• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Konsep Edukasi Dua Lintas pada Penderita DMT2 .1Pengertian .1Pengertian

FFQ yang dilengkapi dengan perkiraan porsi makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung dan diperkirakan rentang kebiasaan asupan makanan responden untuk menilai asupan gizi relatif ataupun mutlak. (Wrieden et al., 2003; Lestari, 2012; Arisman, 2013)

c. Estimated Food Record

Food Record adalah pendekatan monitoring konsumsi makanan dan minuman dalam sehari atau lebih. Food record baik dilakukan ketika setelah makan atau minum sehingga hasilnya akurat. Jumlah makanan atau minuman yang dikonsumsi diperkirakan dengan menggunakan URT atau jika ada food model yang telah diberlakukan (Thompson & Subar, 2013). Estimated food record (EFR) adalah sebuah buku harian terstruktur yang mengandung golongan makanan, waktu, tempat, dan kuantitas berupa perkiraan jumlah dalam URT, unit atau berat, spesifikasi tertentu dan jika ada dapat disebutkan merek dagangnya (Keyzer et al., 2011). Jumlah food record yang digunakan untuk memperkirakan jumlah intake energi dan nutrisi berbeda pada pria dan wanita. Jumlah food record yang diperlukan untuk pria sebanyak dua sampai dengan 28 hari dan untuk wanita sebanyak tiga sampai dengan delapan hari (Pereira et al., 2010).

2.3 Konsep Edukasi Dua Lintas pada Penderita DMT2 2.3.1 Pengertian

Edukasi pada penderita DMT2 adalah proses memberikan pengetahuan, melatih kemampuan, dan meningkatkan motivasi penderita dalam melaksanakan perawatan diri. Tujuan dari edukasi perawatan diri adalah mencapai keadaan

26

metabolik terkontrol, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup (Muchiri, 2013). Edukasi pada penderita DMT2 merupakan dasar pertama dalam penataksanaan DM. Edukasi dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan diri, dan motivasi penderita DMT2 untuk dapat melakukan perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari (Jones et al., 2013).

American Association of Diabetes Educators menyatakan terdapat tujuh aspek yang harus dikuasai oleh penderita DMT2 yaitu: 1) monitoring gula darah mandiri; 2) melakukan pengobatan; 3) pola makan sehat; 4) aktivitas fisik; 5) mengurangi resiko; 6) koping yang sehat; dan 7) problem-solving (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013). Edukasi dua lintas menyasarkan pada dua dari tujuh aspek yang ditetapkan oleh AADE.

Edukasi dua lintas merupakan perpaduan edukasi gizi dan edukasi teknik problem-solving. Lintas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti trayek atau jalan yang dilalui. Dua lintas bermakna dua jalan pendekatan yang digunakan yaitu edukasi gizi yang merupakan intervensi yang berorientasi pada kognitif dan edukasi problem-solving yang merupakan intervensi perilaku-kognitif. Menurut Jones et al, (2013) intervensi kombinasi antara strategi meningkatkan pengetahuan dan perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, keyakinan diri, dan perawatan diri sehingga kontrol metabolik dapat tercapai.

Edukasi dua lintas terdiri dari dua bagian utama yaitu edukasi gizi dan edukasi teknik problem-solving. Edukasi gizi dalam edukasi dua lintas mencangkup pola makan sehat bagi penderita DMT2 berdasarkan 3J yaitu jenis, jumlah, dan jadwal. Edukasi jenis makanan untuk penderita DMT2 yaitu berfokus

27

pada komposisi makanan berupa karbohidrat, protein, lemak, serat, gula, dan natrium. Penderita DMT2 juga diberikan edukasi tentang bahan makanan yang dapat dikonsumsi dengan bebas, terbatas, dan dihindari. Edukasi tentang jumlah makanan diberikan berupa ukuran makanan yang dapat dikonsumsi dalam URT. Jadwal makan penderita DMT2 dianjurkan memiliki interval tiga jam antara jadwal makan utama dengan camilan.

Penelitian yang dilakukan oleh Bayat et al, (2013) menunjukkan edukasi meningkatkan keyakinan diri penderita DMT2 untuk melaksanakan perawatan diri. Mengatur pola makan merupakan salah satu bagian perawatan diri oleh penderita DMT2. Malek dan Cakiroglu (2013) menyatakan edukasi gizi yang diberikan pada penderita DMT2 mempengaruhi asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak. Penelitian yang dilakukan oleh Sutiawati, Jafar, dan Yustini (2013) menunjukkan bahwa edukasi juga memiliki pengaruh terhadap pola makan penderita DMT2.

Bagian kedua dari edukasi dua lintas adalah edukasi teknik problem-solving. Problem-solving penting untuk dimiliki oleh penderita DMT2. Problem-solving merupakan proses seseorang dalam menemukan solusi yang efektif dan adaptif bagi dirinya dari masalah spesifik yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Problem-solving melibatkan kemampuan dan aktivitas penderita DMT2 untuk mengenali, menyebutkan, dan mengatasi masalah untuk meningkatkan efektivitas perawatan diri terkait DM. Edukasi teknik problem-solving menunjukkan perbaikan pada kadar HbA1C penderita DMT2. Edukasi teknik problem-solving tidak hanya berfokus pada mengajari teknik saja tapi juga bertujuan untuk

28

mengembangkan teknik dan membantu dalam memecahkan masalah yang dimiliki penderita DMT2 (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013; Jones et al., 2013).

Problem-solving memiliki 5 tahapan utama dan dapat dibagi menjadi 10 langkah yaitu: (Cruickshank, 2009)

a. Tahap 1 adalah mengidentifikasi masalah dan kepemilikan masalah yang terdiri dari 3 langkah:

1) Menyatakan masalah yang dihadapi.

2) Mengidentifikasi tujuan yang ingin diwujudkan.

3) Mengidentifikasi siapa pemilik masalah dan siapa yang ingin mewujudkan tujuan.

b. Tahap 2 adalah klarifikasi nilai. Masalah dan tujuan sudah diidentifikasi dilanjutkan dengan langkah berikut:

4) Memberikan nilai pada tujuan yang ingin dicapai seberapa ingin tujuan tersebut tercapai.

c. Tahap 3 adalah analisis situasi masalah yang terdiri dari tiga langkah:

5) Mengidentifikasi hambatan yang mencegah pemilik masalah untuk mencapai tujuan.

6) Membuat strategi untuk menghilangkan, menanggulangi, atau menghindari masalah tersebut.

7) Membuat efek samping yang negatif pada setiap solusi yang potensial. d. Tahap 4 adalah memberikan peringkat pada solusi potensial

29

8) Memberikan nilai pada setiap solusi yang potensial dan menemukan solusi yang terbaik. Solusi yang baik adalah solusi yang paling sedikit memiliki efek samping negatif dan dapat diimplementasikan.

e. Tahap 5 adalah mengimplementasikan dan mengevaluasi solusi terbaik. 9) Memutuskan bagaimana mengimplementasikan solusi terbaik.

10) Memutuskan perluasan terhadap solusi yang paling dekat terhadap tujuan dengan mengurangi masalah atau mengeliminasi masalah.

Menurut Mulvaney (2009) problem-solving yang dapat diterapkan oleh penderita DMT2 dalam perawatan diri terdiri dari tujuh langkah yaitu: 1) Mengidentifikasi masalah; 2) Mengidentifikasi hambatan atau penyebab yang menimbulkan masalah utama; 3) Menyusun solusi; 4) Menyusun rencana implementasi; 5) Implementasi; 6) Evaluasi; dan 7) Revisi. Menurut Stetson et al, (2010) terdapat delapan langkah dalam melakukan problem-solving yaitu: 1) Mengidentifikasi dan memahami masalah; 2) Menyusun tujuan; 3) Menyusun solusi alternatif; 4) Memilih solusi alternatif yang sudah disusun; 5) Mengkaji kemungkinan dari alternatif yang dipilih; 6) Mengimplementasikan; 7) memonitoring dan mengkaji efek dari rencana yang telah dilakukan; dan 8) Menggunakan problem-solving untuk meyusun rencana sampai tujuan dapat tercapai.

Menurut ketiga sumber mengenai langkah-langkah problem-solving, dapat disimpulkan terdapat lima langkah utama yaitu: 1) Identifikasi masalah dan penyebab; 2) Susun tujuan; 3) Susun solusi alternatif dan prioritaskan; 4) Implementasi; dan 5) Evaluasi.

30

2.3.2 Metode

Metode adalah cara atau pendekatan tertentu. Menurut Santoso Karo Karo dalam Supariasa (2013), metode pendidikan kesehatan adalah setiap cara, teknik, maupun media yang terencana yang diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut. Metode edukasi yang baik adalah metode yang disesuaikan dengan jenis sasaran, waktu, dan tempat. (Maulana, 2009; Supariasa, 2013)

Metode edukasi dua lintas yang digunakan adalah metode edukasi ceramah. Ceramah adalah metode menyampaikan informasi kepada sasaran sehingga sasaran dapat melakukan proses belajar. Ceramah cocok digunakan kepada berbagai jenis sasaran, mudah pengaturannya, dapat digunakan dalam sasaran jumlah besar, dan waktu yang digunakan efisien (Maulana, 2009; Supariasa, 2013). Setting edukasi dilakukan di rumah penderita dan dilakukan dengan cara tatap muka langsung karena edukasi dengan tatap muka langsung memiliki efek yang lebih luas dan edukasi di rumah dapat membantu responden dalam menentukan keputusan terutama kebebasan dalam melakukan problem-solving (Jones et al., 2013).

Dalam penelitian yang dilakukan Hill-Briggs et al, (2011) menyatakan pelatihan problem-solving dapat dilakukan dengan metode tradisional sebanyak delapan sesi atau dapat disingkat menjadi satu sesi. Dalam penelitian tersebut juga menjelaskan edukasi tentang diabetes dan CVD dilakukan dalam satu sesi. Intervensi kognitif-perilaku sejenis yaitu penelitian oleh Buhse et al, (2013) tentang shared decision making dilakukan sebanyak satu sesi dengan durasi 60-90 menit. Penelitian yang dilakukan Rurik et al, (2010) tentang konseling gizi

31

menerapkan dua jenis konseling yaitu konseling kelompok dan individu. Konseling individu dilakukan dengan tiga sesi masing-masing maksimal selama 60 menit namun hanya sesi ketiga yang berupa intervensi konseling gizi. Berdasarkan ketiga penelitian tersebut peneliti melakukan edukasi dua lintas dalam satu sesi dengan durasi 90 menit.

Berikut adalah gambaran pelaksanaan edukasi dua lintas:

Sumber: Pereira et al., 2010; Hill-Briggs et al., 2011

Gambar 1. Gambaran Pelaksanaan Edukasi Dua Lintas

2.3.3 Media

Media atau dapat disebut juga sebagai alat peraga merupakan komponen penting dalam proses edukasi. Media membantu edukator mencapai tujuan utama yaitu menyampaikan informasi kepada sasaran dan meningkatkan efektivitas proses edukasi. Media dapat menarik perhatian sasaran, mempermudah menyampaikan informasi, mengatasi banyak hambatan dalam penyampaian, mempermudah sasaran memahami apa yang disampaikan oleh edukator, dan dapat menstimulus sasaran menyebarkan informasi yang didapat. (Maulana, 2009; Supariasa, 2013)

Media yang digunakan dalam edukasi dua lintas adalah media visual berupa leaflet dan flipchart. Media yang digunakan adalah media cetak leaflet dan flipchart karena informasi paling banyak disalurkan melalui mata yaitu ± 75-87%.

Posttest EFR 3x24 jam Pretest EFR 3x24 jam Edukasi Dua Lintas

32

Leaflet merupakan media penyampaian informasi kesehatan dengan tulisan, gambar, ataupun kombinasi yang tercantum dalam kertas terlipat. Tulisan pada leaflet terdiri atas 200-400 kata dan dapat dimengerti isinya dengan sekali baca. Flipchart merupakan alat yang serupa lembar balik namun berukuran lebih kecil sekitar 21 x 28 cm. Flipchart mengandung gambar dan/atau tulisan pada lembar yang akan diperlihatkan pada sasaran dan juga pada lembar dibaliknya yang menghadap ke edukator sehingga mempermudah edukator dalam memberikan informasi (Maulana, 2009; Supariasa, 2013). Media lain yang digunakan adalah lembar problem-solving yaitu lembar yang diisi oleh penderita DMT2 mulai dari masalah sampai dengan solusi dan evaluasi.

2.3.4 Pengaruh Edukasi Dua Lintas terhadap Pola Makan Penderita DMT2 Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku yaitu: 1) Predisposing factor; 2) Enabling factor; dan 3) Reinforcing factor. Pengetahuan merupakan bagian dari predisposing factor atau faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku. Edukasi yang dilakukan pada penderita DMT2 bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku yang sesuai dalam perawatan diri. Edukasi gizi meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan berpengaruh terhadap pola makan penderita DMT2. Edukasi gizi juga secara tidak langsung mempengaruhi glukosa darah dan kadar HbA1C penderita DMT2. (Muchiri, 2013; Malek & Cakiroglu, 2013)

Pendekatan edukasi yang dapat dilakukan adalah melibatkan penderita dalam proses edukasi dan pembuatan keputusan. Edukasi teknik problem-solving

33

melibatkan penderita secara langsung dalam pengambilan keputusan dalam menyelesaikan masalah yang ditemukan saat menjalani diet sehat DMT2 sehari-hari (Muchiri, 2013). Prinsip problem-solving sesuai dengan prinsip pembuatan keputusan pada orang dewasa. Orang dewasa cenderung akan melakukan perubahan perilaku jika perubahan tersebut berarti bagi dirinya dan bebas dipilih. (Jones et al., 2013)

Edukasi dua lintas yang mengandung teknik problem-solving memiliki pengaruh terhadap psikologis penderita DMT2. Kemampuan dalam menyelesaikan suatu masalah dapat meningkatkan kepercayaan diri penderita DMT2 dalam menjalani perawatan diri (Fitzpatrick, Schumann, & Hill-Briggs, 2013). Kepercayaan diri berhubungan dengan pelaksanaan perawatan diri salah satunya pola makan sehat. Kepercayaan diri yang semakin tinggi menunjukkan peningkatan implementasi pola makan sehat. (Didarlo et al., 2014; King et al., 2010)

Edukasi dua lintas dapat meningkatkan pengetahuan mengenai pola makan sehat dan melatih penderita DMT2 dalam memecahkan masalah yang dihadapi khususnya dalam menjalani pola makan sehat. Kombinasi strategi meningkatkan pengetahuan dan intervensi perilaku-kognitif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, perilaku perawatan diri, dan keyakinan diri sehingga dapat meningkatkan kontrol metabolik yang lebih baik dibandingkan strategi yang hanya berorientasi pada pengetahuan saja (Jones et al., 2013). Edukasi dua lintas merupakan salah satu bentuk dari kombinasi tersebut.

Dokumen terkait