsi Banten serta Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi di Propinsi Jawa Barat dengan luasan ± 113.357 ha. Kantor Balai TNGHS terletak di Jl. Raya Cipanas Kecamatan Kabandungan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Batas-batas wilayah TNGHS adalah sebagai berikut.

a. Sebelah utara dibatasi oleh Kecamatan Nanggung, Kecamatan Jasinga di Kabupaten Bogor dan Kecamatan Cipanas di Kabupaten Lebak.

b. Sebelah barat dibatasi oleh Kecamatan Leuwiliang di Kabupaten Bogor dan Kecamatan Kabandungan di Kabupaten Sukabumi.

c. Sebelah selatan dibatasi oleh Kecamatan Cikidang, Kecamatan Cisolok di Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Bayah di Kabupaten Lebak.

d. Sebelah timur dibatasi oleh Kecamatan Cibeber di Kabupaten Lebak.

Berdasarkan Peta Topografi, kawasan TNGHS sebagian besar datarannya terletak pada ketinggian di bawah 1.400 m dpl, dengan sebaran 1.000-1.400 m dpl(40,3 %). Bentang alam kawasan TNGHS secara umum memiliki topografi berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Berdasarkan analisa kemiringan lahannya kawasan TNGHS terdiri dari perbukitan dengan kemiringan terbanyak lebih dari 45 % (75,7 % dari luas areal) (Irwan 2008).

TNGHS memiliki ketinggian tempat berkisar antara 500 – 1.929 meter di atas permukaan laut. Kawasan ini dapat dikatakan sebagai luasan terbesar bagi sekelompok hutan pegunungan (sub montana) yang masih utuh di Pulau Jawa. Di dalam kawasan TNGHS terdapat gunung-gunung yang memiliki ketinggian antara lain, Gunung Kendeng 1400 mdpl, Gunung Botol 1720 mdpl, Gunung

Sanggabuana 1919 mdpl, Gunung Andam 1436 mdpl, dan Gunung Halimun 1929 mdpl yang merupakan gunung tertinggi di dalam kawasan TNGHS.

3.2 Sejarah TNGHS

TNGHS merupakan kawasan hutan pegunungan yang tersisa dan terluas di Jawa Barat. Kawasan ini merupakan ekosistem hutan alam yang memiliki sumber plasma nutfah, keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang sangat tinggi. Sejak tahun 1935, kawasan ini merupakan kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) dengan luas 40.000 ha (Ditjenphka 2008).

TNGH ditetapkan sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 ha di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP dan dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan. Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi halimun maka ditetapkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi TNGHS.

3.3 Geologi, Hidrologi dan Tanah

Berdasarkan sejarah geologi menunjukkan bahwa khusus Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dulunya merupakan salah satu rangkaian gunung berapi bagian selatan yang dipengaruhi oleh kondisi Samudera Hindia. Sebagian besar kawasan TNGHS terdiri dari batuan vulkanik seperti breksi, lava basalt dan andesit dari masa Pliocene-Lower Pleistocene dan beberapa strata dari masa pra-Pliocene.

Selain itu terdapat batuan sedimen di bagian utara yang awalnya merupakan kubah, terutama terdiri dari batuan debu calcareous. Di daerah sekitar TNGHS terdapat hal yang menarik dan luar biasa yaitu adanya kandungan emas dan perak. Biji emas dan perak mungkin terangkat pada saat timbulnya kubah bawah pertama yang menghasilkan retakan-retakan tegangan yang kemudian terisi oleh batuan kuarsa, seperti yang ditemukan di DAS Ciburial dan Cihara.

Jenis tanah di kawasan TNGHS terdiri atas 12 tipe tanah dan dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu andosol dan latosol. Untuk tujuan pertanian, tanah di kawasan TNGHS mempunyai kesuburan kimiawi yang minim sampai cukup, namun sifat-sifat fisikanya cukup bagus. Tanah dan batuannya dapat dikatakan mempunyai porositas dan permeabilitas yang baik sebagai daerah tangkapan dan peka terhadap erosi. Tekstur tanah umumnya didominasi oleh partikel seukuran debu yang mudah tercuci. Sifat-sifat tanah juga menunjukkan sifat vulkanik tua yang perkembangan tanahnya menunjukkan adanya evolusi tanah dari vulkanik tua yang sebenarnya sedang mengalami proses transisi dari andosol dan latosol.

Kawasan TNGHS memiliki fungsi vital sebagai daerah tangkapan air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat beberapa kabupaten disekitarnya. Banyak sungai yang berasal dari kawasan ini yang bermuara ke Laut Jawa di utara maupun Samudera Indonesia di selatan.Di bagian utara Gunung Halimun terdapat tiga sungai penting, yaitu sungai Ciberang (Ciujung), sungai Cidurian dan Cikaniki (Cisadane). Sungai-sungai ini mengalir melintasi Jakarta dan Serang. Di sebelah selatan mengalir sungai Cisukawayana, Cimaja, dan Cibareno yang bermuara di pantai Pelabuhan Ratu dan di sebelah timur terdapat sungai Citarik.

3.4 Iklim

Menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson iklim di wilayah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan sekitarnya tergolong ke dalam tipe iklim B, dengan perbandingan antara rata-rata bulan kering dan bulan basah, Q = 24,7, yaitu tipe iklim tanpa musim kering dan tergolong ke dalam hutan hujan tropika yang selalu basah. Variasi curah hujan rata-rata yang terjadi di

TNGHS berkisar antara 4.000 – 6.000 mm/tahun. Suhu rata-rata harian berkisar antara 20° - 30° C dengan kelembaban rata-rata berkisar antara 5 – 6 %.

3.5 Flora dan Fauna

Flora yang ada di setiap tipe ekosistem di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), adalah sebagai berikut :

a. Ekosistem Hutan Hujan Tropis Pegunungan (Zona Collin). Ekosistem TNGHS merupakan hutan hujan tropis pegunungan yang terluas di Pulau Jawa. Kawasan ini juga merupakan habitat berbagai jenis satwa, tumbuhan dan jasad renik. Pada ketinggian 500 – 1000 mdpl (Zona Collin), jenis tumbuhannya antara lain : rasamala (Altingia exelsa), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis javanica), kiriung anak (Castanopsis acuminatissima), dan pasang (Quercus gemeliflora).

b. Hutan Hujan Tropis Pegunungan (Zona Sub Montana). Pada ketinggian 1.000 – 1.400 mdpl (Zona Sub Montana), terdapat beberapa jenis seperti Acer laurinum, ganitri (Elaocarpus ganitrus), Eurya acuminatissima, buni (Antidesma bunius), beringin (Ficus spp), kayu manis (Cinnamomum sp), kileho (Saurauia pendula), dan kimerak (Weinmania blumei).

c. Hutan Hujan Tropis Pegunungan (Zona Montana). Pada ketinggian di atas 1.500 mdpl (Zona Montana) didominasi oleh jenis-jenis Podocarpus seperti kibima (Podocarpus blumei), kiputri (Podocarpus imbricaus), dan jamuju (Dacrycarpus imbricatus).

Disamping jenis-jenis tersebut, terdapat sekitar 75 jenis anggrek yang diantaranya merupakan jenis langka seperti Bulbophylum binnendykii,

Bulbophylum agustifolium, Cymbidium ensifolium, dan Dendrobium macrophyllum. Beberapa jenis flora endemik di kawasan ini, antara lain

Dipterocarpus hasseltii, dan Neesia altisima.

Di dalam kawasan TNGHS terdapat habitat dari berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Jenis-jenis satwa yang hidup di kawasan ini, yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung budeng

(Trachypihecus auratus), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), dan anjing hutan (Cuon alpinus).

Kawasan ini juga memiliki keanekaragaman jenis burung. Terdapat kurang lebih 204 jenis burung dan 90 jenis diantaranya merupakan burung yang menetap serta 35 jenis merupakan jenik endemik di Jawa termasuk burung elang jawa (Spizaetus bartelsi). Selain itu terdapat dua jenis burung yang terancam punah yaitu burung cica matahari (Crocias albonotatus), dan burung poksai (Garrulax rufifrons). Burung elang jawa yang identik dengan lambang negara Indonesia (burung garuda), cukup banyak dijumpai di kawasan ini.

3.6 Sosial Ekonomi Masyarakat

Jumlah penduduk yang berdomisili di dalam dan disekitar kawasan TNGHS lebih dari 160.000 jiwa, yang berada dalam 13 kecamatan, 46 desa, dan masuk ke dalam 3 Kabupaten (Bogor, Sukabumi, dan Lebak). Masyarakatnya merupakan suku Sunda – Banten termasuk kasepuhan di dalamnya seperti Citorek, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, dan Cisitu.

Lokasi penelitian yang berada di sekitar kasepuhan Ciptagelar dan Sirnaremsi ini memiliki susunan pemerintahan non formal secara tradisional yang terpisah dari struktur pemerintahan yang ada. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda dan mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam.

Menurut Irwan (2008), masyarakat lokal menggunakan atau melindungi hutan berdasarkan konsep turun menurun seperti adanya leuweung titipan, leuweung tutupan ataupun leuweung bukaan/sampalan. Mereka masih memiliki interaksi yang kuat dengan hutan disekitarnya. Mereka juga memiliki pengetahuan etnobotani dan penggunaan tanaman/tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka.

Mereka mengetahui lebih dari 400 jenis tumbuhan dan menggolongkan berdasarkan penggunaannya. Masyarakat setempat memanfaatkan hutan dan lahan sekitarnya dalam berbagai cara, yaitu seperti huma/ladang, sawah, dan talun. Sawah bagi mereka sangat penting. Setiap tahun Kasepuhan mengadakan pesta panen tahunan

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait