• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kajian Teori

2.2.4. Konsep Hutan Tanaman Tumpangsari

Penanaman tanaman pangan sebagai tumpangsari telah menjadi pedoman dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman. Menurut Pratiwi dan Agus S. Tjokrowardojo (2001), mengemukakan bahwa ada tiga komposisi jenis tanaman di areal hutan tanaman, yaitu :

1. Jenis tanaman berumur panjang (tahunan) yang menghasilkan kayu seperti : sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), mahoni

(Swietenia macrophylla), sungkai (Peromena canescens), gmelina (Gmelina arborea), pinus (Pinus merkusii), dan akasia (Acacia auriculiformis): 2. Jenis tanaman berumur sedang seperti : pisang, keladi dan melon

3. Jenis tanaman berumur pendek (semusim) seperti : padi, jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, cabai.

Pada umumnya tanaman berumur sedang dan semusim ditumpangsarikan secara serasi di gawangan tanaman tahunan.

Konsep hutan tanaman sistem Agri-Silvikultur dikembangkan atas dasar pemikiran antara lain : adanya permasalahan produktivitas hutan tanaman monokultur belum optimal akibat pemeliharaan yang tidak tepat waktu sehingga gulma mendominasi areal, pemanfaatan lahan tidak optimal, teknologi anjuran belum diadopsi dengan baik, dan keanekaragaman hayati relatif rendah sehingga rentan terhadap serangan hama maupun penyakit. Oleh karena itu hutan tanaman pola Agri-Silvikultur diharapkan mampu mengatasi masalah ini, sekaligus memberikan nilai tambah dalam bentuk peningkatan pendapatan petani sekitar hutan (Pesanggem) dan terpeliharanya tanaman pokok secara lebih baik.

Dalam pembangunan hutan tanaman dengan sistem Agri-Silvikultur ada beberapa pola kemitraan dengan pesanggem yang dapat diterapkan seperti : 1. Swadaya pesanggem : Perusahaan kehutanan hanya menyiapkan lahan siap

tanam di gawangan tanaman hutan (bajak-garu), membina dan menbantu pemasaran hasil Agri-Silvikultur Sedangkan sarana produksi (benih, pupuk, obat) dari petani dan hasil panen menjadi milik petani pesanggem. Dalam

posisi ini petani berkewajiban ikut memelihara tanaman pokok (hutan tanaman)

2). Subsidi dengan bagi hasil : Perusahaan kehutanan menyediakan sarana produksi (benih, pupuk, obat), disamping menyiapkan lahan siap tanam (bajak-garu), membina dan membantu pemasaran hasil. Sedangkan petani pesanggem menyediakan tenaga kerja. Hasil panen dibagi dengan proporsi (digulirkan kembali dalam bentuk sarana produksi untuk penanaman tahap berikutnya). Petani pesanggem tetap berkewajiban ikut memelihara tanaman pokok.

2.2.5 Kegiatan Usahatani Pesanggem

Usaha tani yaitu usaha pertanian mulai tingkat sederhana sampai pada tingkatan yang tinggi (Abidin, 1999), di dalam istilah farm digambarkan sebagai bagian dari permukaan bumi tempat seorang bertani, suatu keluarga petani atau badan tertentu lainnya bercocok tanam (Mosher, 1993). Didukung dengan pendapat Rifai (1984) yang memberi definisi bahwa setiap organisasi dari alam, modal, tenaga kerja yang ditujukan kepada produksi pertanian disebut dengan istilah usaha tani.

Petani atau pengusaha pertanian melihat usaha yang dilakukan itu berdasarkan tujuan tetap untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari yang bertambah dan demi kelestarian usahanya di masa depan. Jadi ditinjau dari kedudukannya petani atau pengusaha, lingkup peninjauannya adalah masalah untung atau rugi dan yang harus dijadikan tujuan adalah selalu memperoleh untung.

Kenyataan, menunjukkan bahwa usahatani itu akan ditujukan mencari pendapatan secara ekonomis, melainkan juga pendapatan non ekonomis seperti terjaminnya kebutuhan hidup petani pesanggem beserta keluarganya meskipun kadang-kadang dianggap menguntungkan secara ekonomis. Bagi setiap petani, besarnya tujuan usahatani sangat bervariasi karena pengaruh lingkungan alamnya atau kemampuan petani. Ada petani yang berusahatani untuk kebutuhan keluarganya dan ada pula yang bertujuan untuk mencari pendapatan yang sebesar- besarnya.

Usahatani yang ditujukan untuk kebutuhan keluarga yakni semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik yang melalui peredaran uang atau tidak, maka usahatani demikian disebut usahatani pencukup kebutuhan keluarga (Subsistence Farm). Apabila tujuan usaha taninya untuk mencari pendapatan yang sebesar-besarnya, maka usaha tani yang demikian disebut usahatani komersial (Commercial Farm).

2.2.6. Pendapatan Pesanggem

Menurut Hakim (2004), bahwa salah satu penyebab kegagalan pembangunan di negara-negara berkembang berpendapatan rendah adalah adanya suatu lingkaran setan kemiskinan yang sukar ditembus. Analisis lingkaran setan kemiskinan menyatakan bahwa kemiskinan di suatu negara berkembang disebabkan oleh kemiskinan negara tersebut (jika suatu negara adalah miskin, berarti pendapatannya rendah). Pendapatan yang rendah menyebabkan tabungan dan selanjutnya investasi yang rendah pula.

Sebagai tolok ukur kesejahteraan petani, jumlah pendapatan petani pesanggem dihitung dari gabungan pendapatan yang diperoleh dari hasil usahatani dan hasil di luar usahatani dibagi jumlah anggota keluarga yang ada dalam tanggungannya. Untuk mendapatkan gambaran tingkat pendapatan per kapita dalam perhitungan ini diuraikan pengertian-pengertian sebagai berikut :

a. Pendapatan Usahatani

Pendapatan pesanggem terdiri dari sebagian pendapatan kotor yang karena tenaga keluarga dan kehidupannya memimpin dan sebagian bunga dari keluarga yang dipergunakan di dalam usahatani menjadi hak dari keluarga. Pendapatan pesanggem dapat diperhitungkan dengan mengurangi pendapatan kotor dengan harga alat-alat luar dan bunga modal dari luar. Yang dimaksud dengan pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari semua cabang dari sumber di dalam usahatani selama satu tahun yang dapat diperhitungkan dari hasil penjualan, penukaran atau penafsiran kembali.

Biaya alat-alat luar semua pengorbanan yang diberikan oleh usaha tani untuk memperoleh pendapatan kotor.

b. Pendapatan Luar Usahatani

Pendapatan luar usahatani dimaksudkan adalah tambahan penghasilan/pendapatan dari usahatani yang diluar usahatani mereka. Pendapatan dari luar usahatani didapat dari hasil sampingan ataupun pemberian dari pihak lain yang sifatnya tidak tetap atau pendapatan tidak terduga.

c. Pendapatan Per Kapita

Pendapatan per kapita dihitung dengan menjumlahkan pendapatan usahatani per tahun, pendapatan sampingan per tahun dan pendapatan tak terduga dalam satu keluarga per tahun dibagi jumlah anggota keluarga yang ada dalam tanggungannya.

Pendapatan petani dipergunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan petani. Dengan demikian dapat dijadikan pedoman/dasar pemberian bantuan kepada petani setempat, apakah diberikan dalam bentuk bantuan penuh, subsidi atau cukup pemberian kredit.

Usahatani adalah pengorganisasian dari sumber daya alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan di bidang pertanian. Menurut Mosher (1993), usahatani adalah merupakan turut campur tangannya manusia didalam perkembangan tumbuh-tumbuhan dan hewan supaya lebih bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Didalam perkembangan usahatani selalu mengalami perubahan atau perbaikan hasil produksinya.

Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tubuh, tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah dan sebagainya. Usahatani dapat berupa usaha bercocok tanam atau memelihara ternak. Dalam menyelenggarakan usahatani setiap petani berusaha agar hasil panennya banyak. Usahatani yang bagus adalah usahatani yang produktif dan efesien. Usahatani yang produktif

berarti usahatani itu produktifitasnya tinggi. Produktifitas yang dimaksud adalah merupakan penggabungan antara konsepsi efesiensi usaha (fisik) dengan kapasitas tanah (Mubyarto, 1992).

Kegiatan usahatani yang komersil terutama yang berorientasi pada agribisnis maka sebelum memulai usaha terlebih dahulu harus menganalisa usahatani tersebut sekaligus melihat prospek pasar dari komoditas yang diusahakan. Semakin menguntungkan usaha komoditas tersebut tentunya semakin diminati untuk diusahakan. Namun, hasil analisis usaha dan prospek pasar saja masih belum cukup sebagai bahan pertimbangan untuk mengusahakan komoditas tersebut. Sebab tidak semua jenis komoditas cocok dan menguntungkan untuk diusahakan dalam kondisi lingkungan tertentu (Hernanto, 1994).

Analisis usaha diperlukan untuk mengetahui gambaran perhitungan biaya diperlukan dalam memulai suatu usaha. Selain itu, dapat pula memperhitungkan gambaran keuntungan yang akan diperoleh, berapa lama modal kembali serta keuntungan yang akan diraih dalam jangka waktu tertentu. Dalam perhitungan usahatani perlu dibedakan antara biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya variabel adalah biaya produksi yang berubah-ubah sesuai dengan tingkat produksi yang dihasilkan sedangkan biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung dari besar kecilnya produksi (Mubyarto, 1992).

Biaya tetap pada pengertian jangka pendek, menurut Soeharjo dan Patong (1987), adalah biaya yang tidak berubah walaupun jumlah produksi berubah atau tidak berpengaruh oleh besar kecilnya produksi, yang termasuk biaya tetap dalam usahatani padi antara lain : sewa lahan, iuran pengairan dan pajak.

Sedangkan biaya variabel disebut pula biaya operasi artinya manajer selalu mengatur, mengeluarkan sepanjang waktu produksi. Biaya ini selalu berubah tergantung kepada besar kecilnya produksi. Termasuk biaya ini adalah pembelian benih, pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja.

Kedua jenis biaya tersebut tergolong biaya produksi. Semua modal harus digunakan atau dikeluarkan dalam biaya produksi usahatani sehingga budidaya tersebut menghasilkan dan biaya pasca panen dimasukkan dalam biaya produksi yang dirumuskan sebagai berikut :

TC = FC + VC

Dimana :

TC = Total biaya keseluruhan / Total Cost (Rp/Ha) FC = Biaya tetap/ Fixed Cost (Rp/Ha)

VC = Biaya tidak tetap/ Variable Cost (Rp/Ha)

Biaya tetap antara lain pajak dan alat-alat pertanian. Sedangkan yang termasuk biaya tidak tetap antara lain adalah biaya untuk pembelian pupuk, bibit serta upah tenaga kerja. Dengan adanya biaya produksi, diharapkan suatu penerimaan diperoleh dari penjualan hasil panen, Nilai yang diperoleh dari hasil penjualan adalah penghasilan kotor yang dirumuskan dengan :

TR = Pq x Q

Dimana :

TR = Total penerimaan / Total Revenue (Rp/Ha) Pq = Harga produksi per satuan (Rp/ton)

Total revenue adalah merupakan jumlah penerimaan usahatani. Penerimaan dihasilkan dari produksi yang sudah mengalami proses produksi. Dalam kegiatan usahatani total penerimaan adalah jumlah yang diterima petani dari hasil penjualan sebelum dikurangi oleh biaya-biaya produksi mulai tanam sampai biaya pengangkutan. Total biaya produksi dalam kegiatan usahatani adalah total biaya dari sewa tanah, pembelian bibit, pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, obat-obatan, dan tenaga kerja.

Menurut Soeharjo dan Patong (1987), pendapatan adalah selisih antara penerimaan yang diperoleh dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

p = TR – TC

Keterangan :

p : Pendapatan pesanggem(Rp/Ha)

TR : Total revenue atau penerimaan (Rp/Ha) TC : Total cost atau total biaya (Rp/Ha)

Tabel 1. Mapping Hasil Penelitian Terdahulu

No

Nama Peneliti (Tahun)

Fokus Penelitian Posisi

1 Ichwandi (2004)

Kegagalan sistem tenurial dan konflik sumberdaya hutan: tantangan kebijakan kehutanan masa depan

Mengidentifikasi kegagalan sistem tenurial sumberdaya hutan Indonesia mulai dari “pro-kontra” atas hak (property rights) sumberdaya hutan sampai kegagalan sistem Hak Pemangku Hutan (HPH), menyusun pengelolaan yang baik terhadap sumberdaya hutan maupun masyarakat (khususnya masyarakat sekitar hutan)

2 Hasan (2000)

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Das Brantas

Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ekosistem hutan produksi, yang harus ditunjang dengan kemampuan

sumberdaya manusia dan dukungan sarana prasarana berupa insentif bagi pengelola atau masyarakat yang terlibat. 3 Hadijah (2006) Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Otonomi Daerah di Kabupaten Tana Toraja

Kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan hutan rakyat tongkonan di Lembang Turunan adalah kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut. Sedangkan dampak ada dua yaitu positif dan negative yaitu: dampak positif : terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat, peningkatan kesejahteraan sebagian masyarakat, peningkatan Pendapatan Asli Daerah, adanya tambahan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang hutan dan

lingkungan, sedangkan dampak negatif : terjadinya pembalakan liar (illegal logging), terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan, bertambahnya lahan kritis, terjadinya konflik penggunaan

lahan dan sumberdaya air dalam masyarakat 4 Zuhud, Aliadi, dan Kaswinto (2006) Pelestarian Pemanfaatan Sumber Daya Tumbuhan Obat Melalui Pendekatan Kemitraan di Taman Nasional Meru Betiri

Kemitraan merupakan salah satu bagian dari sistem pengelolaan

kawasan konservasi, khususnya Taman Nasional yang tidak bisa ditinggalkan karena perkembangan permasalahan yang terjadi di dalam pengelolaan kawasan menuntut adanya kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan masyarakat lokal dan (2) Kemitraan harus dibangun bersama melalui proses tukar informasi, pengalaman, dan belajar bersama di antara para pihak yang terlibat (stakeholders) di dalam lembaga kemitraan. 5 Wibowo Agung (2006) Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Secara Partisipatif

Partisipasi antara para pihak terkait perlu dirumuskan dalam suatu langkah- langkah strategis untuk saling

mendukung dan meningkatkan kemampuan para pihak dalam melaksanakan upaya konservasi dan (3) dikembangkan pola insentif kepada para pihak yang telah mau melakukan upaya perlindungan dan pelestarian hutan.

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Dokumen terkait