• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Identitas Gender dalam Homoseksual

BAB I. PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

3. Konsep Identitas Gender dalam Homoseksual

Masyarakat seringkali memahami konsep gender sama dengan pengertian jenis kelamin atau seks. Istilah gender seharusnya dibedakan dengan istilah jenis kelamin atau seks. Pentingnya pemahaman dan pembedaan antara konsep gender dan

29

Berger, Tafsir Sosial, Op. Cit., hlm. 33 30

seks adalah dalam rangka memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial khususnya yang menimpa kaum transgender. Hal ini disebabkan karena ada kesinambungan antara perbedaan gender dan ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan yang ada di masyarakat.

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural.31 Sifat gender melekat pada perempuan, misalnya perempuan itu dikenal lemah, cantik, emosional, feminim atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, maskulin, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan antara kaum laki-laki dan perempuan.32 Artinya ada laki-laki yang emosional, lembut, keibuan sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Mansour Fakih mengatakan dalam bukunya tentang Analisis Gender & Transformasi Sosial, bahwa “Jenis kelamin (seks adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang

ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.33 Misalnya bahwa seorang laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, sperma dan jakun. Sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki vagina, rahim dan alat menyusui”. 34

Secara sosiologis, homoseksual adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual,

31

Mansour Fakih, Analisi Gender & Transformasi sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 8 32 Ibid., 33 Ibid., hlm 9 34 Ibid., hlm 9

homoseksualitas merupakan sikap atau pola perilaku para homoseksual.35 Homoseksual sudah dikenal sejak lama, misalnya pada masyarakat Yunani Kuno. Di Inggris baru pada akhir abad ke 17 homoseksualitas hanya dipandang sebagai tingkah-laku seksual belaka, namun juga peranan yang agak rumit sifatnya, yang timbul dari keinginan-keinginan maupun aktivitas para homoseks.36

Kinsey, Pomeroy dan Martin dalam penelitian yang terkenal tentang seksualitas di Amerika, mengungkapkan sebanyak 37% laki-laki pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam suatu masa kehidupannya, tetapi hanya 4% yang benar-benar homoseksual dan mengekspresikan kecenderungan erotisnya pada sesama laki-laki.37 Adapun sisanya kemungkinan hanya karena rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan bahwa mempunyai hubungan homoseksual tidak berarti seseorang menjadi homoseks. Yang lebih penting secara sosiologis adalah pengungkapan identitas homoseksual. Melalui identitas itu, seseorang mengkonsepkan dirinya sebagai homoseks. 38

Homoseksualitas adalah kesenangan yang terus menerus terjadi dengan pengalaman erotis yang melibatkan kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan orang lain atau dengan kata lain, homoseksualitas

35

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 334 36

Ibid., 37

Siahaan, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis. Jakarta: PT. Indeks, 2009, Hlm. 43 38

membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri dan terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual dengan sesama jenis.39

Homoseksual dapat didefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama. 40Istilah homoseks adalah istilah yang diciptakan (pada tahun 1869 oleh bidang ilmu psikiatri di Eropa) untuk mengacu pada suatu fenomena psikoseksual yang berkonotasi klinis.41 Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar mengatakan, “ Homoseksual dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu golongan yang secara aktif mencari mitra kencan ditempat-tempat tertentu, seperti misalnya bar-bar homoseksual, golongan kedua adalah golongan pasif yang artinya menunggu dan golongan ketiga atau terakhir adalah golongan situasional yang mungkin bersikap pasif atau melakukan tindakan tertentu”.42

Sosio konstruksionis (yang memandang gender dan seksualitas sebagai hal-hal yang dibentuk atau dirajut oleh masyarakat dalam konteks ruang dan waktu yang beraneka ragam) gender lelaki, waria dan perempuan merupakan konstruk-konstruk yang tidak selalu stabil atau pun bukan terberi (given).43 Homoseksual mengacu pada rasa tertarik secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) dan atau

39

Shynstya Kristina, Informasi dan Homoseksual- Gay (Studi Etnometodologi mengenai Informasi

dan Gay Pada Komunitas GAYa Nusantara Surabaya).

40

Dede Oetomo, Op. Cit., hlm. 6 41

Ibid., hlm. 6 42

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 334 43

secara erotik, baik secara predominan (lebih menonjol) maupun eksklusif (semata-mata) terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik (jasmaniah). 44

Penjelasan secara sosiologis mengenai homoseksualitas bertitik tolak pada asumsi bahwa tidak ada pambawaan lain pada dorongan seksual, melainkan kebutuhan untuk menyalurkan ketegangan.45 Oleh karena itu, baik tujuan maupun objek dorongan seksualitas diarahkan oleh faktor sosial, artinya arah penyaluran ketegangan dipelajari melalui pengalaman-pengalaman sosial yang dialami individu. Dengan demikian tidak ada pola seksual alamiah, karena yang ada adalah pola pemuasnya yang dipelajari dari adat istiadat lingkungan sosial. Lingkungan sosial akan menunjang atau mungkin menghalangi sikap tindak dorongan-dorongan seksual tertentu.46 Seorang menjadi homoseksual karena adanya pengaruh dari orang-orang sekitarnya. Sikap tindakannya yang kemudian menjadi pola seksualnya dianggap sebagai sesuatu yang dominan sehingga menentukan segi-segi kehidupan lainnya.

Soejono Soekanto, dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar mengatakan pandangan-pandangan sosiologis menyatakan, sebagaimana disinggung dimuka, bahwa homoseksualitas merupakan suatu peranan. 47Oleh karena itu, walaupun derajat keterikatannya pada aspek seksual berbeda-beda, homoseksualitas sebagai peranan mengakibatkan terjadinya proses penanaman tertentu terhadap gejala

44

Dede Oetomo, Op. Cit., hlm 80 45

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm 334 46

Ibid., hlm. 334 47

tersebut (Naming Process). Yang pertama adalah proses penanaman tidak hanya terjadi pada homoseksualitas, tetapi juga terhadap gejala-gejala lainnya, yang oleh masyarakat dianggap penyimpangan (walaupun tidak selalu ditolak secara mutlak).48 Proses penanaman itu sebenarnya merupakan suatu sarana pengendalian sosial karena hal tersebut mampu memberikan patokan mengenai sikap-tindak yang diperbolehkan dan dilarang, dan yang kedua adalah membatasi sikap-tindak menyimpang pada kelompok-kelompok tertentu. 49Oleh karena itu pembenaran yang biasanya diberikan oleh kalangan homoseksual adalah mereka tidak dapat kembali pada pola kehidupan yang dianggap normal oleh masyarakat.50