• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konfrontasi Sengit dan Beberapa Tawaran Solusi

BAB I KORPORATOKRASI

B. Dari Globalisasi ke Korporatokrasi

5. Konfrontasi Sengit dan Beberapa Tawaran Solusi

Salah satu peribahasa mengatakan sepandai-pandai membungkus bangkai, suatu ketika akan tercium juga kebusukannya. Peribahasa ini mungkin sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana korporasi-korporasi yang telah sekian lama menyembunyikan kebusukannya, akhirnya tercium juga oleh masyarakat dunia. Tak heran jika muncul berbagai kritikan terhadap imperialisme yang dilakukan para korporasi tersebut. Kritikan-kritikan tersebut diantaranya datang dari John Perkins, Joseph E.Stiglitz, David C.Korten, James Petras dan Henry Veltmeyer. Tidak ketinggalan juga dari seorang Milyader seperti George Soros. Selain itu juga tokoh-tokoh dari dalam negeri seperti M.Amien Rais.

Salah satu kritikan yang sangat tajam dilontarkan oleh John Per kins, yang dulu berprofesi sebagai Economic Hit Man alias Bandit Ekonomi, dalam 2 bukunya yang terkenal itu, yakni Confession of an Economic Hit Man (2006) dan The Secret History of The American Empire (2007). Dalam bukunya yang kedua, ia habis-habisan menceritakan tentang petualangannya di berbagai negara baik di Asia–termasuk Indonesia-, Amerika Latin, Timur Tengah dan Afrika. Bahkan di buku keduanya ini ia mengatakan dengan tegas, Bahwa, untuk mengubah dunia kita harus mengubah korporatokrasi; kita harus berhenti membiarkan segelintir orang itu terus menentukan nasib planet kita.83

Mungkin kata-kata ini adalah bukti “pertaubatannya” setelah berpuluh tahun menjadi Bandit Ekonomi, sekaligus mengajak masyarakat dunia untuk mengubah dunia dengan cara mengubah korporatokrasi.

Kritikan yang tak kalah pedas juga dilontarkan oleh David C. Korten. Dengan latar belakang sebagai seorang Ekonom, ia mengkritik dengan telak bahwa sesungguhnya para korporat telah mengeksploitasi baik buruh maupun alam. Diantara karyanya adalah Getting to The First Twenty Century: Voluntary Action and The Global Agenda (1990), dan The Post Corporate World: Life After Capitalism (1999). Di buku keduanya ini, ia mengkritik korporasi secara telak dengan mengatakan bahwa korporasi sebagai sebuah lembaga yang memiliki kekuasaan

82 Ibid, hlm 22-23.

yang luar biasa besarnya dan sedikit sekali pertanggung jawabannya, yang oleh watak tatanan dan kepemilikannya itu sendiri terdorong untuk menyita dan melelang modal hidup dunia, demi memperoleh keuntungan sesaat yang cepat dan memusatkan kekayaan di tangan segelintir orang yang sangat kaya, mengendalikan komunikasi massa untuk membatasi kesadaran masyarakat luas tentang akibat-akibat yang ditimbulkan kekuasaan kapitalis dan menggerogoti prakarsa reformasi.84

Namun, selain mengkritik imperialisme yang dilakukan para korporasi terhadap negara-negara lain khususnya negara berkembang, ia juga secara khusus menawarkan 6 agenda untuk mengembalikan hak-hak manusia yang telah dirampas oleh para korporasi. 6 agenda tersebut adalah mengembalikan demokrasi politik, mengakhiri fiksi hukum tentang kecurangan korporasi, mengadakan persetujuan inter nasional yang mengatur korporasi dan keuangan internasional, meng hilangkan kesejahteraan korporasi, mengembalikan peran uang sebagai alat tukar dan memajukan demokrasi ekonomi.85 Enam butir agenda yang diusulkan diatas, menggugat langsung ke pondasi kekuasaan keuangan dan korporasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan itu, dan membuka jalan bagi pendistribusian ulang kekayaan dan kekuasaan ekonomi secara radikal dengan mengembalikan hak-hak manusia kepada orang-orang yang hidup.86

Joseph E. Stiglitz juga tak mau ketinggalan untuk memberikan kritikannya terhadap sepak terjang korporasi-korporasi multinasional. Dalam bukunya yang terkenal Making Globalization Work (2006), Mantan Wakil Presiden Bank Dunia ini bahkan membahas tentang sepak terjang perusahaan-perusahaan multinasional itu dalam satu bab khusus. Di antara kritikannya bahwa perusahaan-perusahaan itu tidak hanya kaya, tetapi juga memiliki kekuatan politik yang besar. Jika pemerintah memutuskan untuk mengenakan pajak atau memberlakukan peraturan yang tidak mereka sukai, mereka akan mengancam untuk berpindah ke wilayah lain.87 Namun seperti para pengkritik lainnya, ia juga tak lupa untuk memberikan tawaran solusi untuk mengurangi “kesewenangan” perusahaan-perusahaan tersebut. Ia menyusun 5 agenda, yakni Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/[CSR]), Membatasi kekuasaan perusahaan, Meningkatkan corporate governance, Hukum global untuk perekonomian global dan

84 David C. Korten, The Post Corporate World: Kehidupan setelah kapitalisme, hlm.95. 85 Ibid, hlm 221.

86 Ibid, hlm 235.

Mengurangi ruang lingkup korupsi.88

Bahkan ketika ia berkunjung ke Indonesia, ia memperkenalkan kembali sebuah istilah yang kita anggap tabu dan haram kita sebutkan, karena begitu takutnya kita mendengar istilah itu, yaitu nasionalisasi. “Sebaiknya eksplorasi migas di Indonesia di nasionalisasi”89, demikian pernyataannya.

Di Malaysia, Brazil, Chili dan Norwegia misalnya, pertambangan yang digarap sendiri oleh pemerintah ternyata mendatangkan keun-tungan lebih besar dibandingkan bila diberikan kepada korporasi asing. Negara-negara Amerika Latin telah dengan jelas menunjukkan bagai mana negosiasi ulang mampu mendatangkan keuntungan jauh lebih banyak dan ternyata tidak ada perjanjian atau kontrak karya yang tidak dapat dinegosiasi kembali. Venezuela di bawah Hugo Chavez dan Bolivia di bawah Evo Morales membuktikan hal itu.90

Seperti kita tahu Bolivia secara sepihak merekonstruksi semua kontrak karya yang semula terlalu merugikan rakyat Bolivia menjadi sangat menguntungkan. Padahal sebelumnya, korporasi seperti Exxon, Repsol, Petro Gas, Shell menakut-nakuti Bolivia, kalau Bolivia sampai meminta negosiasi ulang terhadap berbagai kontrak karya, Bolivia akan dikucilkan, akan dibawa ke arbitrase dan lain sebagainya. Ternyata dengan sikap tegas dan rasional, semua “gertak sambal” korporasi besar itu tidak pernah dilaksanakan. Sikap tegas seperti itu juga sebelumnya telah diperlihatkan oleh Venezuela dibawah Hugo Chavez. Terbukti Chevron, Exxon Mobil, British Petroleum, Conoco Phillips dan lain-lain tidak pernah hengkang dari Venezuela.91

Dalam konteks Indonesia sendiri, M. Amien Rais dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia (2008) juga sepen-dapat dengan Stiglitz, bahwa jika kita tak berani menasionalisasi BUMN milik kita, paling tidak kita berani untuk meminta untuk menegosiasi ulang. Menurutnya paling tidak ada 4 faktor92 yang melandasi sudah waktunya untuk menuntut untuk negosiasi ulang, yakni Pertama doktrin pacta sunt servanda harus dipahami sekaligus dengan klausula rebus sic stantibus. Bila sebuah kontrak atau perjanjian ternyata dalam pelaksanaan merugikan salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan berhak merundingkan kembali kontrak atau perjanjian tersebut.

88 Ibid, hlm.289. Untuk lebih jelasnya baca hlm. 289-304.

89 Seputar Indonesia, 15 Agustus 2007. Lihat juga M.Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa, hlm. 48. 90 M.Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa, hlm. 48-49.

91 Ibid, hlm103. 92 Ibid, hlm 49-50.

Kedua, pasal 1 ayat 2 The International Right Covenant on Civil and Political Right mengatakan: “semua bangsa, untuk mencapai tujuannya memiliki kebebasan untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alamnya. Dalam pasal ini juga dikatakan bahwa kerjasama ekonomi internasional harus didasarkan pada prinsip saling-untung dan berpedoman pada hukum internasional. Tidak dibenarkan suatu bangsa kehilangan atau dihilangkan hak hidupnya”.

Ketiga, tafsir yang agak luas atas Universal Declaration of Human Right (1948) memberikan kita keyakinan bahwa melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam yang kita miliki untuk bangsa Indonesia sendiri adalah salah satu bentuk hak asasi manusia. Pasal 3 dan 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk menikmati hidup, kebebasan dan keamanan. Tidak diperkenankan ada seseorang yang dikungkung dalam perbudakan dan penghambaan. Seorang pakar mengatakan bahwa, “each people’s right to its resources is a human right”, hak setiap orang atau bangsa untuk menguasai kekayaan alamnya adalah hak asasi manusia.

Keempat, kita sudah merdeka lebih dari 6 dasawarsa. Sudah sangat ter lambat kalau kita masih saja mengabaikan pesan UUD 1945 pasal 33 ayat 3: “ Bumi dan Air dan kekayaan alam yang didalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemak-muran rakyat”.

Masih dalam buku yang sama, ia bahkan menulis satu bab tersendiri tentang korporatokrasi. Dalam bab tersebut ia mengidentifikasi bahwa korporatokrasi terdiri atas 7 unsur93, yakni Korporasi besar, Pemerintah, Perbankan & Lembaga Keuangan Internasional, Militer, Media Massa, Intelektual Pengabdi Kekuasaan dan Elite Nasional Bermental Inlander.

Berbagai tindakan seperti Nasionalisasi dan Negosisasi Ulang telah dilakukan oleh orang lain dan tentu saja itu menjadi pelajaran dan contoh bagi kita bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan. Berbagai tawaran solusi yang dapat menjadi jalan keluar alternatif juga telah dikemukakan oleh berbagai intelektual baik dalam maupun luar negeri. Lantas, masihkah kita terus berdiam diri?