• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEOR

B. Landasan Teor

2. Konsep Gender

Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Masyarakat sendiri, seringkali masih terjadi kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender. Kesalahpahaman itu disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender dengan terjadinya masalah ketidakadilan di dalam masyarakat, sehingga untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Fakih (2008: 7) berpendapat dalam mempelajari gender, terlebih dahulu harus memahami perbedaan arti kata seks (jenis kelamin) dan gender.

Seks merupakan jenis kelamin yang artinya mengacu pada penampilan fisik. Fakih (2008: 8) mengungkapkan pengertian seks (jenis kelamin) sebagai pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin ada dua yakni laki-laki dan perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam jangkauan seks terletak pada bentuk

fisiknya. Seks (jenis kelamin) dapat dijelaskan bahwa laki-laki memiliki ciri biologis seperti penis, jakala atau kala menjing, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan melahirkan, memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan saluran untuk melahirkan. Artinya secara biologis ciri tersebut tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Ciri ini secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat (Astuti, 2011: 3).

Pengertian Gender juga diungkapkan oleh Astuti (2011: 3), menurutnya Gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lembut, cantik, emosional, keibuan dan lain-lain, sedangkan laki-laki itu jantan, perkasa, rasional dan lain-lain. Ciri tersebut dalam kenyataannya bisa dipertukarkan dan tidak harus dimiliki oleh satu jenis kelamin saja. Pertukaran sifat anatara laki- laki dan perempuan bisa berubah dari waktu ke waktu, dan dari tempat satu ke tempat lainnya.

Kenyataannya, aplikasi gender di masyarakat belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, karena masih sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya setempat. Kesenjangan gender merupakan salah satu istilah umum untuk perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam ketenagakerjaan dan pendapatan (Astuti, 2011:81). Kesenjangan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities), namun yang menjadi

persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut (Fakih, 2008: 12).

Moore dan Ollenburger (2002: 1) menegaskan tentang ketidakadilan gender, bahwa dalam bidang perkawinan dan keluarga saja wanita seringkali dilihat keberadaannya, sehingga wanita seakan-akan tidak pernah mencetak prestasi-prestasi dalam dunia publik, padahal kenyataannya tidak demikian. Moore dan Ollenburger juga mengungkapkan bahwa tempat kaum wanita sejatinya adalah di rumah. Pandangan-pandangan seperti ini sangat melekat pada benak masyarakat patriarki. Keyakinan gender jika dilestarikan secara terus menerus akan merugikan satu pihak, salah satunya adalah perempuan.

Ketidakadilan gender atau ketidaksetaraan gender dapat diartikan sebagai segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau laki-laki yang bersumber pada keyakinan gender (Astuti, 2011: 81). Ketidakadilan gender dapat termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya subordinasi, marginalisasi, beban kerja lebih banyak, dan stereotip. Ketidakadilan gender kaitannya dengan subordinasi dan marginalisasi sudah banyak terjadi di dalam masyarakat patriarki. Subordinasi dan marginalisasi juga mempunyai keterkaitan satu sama lain.

Subordinasi secara umum berarti penomorduaan, dalam bukunya Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial, Astuti mendefinisikan tentang

subordinasi sebagai keyakinan salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama diabandingkan jenis kelamin yang lain (Astuti, 2011: 90). Berbagai kenyataan mengenai penomorduaan perempuan telah terjadi di dalam masyarakat, sebagai contohnya sebagian besar perempuanlah yang mengurusi kebutuhan rumah tangga karena dianggap sebagai kodrat, laki-laki lebih bebas mengakses ruang publik ketimbang perempuan, laki-laki lebih bisa memilih jenis pekerjaan ketimbang perempuan, selain itu lebih banyak perempuan yang buta aksara dibanding laki-laki. Penomorduaan terhadap perempuan ini secara alami akan membatasi ruang gerak perempuan, sehingga perempuan sulit untuk berkembang dalam dunia publik. Kurangnya akses yang mendukung juga menjadi alasan perempuan tetap berada dalam posisi nomor dua dibawah laki-laki. Situasi seperti ini yang akhirnya menjadikan perempuan termaginalisasi dalam dunianya.

Marginalisasi sering disebut dengan istilah pemiskinan, oleh Astusti (2011: 87) mendefinisikan pemiskinan sebagai suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi kaum yang biasanya terjadi pada kaum perempuan, meskipun laki-laki juga dapat mengalami pemiskinan tersebut. Salah satu bentuk pemiskinan yang ditimpa perempuan yaitu dikarenakan oleh keyakinan gender. Marginalisasi secara umum berarti proses penyingkiran, dan proses penyingkiran berbasis gender yang biasanya ditimpa oleh perempuan ini dapat terjadi dikarenakan beberapa kejadian, diantaranya dalam kebijakan pemerintah,

interpretasi agama, tradisi dan kebiasaan. Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi.

Konsep gender diatas menjelaskan bahwa ketidakadilan gender yang termanifestasi dalam subordinasi dan marginalisasi juga dialami oleh perempuan yang menikah campuran dengan Warga Negara Asing. Perempuan menjadi nomor dua setelah laki-laki di dalam masyarakat patriarki, sehingga perempuan sulit berkembang karena kurangnya akses, akhirnya terasing dalam dunianya sendiri. Penomorduaan terhadap perempuan inilah yang menyebabkan permpuan mngelami pemiskinan yang biasa disebut sebagai marginalisasi. Pemiskinan tersebut yang akhirnya membuat permpuan melakukan suatu tindakan yang menurutnya bisa mengangkat derajatnya, salah satunya dengan cara menikah dengan Warga Negara Asing.