• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin (Chin J, 2006). Pengertian lain menjelaskan filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening (Depkes RI, 2008).

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum dan menimbulkan cacat seumur hidup (Depkes RI, 2009).

Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening.

Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik (Depkes RI, 2005).

2.4.2 Epidemiologi Filariasis

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di daerah daratan rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W.brancrofti yang telah ditemukan, seperti di kota Jakarta, tangerang, Pekalongan dan semarang dan mungkin di beberapa kota lainnya.

Di Idonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti disumatra dan sekitarnya, jawa, Kalimatan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian jaya. Masih banyak daerah yang belum diselidiki.

Pemberantasan filariasis sudah dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1970 dengan pemberian DEC dosis rendah jangka panjang (100 mg/mingggu selama 40 minggu). Survey prevalensi filariasis yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cukup tinggi bervariasi dari 0,5%-19,46% (P2M & PLP, 1999). Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa pada umumnya ada tedensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, perlu diperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoar, vector dan keadaan lingkungan

yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing (Depkes RI, 2009).

2.4.3 Etiologi

Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu: 1. Wuchereria bancrofti

2. Brugia malayi 3. Brugia timori (Gandahusada, 1998). 2.4.4 Vektor

Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor filariasis yang paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara

Timur dan kepulauan Maluku Selatan.

Perlu kiranya mengetahui bionomik (tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembangbiak, perilaku menggigit, dan tempat istirahat untuk dapat melaksanakan pemberantasan vektor filariasis. Tempat perindukan nyamuk berbeda- beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat- tempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, ada yang hanya suka darah manusia (antrofilik), darah hewan (zoofilik), dan darah keduanya (zooantrofilik). Terdapat perbedaan waktu dalam mencari mangsanya, ada yang di dalam rumah (endofagik) dan ada yang di luar rumah (eksofagik). Perilaku nyamuk tersebut berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk yang berbeda-beda (Depkes RI, 2005).

2.4.5 Hospes 1. Manusia

Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada

umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada, 1998).

2. Hewan

Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2005)

2.4.6 Lingkungan

1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, stuktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik.

2. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya, adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi tanaman air.

3. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya

Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor pada saat bekerja (Depkes RI, 2005).

2.4.7 Cara Penularan

Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250µm x 10-17µm dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang

berukuran 200- 300µm x 15-30µm dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III (L3) yang berukuran 1400µm x 20µm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan

10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva infektif.

Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).

2.4.8 Pola Penyebaran

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Wuchereria bancrofti ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, dan Pekalongan. Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat dalam darah tepi pada malam hari. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembangbiak di air limbah rumah tangga, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe

pedesaan ditularkan oleh nyamuk dengan berbagai spesies antara lain Anopheles, Culex, dan Aedes. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia malayi tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis pada daerah persawahan. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna, mikrofilaria ditemukan lebih banyak pada siang hari dalam darah tepi. Nyamuk penularnya adalah Mansonia sp pada daerah rawa.

Brugia timori tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor, dan Sumba. Brugia timorii tipe non periodik, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbostis di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur dan Maluku Tenggara (Gandahusada, 1998).

2.4.9 Gejala

Gejala-gejala yang terdapat pada penderita Filariasis meliputi gejala awal (akut) dan gejala lanjut (kronik). Gejala awal (akut) ditandai dengan demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari apabila bekerja berat, timbul benjolan yang terasa panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka di badan, dan teraba adanya tali urat seperti tali yang bewarna merah dan sakit mulai dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan kearah ujung kaki atau tangan. Gejala lanjut (kronis)

ditandai dengan pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang menetap (Depkes RI, 2005).

2.4.10 Tindakan Pencegahan dan Pemberantasan Filariasis

Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah:

1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran kaki, tangan, kantong buah zakar, atau payudara.

2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh petugas kesehatan.

3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan.

4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular.

5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada saat tidur.

2.4.11 Kebijakan Program dan Strategi Pemberantasan Filariasis

Menyusul kesepakatan global pada tahun 1997, WHA yang menetapkan filariasis sebagai masalah kesehatan masyarakat dan diperkuat dengan keputusan WHO pada tahun 2000 untuk mengeliminasi fiariasis pada tahun 2020, Indonesia sepakat untuk melakukan program eliminasi filariasis yang dimulai pada tahun 2002.

Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan nomor 612/MENKES/VI/2004 maka kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia melaksanakan pemetaan eliminasi filariasis gobal,

pengobatan massal daerah endemis filariasis, dan tata laksana penderita filariasis di semua daerah. Program pelaksaan kasus filariasis ditetapkan sebagai salah satu wewenang wajib pemerintah daerah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor: 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/Kota. Kebijakan yang ditetapkan dalam program pemberantasan filariasis adalah: 1. Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional dalam

program pemberantasan penyakit menular.

2. Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan menerapkan program eliminasi filariasis limfatik global dari WHO yaitu memutuskan rantai penularan filariasis dan mencegah serta membatasi kecacatan.

3. Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi filariasis adalah Kabupaten/Kota

4. Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, propinsi dan negara. Strategi yang dilakukan dalam mendukung kebijakan dalam program pemberantasan filariasis adalah:

1. Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis.

2. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis.

3. Pengendalian vektor secara terpadu.

4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara. 5. Memperkuat survailans dan mengembangkan penelitian.

2.4.12 Pengobtan Filariasis

Penyakit filariasis menimbulkan kesengsaraan kepada masyarakat, maka Kementerian Kesehatan sangat peduli kepada masyarakat yang menderita penyakit kaki gajah. Kementerian Kesehatan juga berupaya mencegah supaya masyarakat tidak terkena penyakit filariasis.

1. Penderita bisa merujuk ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan obat Dietilkarbamazin sitrat (DEC) secara gratis.

a. Pada keadaan ringan, yakni sebatas bengkak-bengkak ringan sebaiknya penderita tidak mengobati sendiri karena cacing akan mati dan pulih seperti sedia kala.

b. Pembengkakan sudah besar sekali tidak bisa diobati lagi, tidak bisa dipulihkan maka sebaiknya melakukan pencegahan supaya jangan sampai cacing dan anak cacing yang sudah ada di tubuh penderita terus berkembang.

2. Mengikuti program Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis (POPM) dengan minum DEC dan albendazole satu tahun sekali selama 5 tahun

3. Himbauan tidak mengobati diri sendiri, tetap datang ke puskesmas atau RS untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

4. Pencegahan meluasnya penyakit kaki gajah dengan dua langkah. a. Pertama, dengan mencegah gigitan nyamuk dan menjaga

kebersihan

pengobatan bila positif terkena penyakit kaki gajah.

5. Minum obat itu lebih baik di depan petugas, supaya petugas yakin obatnya benar diminum tidak hanya dibagikan kemudian segera di bawa pulang tapi di rumah tidak di minum

6. Mencegah memburuknya kondisi:

a. Bersihkan area yang bengkak secara lembut dengan sabun setiap hari

b. Oleskan krim anti bakteri pada area untuk menghentikan infeksi bakteri

c. Angkat dan latih area yang bengkak untuk meningkatkan aliran darah

Dokumen terkait