• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Alat Bukti Tertulis dalam Perkawinan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Deskripsi Konseptual

4. Konsep Alat Bukti Tertulis dalam Perkawinan

Perkawinan di dunia Islam pada umumnya hanya diakui dengan adanya alat bukti tertulis. Negara-negara Islam maupun negara dengan

116Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat

penduduk mayoritas muslim telah menetapkan hal tersebut dalam hukum negaranya.

Iran dalam hukum keluargannya hanya mengakui perkawinan yang memiliki alat bukti tertulis. Orang yang tidak memiliki alat bukti tersebut dalam perkawinannya dapat dihukum penjara selama satu hingga enam bulan.117 Adanya sanksi dalam hukum keluarga di Iran juga dianut di negara Pakistan. Pada tahun 1961 melalui ordonansinya. Sebagaimana disebutkan dalam HM Atho Muzdhar:

Pasal 5 ordonansi Pakistan itu menyatakan bahwa apabila suatu perkawinan tidak dilakukan oleh Pejabat Pencatat Nikah maka orang yang memimpin pelaksanaan ijab kabul itu harus melaporkannya kepada Pejabat Pencatat Nikah dan kelalaian mengenai hal ini merupakan pelanggaran. Para perancang ordonansi itu mendasarkan pada ayat Qur’an yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang saja hendaknya selalu dicatatkan. Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksksi penting, lebih penting dari hutang piutang. Para ulama Pakistan menerima kewajiban pencatatan itu dengan syarat tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan dari segi agama.118

Negara Islam Brunei Darussalam, Malaysia, Yordania juga demikian hanya mengakui alat bukti tertulis dalam peristiwa hukum perkawinan. Tetapi kedudukannya hanyalah sebagai syarat administratif yang tidak menentukan keabsahan perkawinan.

Negara muslim yang mengatur lebih tegas lagi adalah negara Yaman Selatan. Hukum keluarga di Yaman Selatan secara tegas menyatakan bahwa alat bukti tertulis dalam perkawinan berpengaruh

117HM. Atho Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003, h. 59.

terhadap keabsahan perkawinan. Sehingga kedudukan alat bukti tersebut tidak hanya sekedar kewajiban administratif saja.119 Negara ini menunjukkan perkembangan hukum keluarganya yang progresif. Alat bukti tertulis dianggap hal yang penting bagi keabsahan suatu perkawinan.

Keharusan adanya alat bukti tertulis dalam peristiwa hukum perkawinan memang seharusnya tidak hanya sebatas kewajiban adminstratif, tetapi lebih penting dari itu. Sebagaimana dikatakan Muhammad Amin Summa:

Asas legalitas dalam perkawinan seyogianya tidak dipahami dalam konteks administratif semata-mata, akan tetapi idealnya juga memiliki nilai hukum normatif yang bersifat mengikat dalam pengertian pencatatan perkawinan akan turut menentukan sah tidaknya sebuah akad nikah yang dilangsungkan sepasang laki-laki dan perempuan. Dengan penerapan asas legalitas (pencatatan perkawinan) yang lebih maksimal sebagai satu asas dalam perkawinan, kemungkinan praktik kawin di bawah tangan (kawin sirri) atau lebih tepat diistilahkan dengan “kawin liar” yang banyak terjadi di masyarakat mana pun diharapkan akan dapat ditekan sedemikian rupa. Dari sisi syar’i, pelegal-formalan asas legalitas juga dapat ditopang oleh teks wahyi dalam kaiatan ini surah Al-Baqarah (2): 283.120

Pendapat di atas patut direnungkan lebih dalam. Kewajiban pencatatan perkawinan yang notabene sebagai alat bukti yang hanya berkedudukan sebagai syarat administratif, dan masih dianut di Indonesia sudah seharusnya ditelaah kembali.

119Ibid., h. 72.

120Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, h. 188.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian peneliti ialah penelitian pustaka atau library research.

Library research adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.121 Secara lebih spesifik penelitian peneliti berjenis penelitian hukum normatif. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penelitian ini merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, selain itu dinamakan juga penelitian normatif.122 Hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia.123

Penelitian ini berbeda dengan penelitian hukum empiris. Sabian Utsman dalam bukunya Metode Penelitian Hukum Progresif menjelaskan

121Yayasan Obor Indonesia, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 3.

122Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, h. 13-14. Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Dikatakan sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian perpustakaan demikian dapat dikatakan pula sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). Lihat h. Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2013, 51.

123Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 118.

perbedaan mendasar antara penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum empiris, sebagai berikut:

Ada perbedaan yang mendasar antara penelitian hukum yang normatif (hukum sebagai fakta hukum) dan penelitian hukum sebagai fakta sosial (socio-legal) terutama pada langkah-langkah teknis yang dilakukan yaitu dalam hal mana langkah-langkah yang dilakukan penelitian yang normatif menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis pada peristiwa hukum sedangkan langkah-langkah penelitian hukum sebagai fakta sosial (socio-legal) yang menekankan pada pentingnya langkah-langkah observasi, pengamatan, dan analitis yang bersifat empiris atau lebih dikenal dengan socio-legal

research.124

Penelitian peneliti berfokus pada kajian hukum normatif, yakni pada pengembangan konsep hukum pembuktian perkawinan Islam. Hukum-hukum yang ditelaah dari fikih, peraturan perundang-undangan di Indonesia dan teori-teori hukum yang terkait.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penelitian peneliti menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach). Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum mengatakan bahwa:

Dalam membangun konsep, ia bukan hanya melamun dan mencari-cari dalam khayalan, melainkan pertama kali ia harus beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. ...Peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum.125

Konsep dalam penelitian ini adalah konsep hukum pembuktian perkawinan Islam yang akan dikembangkan. Konsep yang ada di dalam fikih hanya mengenai bukti saksi, itupun belum dikenal dengan istilah hukum

124Sabian Utsman, Metodologi Penelitian Hukum Progresif; Pengembaraan Permasalahn

Penelitian Hukum, Aplikasi Mudah Membuat Proposal Penelitian Hukum, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2014, h. 2-3.

125Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, h. 177-178.

pembuktian, hal ini perlu untuk dikritisi lebih dalam. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan sejarah (historical approach).

Pendekatan sejarah (historical approach) dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat pembantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Selain itu, dapat juga dipahami perubahan-perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasari aturan hukum tersebut.126 Dalam hal ini adalah pelacakan sejarah hukum pembuktian perkawinan Islam pada masa nabi Muhammad Saw dan para imam mazhab. Pendekatan ini berkaitan dengan teori double movement Fazlur Rahman, yang digunakan untuk menganalisa permasalahan tersebut.

Dokumen terkait