• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

2.2. Konsep diri

2.2.1 Definisi konsep diri

Manning (2007) menjelaskan konsep diri (self-concept) sebagai persepsi pelajar terhadap evaluasi kompetensi atau kemampuan yang terwujud dalam persepsi diri (self-perception) yang ada pada dirinya. Pada perkembangan pelajar, mereka lebih baik memahami bagaimana orang lain memandang kemampuan mereka dan lebih baik mereka membedakan antara usaha-usaha yang mereka lakukan dan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Sebagai hasilnya, persepsi-diri mereka menjadi lebih tinggi dan akurat.

Wigfield, et al (2005) menjelaskan konsep diri sebagai kepercayaan diri dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka.

Sedangkan Atwater (1983) menjelaskan definisi konsep diri sebagai keseluruhan bagaimana individu memandang dirinya. Konsep diri disusun dari semua persepsi terhadap “aku” dan “saya” bersama dengan semua perasaan, nilai-nilai, dan kepercayaan menyatu dengan semua bagian tersebut. Sebenarnya, apa yang disebut konsep diri itu lebih sebagai sebuah kumpulan dari diri kita ketimbang sebuah hal yang statis. Ini meliputi ratusan dari persepi-diri dalam pengalaman individu dengan orang lain.

Cooley (dalam Burns, 1993) mendefinisikan self “sebagai sesuatu yang dirancang melalui percakapan yang umum melalui kata ganti orang pertama yaitu, ‘saya’, ‘aku’ ”. Dia mengenalkan sebuah konsep “looking-glass self”, dengan

pemikiran bahwa konsep diri seseorang dipengaruhi oleh apa yang diyakini individu-individu bagaimana orang lain berpendapat mengenai dirinya. Cooley menunjukkan betapa pentingnya umpan balik yang di interpretasikan secara subyektif dari orang-orang lain sebagai sumber data utama mengenai diri.

G. H Mead (dalam Burns, 1993) mengembangkan dari konsep looking-glass self dari Cooley. Dia mencatatkan bahwa konsep-diri muncul dalam interaksi sosial sebagai sebuah hasil dari kepedulian individu tentang bagaimana orang lain bereaksi terhadap orang lain. Sebagai sebuah antisipasi terhadap reaksi dari orang lain sehingga mereka dapat berperilaku sesuai dengan situasi nya, individu belajar mempersepsikan dunianya melalui sesuatu yang dia lakukan.

Rogers (dalam Burns, 1993) menjelaskan bahwa diri itu merupakan sebuah faktor dasar di dalam pembentukan kepribadian dalam bertingkah laku. Konsep diri merupakan organisasi diri yang menjadi penentu (determinant) yang paling penting dari respon individu terhadap lingkungannya.

Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri seseorang. Burns (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai.

Jadi definisi konsep diri dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka.

2.2.2 Jenis-jenis konsep diri

Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri menjadi dua jenis, yaitu;

Konsep diri positif; ciri konsep diri yang positif adalah yakin terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam mengatasi masalah, merasa sejajar dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, sadar bahwa tiap orang mempunyai keragaman perasaan, hasrat, dan perilaku yang tidak disetujui oleh masyarakat serta mampu mengembangkan diri karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang buruk dan berupaya untuk mengubahnya. Konsep diri yang positif adalah penerimaan yang mengarahkan individu ke arah sifat yang rendah hati, dermawan, dan tidak egois

Konsep-diri negatif, ciri konsep diri negatif adalah peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, punya sikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disukai orang lain, dan pesimistis terhadap kompetisi. Lebih jauh lagi, Calhoun dan Acocella membagi konsep diri negatif menjadi dua, yaitu:

1. Pertama, yaitu pandangan seseorang terhadap dirinya tidak teratur, tidak memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Kondisi seperti ini acapkali terjadi pada remaja. Namun, tidak menutupi kemungkinan terjadi pada orang dewasa. Pada orang dewasa hal ini dapat terjadi karena ketidakmampuan menyesuaikan diri.

2. Kedua, kebalikan dari yang pertama, yaitu konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu alias kaku. Hal ini karena pola asuh dan didikan yang sangat keras.

2.2.3 Dimensi konsep diri

Dari Atwater (1983) membagi konsep diri menjadi beberapa dimensi yaitu:

The subjective self

Subjektifitas diri kita, adalah bagaimana cara kita memandang diri kita, terbentuk dari begitu banyaknya persepsi diri yang kita peroleh semasa perkembangan hidup kita. Perkembangan self kita kebanyakan dipengaruhi oleh bagaimana kita dipandang dan diperlakukan oleh orang-orang terdekat kita, khususnya oleh orang tua kita. Ketika kita muda dan mudah terpengaruh, kita cenderung untuk memahami apa yang mereka pikir tentang kita, penilaian dan pengharapan mereka, bersamaan dengan penerimaan diri kita. Burns (1993) menjelaskan pembentukan konsep diri dan evaluasi-evaluasi mereka yang berhubungan dengannya berasal dari penyusunan nilai-nilai subyektif orang tersebut yang berarti dan berkenaan dengan perbuatan-perbuatan dan sifat-sifatnya.

Body image

Salah satu sumber yang utama dan yang terpenting dari persepsi diri kita adalah gambaran diri (body image) kita. Ini adalah bagaimana bagaimana caranya kita melihat diri kita. Gambaran diri meliputi tidak hanya apa yang kita lihat pada diri kita yang terlihat di kaca, tetapi juga cara kita memahami tubuh kita. Seymour Fisher (dalam Atwater, 1983) menekankan tidak ada pandangan yang lebih menarik melainkan gambaran diri kita yang terpancar melalui kaca. Makna dari

body image itu sendiri berbeda pada tiap jenis kelamin. Wanita pada umumnya lebih terfokus pada ketertarikan atau daya tarik sosial yang ditujukan pada penampilan mereka. Sedangkan pria, bagaimanapun, menekankan pada kemampuan fisik atau apa yang dapat mereka lakukan oleh tubuhnya sebagai bentuk pengaruh dari lingkungan. Meskipun kedua jenis kelamin tersebut setuju terhadap pandangan pada pentingnya keberagaman karakteristik pada tubuh, terutama pada penampilan yang umum dan bentuk wajah, selalu saja terdapat perbedaan.

Burns (1993) menjelaskan bahwa body image atau citra tubuh adalah merupakan gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik seseorang. Sosok tubuh, penampilan dan ukurannya merupakan hal yang penting dalam mengembangkan pemahaman tentang evolusi konsep diri seseorang. Tinggi tubuh, berat, warna kulit, proporsi tubuhnya menjadi sedemikian berkaitan dengan sikapnya terhadap dirinya sendiri dan perasaan tentang kemampuan pribadi dan kemampuan menerima keadaan orang lain. Grogan (dalam Liechty dan Yarnal, 2010) menjelaskan bahwa body image mengarah pada sikap seseorang, evaluasi,

perasaan dan persepsi mereka tentang bentuk tubuhnya. Berikutnya Cash, dkk (dalam Liechty dan Yarnal, 2010) menjelaskan bahwa body image adalah konstruk multi-dimensional yang melingkupi persepsi individu dari beberapa dan keseluruhan aspek dari tubuh, meliputi berat badan dan bentuknya, bentuk wajah, kemampuan tubuh, dan kesehatan fisik. Bernadetta (2010) menjelaskan bahwa pada pengamatan terakhir pada perilaku remaja, terungkap perubahan besar pada sikap mereka terhadap perubahan bentuk tubuh, ketika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebuah peningkatan pada ketertarikan terhadap penampilan bentuk tubuh, masih diperkuat oleh keinginan yang dinilai berdasarkan ketertarikan pada masyarakat, telah diamati pada remaja muda. “seperti apa saya?” tergantung kepada “seperti apa saya terlihat” bagi orang lain.

Body image adalah penentu yang paling signifikan terhadap daya tarik kita serta daya tarik kita terhadap orang lain. Persepsi body image dan penampilan tubuh kita juga dapat dipengaruhi oleh sikap orangtua kita terhadap komponen-komponen pembentuk yang signifikan pada tubuh kita.

The ideal self

Cara seseorang memandang dirinya sebagai sosok yang ideal, seseorang dipandang oleh orang lain sebagai diri pribadi yang didambakan. Biasanya, kita berfikir untuk merubah gambaran-diri kita dan tingkah laku kita untuk beradaptasi ke diri ideal kita. Sesungguhnya, ada beberapa petunjuk bahwa diri ideal kita tidak berubah atau tetap dan lebih konsisten sepanjang waktu ketimbang diri-subjektif

kita. Tetapi ketika harapan-harapan membutktikan untuk menjadi sesuatu yang berlebihan atau tidak realistis, ini akan mejadi lebih pantas untuk kita untuk merubah diri-ideal kita menjadi sebuah cara untuk melanjutkan perkembangan kita dan self-esteem kita. Menurut Strang (dalam Burns, 1993) diri ideal adalah macam pribadi yang di harapkan individu tersebut menjadi pribadi yang sesuai atau didambakan. Lalu menurut Burns (1993) saat pandangan seorang anak tentang bagaimana keadaan dia saat ini hampir sama dengan yang dia yakini dan dia cita-citakan, dia mengekspresikan apa yang tampaknya sebagai suatu pandangan mengenai dirinya yang menyenangkan. Sedangkan menurut Rogers (dalam Burns, 1993) menjelaskan bahwa diri ideal yang diperkenalkan ke dalam teori itu sebagai “konsep diri yang paling disukai untuk dimiliki oleh individu, kepadanya dia menempatkan nilai tertinggi mengenai dirinya sendiri”. Berikutnya Burns (1993) menjelaskan bahwa citra fisik yang ideal ini didasarkan pada norma-norma budaya dan stereotip-stereotip yang dipelajari. Semakin mendekati kecocokan di antara citra tubuh yang telah ada dan yang ideal yang dipegang oleh seorang individu maka semakin besar kemungkinannya orang tersebut akan menunjukkan secara umum perasaan harga diri yang tinggi begitu pula akan merasa positif tentang penampilannya.

Our social selves

Tiap kali kita bertemu dengan orang lain, kita terpengaruh oleh sikap-sikap orang tersebut dan tingkah lakunya pada kita. Sebagai hasilnya, kita cenderung

untuk merubah tingkah laku kita agar dapat diterima oleh mereka, dan dalam prosesnya kita merubah persepsi diri kita menjadi lebih baik. Dari apa yang telah kita bicarakan tentang kecenderungan self-perpetuating pada self-concept kita, ini akan terlihat jelas ketika kita tidak merubah apapun pada diri kita. Apa yang kita rubah adalah persepsi terhadap diri kita yang lebih yang mudah dicapai terhadap pengaruh sosial, atau diri-sosial kita. Ini meliputi semua persepsi diri kita yang disusun melalui peran sosial kita (atau apa yang orang lain harapkan pada diri kita), sebagaimana orang lain memperlakukan kita dengan baik. Pada sisi yang positif, kemampuan kita untuk memiliki banyak diri-sosial kita memberanikan kita untuk mengembangkan aspek-aspek pada potensi diri kita. Setiap waktu kita mencoba untuk melakukan aktifitas baru di waktu senggang atau pekerjaan kita atau memperoleh teman baru, anda memuaskan kebutuhan yang lain dan ketertarikan kita pada aktifitas baru tersebut.

Pada sisi yang negatif, keberagaman pada diri kita dan apa yang tampak sebagai sebuah ancaman terhadap identitas personal kita. Ini akan menjadi masalah bagi tiap orang yang hidup dalam masyarakat yang memiliki keberagaman. Orang tua dari remaja mengharapkan satu hal, sedangakan teman-temannya mengharapkan yang lain, dan sang guru dan pegawainya lainnya juga memiliki harapan yang lain. Mencoba untuk membahagiakan mereka semua mungkin akan membawa kita kepada kebingungan identitas. Meskipun ada keberagaman yang luas antara diri individu, kecenderungan ini mengarahkan kebingungan identitas cenderung untuk menjadi puncak dalam perkembangan

remaja. G. H. Mead (dalam Burns, 1993) menjelaskan bahwa diri dari setiap individu berkembang sebagai hasil dari aktifitas sosial dan pengalaman dan hubungan dengan individu lainnya di dalam proses tersebut. Konsep diri sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepadanya.

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri

Calhoun dan Acocella (1990) mengemukakan tentang sumber informasi yang penting dalam pembentukan konsep diri antara lain:

Orangtua, dikarenakan orangtua adalah kontak sosial yang paling awal dan yang paling kuat dialami oleh individu

Teman sebaya (peer group), teman sebaya menempati peringkat kedua karena selain individu membutuhkan cinta dari orangtua juga membutuhkan penerimaan dari teman sebaya dan apa yang diungkapkan pada dirinya akan menjadi penilaian terhadap diri individu

Masyarakat, dalam masyarakat terdapat norma-norma yang akan membentuk konsep diri pada individu, misalnya pemberian

perlakuan yang berbeda pada laki-laki dan perempuan akan membuat laki-laki dan perempuan berbeda dalam berperilaku.

2.2.5 Fungsi konsep diri

Pujijogjanti (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010) ada tiga peranan penting dari konsep diri sebagai penentu perilaku, yaitu:

• Konsep diri berperan dalam mempertahankan keselarasan batin.

Pada dasarnya individu selalu mempertahankan keseimbangan dalam kehidupan batinnya. Bila timbul perasaan, pikiran dan persepsi yang tidak seimbang atau bahkan saling berlawanan, maka akan terjadi iklim psikologi yang tidak menyenangkan sehingga akan merubah perilaku.

• Keseluruhan sikap dan pandangan individu terhadap diri

berpengaruh besar terhadap pengalamannya. Setiap individu akan memberikan penafsiran yang berbeda terhadap sesuatu yang dihadapi.

• Konsep diri adalah penentu pengharapan individu. Jadi

pengharapan adalah inti dari konsep diri. Konsep diri merupakan seperangkat harapan dan penilaian perilaku yang menunjuk pada harapan tersebut. Sikap dan pandangan negatif terhadap kemampuan diri menyebabkan individu menetapkan titik harapan

yang rendah. titik tolak yang rendah menyebabkan individu tidak mempunyai motivasi yang tinggi.

Berdasarkan ketiga peranan konsep diri tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep diri selain berperan sebagai pengharapan juga berperan sebagai sikap diri sendiri dan penyeimbang batin bagi individu.

2.2.6 Pengukuran konsep diri

Pengukuran konsep diri telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dalam penjelasan berikut ini peneliti mencoba menjabarkan salah satu pengukuran konsep diri. Stake (1994) melalui penelitian nya mencoba mengukur konsep diri yang diberi nama Sic-Factors Self-Concept Scale (SFSCS) dari enam aspek, yaitu;

power, task accomplishment, giftedness, vulnerability, likeability, dan morality. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggunakan skala konsep diri dengan memodifikasi berdasarkan dari dimensi-dimensi yang dijelaskan oleh Atwater (1983) yaitu; subjective self, ideal self, body image, dan social self.

Dokumen terkait