• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN

5.2 Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial

5.2.3 Konfigurasi Pembangunan Bidang Sosial

Dalam konteks pembangunan wilayah, modal sosial memegang peranan cukup penting yang berupa gambaran sosial untuk bertindak bersama mencapai tujuan. Modal sosial diartikan sebagai faktor produksi yang mampu menurunkan ongkos produksi. Pendekatan yang digunakan dalam pembangunan modal sosial melalui tiga komponennya, yaitu Norm, Trust dan Network. Norm adalah nilai- nilai yang membuat individu mau berinvestasi pada aktivitas kolektif, trust menumbuhkan rasa saling percaya sehingga membangun kerjasama dengan orang lain, dan network adalah keterikatan yang terbangun karena adanya norma dan rasa saling percaya antar masyarakat.

Indikator yang digunakan pada pembangunan sosial dikelompokkan dalam empat bagian, yakni intensitas konflik, ketersediaan aparat keamanan, aparat pemerintah desa dan fasilitas ibadah. Ketersediaan aparat pemerintah desa, dibangun dari empat variabel, yaitu rasio Kepala Desa, Sekretaris Desa, ketua BPD dan Ketua LPMD terhadap jumlah penduduk desa. Keempat variabel tersebut membentuk satu komponen/penciri (Idx_SDSAPD), yang menggambarkan 82,33% keragaman data dan berkorelasi dengan penurunan 0,97, 0,91, 0,96 dan 0,78 dari empat variabel penyusunnya berturut-turut (Tabel 33), Antara variabel dengan penciri berkorelasi positif, artinya kenaikan satu unit penciri menggambarkan kenaikan variabel sebesar muatan faktornya masing- masing.

Dari ketersediaan aparat keamanan desa terbangun dua penciri yang mewakili 77,89% keragaman dari data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSapkamf1) dengan keragaman 44,43% berkorelasi positif dengan rasio jumlah Babinsa dan jumlah Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap jumlah penduduk masing-masing dengan muatan faktor sebesar 0,84 dan 0,77 yang artinya peningkatan satu unit penciri berkaitan dengan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Untuk penciri kedua (Idx_SDSApkamf2) dengan keragaman 33,46% berkorelasi negatif dengan rasio jumlah Hansip/Linmas terhadap jumlah penduduk. Peningkatan satu unit indeks kedua berkorelasi dengan penurunan 0,97 unit variabel tersebut. Kedua komponen yang

terbangun menunjukkan bahwa ketersediaan aparat keamanaan desa telah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada 77,89% kecamatan yang ada.

Tabel 33 Muatan faktor variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang sosial Kelompok Penciri (% varian) Penciri (% varian) Keterangan Faktor Loading Aparat Pemerintahan Desa (82,33) Idx_SDSAPD (82,33)

Ratio kepala desa per penduduk 0,97(–)

Ratio sekretaris desa per penduduk 0,91(–)

Ratio ketua BPD per penduduk 0,96(–)

Ratio ketua LPMD per penduduk 0,78(–)

Aparat Keamanan Desa (77,89)

Idx_SDSApkamf1 (44,43)

Ratio Bantuan Bintara Desa (Babinsa) per pernduduk

0,84(+) Ratio Polisi Pelayanan Masyarakat per

penduduk

0,77(+) Idx_SDSApkamf2

(33,46) Ratio Hansip/Linmas per penduduk 0,97(-)

Fasilitas Ibadah (64,99) Idx_SDSFIf1 (37,02) Pangsa Mesjid 0,89(+) Pangsa Surau 0,92(+) Idx_SDSFIf2 (27,97)

Pangsa Gereja Kristen 0,89(+)

Pangsa Gereja Katolik 0,90(+)

Intensitas Konflik (36,08)

Idx_SDSKf1 (30,94)

Pangsa lokal konflik antar warga 0,78(+)

Pangsa lokal konflik warga antar desa 0,78(+)

Idx_SDSKf2 (25,14)

Pangsa lokal konflik antar warga dengan aparat keamanan

0,71(-)

Pangsa lokal konflik warga lainnya 0,71(+)

Ketersediaan Fasilitas Ibadah di setiap kecamatan diwakili oleh enam variabel ketersediaan fasilitas ibadah. Enam variabel direduksi menjadi dua penciri yang mewakili 74,99% keragaman dari data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSFIf1) dengan keragaman 37,02% berkorelasi positif pangsa lokal jumlah Mesjid dan Surau dengan masing-masing 0,89 dan 0,92 yang artinya peningkatan satu unit penciri ini menggambarkan peningkatan variabel penyusunnya sebesar muatan faktornya. Penciri keduanya (Idx_SDSFIf2) dengan keragaman 27,97% berkorelasi positif dengan pangsa lokal jumlah Gereja Kristen dan Gereja Katolik. Peningkatan satu unit penciri kedua menggambarkan peningkatan 0,89 dan 0,90 unit variabel penyusunnya.

Tujuh data intensitas konflik merupakan variabel intensitas konflik yang membentuk dua penciri yang mewakili 56,08% keragaman dari data yang ada. Penciri pertama (Idx_SDSKf1) dengan keragaman 30,94% berkorelasi positif dengan intensitas konflik antar warga dan konflik warga antar desa dengan muatan faktor masing-masing 0,78 yang artinya peningkatan satu unit penciri menggambarkan peningkatan variabel penyusunnya sebesar 0,78 unit masing- masing variabel. Untuk penciri kedua (Idx_SDSKf2) dengan keragaman 25,14%

berkorelasi negatif dengan intensitas konflik warga dengan aparat keamanan sebesar 0,71 dan berkorelasi positif dengan intensitas konflik lainnya sebesar 0,71. Dengan demikian peningkatan satu unit penciri kedua berkorelasi dengan menurunnya 0,71 unit intensitas konflik warga dengan aparat dan menaikkan 0,71 unit intensitas bentuk konflik yang lainnya.

Penciri-penciri yang dihasilkan dari analisis PCA digunakan untuk mengklasifikasikan kecamatan dengan memanfaatkan factor score (Lampiran 10) melalui analisis klaster (cluster analysis) berdasarkan kedekatan jarak antar penciri (euclidean distance). Ketujuh penciri yang signifikan menjadi pembeda tiga klaster dengan kategori tinggi, rendah, dan sedang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 20.

Nilai Tengah Penciri Konfigurasi Pembangunan Sosial

Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3 Idx_SDSAPD Idx_SDSAK Idx_SDSFIf1 Idx_SDSFIf2 Idx_SDSKf1 Idx_SDSKf2 Penciri -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

Gambar 20 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) variabel konfigurasi pembangunan bidang sosial.

Melalui analisis diskriminan lima penciri signifikan menjadi penciri/pembeda, dengan besarnya kemampuan klasifikasi 95,67%. Masing- masing kelompok tersebut memiliki kategori yang ditunjukkan pada Tabel 34. Klasifikasi pada 175 kecamatan menghasilkan klaster 1 yang terdiri atas 105 kecamatan (60,00%), klaster 2 terdiri atas 56 kecamatan (32,00%), dan klaster 3 terdiri atas 14 kecamatan (8,00%). Keterkaitan penciri keberadaan aparat pemerintah desa dan aparat keamanan berkorelasi terbalik. Distribusi konfigurasi di tingkat kecamatan ditunjukkan pada Lampiran 11.

n il a i te n g a h

Tabel 34 Kategori Penciri pada tipologi pembangunan bidang sosial

Indeks Komposit Penciri/Pembeda Kategori

I II III

Idx_SDSKf1 Pangsa lokal konflik antar warga Rendah Tinggi Sedang

Pangsa lokal konflik warga antar desa Rendah Tinggi Sedang

Idx_SDSFIf1 Pangsa Mesjid Rendah Tinggi Sedang

Pangsa Surau Rendah Tinggi Sedang

Idx_SDSFIf2 Pangsa Gereja Kristen Tinggi Rendah Sedang

Pangsa Gereja Katolik Tinggi Rendah Sedang

Idx_SDSAPD

Ratio kepala desa per penduduk Tinggi Rendah Sedang

Ratio sekretaris desa per penduduk Tinggi Rendah Sedang

Ratio ketua BPD per penduduk Tinggi Rendah Sedang

Ratio ketua LPMD per penduduk Tinggi Rendah Sedang

Idx_SDSApkamf2 Ratio Hansip/Linmas per penduduk Tinggi Rendah Sedang

Untuk klaster pertama, rendahnya intensitas konflik disertai dengan tingginya ketersediaan aparat keamanan dan aparat pemerintahan desa, dan sebaliknya, dimana tingginya intensitas konflik di karenakan rendahnya rasio aparat keamanan dan aparat desa. Di klaster ketiga intensitas konflik sedang, karena rasio aparat pemerintah desa dan keamanan yang memadai. Dari ketiga klaster ini, kategori untuk klaster pertama adalah wilayah dengan ikatan sosial yang tinggi, klaster kedua untuk kategori rendah dan klaster ketiga dengan kategori sedang. Secara spasial spot-spot pada setiap klaster ditunjukkan pada Gambar 21.

Gambar 21 menunjukkan bahwa enam wilayah dengan tingkatan pembangunan sosial yang rendah adalah wilayah di sepanjang pesisir Provinsi Kalimantan Barat. Tingginya interaksi dengan wilayah di luar provinsi dibandingkan wilayah tengah dan pesisir, mengakibatkan tingginya keragaman penduduk. Keragaman yang tinggi menjadi faktor resiko bagi pembangunan sosial, karena semakin tinggi keragaman diduga berdampak pada rendahnya ikatan sosial masyarakat (bonding social capital). Proses menuju miniaturisasi komunitas terbangun pada wilayah dengan tingkat keragaman penduduk yang tinggi, karena keterikatan norma dan kepercayaan yang berbeda (Fukuyama, 2002).

Distribusi kecamatan di kabupaten/kota pada tiap klasternya ditunjukkan pada Tabel 35, dimana kabupaten dengan kecamatan pada kabupaten/kota dengan kategori pembangunan sosial yang tinggi mencapai persentase 5,26-96,00%. Tiga wilayah dengan sebaran kecamatan lebih dari 50% yang pembangunan sosialnya rendah adalah Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. Kabupaten yang berada di bagian tengah provinsi seperti Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Melawi lebih dari 70% kecamatannya terkategori tingkatan pembangunan sosial yang tinggi.

Tabel 35 Distribusi kecamatan dengan kategori tingkat pembangunan sosial di kabupaten/kota

Kabupaten/Kota

Distribusi kecamatan dengan kategori pembangunan sosial (persen)

Tinggi Rendah Sedang

Kabupaten Sambas 5,26 73,68 21,05 Kabupaten Bengkayang 70,59 23,53 5,88 Kabupaten Landak 76,92 0,00 23,08 Kabupaten Pontianak 22,22 77,78 0,00 Kabupaten Sanggau 86,67 0,00 13,33 Kabupaten Ketapang 70,00 30,00 0,00 Kabupaten Sintang 78,57 14,29 7,14

Kabupaten Kapuas Hulu 96,00 4,00 0,00

Kabupaten Sekadau 85,71 14,29 0,00

Kabupaten Melawi 81,82 0,00 18,18

Kabupaten Kayong Utara 40,00 60,00 0,00

Kabupaten Kubu Raya 11,11 88,89 0,00

Kota Pontianak 0,00 83,33 16,67