• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN

5.2 Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial

5.2.1 Konfigurasi Pembangunan Bidang Kesehatan

Pembangunan bidang kesehatan adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan penduduk di suatu wilayah yang berimplikasi kepada peningkatan produktivitas penduduknya serta kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Semakin tinggi beban penyakit yang ditanggung oleh seseorang, maka produktivitas untuk bekerja akan rendah dan alokasi pembiayaan untuk peningkatan kesejahteraan menjadi berkurang pula. Penduduk yang produktivitasnya rendah, memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik menjadi berkurang. Hal ini akan berdampak pada orang miskin yang sakit akan semakin miskin dan sulit meningkatkan status sosialnya (Todaro dan Smith, 2003).

Indikator-indikator yang digunakan dalam konfigurasi pembangunan kesehatan dikelompokkan dalam lima bagian, yaitu ketersediaan tenaga kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan, pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, intensitas kejadian wabah penyakit dan penderita wabah penyakit yang meninggal. Komponen utama sebaran tenaga kesehatan merupakan penggabungan dari enam variabel, yaitu pangsa jumlah dokter laki-laki, dokter perempuan, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan lainnya dan dukun bayi. Enam varibel ini membentuk dua komponen utama yang mewakili 77,24% keragaman dari data yang ada. Pada Tabel 27, kompenen/penciri pertama (Idx_SDSTKesf1) menunjukkan 58,41% keragaman yang terkait dengan pangsa lokal dokter laki-

laki, dokter perempuan, dokter gigi, dan bidan. Masing-masing variabel berkorelasi positif dengan penciri pertama berturut-turut 0,94, 0,93, 0,90 dan 0,79 yang menunjukkan peningkatan satu unit indeks berkorelasi dengan kenaikan pangsa lokal variabelnya masing-masing sebesar muatan faktornya. Penciri pertama ini menunjukkan ketersediaan tenaga kesehatan bagi kecamatan yang pelayanan kesehatannya relatif lebih berkembang. Komponen kedua yang menggambarkan 18,83% keragaman data terkait dengan pangsa lokal jumlah dukun bayi dengan muatan faktor 0,89. Satu unit kenaikan komponen/penciri kedua (Idx_SDSTKesf2) berkaitan dengan peningkatan 0,89 unit pangsa lokal dukun bayi. Penciri ini menggambarkan tenaga kesehatan yang tersedia relatif tertinggal, karena pelayanan kesehatan yang lebih ditentukan oleh keberadaan tenaga kesehatan non formal.

Tabel 27 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan

Kelompok Penciri (% varian) Penciri (% varian) Keterangan Faktor Loading Penderita Wabah Penyakit (63,35) Idx_SDSTKesf1 (58.41)

Pangsa Dokter Laki-laki 0,94(+)

Pangsa Dokter Perempuan 0,93(+)

Pangsa Dokter Gigi 0,90(+)

Pangsa Bidan 0,79(+)

Idx_SDSTKesf2

(18.83) Pangsa Dukun Bayi 0,89(+)

Fasilitas Kesehatan (66,37)

Idx_SDSFKesf1 (38,92)

Pangsa Apotik 0,90(+)

Pangsa Toko Obat 0,89(+)

Idx_SDSFKesf2 (27,45) Pangsa Polindes 0,88(+) Pelayanan Kesehatan pada Masyarakat Miskin (74,80) Idx_SDSAskes (74,80)

Pangsa Surat Miskin yang dikeluarkan 0,86(+)

Pangsa Peserta ASKESKIN 0,86(+)

Penderita Wabah Penyakit

(63,35)

Idx_SDSWf1 (36.21)

Pangsa penderita Malaria 0.76(+)

Pangsa penderita wabah lainnya 0.89(+)

Idx_SDSWf2 (14.21)

Pangsa penderita Campak 0.74(+)

Pangsa penderita TBC 0.72(+)

Idx_SDSWf3

(12.93) Pangsa penderita ISPA 0.69(+)

Penderita Wabah Penyakit yang Meninggal (62,76) Idx_SDSWWf1 (30.88)

Pangsa penderita wafat karena Diare 0.85(+)

Pangsa penderita wafat karena Campak 0.87(+)

Idx_SDSWWf2 (17.59)

Pangsa penderita wafat karena wabah

lainnya 0.81(+)

Idx_SDSWWf3 (14.29)

Pangsa penderita wafat karena DBD 0.76(+)

Pangsa penderita wafat karena Malaria 0.71(+)

Penciri utama dari fasilitas kesehatan merupakan komposit dari lima variabel fasilitas kesehatan tersedia, yakni pangsa lokal jumlah pos kesehatan desa, poliklinik desa, pos pelayanan terpadu, apotik dan toko obat/jamu yang

membentuk dua penciri. Lima penciri hasil analisis mewakili 66,37% keragaman data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSTKesf1) menunjukkan 38,92% keragaman yang terkait dengan pangsa lokal jumlah apotik dan toko obat. Masing-masing variabel berkorelasi positif dengan penciri pertama masing- masing 0,90 dan 0,89, yang artinya peningkatan satu unit penciri pertama berkorelasi dengan kenaikan pangsa lokal variabelnya sebesar muatan faktornya. Kedua fasilitas ini menunjukkan ketersediaan fasilitas daerah urban atau daerah yang relatif lebih berkembang. Untuk penciri kedua yang menggambarkan 27,44% keragaman data yang terkait dengan pangsa lokal jumlah poliklinik desa dengan muatan faktor 0,88, dimana kenaikan satu unit penciri kedua (Idx_SDSTKesf2) menunjukkan peningkatan 0,88 unit pangsa jumlah poliklinik desa. Dari keterkaitan ini menunjukkan bahwa komponen kedua mencerminkan ketersediaan fasilitas rural area atau wilayah yang relatif tertinggal.

Dua variabel yang digunakan untuk mengukur pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin adalah pangsa lokal surat miskin yang dikeluarkan dan keluarga miskin yang menerima ASKESKIN. Analisis ini menghasilkan satu komponen utama yang mewakili 74,80% keragaman dari data yang ada. Dua variabel yang berkorelasi positif dengan komponen/penciri utama (Idx_SDMJP) masing-masing 0,86 yang artinya peningkatan satu unit penciri menggambarkan kenaikan pangsa lokal surat miskin yang dikeluarkan dan keluarga miskin peserta ASKESKIN sebesar 0,86 unit.

Kejadian wabah penyakit yang diidentifikasikan dengan jumlah penderitanya dibangun dari delapan kejadian di Kalimantan Barat, yakni pangsa lokal penderita diare, demam berdarah, campak, ISPA, malaria, flu burung, TBC dan wabah lainnya. Kejadian membentuk tiga indeks komposit yang mewakili 63,35% keragaman dari data yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen pertama (Idx_SDSWf1) menunjukkan 36,21% keragaman yang terkait dengan pangsa lokal penderita malaria dan pangsa lokal penderita wabah lainnya. Setiap variabel berkorelasi positif dengan pencirinya masing-masing sebesar 0,76 dan 0,89 yang artinya peningkatan satu unit penciri pertama menggambarkan kenaikan pangsa lokal variabelnya sebesar muatan faktornya. Untuk penciri kedua (Idx_SDSWf2) menggambarkan 14,21% keragaman data yang terkait dengan

pangsa lokal penderita campak dan TBC dengan muatan faktor 0,74 dan 0,72 yang menunjukkan kenaikan satu unit penciri kedua meningkatkan variabelnya masing-masing sebesar muatan faktornya. Penciri lainnya, yaitu penciri ketiga menggambarkan 12,93% keragaman data yang terkait dengan pangsa lokal penderita ISPA dengan muatan faktor 0,69, dimana kenaikan satu unit faktor ketiga (Idx_SDSWf3) menunjukkan peningkatan pangsa lokal penderita ISPA sebesar muatan 0,69 unit.

Insiden pasien yang meninggal karena wabah penyakit di Kalimantan Barat, yaitu pangsa lokal penderita diare, demam berdarah, campak, ISPA, malaria, flu burung, TBC dan wabah lainnya, digunakan untuk mengindikasikan tingkat pelayanan kesehatan. Semakin tinggi pasien wabah penyakit tertentu yang meninggal di daerah tertentu, maka kinerja pelayanan kesehatan dianggap masih rendah. Delapan variabel membentuk tiga penciri, yang mewakili 62,76% keragaman dari data yang ada, yang artinya ditemukan 62,76% kejadian pasien yang meninggal karena wabah penyakit. Pada penciri pertama (Idx_SDSWWf1) menunjukkan 30,88% keragaman yang terkait dengan pangsa lokal penderita diare dan pangsa lokal penderita campak, yang artinya 30,88% wilayah di Kalimantan Barat terindikasi adanya penderita diare dan campak yang meninggal. Masing- masing variabel berkorelasi positif dengan pencirinya masing-masing sebesar 0,85 dan 0,87 yang artinya peningkatan satu unit faktor pertama menggambarkan kenaikan pangsa lokal variabel sebesar muatan faktornya. Untuk penciri kedua yang menggambarkan 17,59% keragaman data yang terkait dengan pangsa lokal penderita wabah lainnya dengan muatan faktor 0,81, dimana kenaikan satu unit penciri kedua (Idx_SDSWWf2) berkorelasi dengan peningkatan 0,81 unit pangsa penderita meninggal karena wabah penyakit-penyakit lain. Indikasi dari penciri kedua ini adalah 17,59% wilayah di Kalimantan Barat terdapat kejadian orang meninggal karena wabah penyakit tertentu. Penciri lainnya yang menggambarkan 14,29% keragaman data yang terkait dengan pangsa lokal penderita DBD dan malaria dengan muatan faktor 0,76 dan 0,71 dimana kenaikan satu unit penciri ketiga (Idx_SDSWWf3) menunjukkan peningkatan variabelnya sebesar muatan faktornya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian DBD dan malaria

merupakan wabah penyakit yang menimbulkan kejadian meninggalnya penderita pada 14,29% wilayah di Kalimantan Barat.

Seluruh kecamatan di Provinsi Kalimantan Barat diklasifikasikan berdasarkan kedekatan jarak antar penciri (euclidean distance) dengan teknik analisis klaster (cluster analysis) yang memanfaatkan factor score (Lampiran 6). Kesebelas penciri signifikan menjadi pembeda klaster dengan tiga kategori yaitu tinggi, rendah, dan sedang, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan.

Melalui analisis diskriminan kesebelas penciri menjadi pembeda tiga klaster dengan besarnya kemampuan klasifikasi 96,57%. Masing-masing klaster memiliki kategori tinggi, sedang, dan rendah untuk setiap penciri, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 28. Klasifikasi 175 kecamatan menghasilkan klaster 1 yang terdiri atas 130 kecamatan (74,29%), klaster 2 terdiri atas 27 kecamatan (15,43%) dan klaster 3 terdiri atas 18 kecamatan (10,27%) dan distribusi konfigurasi kecamatan ditunjukkan pada Lampiran 7.

Pada klaster pertama, kategori pada pencirinya mengindikasikan wilayah yang tertinggal dengan ketersediaan tenaga medis/paramedis yang rendah, tenaga kesehatan non formal (dukun bayi) yang rendah, kejadian wabah penyakit yang rendah. Munculnya penciri pangsa penderita wafat karena wabah penyakit yang sedang, menunjukkan kejadian ini muncul lebih dikarenakan rendahnya jumlah

Nilai Tengah Penciri

Konfigurasi Pembangunan Kesehatan

Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3 Idx_SDSTKesf2 Idx_SDSFKesf2 Idx_SDSWf1 Idx_SDSWf3 Idx_SDSWWf2 Penciri -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 n ila i te n g a h

penduduk yang menyebabkan rendahnya ketersediaan tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin.

Tabel 28 Kategori pembeda utama pada konfigurasi pembangunan bidang kesehatan

Indeks Komposit Penciri/Pembeda Kategori

I II III

Idx_SDSTKesf1

Pangsa Dokter Laki-laki Rendah Sedang Tinggi

Pangsa Dokter Perempuan Rendah Sedang Tinggi

Pangsa Dokter Gigi Rendah Sedang Tinggi

Pangsa Bidan Rendah Sedang Tinggi

Idx_SDSTKesf2 Pangsa Dukun Bayi Rendah Tinggi Sedang

Idx_SDSWf2 Pangsa penderita Campak Rendah Tinggi Sedang

Pangsa penderita TBC Rendah Tinggi Sedang

Idx_SDSWWf2 Pangsa penderita wafat karena wabah

lainnya

Sedang Tinggi Rendah

Idx_SDSWWf3 Pangsa penderita wafat karena DBD Rendah Tinggi Sedang

Pangsa penderita wafat karena Malaria Rendah Tinggi Sedang

Idx_SDSFKesf2 Pangsa Polindes Rendah Tinggi Sedang

Idx_SDSAskes Pangsa Surat Miskin yang dikeluarkan Rendah Tinggi Sedang

Pangsa Peserta ASKESKIN Rendah Tinggi Sedang

Idx_SDSWWf1 Pangsa penderita wafat karena Diare Sedang Tinggi Rendah

Pangsa penderita wafat karena Campak Sedang Tinggi Rendah

Pada klaster kedua, pencirinya dalam kategori sedang untuk jumlah tenaga medis/paramedis, tinggi untuk intensitas kejadian wabah penyakit, penderita wabah yang meninggal, pelayanan keluarga miskin dan jumlah polindes. Wilayah pada klaster ini diidentifikasi sebagai wilayah kantong kemiskinan atau wilayah tertinggal yang berpenduduk cukup tinggi.

Di klaster ketiga, pencirinya adalah jumlah tenaga medis/paramedis yang tinggi, jumlah penderita wabah penyakit dan penderita wafat yang rendah, jumlah dukun bayi dan polindes yang sedang, pangsa pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin yang sedang, menunjukkan bahwa wilayah pada tipologi ini adalah wilayah yang relatif lebih berkembang dengan jumlah penduduk yang lebih tinggi dibandingkan klaster pertama dan kedua. Pada wilayah ini, ditemukan pula pangsa keluarga miskin, akan tetapi jumlahnya lebih rendah dibandingkan klaster kedua.

Dari ketiga klaster ini, klaster ketiga dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan pembangunan bidang kesehatan yang paling tinggi, sedangkan klaster pertama menjadi wilayah dengan kategori pembangunan bidang kesehatan yang rendah, dan klaster kedua dengan kategori sedang. Klasifikasi klaster ditampilkan secara tematik pada peta konfigurasi pembangunan kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat yang ditunjukkan pada Gambar 17, menunjukkan bahwa lebih

dari separuh wilayah tingkatan pembangunan kesehatannya terkategori rendah (warna merah). Dalam jumlah kecil wilayah berwarna hijau yang menunjukkan tingkatan pembangunan kesehatan yang tinggi, yaitu di Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Melawi. Hanya Kota Pontianak dengan spot hijau yang meliputi seluruh wilayahnya, sedangkan keseluruhan wilayah di Kabupaten Kapuas Hulu tidak dijumpai area berwarna hijau.

Gambar 17 Peta konfigurasi spasial pembangunan bidang kesehatan. Distribusi kecamatan di kabupaten/kota pada tiap klasternya ditunjukkan pada Tabel 29, dimana kabupaten dengan kecamatan yang terkategori pembangunan kesehatan tinggi terbanyak ditemukan di Kota Pontianak yang mencapai 83,33%, tigabelas kabupaten/kota lainnya lebih menunjukkan kecamatannya pada tingkatan pembangunan kesehatan yang rendah, dengan distribusi kecamatan melebihi 50% wilayah. Keseluruhan sebaran aktivitas pembangunan manusia di bidang kesehatan, menunjukkan bahwa pembangunan kesehatan masih difokuskan di Kota Pontianak sebagai kota utama, sementara pada wilayah lainnya pembangunan kesehatan kurang dikembangkan.

Todaro dan Smith (2003) memaparkan karakteristik pembangunan kota di negara-negara berkembang, dimana investasi publik di ibu kota yang lebih besar dibandingkan kota kedua atau wilayah lainnya. Kondisi tersebut juga terlihat di Provinsi Kalimantan Barat, dimana Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi, mendapatkan investasi publik yang lebih baik dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Investasi yang tinggi di bidang kesehatan ini berimplikasi pula pada tingginya pertumbuhan penduduk, sehingga secara demografi memungkinkan adanya ledakan penduduk di wilayah tersebut.

Tabel 29 Distribusi kategori tingkatan pembangunan kesehatan pada kabupaten/kota

Kabupaten/Kota

Distribusi kecamatan dengan kategori pembangunan kesehatan (persen)

Rendah Sedang Tinggi

Kabupaten Sambas 63,16 26,32 10,53 Kabupaten Bengkayang 94,12 0,00 5,88 Kabupaten Landak 76,92 23,08 0,00 Kabupaten Pontianak 88,89 0,00 11,11 Kabupaten Sanggau 66,67 26,67 6,67 Kabupaten Ketapang 75,00 20,00 5,00 Kabupaten Sintang 57,14 35,71 7,14

Kabupaten Kapuas Hulu 88,00 8,00 4,00

Kabupaten Sekadau 85,71 0,00 14,29

Kabupaten Melawi 81,82 9,09 9,09

Kabupaten Kayong Utara 80,00 20,00 0,00

Kabupaten Kubu Raya 66,67 22,22 11,11

Kota Pontianak 16,67 0,00 83,33

Kota Singkawang 60,00 0,00 40,00